1 Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur
Kota Medan
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
Asrul Wijaya Saragih 110905002
Departemen Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PERNYATAAN ORIGINALITAS
Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL)) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur Kota Medan
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti saya nyatakan disini, saya bersedia diproses hukum dan menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, November 2015 Penulis
ii ABSTRAK
Asrul Wijaya Saragih, 2015. Judul Skripsi: “Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur. Skripsi. Program Sarjana Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu pengaturan dan penertiban di Jalan Dr.Mansyur dari pedagang kaki lima yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 31 Tahun 1993 masih mendapat perlawanan dari pedagang kaki lima. Perlawanan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dr.Mansyur terhadap Peraturan Daerah tersebut disebut sebagai resistensi pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dr.Mansyur. Resistensi ini ditunjukkan masih banyaknya pedagang yang berjualan di sepanjang Jalan Dr.Mansyur meskipun sudah dilarang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis (1) bentuk dari resistensi pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Dr.Mansyur Medan; dan (2) aspek-aspek yang menyebabkan resistensi pedagang kaki lima untuk terus berdagang di sepanjang Jalan Dr. Mansyur Medan.
Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dari 15 pedagang kaki lima yang dipilih secara purposive (sengaja). Dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus berfungsi sebagai instrumentutama (key instrument) yang terjun ke lapangan serta berusaha untuk mengumpulkandata melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ketiga teknik inidigunakan secara bertahap, terintegritas atau dapat dilaksanakan pada saat wawancaradan observasi yang dilakukan secara bersamaan.
Hasil penelitian menunjukkan (1) bentuk resistensi yang digunakan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dr.Mansyur yaitu resistensi secara terbuka, secara terselubung dan negosiasi. Resistensi secara terbuka dilakukan dengan melakukan perlawanan secara langsung terhadap petugas, ataupun aparatur pemerintah dengan jalan mengumpat dan sampai bertengkar dengan para Satpol PP. Resistensi terselubung dilakukan dengan melakukan upaya-upaya secara tidak langsung dengan harapan tidak diketahui oleh aparat pemerintah; dan (2) resistensi yang dilakukan para pedagang kaki lima, tidak semata-mata tanpa ada alasan. Ada aspek-aspek khusus yang meliputi aspek ketidakpuasan terhadap Perda Nomor 31 Tahun 1993, aspek tuntutan kehidupan dan aspek budaya (gotong royong, bekerja sama dalam bentuk solidaritas antar sesama pedagang kaki lima), yang memotivasi mereka untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunianya-Nya penulis menyelesaikan Skripsi ini dan segala pelengkap lainnya dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Judul Skripsi ini adalah Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur. Skripsi ini berisi tentang kajian analisis yang didasarkan pada observasi partisipasi dan wawancara penulis dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) Jalan Dr.Mansyur Kota Medan. Secara sistematis kajian ini berfokus pada aturan-aturan sistem hukum yang ada di dalam Pedagang Kaki Lima. Selain itu juga mendeskripsikan hubungan PKL dengan aparat atas pemerintah daerah, dan preman setempat.
Dalam hal ini dapat dijelaskan dari isi skripsi penelitian ini. Pertama Bab I berisi tentang bagaimana latar belakang permasalahannya, bagaimana rumusan masalahnya, tujuan dan manfaat dari penelitian ini, serta metode apa yang digunakan dalam penelitian ini, serta bagaimana teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.
iv Lima (PKL) di jalan Dr.Mansyur dalam kajian kemajemukan hukum, praktik larangan penerapan hukum larangan berjualan di badan jalan dan trotoar. Pada Bab IV menjelaskan lingkungan masyarakat dan budaya pedagang kaki lima dan menjawab kembali dari Bab I dan menyempurnakan Bab II dan Bab III yaitu dari pertanyaan Rumusan Masalah serta Tujuan dan Manfaat penelitian selanjutnya tentang kasus-kasus yang ada di pedagang kaki lima di jalan Dr.Mansyur.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mengalami kekurangan di sana sini karena bagi penulis “tak ada gading yang tak retak” demikian juga penulisan ini masih banyak mengalami kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat mengharapkan masukan, saran maupun kritik dari para pembaca yang bersifat membangun dan memperbaiki skripsi ini ke arah yang lebih membangun. Demikian pengantar dari penulis, semoga bermanfaat.
Medan, Oktober Penulis
v UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan kasih saying dan karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai manusia biasa tentunya tidak terlepas dari banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga penulisan ini masih belum bisa dikatakan sempurna, baik dalam penuturan kata ilmiah yang lazim maupun dalam penyajian data.
Adapun tulisan ini adalah sebagai tugas akhir dari seorang mahasiswa dalam mencapai gelar sarjana khususnya dalam bidang ilmu Antropologi, dan dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Resistensi Pedagang Kaki Lima Yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur Kota Medan.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya dan memberikan penghargaan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas dan kemudahan yang diperoleh selama menjadi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi
vi sangat banyak meluangkan waktu, memberikan ilmu dan nasehat serta saran-saran selama dalam bimbingan skripsi, mulai dari awal hingga akhir.
3. Bapak Drs. Agustrisno, M.SP selaku Sekretaris Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum Selaku dosen Penasehat akademik. Terimakasih telah bersedia dan sangat banyak meluangkan waktu, memberikan ilmu dan nasehat serta saran-saran selama dalam bimbingan akademik mulai dari awal musuk kuliah hingga akhir kuliah.
5. Kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis sayangi, sangat penulis cintai, dan penulis banggakan ayahanda Taib Saragih dan Ibunda Siti Amini. Terima kasih banyak karena telah mendidik penulis dari kecil hingga duduk di bangku perkuliahan, terima kasih juga atas dukungan doa, semangat, kesabaran, motivasi, dan materi yang telah diberikan kepada penulis, terlebih kasih sayangnya selama ini. Penulis sangat bangga memiliki orang tua seperti mama dan ayah yang telah begitu gigih memperjuangkan kami anak-anaknya.
vii 7. Keponakanku Calista terimakasih atas tawa yang diberikan. Sekali lagi
penulis mengucapkan rasa syukur yang Allah SWT berikan atas nikmat yang telah diberikan kepada hamba
8. Kepada teman-teman organisasi UKMI As-Siyasah FISIP USU Jefri Wanda, Aulia, Pendi, Murdani, Ahmad Terimakasih banyak untuk waktu, tawa dan tangis yang ada dalam persahabatan kita.
9. Kepada teman-teman sesame penerima beastudi etos Ardi, Ramadhan, Eko, Joko, Thamrin, Azan, Hadi, Ramlan, dan Fauzi terima kasih atas hubungan persahabatan yang telah kita jalani bersama.
10.Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada kerabat- kerabat penulis stambuk 2011 terkhusus kepada Muhammad Rifai, Denny Pratama Putra, Sri Mauliani, Richa Meliza, Rama Shita Husna, Rini Rezeki Utami, Suci Wulandari, Laila Ulfa, Novi Putri, Citra Hareva, dan juga kerabat-kerabat lain stanbuk 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas hubungan persahabatan yang selama ini telah kita jalani bersama dengan baik di Departemen Antropologi Sosial. 11.Kepada abang dan kakak stambuk 2009/2010 yang tidak dapat saya
viii dapat saya sebutkan satu persatu tetap semangat, terimakasih atas segalanya.
12.Informan-informan Bapak Basri, Pak Eko selaku pedagang kaki lima, Bapak M Sofyan, S.Sos selaku SatPol PP Kota Medan, Bapak Rushendi selaku kepala Bidang Operasi dan pembinaan satuan polisi pamong praja serta yang laim-lain atas kerjasamanya dalam membantu penulis di lapangangan.
Terimakasih banyak semuanya. Kiranya Allah SWT senantiasa membalas kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis.
Medan, Oktober 2015
Penulis
ix RIWAYAT HIDUP
AsrulWijayaSaragih, lahir di
Simalungunpadatanggal 27 Juli 1993 daripasanganTaibSaragihdanSitiAmini. Merupakan anak
ke 2 dari 4 bersaudara. Saat ini aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) As-Siyasah FISIP USU, Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah Universitas Sumatera Utara, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam (KAMMI) Komisariat Merah Putih Universitas Sumatera Utara.
Penulis telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 096466 Pematang Gajing, Simalungun. Melanjutkan Madrasah Tsanawiyah Negeri Siantar, Simalungun. Selanjutnya menempuh Madrasah Aliyah Negeri Kota Pematangsiantar.
Pada saat ini melanjutkan pendidikan di PerguruanTinggi. Pada perguruan tinggi mengambil program studi Antropologi Sosial di Universitas Sumatera Utara. Penulis ikut aktif dalam organisasi Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Se Indonesia, Ikatan Keluarga Alumni Beastudi Indonesia, dan Forum Negarawan Muda Indonesia. Alamat E-mail aktif
x Selama perkuliahan pernah mengikuti kegiatan:
1. Pra Dauroh Marhalah I Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Merah Putih Universitas Sumatera Utara di Kota Medan Tahun 2011. 2. Pra Dauroh Marhalah II Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Komisariat Merah Putih Universitas Sumatera Utara di Tanjung Morawa Deli Serdang Tahun 2011.
3. Dauroh Marhalah I Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Merah Putih Universitas Sumatera Utara di Bapemas Sumatera Utara Tahun 2011.
4. Pra Siaga Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) As-Siyasah FISIP USU Tahun 2011.
5. Siaga I Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) As-Siyasah FISIP USU Tahun 2011.
6. Peserta dalam Kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru Antropologi 2011 di Sibolangit Deli Serdang.
7. Peserta Training Motivasi dan Seminar Beasiswa di Fakultas FISIP USU Tahun 2012.
8. Siaga II Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) As-Siyasah FISIP USU Tahun 2012.
xi 10.Penerima Beasiswa BNI yang diberikan pada Tahun 2012.
11.Terjang III Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU Tahun 2013.
12.Peserta Temu Beastudi Etos Nasional dan Deklarasi Forum Negarawan Muda Indonesia di Bogor-Jakarta Tahun 2013.
13.Panitia pelaksana Kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru Antropologi Tahun 2013 di Prapat Simalungun.
14.Peserta Seminar lokakarya yang diadakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional dan Universitas Sumatera Utara di Medan Tahun 2013.
15.Peserta Training of Facilitator (TOF) Tingkat Dasar Angkatan Ke IV oleh Departemen Antropologi Sosial Universitas Utara di Medan Tahun 2013.
16.Peserta Seminar “Pengetasan Kemiskinan Melalui Peningkatan Keterampilan Berbasis Potensi Alam Lokal di FISIP USU 2014.
17.Peserta pada acara Perkenalan Pusat Studi ASEAN USU dan Sosialisasi Komunitas ASEAN Tahun 2015 di Medan.
18.Peserta Seminar Nasional “Islam dan Stigam Teroris” 28 Mei 2015 di Medan, Sumatera Utara.
xii DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan
Halaman
Pernyataan Originalitas ... i
Abstrak ... ii
1.2.1. Pengertian Sektor Informal ... 9
1.2.2. Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan ... 11
1.2.3. Pedagang Kaki Lima ... 13
1.2.3.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima ... 13
1.2.3.2. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima ... 15
1.2.3.3. Bentuk Sarana Perdagangan dari Pedagang Kaki Lima ... 16
1.2.4. Resistensi 1.2.4.1. Pengertian Resistensi ... 18
1.2.4.2. Bentuk Resistensi ... 20
1.6.3.2. Pengamatan (observation)... 30
1.6.3.3. Wawancara Mendalam (dept interview) ... 31
xiii
1.6.4. Analisis Data ... 44
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 46
2.5. Gambaran Umum Kelurahan Padang Bulan ... 64
2.5.1 Jumlah Penduduk ... 65
2.5.2. Mata Pencaharian ... 65
2.5.3. Tipologi Kelurahan ... 65
2.6. Gambaran Umum Jalan Dr.Mansyur Kota Medan ... 66
2.6.1. Sejarah Jalan Dr. Mansyur ... 67
2.6.2. Jalan Dr.Mansyur Sebagai Salah Satu Wisata Kuliner .. 68
2.6.2. Jalan Dr Mansyur Sebagai Salah Satu Tempat Berdagang Pedagang Kaki Lima (PKL)……... 69
BAB III PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI JALAN DR. MANSYUR DALAM KAJIAN KEMAJEMUKAN HUKUM 3.1. Praktik Penerapan Hukum Larangan Berjualan di Badan
xiv BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 107 5.2. Saran... 108 DAFTAR PUSTAKA
xv DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Di Kota Medan 55 Tahun 2005-2009
xvi DAFTAR GAMBAR
Tabel Judul Halaman
1. Peta Lokasi Kecamatan di kota Medan 48
ii ABSTRAK
Asrul Wijaya Saragih, 2015. Judul Skripsi: “Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur. Skripsi. Program Sarjana Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu pengaturan dan penertiban di Jalan Dr.Mansyur dari pedagang kaki lima yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 31 Tahun 1993 masih mendapat perlawanan dari pedagang kaki lima. Perlawanan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dr.Mansyur terhadap Peraturan Daerah tersebut disebut sebagai resistensi pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dr.Mansyur. Resistensi ini ditunjukkan masih banyaknya pedagang yang berjualan di sepanjang Jalan Dr.Mansyur meskipun sudah dilarang.
Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis (1) bentuk dari resistensi pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang Jalan Dr.Mansyur Medan; dan (2) aspek-aspek yang menyebabkan resistensi pedagang kaki lima untuk terus berdagang di sepanjang Jalan Dr. Mansyur Medan.
Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dari 15 pedagang kaki lima yang dipilih secara purposive (sengaja). Dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus berfungsi sebagai instrumentutama (key instrument) yang terjun ke lapangan serta berusaha untuk mengumpulkandata melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ketiga teknik inidigunakan secara bertahap, terintegritas atau dapat dilaksanakan pada saat wawancaradan observasi yang dilakukan secara bersamaan.
Hasil penelitian menunjukkan (1) bentuk resistensi yang digunakan pedagang kaki lima di sepanjang Jalan Dr.Mansyur yaitu resistensi secara terbuka, secara terselubung dan negosiasi. Resistensi secara terbuka dilakukan dengan melakukan perlawanan secara langsung terhadap petugas, ataupun aparatur pemerintah dengan jalan mengumpat dan sampai bertengkar dengan para Satpol PP. Resistensi terselubung dilakukan dengan melakukan upaya-upaya secara tidak langsung dengan harapan tidak diketahui oleh aparat pemerintah; dan (2) resistensi yang dilakukan para pedagang kaki lima, tidak semata-mata tanpa ada alasan. Ada aspek-aspek khusus yang meliputi aspek ketidakpuasan terhadap Perda Nomor 31 Tahun 1993, aspek tuntutan kehidupan dan aspek budaya (gotong royong, bekerja sama dalam bentuk solidaritas antar sesama pedagang kaki lima), yang memotivasi mereka untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada
pembangunan perkotaan.1
Pedagang kakilima adalah salah satu pekerjaan sektor
informal. PudjioSantoso (2012) mengatakan “keberadaan pedagang kaki lima di
perkotaan acapkali dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilihat sebagai
penunjang sektor riil di perkotaan yang tahan terhadap badai krisis ekonomi yang
pernah melanda negara Indonesia di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun
2008”. Sektor informal, khususnya pedagang kaki lima dianggap membawa masalah
bagi wilayah perkotaan terutama persoalan klasik, yakni keindahan kota,
mengganggu ketertiban, mendatangkan kekumuhan serta mengganggu ketertiban lalu
lintas.2
Beberapa kota besar seperti Kota Medan misalnya, menerapkan aturan
penataan wilayah perkotaan yang cenderung kurang memperhatikan nasib pedagang
kakilima. Penggusuran demi terciptanya kota Medan yang indah, nyaman dan
terbebas dari kemacetan lalu lintas acapkali menjadi alasan utama tanpa memberikan
1
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain ditandai dengan : mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil , padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif. (Kompas, 15/04/2006)
2
Pudjio Santoso, “Pembentukan Paguyuban PKL sebagai bentuk negosiasi terhadap kebijakan
2
ruang yang layak sebagai penggantinya. Penggusuran pedagang kakilima di pasar
Titi Gantung jalan Stasiun di Kota Medan merupakan salah satu bukti
ketidakberdayaan sektor informal berhadapan dengan negara.Padahal sektor informal
mempunyai fungsi sebagai penampung gejolak sosial (holding tank) dan urbanisasi
prematur, namun keberadaanya sering tergusur oleh pembangunan.3
Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan.Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi.Kedua, tujuan resistensi agar ada
Tindakan penertiban merupakan salah satu sumber terjadinya konflik antara
pedagang kakilima dengan aparat pemerintah. Hal ini terjadi karena ada suatu bentuk
resistensi pedagang kakilima terhadap aparat pemerintah. Sudarmawan juwono
(2009) misalnya, menyebutkan aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat
moral namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya.Resistensi
adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para pedagang kaki lima melakukan
resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karena terpaksa untuk
mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para pedagang kakilima ini,
merupakan perjuangan yang biasa namun dilakukan terus menerus. Sudarmawan
Juwono (2009) juga menambahkan bahwa hal yang menarik dari konsep Scott ini
adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif.
3
3
reaksi dari pihak yang dilawan.Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat “ frontal “ maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur.
Pudjio Santoso (2012) menegaskan meningkatnya jumlah mereka yang
bekerja di sektor informal tidak terlepas dari kecenderungan pembangunan yang lebih
fokus ke perkotaan dari pada pedesaan, sehingga kesempatan kerja di pedesaan makin
sempit.Sektor informal dipandang sebagai alternatif pilihan yang menguntungkan
bagi pendatang yang berpenghasilan rendah agar dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya.
Sejak akhir tahun 1980-an, tema resistensi atau perlawanan menjadi tema
penting dan menarik untuk penelitian. Tema ini menjadi trend sebab menelaah
kasus-kasus yang gampang diamati serta bersifat empiris.Analisisnya banyak melihat
hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema
pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya.Resistensi dianggap
berciri kultural sebab muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat.4
Untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah-tengah maraknya penggusuran
yang dilakukan aparat pemerintahan kota, maka para pekerja sektor informal
4
4
khususnya pedagang kaki lima harus pandai melakukan berbagai strategi. Selama ini
yang sering dilakukan para pedagang kakilima adalah strategi “balik kucing”5
Istilah permainan tradisional jawa yang dimainkan anak-anak secara bersembunyi-sembunyi. , yakni
menghilang ketika mendengar akan dilakukan penertiban dan kembali lagi pada saat
situasi telah “tenang” seperti di jalan Dr. Mansyur depan kampus USU Medan.
Penelitian ini mengkaji resistensi sebagai suatu perlawanan para pedagang
kakilima terhadap para pengambil kebijakan yaitu pemerintah melalui Satuan Polisi
Pamong Praja dan pihak terkait, yang dianggap sewenang-wenang dan merugikan
pedagang kakilima khususnya. Kalau kita mengingat bahwa keberanian dalam
berbagai bentuk perlawanan sangat terlihat sejak reformasi digulirkan pada akhir
tahun 1997, maka demokratisasi mulai dijunjung tinggi, karena adanya keberanian
warga masyarakat untuk menolak kebijakan yang tidak memihak mereka.
Pada era zaman modern ini, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di
kota-kota besar merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat yang
akhir-akhir ini banyak terdapat fenomena penggusuran terhadap pedagang kaki lima yang
marak terjadi. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk kesempatan
kerja sektor informal yang dianggap sebagai pedagang kecil yang mempunyai
peranan. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu fenomena kegiatan
perekonomian rakyat kecil, yang dimana mereka berdagang hanya untuk memenuhi
5
Masalah pedagang kakilima tidak kunjung selesai di setiap daerah di
Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada
solusi yang tepat dalam pelaksanaannya, ini dibuktikan dengan masih banyaknya
pedagang kaki lima dibeberapa tempat di daerah. Herwanto (2012) menyebutkan
bahwa perekonomian Pemerintah kota Surabaya pada tahun 2009 jumlah pedagang
kakilima kurang lebih sebanyak 75.000 PKL. Sementara itu daya tampung kota
Surabaya hanya sekitar 10.000 PKL, hal ini berarti Bahwa di Surabaya telah terjadi
kelebihan PKL Tujuh kali Lipat.
Keberadaan pedagang kaki lima kerap dianggap illegal karena menempati
ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan
aspek-aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan. Oleh karena itu pedagang
kakilima seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah seperti
penggusuran dan relokasi. Dimana kita ketahui bersama apabila kebijakan-kebijakan
sudah dibuat maka ada sumber hukum yang berlaku. Menurut Bronislaw Malinowski,
semua masyarakat memiliki hukum sebagai pengendali sosial. Hukum inilah yang
digunakan masyarakat sebagai alat untuk menciptakan keamanan dalam kehidupan
bermasyarakat.6
5K yaitu ketertiban, keamanan, keindahan, kebersihan, dan kenyamanan
menjadi barometer citra kota. Itulah sebabnya, kemudian para pengambil kebijakan
6
6
terobsesi untuk mewujudkannya, karena sekaligus untuk membuktikan kemampuanya
mengelolah kota. Sedangkan dipihak lain, kebanyakan para pedagang kakilima
dengan segala atribut yang serba sangat sederhana itu tidak mau tahu bahwa
keberadaanya itu menimbulkan orang lain tidak nyaman, terganggu, risih, malu, citra
kumuh, jorok yang penting dapat berusaha dan mendapatkan keuntungan.
Pada dasarnya penulis melihat pedagang kakilima itu bersifat ambigu atau
ambivalen, artinya bahwa disatu aspek keberadaan pedagang kakilima harus diakui
sebagai mata pencaharian yang dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang
sangat basar tanpa menuntut kualifikasi tertentu. Artinya untuk bekerja sebagai
pedagang kakilima tidak menuntut syarat formal termasuk pendidikan, sehingga
warga yang tidak sekolah sampai lulus perguruan tinggi sekalipun dapat memasuki
lapangan pekerjaan ini. Dalam situasi yang seperti ini maka akan adanya peran sektor
informal yang secara langsung atau tidak membantu penciptaan kesejahteraan
penduduk karena memberikan pekerjaan dan penghasilan demi kelangsungan hidup
keluarganya.
Coba kita bayangkan jumlah pedagang kakilima yang besar ini tidak memiliki
pekerjaan sama sekali atau sebagai penganggur, maka berbagai permasalahan sosial
dapat dipastikan akan lebih banyak. Sedangkan dari aspek yang lain, eksistensi
pedagang kaki lima yang semakin banyak sering dituduh sebagai biang terjadinya
berbagai masalah sosial. Hal ini karena disamping jumlah pedagang kakilima yang
7
para pedagang kakilima adalah tepi jalan yang ramai dilewati orang. Oleh karena itu
tidak jarang kita jumpai para pedagang kakilima, sehingga di jalan jalan tersebut
cenderung mengganggu lalu lintas/ macet, merusak keindahan, dan ketertiban.
Kawasan demikian ini diantaranya adalah jalan Dr.Mansyur, jalan Jamin Ginting,
jalan Setia Budi dan sebagainya.
Keadaan sosial dijalan Dr.Mansyur yang dianggap pedagang kakilima tempat
yang strategis untuk berjualan. Tempat tersebut merupakan jalan utama dari fasilitas
umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional tidak pernah
sepi dari para pedagang kakilima. Ketika keberadaan pedagang kakilima dirasakan
benar-benar menjadi masalah sosial, maka pada umumnya para pengambil kebijakan
baru berusaha untuk mengatasinya, dan bukannya telah ada antisipasi usaha untuk
mencegah sebelum pedagang kakilima menjadi masalah. Seperti halnya pemerintah
kota Medan, baru pada tahun 2009 mempunyai peraturan Wali Kota Medan Nomor 9
Tahun 2009, sebagai rujukan tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan
dan Trotoar.
Keyakinan saya bahwa kehadiran pedagang kakilima didasarkan pada jumlah
pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang
tersedia disektor formal. Maka sektor informal khususnya pedagang kakilima
merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Di samping adanya orang-orang
yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan
8
sektor formal. Menurut Clifford Geerz pasar tradisional merupakan suatu lembaga
tradisional dan suatu cara hidup, suatu bentuk umum kegiatan perdagangan yang
mencakup semua segi kehidupan masyarkat disamping merupakan suatu alam
kebudayaan masyarakat yang hampir-hampir saja merupakan suatu kebulatan yang
lengkap (M. Tri Panca, 2011:25).
Penataan yang dilakukan para pengambil kebijakan pada umumnya
menggunakan beberapa cara. Pertama, melakukan penggusuran tanpa harus
menyediakan tempat sebagai pengganti agar tetap berjualan. Dengan demikian ini
sudah semestinya pihak pemerintah akan keluar sebagai pemenangnya, walaupun di
atas penderitaan para pedagang kakilima. Kedua, ada juga dengan menggunakan cara
merelokasi ke tempat lain yang telah disediakan itu bukan tempat yang strategis,
sehingga kemunkinan besar akan mendapat penolakan dari para pedagang kakilima.
Memang merupakan problem tersendiri bagi pemerintah kota untuk
menyediakan lahan yang strategis usahanya para pedagang kakilima karena
terbatasnya lahan tersedia. Dua cara tersebut bukanlah merupakan program yang
populer, karena disamping prosesnya cenderung represif dan arogan yang juga tidak
mau mendengarkan keluh kesah para pedagang kakilima. Hal ini biasanya didasari
adanya anggapan bahwa pedagang kakilima merupakan “penyakit” yang harus
dihilangkan. Anggapan demikian ini tidaklah keliru, karena disatu pihak di kota-kota
besar seperti kota Medan, lahan ditempat strategis bukan saja mahal harganya, juga
9
diharapkan oleh para pedagang kakilima atas kebijakan pemerintah kota adalah
penataan tempat yang sama, hanya saja dibuatkan fasilitas yang seragam, bersih
teratur atau rapi, dan tidak menganggu lalu lintas walaupun terkadang dalam ukuran
yang sedikit lebih kecil.
Dalam hal kasus seperti ini, merupakan masalah yang sangat kompleks karena
akan menghadapi sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan
kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat diantara keduanya. Melihat kondisi
seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan
masyarakat.Geertz (1973) mengatakan, antropologi tampaknya harus berada di
tengah-tengah karena posisinya tidak melulu pemekiran teori, melainkan lapangan
empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata.
1.2. Tinjauan Pustaka
1.2.1. Pengertian Sektor Informal
Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1991) dengan
menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di
pasar tenaga yang terorganisasi.7
7
Eko Digdoyo, “Analisa Sektor Informal di
Perkotaan,”www.lemlit.uhamka.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=36&judul=anali sa-usaha-sektor-informal-di- perkotaan.html ( akses 10 April 2015)
Agar tetap dapat bertahan hidup ( survive ), para
migran yang tinggal dikota melakukan aktifitas-aktifitas informal (baik yang sah dan
10
pertimbangan daripada menjadi pengangguran yang tidak memiliki penghasilan atau
memiliki penghasilan tetapi rendah dan tidak tetap.
Beberapa jenis “pekerjaan” yang termasuk di dalam sektor informal, salah
satunya adalah pedagang kaki lima, seperti warung nasi, penjual rokok, penjual koran
dan majalah, penjual makanan kecil dan minuman, dan lain-lainnya. Mereka dapat
dijumpai di pinggir-pinggir jalan di pusat-pusat kota yang ramai akan pengunjung.
Mereka menyediakan barang-barang kebutuhan bagi golongan ekonomi menengah ke
bawah dengan harga yang dijangkau oleh golongan tersebut.Tetapi, tidak jarang
mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas juga ikut menyerbu sektor informal.
Dengan demikian, sektor informal memiliki peranan penting dalam
memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan, karena sektor informal
mampu menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup
signifikan sehingga mengurangi problem pengangguran diperkotaan dan
meningkatkan penghasilan kaum miskin diperkotaan. Selain itu, sektor informal
memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintahan kota.
Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang
baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak
11
menjadi Public Space8
Seperti diketahui selama ini, studi kebijakan kebanyakan menerima input dari
ilmu politik, administrasi publik, kebijakan sosial, kajian organisasi, hubungan
internasional dan sebagainya. Antropologi sendiri baru belakangan ini diakui oleh
. Trotoar yang digunakan untuk berjualan dapat mengganggu
para pejalan kaki, seringkali kehadiran pedagang kaki lima tersebut mengganggu arus
lalu lintas karena para konsumen pengguna jasa memarkirkan kendaraannya dipinggir
jalan. Ketidakteraturan tersebut mengakibatkan Public Space kelihatan kumuh
sehingga tidak nyaman lagi untuk bersantai ataupun berkomunikasi.
Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari
pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam
mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena
setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian
mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada
kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan,
padahal mereka berjualan dilokasi Public Space yang merupakan milik
pemerintah.Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.
1.2.2. Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan
8
12
banyak penulis memberi input terhadap kajian kebijakan.9Selama ini, walaupun de
facto antropologi kebijakan telah ada, tapi identitasnya sebagai antropologi kebijakan
tidak begitu jelas (lacking a clear identity); malahan sering disebut dengan sesuatu
yang lain, atau tidak langsung disebut dengan antropologi kebijakan.10
“Michael Hardt dan A. Negri (2004) dalam bukunya yang berjudul
War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentukresistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentukorganisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi munculdari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksimembentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melaluikelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelasatas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat Fikarwin Zuska (2005) mengatakan “bahwa kebijakan (policy) itu sebenarnya
tidak bisa dipisahkan dari pada isu kekuasaan. Dalam hal ini kebijakan dapat
diartikan dengan cara bagaimana pemerintah memainkan kekuasaan melalui
kebijakan-kebijakan. Kalau kita melihat kebijakan maka seringkali dikaitkan dengan
pemerintah sebagai alat atau instrument.Padahal kita ketahui bersama bahwa
pemerintah memainkan kekuasaannya yang terdapat di dalam relasi-relasi antara
pemerintah dan individu-individu (Fikarwin, 2005).
9
Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1
10
13
perekonomiannya,secara implisit menjelaskan posisinya dalam struktur organisasi produksimasyarakat.”
1.2.3. Pedagang Kaki Lima
1.2.3.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima
Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masing-masing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Menurut Effendi (1992, dalam Novita, 2014: 18) Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota. Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para urban/pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan.
14 pedagang kaki lima, maka pedagang kaki lima menggunakan ruang publik, seperti badan jalan, trotoar, taman kota, di atas saluran drainase, kawasan tepi sungai untuk melakukan aktivitasnya. Penggunaan ruang publik tersebut biasanya terjadi di tempat-tempat strategis seperti diantara aktivitas formal kota.
Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya diberbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (Novita, 2014: 18-19).
Istilah pedagang kaki lima berasal dari jaman pemerintahan Rafles Gubernur jenderal Kolonial belanda yaitu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan penjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Widjajanti, 2000: 26).
15 diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad (2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.
Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti berpendapat bahwa pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal.
1.2.3.2. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima
16 barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu:
1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnyamakanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.
2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan jugaminuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil, hingga kartu paket internet.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang tambal ban, stiker, dan mobil mencari sewa.
1.2.3.3. Bentuk Sarana Perdagangan dari Pedagang Kaki Lima
Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014: 23-24) di kota-kota di Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL. Menurut Novita ( 2014), adalah sebagai berikut:
17 permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok.
2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. 3. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang
diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman.
4. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).
5. Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.
18 dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semistatic). Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan barang kelontong dan makanan.
1.2.4. Resistensi
1.2.4.1. Pengertian Resistensi
Resistensi berarti perlawanan. Resistensi (perlawanan) sebenarnya merupakan tindakan dilakukan oleh masyarakat lemah yang berada pada struktur bawah terhadap pihak kuat yang berada pada struktur atas/penguasa. Hubungan di antara satu pihak yang lemah (masyarakat) dan pihak yang lain yang kuat (penguasa) menurut Bernard dan Spencer (2005, dalam Novita, 2014: 22) sesungguhnya berada pada suatu hubungan kekuasaan yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri terhadap kelas-kelas atasan ini. Konsep resistensi yang dipakai Scoot (2003) adalah resistensi sehari-hari (every day forms of resistance), yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus-menerus.
19 menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada alternatif yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan.
Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bahwa berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentu-kbentuk resistensinya tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal reisistensi yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitanyya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama resistensinya tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat terhadap penguasa.
Menurut Scott (2003: 302) bentuk resistensi ini muncul karena masyarakat pedagang kaki lima tidak berprestasi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem yang berlaku yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Tujuan bentuk resistensi tertutup ini menurut Bloch (dalam Novita 2014: 23) adalah untuk mengurangi eksploitasi atas diri mereka. Kedua, semi-terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaimkepada pihak yang berwenang.
20 sistematis dan berprinsip. Menurut Scott (2003: 306), resistensi terbuka ini mempunyai dampakdampak yang revolusioner. Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.
Dengan demikian, resistensi merupakan konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan sub altern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi pengetahuan atau kekuasaan (Hujanikajenong,2006:176).
1.2.4.2. Bentuk Resistensi
Menurut James Scott (199, dalam M. Tri, 2014: 28-29) dalam studinya
weapons of the week: Everyday Form of peasant Resistance tentang resistensi petani
di Malaysia. Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai
bentuk-bentuk resistensi yang di pakai petani.Terlebih pada bentuk perlawanan
diantara kelompok sosial dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, scott
mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku
masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial
kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuatkan 3 level
21
a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada
petani namun hal itu jauh dari kerangka sosial yang diharapkan dari para
petani.
b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma
dalam kehidupan masyarakat sekitar, dan yang terakhir.
c. Terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari
masing-masing individu.11
Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka,
dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan
negara dan agen perusahaan ekonomi.Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik
rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan menghindar,
mengidentifikasikan dengan menyeret kaki mereka (foot-draging evasions) dan pasif,
dari pada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka (open rejection or
struggle).12
Terjadinya Kasus Bentrokan mewarnai penertiban pedagang kakilima (K-5) di
Jalan Gatot Subroto, mulai persimpangan Jalan Nibung Raya sampai persimpangan
Jalan Iskandar Muda Kamis 20 Maret 2015. Tim gabungan yang dipimpin Kasatpol Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawan tersebut kurang efektif,
tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin
tergabung kedalam pola produk kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.
11
John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 316
12
22
PP Kota Medan M Sofian sempat adu jotos dengan sejumlah pedagang yang berusaha
mempertahankan dagangannya agar tidak diangkut.13
Terjadinya kasus pemblokiran
jalan yang dilakukan pedagang Pusat Pasar Sambu kawasan perempatan Jl
Sutomo-H.M Yamin dan Jl Perintis Kemerdekaan, Senin 6 April 2015.Aksi ini merupakan
bentuk protes mereka terkait kebijakan Pemerintah Kota
aktivitas perdagangan di pasar tradisional di Sambu ke Pasar Induk Tuntungan.14
“Akibat kehadiran para pedagang kaki lima, tempat itu sulit untuk dilalui kenderaan dan rumah maupun tempat usaha warga pun tertutup. “Sebelum penertiban ini, kita telah melakukan sosialisasi agar tidak berjualan di tempat itu.Selain sosialisasi Pak Wali juga telah menawarkan relokasi di Jalan Kota Baru III.Mereka tinggal berjualan, sebab seluruh fasilitas telah disediakan.pihaknya tidak akan mentolerir jika para pedagang kembali berjualan di kawasan tersebut. “Saya minta itu tidak dilakukan para pedagang lagi, sebab tempat itu akan dijadikan lokasi parkir.Apabila ini dilanggar, maka kita akan kembali melakukan penertiban.”
Analisa (20 Maret 2015) melansir ucapan Kasatpol PP Kota Medan yang
mengatakan penertiban ini dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan
itu sebagai lokasi parkir kenderaan.
15
Disamping itu, kasus Puluhan massa pedagang Jalan Akik Sukaramai
berunjukrasa di depan Kantor DPRD Kota Medan, Rabu 8 April 2015. Mereka
berorasi menolak rencana penggusuran mereka dari jalan tersebut. Tribun Medan
13“Diwarnai Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015.
14
“Tak Terima Dipindahkan, Pedagang Sambu Blokir Jalan,”Tribun Medan , 6 April 2015 hal 2.
15
23
melansir surat pernyataan yang mereka bagikan, para pedagang menyatakan tak akan
mau direlokasi dari jalan tersebut:
"Kebijakan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, yang mengatasnamakan pembangunan seringkali kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.Begitu pula rencana pemerintah yang ingin menggusur Pasar Akik," ujar Koordinator Aksi, Abdi Rahman Sihombing."Wali kota dan DPRD Kota Medan tidak pernah mendengarkan sedikitpun aspirasi pedagang. Hanya mendengar pihak yang sama sekali tidak punya kepentingan di Pajak Akik." Alasan yang disampaikan Pemko Medan, bahwa pedagang di Pasar Akik menjadi biang masalah atas merosotnya omzet pedagang Pasar Sukaramai, kata Abdi, merupakan tudingan kambing hitam. "Padahal yang terjadi adalah kesalahan PD Pasar mengelola Pasar Sukaramai yang tidak memikirkan kelayakan berjualan, tanpa melibatkan pedagang dalam menetapkan tata kelola yang baik," 16
Common Sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu di kaitkan
dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik
pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik17. Bagi James Scott justru strategi
perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everydayforms of
resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang
untuk melakukan perlawanan18
Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal
yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, .
16
“Pedagang di Jalan Akik Tolak Relokasi,”Tribun Medan , 8 April 2015 hal 2.
17
M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 7.
18
24
umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung
bersambut dalam keilmuan sosial.19
Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang
dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan
antropologi saat itu.20
Ketika kondisi dalam satu tempat atau dalam sekelompok masyarakat hukum
formal dan hukum non formal berdampingan maka kondisi tersebut dapat
menimbulkan sebuah arena sosial.Dimana dalam arena Sosial tersebut ada aktor-aktor
yang terlibat dan menjalankan peranan khusus dalam kondisi tersebut.Penelitian Sally
Folk Moore
Pedagang kakilima merupakan salah satu bagian pekerjaan di
sektor informal yang sangat penting khususnya di daerah perkotaan di negara-negara
berkembang. Bahkan dianggap sebagian kalangan sebagai katup penyelamat (safety
valve) krisis keuangan dan finansial yang dialami bangsa indonesia sejak tahun 1998.
21
Antropologi hukum berpegang pada anggapan bahwa manusia hidup
bermasyarakat pasti ada hukum, jadi baik di zaman dahulu hingga sekarang hukum dalam menjelaskan kewajiban antara sesama secara hukum dan non
hukum dalam industri pakaian gaun mahal mengatakan ada aktor-aktor sebagai
pelaku dalam menjalankan aturan yang berlaku.
19
Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html
20
M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 28.
21
25
selalu ada dalam masyarakat. Hukum tersebut mengikuti pola kehidupan manusia
bermasyarakat, baik ia berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis (hukum adat). Tidak
ada manusia hidup tanpa budaya, tidak ada manusia tanpa kepentingan, dan juga
tidak ada manusia tanpa hukum (aturan).22
Tetapi saat ini istilah Pedagang kaki lima juga digunakan untuk pedagang di
jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial
belanda. Sebab pada waktu itu Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa setiap jalan
raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas
untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter. Namun dalam
kenyataannya, ruas jalan yang seharusnya dipergunakan untuk pejalan kaki ternyata Kakilima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah
pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya
menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau
dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang
tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan
miliknya. Pedagang kakilima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang
menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya
ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki
“Gerobak”.
22
26
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dulu sebutannya pedagang
emperan, lama kelamaan berubah menjadi pedagang kakilima.
Karakteristik Pedagang kakilima sama seperti pekerja-pekerja sektor informal
lainnya, yakni modal kecil, keterlibatan anggota keluarga/kerabat, waktu kerja yang
tak teratur serta tidak adanya pencatatan yang jelas mengenai keluar masuknya
keuangan. Salah satu informan yang bernama Bambang (54 tahun) PKL penjual
bakso mengatakan:
“Pertamakali aku jualan ini modalnya cuma limaratus ribu, sekarang ini penghasilanku bisa sampai dua juta sebulan bersih. Sedangkan waktu jualan ya gak mesti, kalau capek ya istirahat dulu, tapi biasanya yang kerja gantikan aku ya keluarga, kalau gak istri, anak-anak ya ponakan. Kalau soal keluar masuknya uang ya gak sampai dicatat secara teliti.Paling-paling berapa dapetnya hari ini, berapa perlunya untuk belanja bahan, ya gitu aja.”23
Berdasarkan keterangan pak Bambang tersebut tampak bahwa bekerja sebagai
pedagang kakilima memang tidak membutuhkan modal yang besar, di samping itu
juga tidak perlu pendidikan serta keterampilan yang khusus, karena istrinya yang
lulus SMP saja sudah bisa menjalankan usahanya.
1.3. Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah perlawanan pedagang
kakilima terhadap peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan. Berdasarkan uraian latar belakang
23
27
masalah yang di kemukakan, maka yang manjadi pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah apabentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap
penggusuran dan relokasi?
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untukMengetahui bentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadappenggusuran
dan relokasi.
1.5. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang
antara lain adalah:
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai faktor dan
bentuk resistensi pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di jalan
Dr.Mansyur Kota Medan.
2. Sebagai bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai
syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Departemen Antropologi Sosial Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam melakukan
penertiban kepada para pedagang kaki lima.
4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam
28
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Suparlan menyatakan bahwa
penelitian kualitatif sama dengan penelitan etnografi yang pengumpulan bahan
keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta
berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan
dari sesuatu masyarakat, yang berdasarkan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat
deskripsi mengenai kebudayaan tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan
tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan dan
peristiwa yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kaca mata mereka yang
menjadi pelaku-pelakunya.
Bungin (2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian studi
kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai
situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat menjadi
objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri,
karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun
fenomena tertentu. Selain untuk mendiskripsikan dampak eksplorasi penambangan
emas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Kluckholn mengelompokkan unsur kebudayaan ke dalam tujuh unsur, yaitu.
29
2. Sistem mata pencaharian.
3. Sistem kemasyarakatan.
4. Bahasa.
5. Kesenian.
6. Sistem pengetahuan.
7. Sistem religi.
1.6.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Kota Medan, salah satu Kota metropolitan di
Indonesia yang merupkan ibukota Propinsi Sumatera Utara. Jalan Dr.Mansyur
tepatnya di sepanjang jalan di depan Kampus Universitas Sumatera Utara. Lokasi
tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa pedagang kakilima ditempat
tersebut masih saja berjualan, padahal pihak pemerintah sudah menghimbau untuk
tidak berjualan di sepanjang trotoar jalan Dr.Mansyur.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
1.6.3.1.Studi Kepustakaan
Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji berbagai
literature-literatur yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian
dengan fokus “strategi adaptif”. Studi mencakup buku-buku dan hasil penelitian yang
relevan dengan masalah penelitian, serta pencarian situs-situs internet yang berkaitan
30
1.6.3.2.Pengamatan (Observation)
Pengamatan24
• Observasi Tanpa berpartisipasi
ini dilakukan untuk melihat atau mengamati pristiwa-pristiwa
dan terlibat langsung dengan kondisi-kondisi yang terjadi pada saat melakukan
penelitian, seperti mengidentifikasi penggusuran dan relokasi Pemerintah Kota
Medan terhadap pedagang kaki lima. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini,
peneliti akan menggunakan dua teknik observasi, yaitu:
Dalam pengamatan ini si peneliti datang langsung ke pedagang kakilima guna
untuk melihat aktifitas yang dilakukan. Dengan observasi yang seperti ini peneliti
akan memperoleh data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada.
• Observasi berpartisipasi
Dalam hal ini si peneliti terlibat langsung dalam kegiatan pedagang kakilima
maupun pihak Satpol PP, si peneliti harus mengenal informan dengan baik. Dengan
begitu si penulis akan membina rapport (hubungan yang baik). Dengan rapport
tersebut si penulis mengharapkan keterbukaan dan tangan keterbukaan antara si
penulis dan pedagang kakilima dapat memenuhi data yang diperlukan.25
24
Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tindakan ataupun peristiwa) dengan cara mengamatinya. Peneliti akan menggunakan observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang segala tindakan, percakapan, tingkah laku dan semua hal yang akan di tangkap panca indra terhap apa saja yang dilakukan masyarakat yang diteliti dilapangan.
25
31
1.6.3.3.Wawancara Mendalam (depth interview)
Wawancara ini dimaksudkan untuk dapat menggali informasi dari informan
dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari penelitian ini,
wawancara dalam penelitian kali ini dimulai dari menjelaskan apa alasan seorang
informan menerima atau menolak penggusuran, lalu kemudian dari jawaban informan
inilah pertanyaan-pertanyaan berikutnya muncul. Dalam penelitian ini peneliti
sengaja tidak menggunakan pedoman wawancara (depth interview) dengan maksud
untuk menciptakan suasana yang santai dan nyaman menghindari ketegangan
informan pada saat melakukan wawancara atau dalam memberikan
informasi-informasi berkenaan data-data yang diperlukan dalam penelitian.
1.6.3.4. Pengalaman Singkat Penelitian
Di penghujung tahun 2014, seorang insan antropologi program sarjana antropologi Universitas Sumatera Utara mengayunkan langkah menemui pedagang kaki lima, menyusuri jalan Dr.Mansyur depan Kampus USU Medan, Sumatera Utara. Apa gerangan yang mendorong saya melakukan penelitian dijalan yang saya lewati menuju Kampus? Rasa ingin tahu yang besar tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima. Oleh karena itu, fenomena resistensi ini cukup menarik di tinjau dari persfektif antropologi karena terkait relasi antara aparat dan masyarakat yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang jalan Dr.Mansyur.
32 saja media masa tidak bisa bersih dari isu pedagang kaki lima. Pertanyaannya kenapa bisa terjadi?Bentuk resistensi apakah yang mereka lakukan?Itulah sekelimut pertanyaan yang muncul di benak saya sebagai calon antopolog. Dalam hal ini pedagang kaki lima merupakan persoalan yang saling terkait dengan persoalan sosial.
Sebelum melakukan penelitian, saya sudah sangat sering melintasi dan mengunjugi jalan Dr.Mansyur beberapa kali, pada saat itu hanya melintasi jalan saja untuk pergi dan pulang ke kampus. Suasana di jalan tersebut sangatlah ramai karena merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional yang tidak pernah sepi dari para pedagang kaki lima.
Saya tidak pernah terpikir untuk melakukan penelitian dijalan Dr.Mansyur, akan tetapi ketika saya lebih memperhatikan keadaan sepanjang jalan, saya mulai menyadari bahwa dibalik aktivitas pedagang kaki lima ada resistensi yang terjadi dari pihak lawan maupun yang dilawan. Akhirnya saya pun berniat untuk meneliti pedagang kaki lima dijalan Dr. Mansyur agar saya dapat mengetahui lebih dalam bentuk-bentuk resistensi pedagang kaki lima.
33 pertanyaan yang muncul dan terdorong oleh keingintahuan tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima dalam mempertahankan dagangannya dan sekaligus bentuk-bentuk resistensi melawan aparat.
Saat sekitar pukul 14.00 WIB keadaan jalan sudah ramai. Para para pedagang kaki lima sudah sibuk dengan kegiatan masing- masing. Awalnya penulis ragu untuk melakukan observasi. Penulis memperoleh informasi mengenai ruang lingkup kehidupan melalui informan. Sambil mengamati, penulis duduk di depan RS USU. Peneliti mengamati secara seksama di sepanjang jalan terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang melayani para pembeli. Sekitar satu jam setelah penulis duduk di depan areal RS USU saya berniat untuk kembali.
Awalnya penulis ragu mengenai kebenaran resistensi pedagang kaki lima di lokasi tersebut. Untuk memastikan kebenaran itu akhirnya penulis terjun ke lapangan dan menemui pedagang kaki lima. Pukul 17.00 WIB penulis duduk di kursi pembeli salah satu pedagang somay, sambil menikmati sepiring somay dan teh botol sosro. 15 menit setelah menikmati sepiring somay penulis memberanikan diri untuk bertanya kepada pak basri yang merupakan informan pertama saya. Setelah berkenalan penulis bertanya perihal kedatangan ke jalan Dr.Mansyur.
34 luas mengenai aktivitas para pedagang kaki lima di jalan Dr. Mansyur khususnya depan kampus USU Medan, selain itu, beliau sudah terlibat lama dengan lamanya menjadi pedagang kaki lima. Informasi-informasi yang penulis ingin dapatkan dari pak Basri adalah seputar pengalaman beliau menjadi pedagang kaki lima.
Setelah berbincang-bincang dengan Pak Basri kemudian menceritakan maksud kedatangan di tempat itu. Beliau mengangguk paham dengan penjelasan penulis bahkan beliau bersedia untuk membantu penulis apabila di perlukan. Untuk mempermudah saya berkomunikasi dengan beliau saya pun memberanikan diri untuk meminta no handphone beliau. Tanpa ragu bapak tersebut pun memberanikan diri untuk memberikan no handphonenya. Dengan datangnya beberapa pembeli sayapun mengakhiri pembicaraan agar Pak Basri bisa melayani para pembeli yang datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.11 WIB penulis pun meminta ijin untuk kembali.
35 “Jam 10.30 pagi, ketika tahun 2013, mendorong gerobag baksonya Pagi itu,
seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di depan fakultas
kedokteran bersebelahan dengan fakultas psikologi Jalan Dr.Mansyur. Pingir jalan
tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum banyak orang di sana.
Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk mengambil air, tiba-tiba
serombongan petugas operasi Satpol PP datang.Tanpa sepatah kata pun gerobag
yang penuh makanan itu didorong ke arah mobil operasi. “Saya hanya bisa diam,
tak mampu mempertahankan, selain memegang ember ini, “katanya. Teman-teman
lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya juga tampak hanya membisu
menyaksikan operasi tersebut. “Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana
menarik kembali gerobak yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong
saya tak ada uang sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Sayapun
memberanikan diri untuk menarik gerobag yang akan dibawa kearah mobil operasi,
karena saya tarik dengan sekuat tenaga petugas satpol pp pun melapaskan gerobag
tersebut, padahal operasi sebelumnya tidak ada yang seperti itu, ujarnya.”
36 Observasi yang dilakukan penulis hanya dengan seorang diri karena dilakukan pada siang dan sore hari.
Keesokan harinya penulispun melanjutkan penelitian bersama seorang teman bernama aulia rahman, penulis dapat mengamati sepanjang jalan secara seksama.Pada waktu itu, observasi dilakukan oleh penulis pada malam senin yang di mulai pada pukul 18.45 hingga jam 22.00 malam. Sebelumnya saya berjalan dari pintu IV, disana hanya terlihat beberapa pedagng saja dan tidak sebanyak pedagang-pedagang yang berada di pintu I, II, dan III.Sesampai pintu III USU saya mengunjungi salah satu pedagang, dan teman saya kembali memesan makanan. Selama menikmati makanan di depan pintu III, penulis memperhatikan sepanjang jalan pintu III sampai pintu II USU. Sepanjang jalan tersebut penulis melihat para pengunjung yang menikmat makanan dan minuman. Penulis bertanya dalam hati, tidak ada sesuatu aneh, pedagang seperti biasa menjajakan dagangannya seperti pedangang yang lain.
37 pada dasarnya pedagang kaki lima mempunyai sejumlah strategi untuk menyiasati petugas.
“Saya telah menjadi penjual siomay sejak tahun 2005. Dulu saya penjual
somay keliling dari kampung ke kampung,” ujar putra yang mengaku berasal dari
tapanuli sumatera utara. Dia terkenal dengan nama putra, dia sudah 10 tahun
menempati lokasi tersebut. Dia mempunyai gerobag somay yang ditempatkan
dijalan Dr.Mansyur depan kampus USU Medan.
“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang berani untuk melawan
agar para dagangannya tidak di angkut. Biasanya saya ya, langsung saya tolak
untuk di usir ”, katanya menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi
pamong praja, tetapi gerobagnya tidak pernah di tahan karena selalu berhasil
menghindar dari petugas.
38 Informan pak putra ,sekitar 30 tahun, tidak tamat SMP tetapi berhasil
menjadi pedagang kaki lima sejak 2008. Setiap ada aparat satpol pp melakukan
operasi penertiban kami harus membayar kepada beberapa oknum satpol pp sebesar
50.000 ribu dan penjual stiker itu 7000/ hari itu deq, makanya barang kami tidak
diangkat. Makanya ketika ada penertiban petugas yang datang hanya berdua bahkan
sendiri sebagai formalitas untuk menjalankan tugas, dan yang lainnya hanya duduk
di mobil patrol, ucapnya.
Gambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomena-fenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan terus mempertahankan usahanya sebagai pedagang kaki lima dan mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi tersebut dianggap berkait dalam mengembangkan keuntungan secara ekonomi.