Bab 9 : Saksi Nikah
C. Syarat Dasar
1. Beragama Islam
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa syarat yang paling utama dari saksi sebuah akad nikah adalah keislaman para saksi. Orang-orang yang menjadi saksi itu haruslah beragama Islam, setidaknya secara formal.
Sebuah pernikahan tidak akan terjadi manakala disaksikan oleh orang yang bukan muslim. Karena orang-orang non muslim bukan termasuk ahli wilayah.
Dasar ketentuan bahwa saksi haruslah beragama Islam adalah firman Allah SWT dan juga sabda Nabi SAW :
ﻦﹶﻟﻭ
ﻞﻌﺠﻳ
ﻪﱠﻠﻟﺍ
ﻦﻳِﺮِﻓﺎﹶﻜﹾﻠِﻟ
ﻰﹶﻠﻋ
ﲔِﻨِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ
ﹰﻼﻴِﺒﺳ
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang-orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ : 141)
ﹶﻻ
ﺡﺎﹶﻜِﻧ
ﱠﻻِﺇ
ﻲِﻟﻮِﺑ
ﻱﺪِﻫﺎﺷﻭ
ٍﻝﺪﻋ
Tidak sah sebuah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi )
Namun bila pernikahan itu terjadi antar agama, dimana seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab yang memang dihalalkan, ada pendapat yang membolehkan saksi dari pihak non muslim. Pendapat itu adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu Yusuf, murid beliau. Keduanya mendasarkan pada logika bahwa orang kafir boleh menjadi saksi atas orang kafir juga.9
Namun jumhur ulama seperti mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, termasuk juga Muhammad dan Zufar, tetap menolak kebolehan orang kafir menjadi saksi.
Dasar penolakan mereka karean syarat dari saksi sebagaimana hadits di atas, mereka harus orang-orang yang punya kriteria ‘adil (لﺪﻋ يﺪھﺎﺷ). Dan yang dimaksud dengan istilah ‘adil disini adalah ‘adalatud-din (ﻦﯾﺪﻟا ﺔﻟاﺪﻋ) orang yang beragama Islam, bukan adalatu-ta’athi (ﻲﻃﺎﻌﺘﻟا ﺔﻟاﺪﻋ) atau
Bab 9 : Saksi Nikah Seri Fiqih Kehidupan (8) : Pernikahan
128
implemantasi ajaran Islam. Sebab telah menjadi ijma’ di kalangan mazhab Asy-Syafi’iyah bahwa orang yang melakukan dosa, kesaksiannya tetap dapat diterima. Sebaliknya, orang kafir tidak bisa diterima kesaksiannya. 2. Taklif
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa syarat yang kedua dari saksi adalah taklif. Maksudnya adalah saksi itu termasuk kriteria mukallaf, yaitu ‘aqil (berakal) dan baligh.
a. Berakal
Berakal atau ‘aqil adalah orang yang berakal, alias waras dan bukan orang yang kurang akalnya. Telah disepakati jumhur ulama bahwa orang gila tidak pernah bisa diterima kesaksiannya.
Bahkan kalau orang gila melakukan tindak pidana yang berat seperti membunuh nyawa orang sekalipun, tetap tidak bisa dijatuhi hukuman. Kalau ada orang gila yang bersalah lalu dijatuhi hukuman, maka yang gila adalah hakimnya. Sudah tahu orang gila, malah diladeni.
Ada suatu pertanyaan nakal dari seorang santri,”Kiyai, bagaimana dengan pasangan suami istri yang sama-sama orang gila? Apakah sah bila mereka menikah dan saksi-saksi semuanya orang gila?”. Kiyainya sambil bersungut-sungut menjawab,”Nah kalau pertanyaan seperti ini, justru yang bertanya itulah orang gila”.
b. Baligh
Jumhur ulama sepakat bahwa syarat saksi sebuah akad nikah haruslah orang yang sudah baligh. Sedangkan anak yang belum cukup umur, tidak bisa diterima kesaksiannya.
ﺍﻭﺪِﻬﺸﺘﺳﺍﻭ
ِﻦﻳﺪﻴِﻬﺷ
ﻦِﻣ
ﻢﹸﻜِﻟﺎﺟِﺭ
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki. (QS. Al-Baqarah : 282)
Di dalam ayat ini Allah SWT menggunakan istilah rijal (لﺎﺟر) yang maknanya bukan sekedar berjenis kelamin laki-laki, tetapi yang lebih kuat pesannya adalah orang yang sudah dewasa atau minimal sudah baligh.
Karena makna rijal adalah laki-laki dewasa. Seorang bayi yang alat kelaminnya laki-laki tidak pernah disebut rijal, sebagaimana anak kecil laki-laki pun juga tidak disapa dengan panggilan rijal. Kata rijal hanya ditujukan buat laki-laki yang sudah baligh saja.
Baik orang gila atau pun anak kecil tidak pernah bisa dijadikan saksi, karena mereka bukan orang yang berada dalam kriteria ahli wilayah.
3. Al-'Adalah
Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa syarat yang ketiga dari seorang saksi harus memiliki sifat al-‘adalah.
a. Pengertian
Istilah al-‘adalah dalam bahasa Arab dan istilah ilmu fiqih sangat jauh berbeda dengan makna kata adil atau keadilan di dalam istilah bahwa Indonesia. Al-‘adalah (ﺔﻟاﺪﻌﻟا) di dalam bahasa Arab sering disebutkan sebagai :
ﹲﺓﺭﺎﺒِﻋ
ِﻦﻋ
ِﺮﻣَْﻷﺍ
ِﻂﺳﻮﺘﻤﹾﻟﺍ
ﻦﻴﺑ
ِﻲﹶﻓﺮﹶﻃ
ِﻁﺍﺮﹾﻓِْﻹﺍ
ِﻂﻳِﺮﹾﻔﺘﻟﺍﻭ
Ungkapan atas suatu perkara yang seimbang di antara berlebihan dan kekurangan.
Bab 9 : Saksi Nikah Seri Fiqih Kehidupan (8) : Pernikahan 130 definisinya sebagai :
ﻦﻣ
ﹸﻥﻮﹸﻜﺗ
ﻪﺗﺎﻨﺴﺣ
ﹰﺔﺒِﻟﺎﹶﻏ
ﻰﹶﻠﻋ
ِﻪِﺗﺎﹶﺌﻴﺳ
Orang yang kebaikannya lebih dominan dari keburukannya.10
Juga ada definisi lain yang agak mendekati, misalnya :
ﻮﻫ
ﻭﹸﺫ
ِﺓَﺀﻭﺮﻤﹾﻟﺍ
ﺮﻴﹶﻏ
ِﻢﻬﺘﻤﹾﻟﺍ
Orang yang punya muru’ah dan tidak dalam keadaan tertuduh11
b. Al-‘Adalah Adz-Dzhahirah
Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyebutkan bahwa ada juga jenis al-adalah, yaitu al-‘adalah adz-dzhahirah (ةﺮھﺎﻈﻟا ﺔﻟاﺪﻌﻟا) dan al-‘adalah al-bathinah ( ﻨﻃﺎﺒﻟا ﺔﻟاﺪﻌﻟاﺔ ). Dan yang dijadikan syarat dalam urusan saksi nikah hanyalah yang pertama saja, yaitu al-‘adalah adz-dzhahirah.
Lalu apa beda antara keduanya?
Al-‘adalah Adz-dzhahirah (ةﺮھﺎﻈﻟا ﺔﻟاﺪﻌﻟا) maksudnya adalah
sifat al-‘adalah secara lahiriyah, yang biasa nampak di mata orang secara umum, tanpa harus melakukan pemeriksaan secara mendetail. Juga tanpa harus ada pernyataan sifat itu dari seorang ahli seperti hakim dan sebagainya.
Misalnya seseorang terlihat secara lahiriyah sebagai muslim yang taat menjalankan agama, tidak ada nampak ciri-ciri yang membuat dia tertuduh sebagai pelaku dosa besar tertentu.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan al-‘adalah al-bathinah (ﺔﻨﻃﺎﺒﻟا ﺔﻟاﺪﻌﻟا) adalah sifat-sifat al-‘adalah yang dilihat secara
10 Kasysyaf AL-Qinna’ jilid 6 hal. 418
lebih teliti dari dalam diri orang tersebut. Sehingga seseorang yang diam-diam tanpa diketahui orang telah melakukan kefasikan, dikatakan tidak memenuhi syarat ‘adalah
al-bathinah (ﺔﻨﻃﺎﺒﻟا ﺔﻟاﺪﻌﻟا). Walaupun lahiriyahnya seperti orang
baik, tetapi secara di balik tirai, bila ada kebusukan atau kemaksiatan yang tersembunyi dan tidak diketahui publik, maka dikatakan tidak memenuhi syarat.
Pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah yang tidak mensyaratkan al-‘adalah al-bathinah berangkat dari asumsi dan husnudz-dzhan bahwa pada dasarnya setiap muslim itu adalah orang yang memenuhi syarat adil, kecuali bila terbukti dia melakukan hal-hal yang menggurkannya. Namun tidak perlu harus ada pembuktian terbalik.
c. Contoh Sifat Al-Adalah
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud sifat al-'adalah adalah sifat bebas dari dosa-dosa besar yang dilakukan dengan terang-terangan.
Di antara contoh dosa-dosa besar yang disebutkan oleh Rasulullah SAW adalah seperti hadits berikut ini :
ﹶﻝﺎـﹶﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ
:
ﺍﻮـﺒِﻨﺘﺟﺍ
ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ِﺕﺎﹶﻘِﺑﻮﻤﹾﻟﺍ ﻊﺒﺴﻟﺍ
:
ﹶﻝﺎﹶﻗ ؟ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻦﻫ ﺎﻣﻭ
:
ﻙﺮﺸـﻟﺍ
ﺮﺣ ﻲِﺘﱠﻟﺍ ِﺲﹾﻔﻨﻟﺍ ﹸﻞﺘﹶﻗﻭ ﺮﺤﺴﻟﺍﻭ ِﻪﱠﻠﻟﹶﺎِﺑ
ﱠﻻﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻡ
ﹸﻞـﹾﻛﹶﺃﻭ ﻖﺤﹾﻟﺎـِﺑ
ﻑﹾﺬـﹶﻗﻭ ِﻒـﺣﺰﻟﺍ ﻡﻮـﻳ ﻲﱢﻟﻮـﺘﻟﺍﻭ ِﻢﻴـِﺘﻴﹾﻟﺍ ِﻝﺎﻣ ﹸﻞﹾﻛﹶﺃﻭ ﺎﺑﺮﻟﺍ
ﺎﻨﺼﺤﻤﹾﻟﺍ
ِﺕﺎﻨِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ ِﺕﻼِﻓﺎﻐﹾﻟﺍ ِﺕ
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulallah?". "Syirik
Bab 9 : Saksi Nikah Seri Fiqih Kehidupan (8) : Pernikahan
132
kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Bukhari dan Muslim)
Perhatikanlah tujuh dosa besar yang disebutkan beliau di dalam hadits ini :
Syirik atau menyekutukan Allah SWT dengan tuhan dan sesembahan yang selain Dia.
Menggunakan Sihir, padahal sihir itu telah diharamkan untuk selama-lamanya buat umat Muhammad SAW dalam segala bentuknya.
Membunuh nyawa manusia yang telah Allah haramkan tanpa hak.
Memakan harta riba, padahal Allah SWT sudah mengancam pelakunya dengan peperangan.
Makan harta anak yatim, yang seharusnya dia menjaganya sebagai amanat yang dipercayakan kepadanya.
Lari dari peperangan pada hari dimana dia wajib maju ke medan jihad.
Menuduh orang baik-baik melakukan berzina tanpa memenuhi syarat sebagai saksi.
Selain hadits di atas, ada banyak lagi hadits lain yang menyebutkan tentang dosa-dosa besar yang dilakukan oleh manusia. Misalnya dosa-dosa karena meninggalkan kewajiban dari rukun-rukun Islam, seperti :
Meninggalkan shalat wajib 5 waktu tanpa udzur Meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur
Meninggalkan bayar zakat padahal telah memenuhi syarat wajib
Meninggalkan kewajiban haji tanpa berniat sama sekali untuk melakukannya padahal dia punya kemampuan.
terkait rukun Islam itu dibarengi dengan pengingkaran atas kewajibannya, bukan hanya dosa besar tetapi bahkan juga akan berakibat pada gugurnya keislaman seseorang.
Dan sebagian ulama lain menyebutkan bahwa orang yang tidak bersifat al-‘adalah termasuk di antaranya para pelanggar hukum hudud dan jinayat yang hukumannya ditetapkan langsung oleh Allah SWT, yaitu mencuri, minum khamar, membunuh, berzina, qadzaf, hirabah, sihir, meninggalkan shalat lima waktu dan zakat yang telah diwajibkan atas hartanya.