• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sunnah Nabi Muhammad SAW

Dalam dokumen 08-nikah (Halaman 38-43)

Bab 2 : Anjuran Menikah

B. Sunnah Nabi Muhammad SAW

Kalau pun ternyata benar bahwa Nabi Isa alaihissalam tidak menikah, tetap saja kita tidak perlu menjadikan prilaku hidup beliau sebagai tuntunan hidup. Sebab meski kedudukan beliau adalah seorang nabi, sayangnya beliau bukan nabi yang diutus untuk kita. Beliau hanya diutus untuk Bani Israil saja dan bukan buat orang Melayu atau orang Jawa, sebagaimana firman Allah SWT :

ﻢﹸﻜﺑﺭ ﻦﻣ ٍﺔﻳﺂِﺑ ﻢﹸﻜﺘﹾﺌِﺟ ﺪﹶﻗ ﻲﻧﹶﺃ ﹶﻞﻴِﺋﺍﺮﺳِﺇ ﻲِﻨﺑ ﻰﹶﻟِﺇ ﹰﻻﻮﺳﺭﻭ

Dan (Nabi Isa sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepadamu

dengan membawa sesuatu tanda (mu'jizat) dari Tuhanmu. (QS. Ali Imran : 49)

Maka kita yang bukan berdarah Israel tentu tidak perlu ikut-ikutan tidak kawin. Toh yang beliau bawa itu bukan syariat yang turun buat kita. Buat kita ada nabi khusus yaitu Rasulullah SAW. Beliau tegas-tegas menikah, bahkan kalau dihitung jumlah istri beliau cukup banyak. Dan beliau bersabda :

ﻲﻨِﻣ ﺲﻴﹶﻠﹶﻓ ﻰِﺘﻨﺴِﺑ ﹾﻞﻤﻌﻳ ﻢﹶﻟ ﻦﻤﹶﻓ ﻰِﺘﻨﺳ ﻦِﻣ ﺡﺎﹶﻜﻨﻟﹶﺍ

Nikah (kawin) itu dari sunnahku, maka barangsiapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku. (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini tegas sekali menyebutkan bahwa orang yang tidak melakukan pernikahan, maka tidak termasuk golongan umat Muhammad SAW. Ketika ada salah seorang shahabat beliau yang tidak mau menikah, maka beliau pun menolak perbuatan.

ِﻪّﹶﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ّﺩﺭ ﺪﹶﻘﹶﻟ

ﹶﻟﻭ ﹶﻞّﺘﺒّﺘﻟﺍ ٍﻥﻮﻌﹾﻈﻣ ِﻦﺑ ﹶﻥﺎﻤﹾﺜﻋ ﻰﹶﻠﻋ

ﻪﹶﻟ ﹶﻥِﺫﹶﺃ ﻮ

ﺎﻨﻴﺼﺘﺧﻻ

Sa’ad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menolak Usman bin Maz’unin membujang, dan seandainya (Nabi) mengijinkan padanya niscaya memperbolehkan.(HR. Ibnu Majah)

Berbeda dengan sejarah Nabi Isa alaihissalam yang lebih banyak sisi gelapnya ketimbang sisi terangnya, pernikahan Rasulullah SAW dengan beberapa wanita cukup jelas di dalam sejarah. Para wanita yang pernah dinikahi oleh Rasulullah SAW itu adalah :

40

Khadijah binti Khuwailid radhiyallahuanha adalah wanita yang pertama kali dinikahi Rasulullah SAW. Beliau lahir pada tahun 68 sebelum Hijrah, mendampingi beliau SAW sebagai wanita kaya yang hidup dari usaha perniagaan. Dan untuk menjalankan perniagaannya itu ia memiliki beberapa tenaga laki-laki, diantaranya adalah Muhammad SAW sebelum beliau menjadi suaminya.

Sebenarnya Khadijah adalah wanita janda yang telah menikah dua kali. Pertama ia menikah dengan Zurarah At-Tamimi dan yang kedua menikah dengan Atid bin Abid Al-Makhzumi. Dan masing-masing wafat dengan meninggalkan seorang putera.

Pada masa jandanya, banyak tokoh Quraisy yang ingin mempersuntingnya. Namun beliau selalu menolaknya. Dibalik semua itu, Allah memang telah mempersiapkan Khadijah untuk menjadi pendamping Rasul-Nya dan menjadi pembela dan penolong risalah yang beliau sampaikan.

Dari pernikahannya wanita ini Rasulullah SAW dikaruniai beberapa putera, yaitu Qosim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Namun putera beliau yang laki-laki meninggal dunia sebelum dewasa. 2. Aisyah binti Abu Bakar

Dia adalah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang Rasulullah SAW lebih suka memanggilnya dengan panggilan kesayangan, Humaira. Aisyah binti Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah berasal dari keturunan mulia suku Quraisy.

Ketika umur 6 tahun, gadis cerdas ini dipersunting oleh manusia termulia Rasulullah SAW berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam mimpi beliau.

Aisyah radhiyallahu‘anha memulai hari-harinya bersama Rasulullah sejak berumur 9 tahun. Mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana

Nubuwwah. Rumah kecil yang disamping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa permadani indah dan gemerlap lampu yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil berminyak samin (minyak hewan).

4. Saudah binti Zam’ah

Saudah adalah seorang janda sebelum dinikahi oleh Rasulullah SAW. Beliau menikah pertama kali dengan Sakran bin Amr, saudara laki-laki Suhaili bin Amr Al-Amiri. Ia bersama suaminya adalah termasuk kelompok kaum muslimin yang berjumlah 8 orang dari Bani Amir yang hijrah ke Habasyah dengan meninggalkan harta-harta mereka. Tak lama kemudian setelah berakhirnya pengujian pengungsian di negeri Habasyah, ujian yang lainpun datang. Saudah harus kehilangan suaminya menghadap Sang Khaliq selama-lamanya. Maka jadilah ia seorang janda seiring dengan usianya yang mulai menapaki masa senja.

Hari-hari duka dilalui dengan ketabahan. Dan inilah yang membuat Rasulullah SAW merasa terkesan kepadanya serta bersedia membantu Saudah tak ubahnya seperti masa kedukaan yang dialami Rasulullah SAW sejak meninggalnya Khadijah. Wanita pertama yang beriman dikala manusia berada dalam kekafiran, yang mendermakan hartanya ketika manusia menahannya, dan melalui dialah Allah anugerahkan seorang putera.

Namun setelah masa-masa itu datanglah Khaulah binti Hakim kepada Rasulullah seraya bertanya:”Tidakkah engkau ingin menikah lagi, Ya Rasulullah?.” Dengan suara sedih dan duka Rasulullah SAW menjawab :”Siapakah yang akan menjadi istriku setelah Khadijah, ya Khaulah?” Khaulah berkata lagi :”Terserah padamu , ya Rasulullah, engkau menginginkan yang gadis atau yang janda”. “Siapakah yang masih perawan?”, tanya Rasulullah kepada Khaulah.

42

Khaulah pun menjawab :”Anak perempuan dari orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah binti Abu Bakar”. “Dan siapakah kalau janda?” tanya beliau. Khaulah menjawab: “Ia adalah Saudah binti Zam’ah, yang ia beriman kepadamu dan mengikutimu atas apa-apa yang kamu ada padanya”.

Akhirnya Rasulullah SAW menikah dengan ‘Aisyah dan tidak lama kemudian beliau menikahi Saudah menjadi pendamping kedua bagi beliau. Kehadirannya sebagai istri dalam rumah tangga Rasulullah SAW mampu membahagiakan hati beliau. Dan Saudah hidup bersendirian dengan Rasulullah SAW sekitar tiga tahun lebih. Beliau membantu Rasulullah SAW dan putri-putri beliau.

Setelah selama tiga tahun baru kemudian datang lah ‘Aisyah ke rumah Rasulullah SAW dan disusul istri-istri beliau yang lain seperti Hafshah, Zainab Ummu Salamah, dan lainnya.

Saudah memahami bahwa pernikahannya dengan Nabi SAW didasari karena rasa iba beliau kepadanya setelah kematian suaminya. Semua itu menjadi jelas ketika Nabi ingin menceraikannya secara baik-baik, sehingga ketika Rasulullah SAW menyampaikan tentang keinginannya untuk talak menceraikan Saudah, maka Saudah merasa seakan-akan berada dalam mimpi yang buruk yang menyesakkan dadanya. Ia tetap ingin menjadi istri dari junjungan para nabi sampai Allah membangkitkannya dirinya di hari kiamat kelak. Dengan suara yang lembut ia berbisik kepada suaminya: “Tahanlah aku, wahai Rasulullah dan demi Allah, aku berharap Allah membangkitkan aku di hari Kiamat dalam keadaan aku sebagai istrimu”. Kemudian ia memberikan hari-hari gilirannya untuk ‘Aisyah istri yang sangat disayangi beliau.

Akhirnya Rasulullah SAW memperkenankan permintaan wanita yang mempunyai perasaan baik ini. Sehingga Allah turunkan ayat tentang hal ini, yaitu dalam surat An-Nisa ayat

128 :

“….maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik. Rasulullah bersabda :

“Tidak ada seorang wanita pun yang paling aku senangi menjadi orang sepertinya selain Saudah binti Zam`ah (HR. Muslim).

Saudah berkata :

”Ya Rasulullah, aku berikan hariku kepada Aisyah radliyallahu ‘anha. Jadi Rasulullah SAW membagi waktu kepada Aisyah radhiyallahuanha dua hari, sehari miliknya sendiri dan sehari lagi pemberian Saudah.”(HR Muslim)

Demikianlah Ummul Mukminin Saudah tinggal di rumah Nabi, dan beliau hari-harinya dengan keridhaan, ketenangan dan rasa syukur kepada Allah sampai kepergiannya menghadap Rabbnya dimasa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Dalam dokumen 08-nikah (Halaman 38-43)

Dokumen terkait