• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter I Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Chapter I Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berdagang di Jalan Dr.Mansyur"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada

pembangunan perkotaan.1

Pedagang kakilima adalah salah satu pekerjaan sektor

informal. PudjioSantoso (2012) mengatakan “keberadaan pedagang kaki lima di

perkotaan acapkali dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilihat sebagai

penunjang sektor riil di perkotaan yang tahan terhadap badai krisis ekonomi yang

pernah melanda negara Indonesia di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun

2008”. Sektor informal, khususnya pedagang kaki lima dianggap membawa masalah

bagi wilayah perkotaan terutama persoalan klasik, yakni keindahan kota,

mengganggu ketertiban, mendatangkan kekumuhan serta mengganggu ketertiban lalu

lintas.2

Beberapa kota besar seperti Kota Medan misalnya, menerapkan aturan

penataan wilayah perkotaan yang cenderung kurang memperhatikan nasib pedagang

kakilima. Penggusuran demi terciptanya kota Medan yang indah, nyaman dan

terbebas dari kemacetan lalu lintas acapkali menjadi alasan utama tanpa memberikan

1

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain ditandai dengan : mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil , padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif. (Kompas, 15/04/2006)

2

Pudjio Santoso, “Pembentukan Paguyuban PKL sebagai bentuk negosiasi terhadap kebijakan

(2)

2 ruang yang layak sebagai penggantinya. Penggusuran pedagang kakilima di pasar

Titi Gantung jalan Stasiun di Kota Medan merupakan salah satu bukti

ketidakberdayaan sektor informal berhadapan dengan negara.Padahal sektor informal

mempunyai fungsi sebagai penampung gejolak sosial (holding tank) dan urbanisasi

prematur, namun keberadaanya sering tergusur oleh pembangunan.3

Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan.Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi.Kedua, tujuan resistensi agar ada

Tindakan penertiban merupakan salah satu sumber terjadinya konflik antara

pedagang kakilima dengan aparat pemerintah. Hal ini terjadi karena ada suatu bentuk

resistensi pedagang kakilima terhadap aparat pemerintah. Sudarmawan juwono

(2009) misalnya, menyebutkan aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat

moral namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya.Resistensi

adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para pedagang kaki lima melakukan

resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karena terpaksa untuk

mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para pedagang kakilima ini,

merupakan perjuangan yang biasa namun dilakukan terus menerus. Sudarmawan

Juwono (2009) juga menambahkan bahwa hal yang menarik dari konsep Scott ini

adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif.

3

(3)

3

reaksi dari pihak yang dilawan.Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat “ frontal “ maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur.

Pudjio Santoso (2012) menegaskan meningkatnya jumlah mereka yang

bekerja di sektor informal tidak terlepas dari kecenderungan pembangunan yang lebih

fokus ke perkotaan dari pada pedesaan, sehingga kesempatan kerja di pedesaan makin

sempit.Sektor informal dipandang sebagai alternatif pilihan yang menguntungkan

bagi pendatang yang berpenghasilan rendah agar dapat mencukupi kebutuhan

hidupnya.

Sejak akhir tahun 1980-an, tema resistensi atau perlawanan menjadi tema

penting dan menarik untuk penelitian. Tema ini menjadi trend sebab menelaah

kasus-kasus yang gampang diamati serta bersifat empiris.Analisisnya banyak melihat

hal-hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema

pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya.Resistensi dianggap

berciri kultural sebab muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat.4

Untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah-tengah maraknya penggusuran

yang dilakukan aparat pemerintahan kota, maka para pekerja sektor informal

4

(4)

4 khususnya pedagang kaki lima harus pandai melakukan berbagai strategi. Selama ini

yang sering dilakukan para pedagang kakilima adalah strategi “balik kucing”5

Istilah permainan tradisional jawa yang dimainkan anak-anak secara bersembunyi-sembunyi.

, yakni

menghilang ketika mendengar akan dilakukan penertiban dan kembali lagi pada saat

situasi telah “tenang” seperti di jalan Dr. Mansyur depan kampus USU Medan.

Penelitian ini mengkaji resistensi sebagai suatu perlawanan para pedagang

kakilima terhadap para pengambil kebijakan yaitu pemerintah melalui Satuan Polisi

Pamong Praja dan pihak terkait, yang dianggap sewenang-wenang dan merugikan

pedagang kakilima khususnya. Kalau kita mengingat bahwa keberanian dalam

berbagai bentuk perlawanan sangat terlihat sejak reformasi digulirkan pada akhir

tahun 1997, maka demokratisasi mulai dijunjung tinggi, karena adanya keberanian

warga masyarakat untuk menolak kebijakan yang tidak memihak mereka.

Pada era zaman modern ini, keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di

kota-kota besar merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat yang

akhir-akhir ini banyak terdapat fenomena penggusuran terhadap pedagang kaki lima yang

marak terjadi. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk kesempatan

kerja sektor informal yang dianggap sebagai pedagang kecil yang mempunyai

peranan. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu fenomena kegiatan

perekonomian rakyat kecil, yang dimana mereka berdagang hanya untuk memenuhi

(5)

5 Masalah pedagang kakilima tidak kunjung selesai di setiap daerah di

Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada

solusi yang tepat dalam pelaksanaannya, ini dibuktikan dengan masih banyaknya

pedagang kaki lima dibeberapa tempat di daerah. Herwanto (2012) menyebutkan

bahwa perekonomian Pemerintah kota Surabaya pada tahun 2009 jumlah pedagang

kakilima kurang lebih sebanyak 75.000 PKL. Sementara itu daya tampung kota

Surabaya hanya sekitar 10.000 PKL, hal ini berarti Bahwa di Surabaya telah terjadi

kelebihan PKL Tujuh kali Lipat.

Keberadaan pedagang kaki lima kerap dianggap illegal karena menempati

ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan

aspek-aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan. Oleh karena itu pedagang

kakilima seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah seperti

penggusuran dan relokasi. Dimana kita ketahui bersama apabila kebijakan-kebijakan

sudah dibuat maka ada sumber hukum yang berlaku. Menurut Bronislaw Malinowski,

semua masyarakat memiliki hukum sebagai pengendali sosial. Hukum inilah yang

digunakan masyarakat sebagai alat untuk menciptakan keamanan dalam kehidupan

bermasyarakat.6

5K yaitu ketertiban, keamanan, keindahan, kebersihan, dan kenyamanan

menjadi barometer citra kota. Itulah sebabnya, kemudian para pengambil kebijakan

6

(6)

6 terobsesi untuk mewujudkannya, karena sekaligus untuk membuktikan kemampuanya

mengelolah kota. Sedangkan dipihak lain, kebanyakan para pedagang kakilima

dengan segala atribut yang serba sangat sederhana itu tidak mau tahu bahwa

keberadaanya itu menimbulkan orang lain tidak nyaman, terganggu, risih, malu, citra

kumuh, jorok yang penting dapat berusaha dan mendapatkan keuntungan.

Pada dasarnya penulis melihat pedagang kakilima itu bersifat ambigu atau

ambivalen, artinya bahwa disatu aspek keberadaan pedagang kakilima harus diakui

sebagai mata pencaharian yang dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang

sangat basar tanpa menuntut kualifikasi tertentu. Artinya untuk bekerja sebagai

pedagang kakilima tidak menuntut syarat formal termasuk pendidikan, sehingga

warga yang tidak sekolah sampai lulus perguruan tinggi sekalipun dapat memasuki

lapangan pekerjaan ini. Dalam situasi yang seperti ini maka akan adanya peran sektor

informal yang secara langsung atau tidak membantu penciptaan kesejahteraan

penduduk karena memberikan pekerjaan dan penghasilan demi kelangsungan hidup

keluarganya.

Coba kita bayangkan jumlah pedagang kakilima yang besar ini tidak memiliki

pekerjaan sama sekali atau sebagai penganggur, maka berbagai permasalahan sosial

dapat dipastikan akan lebih banyak. Sedangkan dari aspek yang lain, eksistensi

pedagang kaki lima yang semakin banyak sering dituduh sebagai biang terjadinya

berbagai masalah sosial. Hal ini karena disamping jumlah pedagang kakilima yang

(7)

7 para pedagang kakilima adalah tepi jalan yang ramai dilewati orang. Oleh karena itu

tidak jarang kita jumpai para pedagang kakilima, sehingga di jalan jalan tersebut

cenderung mengganggu lalu lintas/ macet, merusak keindahan, dan ketertiban.

Kawasan demikian ini diantaranya adalah jalan Dr.Mansyur, jalan Jamin Ginting,

jalan Setia Budi dan sebagainya.

Keadaan sosial dijalan Dr.Mansyur yang dianggap pedagang kakilima tempat

yang strategis untuk berjualan. Tempat tersebut merupakan jalan utama dari fasilitas

umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional tidak pernah

sepi dari para pedagang kakilima. Ketika keberadaan pedagang kakilima dirasakan

benar-benar menjadi masalah sosial, maka pada umumnya para pengambil kebijakan

baru berusaha untuk mengatasinya, dan bukannya telah ada antisipasi usaha untuk

mencegah sebelum pedagang kakilima menjadi masalah. Seperti halnya pemerintah

kota Medan, baru pada tahun 2009 mempunyai peraturan Wali Kota Medan Nomor 9

Tahun 2009, sebagai rujukan tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan

dan Trotoar.

Keyakinan saya bahwa kehadiran pedagang kakilima didasarkan pada jumlah

pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang

tersedia disektor formal. Maka sektor informal khususnya pedagang kakilima

merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Di samping adanya orang-orang

yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan

(8)

8 sektor formal. Menurut Clifford Geerz pasar tradisional merupakan suatu lembaga

tradisional dan suatu cara hidup, suatu bentuk umum kegiatan perdagangan yang

mencakup semua segi kehidupan masyarkat disamping merupakan suatu alam

kebudayaan masyarakat yang hampir-hampir saja merupakan suatu kebulatan yang

lengkap (M. Tri Panca, 2011:25).

Penataan yang dilakukan para pengambil kebijakan pada umumnya

menggunakan beberapa cara. Pertama, melakukan penggusuran tanpa harus

menyediakan tempat sebagai pengganti agar tetap berjualan. Dengan demikian ini

sudah semestinya pihak pemerintah akan keluar sebagai pemenangnya, walaupun di

atas penderitaan para pedagang kakilima. Kedua, ada juga dengan menggunakan cara

merelokasi ke tempat lain yang telah disediakan itu bukan tempat yang strategis,

sehingga kemunkinan besar akan mendapat penolakan dari para pedagang kakilima.

Memang merupakan problem tersendiri bagi pemerintah kota untuk

menyediakan lahan yang strategis usahanya para pedagang kakilima karena

terbatasnya lahan tersedia. Dua cara tersebut bukanlah merupakan program yang

populer, karena disamping prosesnya cenderung represif dan arogan yang juga tidak

mau mendengarkan keluh kesah para pedagang kakilima. Hal ini biasanya didasari

adanya anggapan bahwa pedagang kakilima merupakan “penyakit” yang harus

dihilangkan. Anggapan demikian ini tidaklah keliru, karena disatu pihak di kota-kota

besar seperti kota Medan, lahan ditempat strategis bukan saja mahal harganya, juga

(9)

9 diharapkan oleh para pedagang kakilima atas kebijakan pemerintah kota adalah

penataan tempat yang sama, hanya saja dibuatkan fasilitas yang seragam, bersih

teratur atau rapi, dan tidak menganggu lalu lintas walaupun terkadang dalam ukuran

yang sedikit lebih kecil.

Dalam hal kasus seperti ini, merupakan masalah yang sangat kompleks karena

akan menghadapi sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan

kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat diantara keduanya. Melihat kondisi

seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan

masyarakat.Geertz (1973) mengatakan, antropologi tampaknya harus berada di

tengah-tengah karena posisinya tidak melulu pemekiran teori, melainkan lapangan

empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata.

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Pengertian Sektor Informal

Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1991) dengan

menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di

pasar tenaga yang terorganisasi.7

7

Eko Digdoyo, “Analisa Sektor Informal di

Perkotaan,”www.lemlit.uhamka.ac.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=36&judul=anali sa-usaha-sektor-informal-di- perkotaan.html ( akses 10 April 2015)

Agar tetap dapat bertahan hidup ( survive ), para

migran yang tinggal dikota melakukan aktifitas-aktifitas informal (baik yang sah dan

(10)

10 pertimbangan daripada menjadi pengangguran yang tidak memiliki penghasilan atau

memiliki penghasilan tetapi rendah dan tidak tetap.

Beberapa jenis “pekerjaan” yang termasuk di dalam sektor informal, salah

satunya adalah pedagang kaki lima, seperti warung nasi, penjual rokok, penjual koran

dan majalah, penjual makanan kecil dan minuman, dan lain-lainnya. Mereka dapat

dijumpai di pinggir-pinggir jalan di pusat-pusat kota yang ramai akan pengunjung.

Mereka menyediakan barang-barang kebutuhan bagi golongan ekonomi menengah ke

bawah dengan harga yang dijangkau oleh golongan tersebut.Tetapi, tidak jarang

mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas juga ikut menyerbu sektor informal.

Dengan demikian, sektor informal memiliki peranan penting dalam

memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan, karena sektor informal

mampu menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup

signifikan sehingga mengurangi problem pengangguran diperkotaan dan

meningkatkan penghasilan kaum miskin diperkotaan. Selain itu, sektor informal

memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintahan kota.

Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang

baik dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak

(11)

11 menjadi Public Space8

Seperti diketahui selama ini, studi kebijakan kebanyakan menerima input dari

ilmu politik, administrasi publik, kebijakan sosial, kajian organisasi, hubungan

internasional dan sebagainya. Antropologi sendiri baru belakangan ini diakui oleh

. Trotoar yang digunakan untuk berjualan dapat mengganggu

para pejalan kaki, seringkali kehadiran pedagang kaki lima tersebut mengganggu arus

lalu lintas karena para konsumen pengguna jasa memarkirkan kendaraannya dipinggir

jalan. Ketidakteraturan tersebut mengakibatkan Public Space kelihatan kumuh

sehingga tidak nyaman lagi untuk bersantai ataupun berkomunikasi.

Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari

pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam

mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena

setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian

mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada

kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan,

padahal mereka berjualan dilokasi Public Space yang merupakan milik

pemerintah.Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.

1.2.2. Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan

8

(12)

12 banyak penulis memberi input terhadap kajian kebijakan.9Selama ini, walaupun de

facto antropologi kebijakan telah ada, tapi identitasnya sebagai antropologi kebijakan

tidak begitu jelas (lacking a clear identity); malahan sering disebut dengan sesuatu

yang lain, atau tidak langsung disebut dengan antropologi kebijakan.10

“Michael Hardt dan A. Negri (2004) dalam bukunya yang berjudul

War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa

resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentukresistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentukorganisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi munculdari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksimembentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melaluikelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelasatas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat Fikarwin Zuska (2005) mengatakan “bahwa kebijakan (policy) itu sebenarnya

tidak bisa dipisahkan dari pada isu kekuasaan. Dalam hal ini kebijakan dapat

diartikan dengan cara bagaimana pemerintah memainkan kekuasaan melalui

kebijakan-kebijakan. Kalau kita melihat kebijakan maka seringkali dikaitkan dengan

pemerintah sebagai alat atau instrument.Padahal kita ketahui bersama bahwa

pemerintah memainkan kekuasaannya yang terdapat di dalam relasi-relasi antara

pemerintah dan individu-individu (Fikarwin, 2005).

9

Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan (Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah),” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 (Desember, 2005), hal .1

10

(13)

13 perekonomiannya,secara implisit menjelaskan posisinya dalam struktur organisasi produksimasyarakat.”

1.2.3. Pedagang Kaki Lima

1.2.3.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima

Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masing-masing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Menurut Effendi (1992, dalam Novita, 2014: 18) Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota. Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para urban/pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan.

(14)

14 pedagang kaki lima, maka pedagang kaki lima menggunakan ruang publik, seperti badan jalan, trotoar, taman kota, di atas saluran drainase, kawasan tepi sungai untuk melakukan aktivitasnya. Penggunaan ruang publik tersebut biasanya terjadi di tempat-tempat strategis seperti diantara aktivitas formal kota.

Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya diberbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (Novita, 2014: 18-19).

Istilah pedagang kaki lima berasal dari jaman pemerintahan Rafles Gubernur jenderal Kolonial belanda yaitu dari kata five feet yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan penjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Widjajanti, 2000: 26).

(15)

15 diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad (2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.

Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti berpendapat bahwa pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal.

1.2.3.2. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima

(16)

16 barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu:

1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnyamakanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.

2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan jugaminuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil, hingga kartu paket internet.

4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang tambal ban, stiker, dan mobil mencari sewa.

1.2.3.3. Bentuk Sarana Perdagangan dari Pedagang Kaki Lima

Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977, dalam Novita, 2014: 23-24) di kota-kota di Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL. Menurut Novita ( 2014), adalah sebagai berikut:

(17)

17 permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok.

2. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. 3. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang

diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman.

4. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).

5. Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.

(18)

18 dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semistatic). Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan barang kelontong dan makanan.

1.2.4. Resistensi

1.2.4.1. Pengertian Resistensi

Resistensi berarti perlawanan. Resistensi (perlawanan) sebenarnya merupakan tindakan dilakukan oleh masyarakat lemah yang berada pada struktur bawah terhadap pihak kuat yang berada pada struktur atas/penguasa. Hubungan di antara satu pihak yang lemah (masyarakat) dan pihak yang lain yang kuat (penguasa) menurut Bernard dan Spencer (2005, dalam Novita, 2014: 22) sesungguhnya berada pada suatu hubungan kekuasaan yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri terhadap kelas-kelas atasan ini. Konsep resistensi yang dipakai Scoot (2003) adalah resistensi sehari-hari (every day forms of resistance), yaitu perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi

terus-menerus.

(19)

19 menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada alternatif yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan.

Mengingat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, pihak lemah yang berada pada struktur bahwa berusaha menyeimbangkan hubungan mereka melalui resistensi agar tidak terlalu tertekan/tertindas. Bentu-kbentuk resistensinya tersebut termanifestasi berdasarkan tujuan mereka melakukan aksi. Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa bentuk tipikal reisistensi yang sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan dan dalam kaitanyya dengan pembangunan infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama resistensinya tertutup (simbolis/ideologis) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat terhadap penguasa.

Menurut Scott (2003: 302) bentuk resistensi ini muncul karena masyarakat pedagang kaki lima tidak berprestasi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem yang berlaku yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Tujuan bentuk resistensi tertutup ini menurut Bloch (dalam Novita 2014: 23) adalah untuk mengurangi eksploitasi atas diri mereka. Kedua, semi-terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaimkepada pihak yang berwenang.

(20)

20 sistematis dan berprinsip. Menurut Scott (2003: 306), resistensi terbuka ini mempunyai dampakdampak yang revolusioner. Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.

Dengan demikian, resistensi merupakan konsep yang sangat luas, walaupun demikian pada dasarnya ingin menjelaskan terjadinya perlawanan yang dilakukan sub altern atau mereka yang tertindas, karena ketidakadilan dan sebagainya. Resistensi

juga dapat dilihat sebagai materialisasi atau perwujudan yang paling aktual dari hasrat untuk menolak dominasi pengetahuan atau kekuasaan (Hujanikajenong,2006:176).

1.2.4.2. Bentuk Resistensi

Menurut James Scott (199, dalam M. Tri, 2014: 28-29) dalam studinya

weapons of the week: Everyday Form of peasant Resistance tentang resistensi petani

di Malaysia. Menurutnya selama ini telah banyak bermunculan literatur mengenai

bentuk-bentuk resistensi yang di pakai petani.Terlebih pada bentuk perlawanan

diantara kelompok sosial dalam civil society. Berbeda dengan sebelumnya, scott

mencoba mengobservasi serta mendeskripsikan tentang merasakan serta tingkahlaku

masyarakat miskin di perkampungan Malaysia yang menjadi sebuah kerangka sosial

kehidupan mereka dalam melakukan kegiatan perlawanan. Scott membuatkan 3 level

(21)

21 a. Ketika tingkat ekonomi makro dan proses perpolitikan diberikan kepada

petani namun hal itu jauh dari kerangka sosial yang diharapkan dari para

petani.

b. Intervensi pemerintah yang kurang melakukan observasi terhadap norma

dalam kehidupan masyarakat sekitar, dan yang terakhir.

c. Terdiri dari peristiwa lokal dan kondisi perasaan serta pengalaman dari

masing-masing individu.11

Scott mendokumentasikan kehidupan sehari-hari warga dan sejarah mereka,

dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan perlawanan dari campur tangan

negara dan agen perusahaan ekonomi.Bentuk-bentuk perlawanan mereka yaitu teknik

rendah diri (low-profile techniques), sebagian bersembunyi dan menghindar,

mengidentifikasikan dengan menyeret kaki mereka (foot-draging evasions) dan pasif,

dari pada penolakan terbuka atau perlawanan terbuka (open rejection or

struggle).12

Terjadinya Kasus Bentrokan mewarnai penertiban pedagang kakilima (K-5) di

Jalan Gatot Subroto, mulai persimpangan Jalan Nibung Raya sampai persimpangan

Jalan Iskandar Muda Kamis 20 Maret 2015. Tim gabungan yang dipimpin Kasatpol Meski menurut Scott bentuk-bentuk perlawan tersebut kurang efektif,

tetapi karena ada satu alasan bagi mereka melakukannya yaitu mereka tidak ingin

tergabung kedalam pola produk kapitalis dan terjebak pada relasi kelas.

11

John Martinussent, Sociaty, State and Market : A Guide to competing theories of development, hal 316

12

(22)

22 PP Kota Medan M Sofian sempat adu jotos dengan sejumlah pedagang yang berusaha

mempertahankan dagangannya agar tidak diangkut.13

Terjadinya kasus pemblokiran

jalan yang dilakukan pedagang Pusat Pasar Sambu kawasan perempatan Jl

Sutomo-H.M Yamin dan Jl Perintis Kemerdekaan, Senin 6 April 2015.Aksi ini merupakan

bentuk protes mereka terkait kebijakan Pemerintah Kota

aktivitas perdagangan di pasar tradisional di Sambu ke Pasar Induk Tuntungan.14

“Akibat kehadiran para pedagang kaki lima, tempat itu sulit untuk dilalui kenderaan dan rumah maupun tempat usaha warga pun tertutup. “Sebelum penertiban ini, kita telah melakukan sosialisasi agar tidak berjualan di tempat itu.Selain sosialisasi Pak Wali juga telah menawarkan relokasi di Jalan Kota Baru III.Mereka tinggal berjualan, sebab seluruh fasilitas telah disediakan.pihaknya tidak akan mentolerir jika para pedagang kembali berjualan di kawasan tersebut. “Saya minta itu tidak dilakukan para pedagang lagi, sebab tempat itu akan dijadikan lokasi parkir.Apabila ini dilanggar, maka kita akan kembali melakukan penertiban.”

Analisa (20 Maret 2015) melansir ucapan Kasatpol PP Kota Medan yang

mengatakan penertiban ini dilakukan dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan

itu sebagai lokasi parkir kenderaan.

15

Disamping itu, kasus Puluhan massa pedagang Jalan Akik Sukaramai

berunjukrasa di depan Kantor DPRD Kota Medan, Rabu 8 April 2015. Mereka

berorasi menolak rencana penggusuran mereka dari jalan tersebut. Tribun Medan

13“Diwarnai Bentrokan, Pedagang K-5 Jalan Gatot Subroto Ditertibkan”, Analisa, 20 Maret 2015.

14

Tak Terima Dipindahkan, Pedagang Sambu Blokir Jalan,”Tribun Medan , 6 April 2015 hal 2. 15

(23)

23 melansir surat pernyataan yang mereka bagikan, para pedagang menyatakan tak akan

mau direlokasi dari jalan tersebut:

"Kebijakan pemerintah, baik eksekutif dan legislatif, yang mengatasnamakan pembangunan seringkali kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.Begitu pula rencana pemerintah yang ingin menggusur Pasar Akik," ujar Koordinator Aksi, Abdi Rahman Sihombing."Wali kota dan DPRD Kota Medan tidak pernah mendengarkan sedikitpun aspirasi pedagang. Hanya mendengar pihak yang sama sekali tidak punya kepentingan di Pajak Akik." Alasan yang disampaikan Pemko Medan, bahwa pedagang di Pasar Akik menjadi biang masalah atas merosotnya omzet pedagang Pasar Sukaramai, kata Abdi, merupakan tudingan kambing hitam. "Padahal yang terjadi adalah kesalahan PD Pasar mengelola Pasar Sukaramai yang tidak memikirkan kelayakan berjualan, tanpa melibatkan pedagang dalam menetapkan tata kelola yang baik," 16

Common Sense yang tercipta di masyarakat yaitu perlawanan selalu di kaitkan

dengan bentrokan fisik, ini tidak terlepas dari peran media yang melihat konflik

pedagang selalu dari sisi bentrokan terbuka fisik17. Bagi James Scott justru strategi

perlawanan yang seharusnya menarik untuk dilihat dan dikaji ialah everydayforms of

resistance yang terdiri dari kumpulan pola perilaku sehari-hari dari para pedagang

untuk melakukan perlawanan18

Analisa resistensi sendiri terhadap suatu fenomena banyak melihat hal-hal

yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, .

16

Pedagang di Jalan Akik Tolak Relokasi,”Tribun Medan , 8 April 2015 hal 2. 17

M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 7.

18

(24)

24 umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya sehingga resistensi menjadi gayung

bersambut dalam keilmuan sosial.19

Dalam khazanah antropologi, benih-benih kritik internal atau refleksi yang

dapat dilihat sebagai upaya resistensi telah muncul terhadap arus besar keilmuan

antropologi saat itu.20

Ketika kondisi dalam satu tempat atau dalam sekelompok masyarakat hukum

formal dan hukum non formal berdampingan maka kondisi tersebut dapat

menimbulkan sebuah arena sosial.Dimana dalam arena Sosial tersebut ada aktor-aktor

yang terlibat dan menjalankan peranan khusus dalam kondisi tersebut.Penelitian Sally

Folk Moore

Pedagang kakilima merupakan salah satu bagian pekerjaan di

sektor informal yang sangat penting khususnya di daerah perkotaan di negara-negara

berkembang. Bahkan dianggap sebagian kalangan sebagai katup penyelamat (safety

valve) krisis keuangan dan finansial yang dialami bangsa indonesia sejak tahun 1998.

21

Antropologi hukum berpegang pada anggapan bahwa manusia hidup

bermasyarakat pasti ada hukum, jadi baik di zaman dahulu hingga sekarang hukum dalam menjelaskan kewajiban antara sesama secara hukum dan non

hukum dalam industri pakaian gaun mahal mengatakan ada aktor-aktor sebagai

pelaku dalam menjalankan aturan yang berlaku.

19

Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http://www.timur-angin.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html

20

M. Tri Panca W, “Resistensi Pedagang Pasar Sumber Arta Bekasi Barat (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta, 2011), hal 28.

21

(25)

25 selalu ada dalam masyarakat. Hukum tersebut mengikuti pola kehidupan manusia

bermasyarakat, baik ia berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis (hukum adat). Tidak

ada manusia hidup tanpa budaya, tidak ada manusia tanpa kepentingan, dan juga

tidak ada manusia tanpa hukum (aturan).22

Tetapi saat ini istilah Pedagang kaki lima juga digunakan untuk pedagang di

jalanan pada umumnya. Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial

belanda. Sebab pada waktu itu Peraturan Pemerintah menetapkan bahwa setiap jalan

raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas

untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter. Namun dalam

kenyataannya, ruas jalan yang seharusnya dipergunakan untuk pejalan kaki ternyata Kakilima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1991), adalah

pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya

menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau

dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan atau trotoar, tempat-tempat yang

tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat lain yang bukan

miliknya. Pedagang kakilima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang

menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya

ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga kaki

“Gerobak”.

22

(26)

26 dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dulu sebutannya pedagang

emperan, lama kelamaan berubah menjadi pedagang kakilima.

Karakteristik Pedagang kakilima sama seperti pekerja-pekerja sektor informal

lainnya, yakni modal kecil, keterlibatan anggota keluarga/kerabat, waktu kerja yang

tak teratur serta tidak adanya pencatatan yang jelas mengenai keluar masuknya

keuangan. Salah satu informan yang bernama Bambang (54 tahun) PKL penjual

bakso mengatakan:

“Pertamakali aku jualan ini modalnya cuma limaratus ribu, sekarang ini penghasilanku bisa sampai dua juta sebulan bersih. Sedangkan waktu jualan ya gak mesti, kalau capek ya istirahat dulu, tapi biasanya yang kerja gantikan aku ya keluarga, kalau gak istri, anak-anak ya ponakan. Kalau soal keluar masuknya uang ya gak sampai dicatat secara teliti.Paling-paling berapa dapetnya hari ini, berapa perlunya untuk belanja bahan, ya gitu aja.”23

Berdasarkan keterangan pak Bambang tersebut tampak bahwa bekerja sebagai

pedagang kakilima memang tidak membutuhkan modal yang besar, di samping itu

juga tidak perlu pendidikan serta keterampilan yang khusus, karena istrinya yang

lulus SMP saja sudah bisa menjalankan usahanya.

1.3. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah perlawanan pedagang

kakilima terhadap peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009 tentang

Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan. Berdasarkan uraian latar belakang

23

(27)

27 masalah yang di kemukakan, maka yang manjadi pokok permasalahan dalam

penelitian ini adalah apabentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap

penggusuran dan relokasi?

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

untukMengetahui bentuk-bentuk resistensi pedagang kakilima terhadappenggusuran

dan relokasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang

antara lain adalah:

1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai faktor dan

bentuk resistensi pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di jalan

Dr.Mansyur Kota Medan.

2. Sebagai bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir (skripsi) sebagai

syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Departemen Antropologi Sosial Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam melakukan

penertiban kepada para pedagang kaki lima.

4. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam

(28)

28

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Suparlan menyatakan bahwa

penelitian kualitatif sama dengan penelitan etnografi yang pengumpulan bahan

keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta

berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan

dari sesuatu masyarakat, yang berdasarkan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat

deskripsi mengenai kebudayaan tersebut. Dalam deskripsi mengenai kebudayaan

tersebut tercakup deskripsi mengenai makna dari benda-benda, tindakan-tindakan dan

peristiwa yang ada dalam kehidupan sosial mereka, menurut kaca mata mereka yang

menjadi pelaku-pelakunya.

Bungin (2008) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian studi

kasus yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai

situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada dalam masyarakat menjadi

objek penelitian yang berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri,

karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun

fenomena tertentu. Selain untuk mendiskripsikan dampak eksplorasi penambangan

emas terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Kluckholn mengelompokkan unsur kebudayaan ke dalam tujuh unsur, yaitu.

(29)

29

2. Sistem mata pencaharian.

3. Sistem kemasyarakatan.

4. Bahasa.

5. Kesenian.

6. Sistem pengetahuan.

7. Sistem religi.

1.6.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Kota Medan, salah satu Kota metropolitan di

Indonesia yang merupkan ibukota Propinsi Sumatera Utara. Jalan Dr.Mansyur

tepatnya di sepanjang jalan di depan Kampus Universitas Sumatera Utara. Lokasi

tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa pedagang kakilima ditempat

tersebut masih saja berjualan, padahal pihak pemerintah sudah menghimbau untuk

tidak berjualan di sepanjang trotoar jalan Dr.Mansyur.

1.6.3. Teknik Pengumpulan Data

1.6.3.1.Studi Kepustakaan

Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara menelaah dan mengkaji berbagai

literature-literatur yang berkenaan dengan judul penelitian dan masalah penelitian

dengan fokus “strategi adaptif”. Studi mencakup buku-buku dan hasil penelitian yang

relevan dengan masalah penelitian, serta pencarian situs-situs internet yang berkaitan

(30)

30

1.6.3.2.Pengamatan (Observation)

Pengamatan24

• Observasi Tanpa berpartisipasi

ini dilakukan untuk melihat atau mengamati pristiwa-pristiwa

dan terlibat langsung dengan kondisi-kondisi yang terjadi pada saat melakukan

penelitian, seperti mengidentifikasi penggusuran dan relokasi Pemerintah Kota

Medan terhadap pedagang kaki lima. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini,

peneliti akan menggunakan dua teknik observasi, yaitu:

Dalam pengamatan ini si peneliti datang langsung ke pedagang kakilima guna

untuk melihat aktifitas yang dilakukan. Dengan observasi yang seperti ini peneliti

akan memperoleh data yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada.

• Observasi berpartisipasi

Dalam hal ini si peneliti terlibat langsung dalam kegiatan pedagang kakilima

maupun pihak Satpol PP, si peneliti harus mengenal informan dengan baik. Dengan

begitu si penulis akan membina rapport (hubungan yang baik). Dengan rapport

tersebut si penulis mengharapkan keterbukaan dan tangan keterbukaan antara si

penulis dan pedagang kakilima dapat memenuhi data yang diperlukan.25

24

Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tindakan ataupun peristiwa) dengan cara mengamatinya. Peneliti akan menggunakan observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang segala tindakan, percakapan, tingkah laku dan semua hal yang akan di tangkap panca indra terhap apa saja yang dilakukan masyarakat yang diteliti dilapangan.

25

(31)

31

1.6.3.3.Wawancara Mendalam (depth interview)

Wawancara ini dimaksudkan untuk dapat menggali informasi dari informan

dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan kebutuhan dari penelitian ini,

wawancara dalam penelitian kali ini dimulai dari menjelaskan apa alasan seorang

informan menerima atau menolak penggusuran, lalu kemudian dari jawaban informan

inilah pertanyaan-pertanyaan berikutnya muncul. Dalam penelitian ini peneliti

sengaja tidak menggunakan pedoman wawancara (depth interview) dengan maksud

untuk menciptakan suasana yang santai dan nyaman menghindari ketegangan

informan pada saat melakukan wawancara atau dalam memberikan

informasi-informasi berkenaan data-data yang diperlukan dalam penelitian.

1.6.3.4. Pengalaman Singkat Penelitian

Di penghujung tahun 2014, seorang insan antropologi program sarjana antropologi Universitas Sumatera Utara mengayunkan langkah menemui pedagang kaki lima, menyusuri jalan Dr.Mansyur depan Kampus USU Medan, Sumatera Utara. Apa gerangan yang mendorong saya melakukan penelitian dijalan yang saya lewati menuju Kampus? Rasa ingin tahu yang besar tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima. Oleh karena itu, fenomena resistensi ini cukup menarik di tinjau dari persfektif antropologi karena terkait relasi antara aparat dan masyarakat yang dalam hal ini adalah pedagang kaki lima yang berdagang di sepanjang jalan Dr.Mansyur.

(32)

32 saja media masa tidak bisa bersih dari isu pedagang kaki lima. Pertanyaannya kenapa bisa terjadi?Bentuk resistensi apakah yang mereka lakukan?Itulah sekelimut pertanyaan yang muncul di benak saya sebagai calon antopolog. Dalam hal ini pedagang kaki lima merupakan persoalan yang saling terkait dengan persoalan sosial.

Sebelum melakukan penelitian, saya sudah sangat sering melintasi dan mengunjugi jalan Dr.Mansyur beberapa kali, pada saat itu hanya melintasi jalan saja untuk pergi dan pulang ke kampus. Suasana di jalan tersebut sangatlah ramai karena merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional yang tidak pernah sepi dari para pedagang kaki lima.

Saya tidak pernah terpikir untuk melakukan penelitian dijalan Dr.Mansyur, akan tetapi ketika saya lebih memperhatikan keadaan sepanjang jalan, saya mulai menyadari bahwa dibalik aktivitas pedagang kaki lima ada resistensi yang terjadi dari pihak lawan maupun yang dilawan. Akhirnya saya pun berniat untuk meneliti pedagang kaki lima dijalan Dr. Mansyur agar saya dapat mengetahui lebih dalam bentuk-bentuk resistensi pedagang kaki lima.

(33)

33 pertanyaan yang muncul dan terdorong oleh keingintahuan tentang fenomena resistensi pedagang kaki lima dalam mempertahankan dagangannya dan sekaligus bentuk-bentuk resistensi melawan aparat.

Saat sekitar pukul 14.00 WIB keadaan jalan sudah ramai. Para para pedagang kaki lima sudah sibuk dengan kegiatan masing- masing. Awalnya penulis ragu untuk melakukan observasi. Penulis memperoleh informasi mengenai ruang lingkup kehidupan melalui informan. Sambil mengamati, penulis duduk di depan RS USU. Peneliti mengamati secara seksama di sepanjang jalan terdapat pedagang-pedagang kaki lima yang melayani para pembeli. Sekitar satu jam setelah penulis duduk di depan areal RS USU saya berniat untuk kembali.

Awalnya penulis ragu mengenai kebenaran resistensi pedagang kaki lima di lokasi tersebut. Untuk memastikan kebenaran itu akhirnya penulis terjun ke lapangan dan menemui pedagang kaki lima. Pukul 17.00 WIB penulis duduk di kursi pembeli salah satu pedagang somay, sambil menikmati sepiring somay dan teh botol sosro. 15 menit setelah menikmati sepiring somay penulis memberanikan diri untuk bertanya kepada pak basri yang merupakan informan pertama saya. Setelah berkenalan penulis bertanya perihal kedatangan ke jalan Dr.Mansyur.

(34)

34 luas mengenai aktivitas para pedagang kaki lima di jalan Dr. Mansyur khususnya depan kampus USU Medan, selain itu, beliau sudah terlibat lama dengan lamanya menjadi pedagang kaki lima. Informasi-informasi yang penulis ingin dapatkan dari pak Basri adalah seputar pengalaman beliau menjadi pedagang kaki lima.

Setelah berbincang-bincang dengan Pak Basri kemudian menceritakan maksud kedatangan di tempat itu. Beliau mengangguk paham dengan penjelasan penulis bahkan beliau bersedia untuk membantu penulis apabila di perlukan. Untuk mempermudah saya berkomunikasi dengan beliau saya pun memberanikan diri untuk meminta no handphone beliau. Tanpa ragu bapak tersebut pun memberanikan diri untuk memberikan no handphonenya. Dengan datangnya beberapa pembeli sayapun mengakhiri pembicaraan agar Pak Basri bisa melayani para pembeli yang datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.11 WIB penulis pun meminta ijin untuk kembali.

(35)

35 “Jam 10.30 pagi, ketika tahun 2013, mendorong gerobag baksonya Pagi itu,

seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di depan fakultas

kedokteran bersebelahan dengan fakultas psikologi Jalan Dr.Mansyur. Pingir jalan

tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum banyak orang di sana.

Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk mengambil air, tiba-tiba

serombongan petugas operasi Satpol PP datang.Tanpa sepatah kata pun gerobag

yang penuh makanan itu didorong ke arah mobil operasi. “Saya hanya bisa diam,

tak mampu mempertahankan, selain memegang ember ini, “katanya. Teman-teman

lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya juga tampak hanya membisu

menyaksikan operasi tersebut. “Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana

menarik kembali gerobak yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong

saya tak ada uang sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Sayapun

memberanikan diri untuk menarik gerobag yang akan dibawa kearah mobil operasi,

karena saya tarik dengan sekuat tenaga petugas satpol pp pun melapaskan gerobag

tersebut, padahal operasi sebelumnya tidak ada yang seperti itu, ujarnya.”

(36)

36 Observasi yang dilakukan penulis hanya dengan seorang diri karena dilakukan pada siang dan sore hari.

Keesokan harinya penulispun melanjutkan penelitian bersama seorang teman bernama aulia rahman, penulis dapat mengamati sepanjang jalan secara seksama.Pada waktu itu, observasi dilakukan oleh penulis pada malam senin yang di mulai pada pukul 18.45 hingga jam 22.00 malam. Sebelumnya saya berjalan dari pintu IV, disana hanya terlihat beberapa pedagng saja dan tidak sebanyak pedagang-pedagang yang berada di pintu I, II, dan III.Sesampai pintu III USU saya mengunjungi salah satu pedagang, dan teman saya kembali memesan makanan. Selama menikmati makanan di depan pintu III, penulis memperhatikan sepanjang jalan pintu III sampai pintu II USU. Sepanjang jalan tersebut penulis melihat para pengunjung yang menikmat makanan dan minuman. Penulis bertanya dalam hati, tidak ada sesuatu aneh, pedagang seperti biasa menjajakan dagangannya seperti pedangang yang lain.

(37)

37 pada dasarnya pedagang kaki lima mempunyai sejumlah strategi untuk menyiasati petugas.

“Saya telah menjadi penjual siomay sejak tahun 2005. Dulu saya penjual

somay keliling dari kampung ke kampung,” ujar putra yang mengaku berasal dari

tapanuli sumatera utara. Dia terkenal dengan nama putra, dia sudah 10 tahun

menempati lokasi tersebut. Dia mempunyai gerobag somay yang ditempatkan

dijalan Dr.Mansyur depan kampus USU Medan.

“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang berani untuk melawan

agar para dagangannya tidak di angkut. Biasanya saya ya, langsung saya tolak

untuk di usir ”, katanya menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi

pamong praja, tetapi gerobagnya tidak pernah di tahan karena selalu berhasil

menghindar dari petugas.

(38)

38 Informan pak putra ,sekitar 30 tahun, tidak tamat SMP tetapi berhasil

menjadi pedagang kaki lima sejak 2008. Setiap ada aparat satpol pp melakukan

operasi penertiban kami harus membayar kepada beberapa oknum satpol pp sebesar

50.000 ribu dan penjual stiker itu 7000/ hari itu deq, makanya barang kami tidak

diangkat. Makanya ketika ada penertiban petugas yang datang hanya berdua bahkan

sendiri sebagai formalitas untuk menjalankan tugas, dan yang lainnya hanya duduk

di mobil patrol, ucapnya.

Gambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomena-fenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan terus mempertahankan usahanya sebagai pedagang kaki lima dan mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi tersebut dianggap berkait dalam mengembangkan keuntungan secara ekonomi.

(39)

39 mengembangkan usaha tersebut, maka dibutuhkan sejumlah strategi bagi para pedagang kaki lima dalam mengatasi resiko.

Pengalaman informan pak basri , 49 tahun, tidak tamat SMP tetapi sukses

menjadi pedagang kaki lima mendukung argumentasi tersebut. Tiga orang anaknya

(satu laki-laki dan dua perempuan) justru telah menampatkan jenjang tingkat tinggi .

Seorang anak laki-laki tamatan Psikologi UMA Medan, seorang anak perempuan

Sedang kuliah di UMA Medan, dan seorang anak perempua masih sekolah smp.)

Lebih dari itu, berusaha sebagai pedagang kaki lima biasanya tidak membutuhkan modal yang terlalu besar. Jika mengembangkan usaha pedagang kaki lima tidak membutuhkan modal besar, maka dengan kemampuan modal keuangan sendiri atau bantuan keluarga dapat mendorong seseorang menjadi pedagang kaki lima. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki lima hanya dengan modal sendiri, maka keberadaan pedagang kaki lima sebenarnya keberadaan pedagang kaki lima bisa disikapi sebagai jenis usaha yang mandiri. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki lima dengan modal bantuan keluarga, maka resiko kerugian serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga tersebut. Jika resiko kerugian serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga, maka masing-masing anggota keluarga yang menekuni pekerjaan pedagang kaki lima akan berusaha mengembangkan strategi bersama.

(40)

40 di jalan Dr.Mansyur tersebut dan sukses mengembangkan usahanya. Dia tidak bisa mengelak ketika pihak Pemko Medan mengajurkan sejumlah pedagang kaki lima yang ada dijalan Dr Mansyur, untuk mencari tempat yang lain, dan tidak boleh berjualan di sepanjang jalan Dr. Mansyur depan kamus USU Medan. Sayangnya, ketika mencoba menempati lokasi yang baru tetapi omset penjualannya menurun, maka informan iyan pun mencoba siasat untuk mengatasi permasalahan yang dia hadapi.Gerobag somay yang semula sudah “dikandangkan” di rumahnya, kini kembali dioperasikan kembali di tempat yang lama dijalan Dr.Mansyur.

“Memang sering petugas datang tetapi ya ada musim-musimnya, ya

terkadang hampir setiap hari, ya terkadang juga sampai berbulan-bulan juga tidak

ada petugas yang datang seperti sekarang ini,” katanya.

“Kalau begini terus kayaknya, berat deh untuk bisa bertahan ,” ujar informan mulai mengeluarkan keluhannya, “lihat tuh udah jam segini, dagangan saya masih

belum habis separo.” Terlihat kantong plastik berisi kerupuk warna-warni yang baru

berkurang seperempatnya saja. Tahu, ketimun, tomat, kol, terlihat masih memadati

lemari kaca tempat penyimpanan bahan somay dan gado-gado. Dulu sepanjang jalan

Dr.Mansyur dipenuhi pedagang kaki lima tetapi sekarang malah penjual pakat data

yang berdatangan di sini.

“Tetapi, kita harus realistis.Coba bayangin kalau pendapatan kita tidak

(41)

41 coba cari jalan keluar?” tanyanya, “posisi saya kagak enak.Pemerintah hanya bisa

menyalahkan. Terkadang ketika petugas datang saya hanya pura-pura pergi saja

meskipun ada di antara teman-teman yang tidak bersedia untuk pergi ya itu urusan

merekalah. Kenyataannya, setelah petugas pergi para pedagang kaki lima pun

kembali menjajakan dagangannya. Seperti yang saya lakukan sekarang ini”.

Untuk itulah yang ditempuh oleh sejumlah pedagang kaki lima yang kini tetap

menempati trotoar sepanjang jalan Dr.Mansyur depan kampus USU tersebut,

mencoba membuka dagangannya kembali. “Kita berusaha untuk terus berjualan dan

iuran wajib setiap hari terus kami bayarkan meskipun pendapatan kita di sini

sungguh sangat berkurang. Tetapi kita kan butuh duit agar tetap usaha ini tetap

untung, “ katanya.

Maka, dengan cara yang ditempuh sekarang yakni kembali membuka

daganganya di jalan Dr.Mansyur dan harus menanggung resiko yang ada. (informan

justru bisa menutup kekurangan pendapatan yang diterima selama ini).

“Biarin lah dagangannya saya disini, lagian disini saya tetap untung walau

pun pelanggan sudah berkurang. Kalau harus pindah banyak pungutan, dan pembeli

pun sangat sedikit tidak seperti disini”.

“Strategi kami ya pergi ketika satpol pp datang dan kembali lagi kalau sudah

(42)

42 ya terkadang masuk aja ke kampus USU seperti ke depan cikal, LPPM dan masjid

Ad-Dakwah.

Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan ternyata membuktikan bahwa para pedagang kaki lima secara tidak sadar telah memerankan kekuasannya pula. Dengan mempertahankan lokasi usaha, mendasarkan dagangannya di sela-sela tempat pejalan kaki, serta membatasi kehadiran pedagang kaki lima yang lain, adalah bagian dari ekspresi kekuasaan yang sedang mereka mainkan. Seperti juga yang terjadi pada lokasi depan Fakultas Kedokteran Pintu I USU, Pintu II, Pintu III, dan Pintu IV yang biasanya dijadikan lalu-lalang Mahasiswa, justru dipenuhi para pedagang kaki lima di siang sampai malam hari. Kendati sejumlah orang justru merasa tertolong dengan kehadiran para pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, karena sembari menunggu Angkot ke arah rumah mereka bisa mengisi perut. Namun, tak jarang sejumlah orang juga merasa terganggu lantaran ruang publik berupa jalan yang dilaluinya lebih banyak dipenuhi pedangang kaki lima. Dan, atas nama ruang publik pula, para pedagang kaki lima mengklaim mempunyai hak untuk menggunakan kekuasaannya berjualan di sana.

(43)

43 dagangannya ke seberang jalan depan Cikal USU dengan harapan tidak meninggalkan pelanggan yang telah dia kuasai selama ini. Kendati, harus bersusah paya membawa daganganya, dia ternyata masih memainkan kekuasaannya sebagai pedagang yang sudah lama berjualan di Jalan Dr.Mansyur tersebut.

Jalan Dr.Mansyur. Jalan ini dibagi dua arah (dari arah jalan setia budi)

sebelah barat dan Jalan sebelah timur (dari jamin ginting). Pernah hampir sekitar

dua minggu di setiap harinya petugas terus melakukan penertiban, tetapi tidak

berlangsung lama petugas yang biasanya datang sekarang tidak. Pada saat ada

petugas yang datang para pedagang pun pergi.jalan tersebut terlihat lengang dari

sejumlah pedagang kaki lima.

Dialah iyan Yang tergusur dari Jalan Dr.Mansyur memberanikan diri untuk

berjualan kembali di sekitar jalan tersebut, meski ada rasa takut dia terus berjualan

meski ada petugas. Ya biasalah namanya cari nafkah apapun di lakukan, kalau ada

petugas pergi dan ke esokan kembali lagi. Saya sengaja memberanikan diri membuka

usaha di sini lagi, meskipun saya tahu tempat ini dilarang,” kata iyan

(44)

44 Wawancara dengan informan lain penulis lakukan dengan teknik yang berbeda. Penulis berperan layaknya orang biasa yang tidak memiliki kepentingan. Panduan wawancara yang telah dibuat sebelumnya telah dikemas oleh penulis sehingga tampak seperti tidak sedang melakukan wawancara. Dengan teknik yang demikian akhirnya penulis dapat memperoleh data dengan akurat. Untuk merekam hasil pembicaraan terlebih dahulu penulis menyiapkan alat perekam seperti handphone. Sesekali penulis mengetik informasi yang penting di hanphone yang lain sehingga tampak seperti sedang menulis pesan.

1.6. 4. Analisis Data

Analisis data pada penelitian kualitatif dimulai dari pengumpulan data sampai

kepada penarikan kesimpulan penelitian.Oleh karena itu peneliti merupakan

instrument utama dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan setiap hari selama

penelitian akan dibuatkan laporan lapangan, untuk mengungkapkan data apa yang

masih perlu dicari, pertanyaan apa yang belum dijawab, metode apa yang harus

digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang perlu

diperbaiki, serta data yang mana yang tidak diperlukan.Dengan melakukan

penganalisaan data tersebut diharapkan akan ditemukan kesimpulan penelitian secara sistematis dan objektif mengenai pandangan serta perilaku resistensi masyarakat pedagang kaki lima di jalan Dr Mansyur.

(45)

Referensi

Dokumen terkait

92,708 > 3,10 dan nilai signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,000. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diberikan beberapa saran yaitu, 1) Bagi sekolah sebaiknya

Beberapa contoh dari putusan pengadilan yang progresif adalah Ultra Petita yang dilakukan para hakim di tingkat kasasi dalam kasus Kedung Ombo dengan menaikkan harga ganti tanah

Rasanya perlu kita menggali lebih banyak nilai-nilai dan filosofi budaya bangsa kita sebagai dasar merancang program pembelajaran, agar cara belajar dan proses

1. Kita juga harus hidup bersih dan sehat di ... tempat. 2. Bagaimana suasana tempat bermain Dayu dan

Capaian Program Persentase Aparatur Tiap SKPD Yang Menegakkan Disiplin Berpakaian Sesuai Dengan Standar Dan Ketentuan Yang

Fungsi yang paling penting dalam paru-paru adalah pertukaran.. gas, yaitu memasukkan oksigen(O 2 ) kedalam tubuh atau yang disebut

Implementasi teknologi VoIP untuk integrasi layanan komunikasi suara dan data menggunakan standar kompresi codec (kompresi suara) G.729 (8 Kbps) mampu mengurangi pengeluaran

Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Kita misalnya mengatakan orang itu baikdan