• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Berbagai Model Teori Organisasi dan Pengukuran

adalah suatu pola kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam masyarakat modern dikenal banyak jenis organisasi yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sektor swasta maupun sektor publik (negara).

Menurut Lubis & Huseini (1987:1) organisasi adalah suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, memiliki tujuan tertentu dan batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya.

Kasim (1985: 85) mengemukakan bahwa organisasi merupakan unsur utama dalam administrasi negara karena menyangkut kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan-tujuan publik seperti pembangunan dan pelayanan masyarakat.

Kasim (1989: 84 – 85) mengajukan beberapa model teori organisasi sebagai acuan untuk mendeskripsikan efektivitas yaitu sebagai berikut:

1. Model Tujuan Rasional

Model ini menganggap bahwa organisasi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan secara rasional. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan aturan-aturan, prosedur, dan birokrasi dengan memperhatikan keahlian (expertise) setiap orang untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai tata kerja, lingkup wewenang, dan tanggung jawab baik fungsional maupun struktural.

2. Model Hubungan Manusia

Dalam model hubungan manusia, keberhasilan organisasi mencapai tujuannya, tidak dilihat pada tata kerja atau birokrasi yang rasional melainkan kepada segi-segi yang melatari hubungan manusia dalam organisasi itu, seperti kebutuhan, dorongan, keinginan, harapan, kepuasan, serta aneka faktor sosial-psikologis yang menjadi kekuatan ataupun kendala bagi terjalinnya hubungan manusia dalam mencapai tujuan organisasi.

3. Model Sistem Terbuka

Model sistem terbuka menganggap bahwa suatu organisasi, swasta atau publik, tidak bisa bebas dari lingkungan. Teori ini mendasarkan gagasannya pada asumsi bahwa semakin kompleks tugas organisasi maka semakin beragam (complicated) unit-unit organisasi yang bersangkutan, dan tiap unit organisasi berhubungan dengan segmen lingkungan yang berbeda pula.

4. Model Proses Internal

Model proses internal menganggap bahwa dalam suatu organisasi ada dua faktor determinan yang amat menentukan pencapaian tujuan, yaitu informasi dan komunikasi. Oleh karena itu model proses internal menempatkan pengelolaan informasi, komunikasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan serta pengawasan terhadap pelaksanaan tugas merupakan kegiatan sentral dalam organisasi untuk mencapai tujuannya.

Dalam pelaksanaan program atau kegiatan sebuah organisasi sangat perlu untuk mengukur atau mengetahui sejauh mana langkah efesiensi dilakukan dalam organisasi tersebut. Keberhasilan organisasi pada umumnya diukur dengan konsep efektivitas, namun banyak terdapat perbedaan dari para pakar yang menggunakannya. Sebab utamanya adalah tidak adanya kesamaan pendapat karena banyaknya ukuran efektivitas yang dapat digunakan.

Sutrisno (2010 : 149) juga mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan agar tercapai efektivitas organisasi baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria yang menjadi ukuran efektivitas organisasi, yaitu sebagai berikut:

1. Produksi (production)

Produksi barang maupun jasa menggambarkan kemampuan organisasi untuk memproduksi barang ataupun jasa yang sesuai dengan permintaan lingkungannya. Ukuran produksi ini akan meliputi keuntungan penjualan, jangkauan pasar, pelanggan yang dilayani dan sebagainya.

2. Efisiensi (efficiency)

Ini berhubungan secara langsung dengan keluaran yang dikonsumsi oleh pelanggan. Untuk organisasi dapat bertahan perlu memperhatikan efisiensi. Ukuran efisiensi melibatkan tingkat laba, modal atau harta, biaya per unit, penyusutan, depresiasi dan sebagainya.

3. Kepuasan (satisfaction)

Banyak manajer berorientasi pada sikap untuk dapat menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi dapat memenuhi kebutuhan para karyawannya, sehingga mereka dapat merasakan kepuasannya dalam bekerja. Hal ini dilakukan manajer dengan pencarian keuntungan yang optimal. Yang dimaksud optimal yaitu pencapaian tujuan yang diselaraskan dengan kondisi organisasi demi kelangsungan usahanya.

4. Adaptasi (adaptiveness)

Kemampuan adaptasi ialah sampai seberapa jauh organisasi mampu menerjemahkan perubahan-perubahan intern dan ekstern yang ada, kemudian akan ditanggapi oleh organisasi yang bersangkutan, kemampuan adaptasi ini sifatnya lebih abstrak di banding dengan masalah yang lain seperti produksi, keuangan, efisiensi, dan sebagainya. Walaupun demikian, tetapi bisa diamati dari hasil penelitian. Jika organisasi tidak bisa menyesuaikan diri, maka kelangsungan hidup bisa terancam.

5. Perkembangan (development)

Perkembangan merupakan suatu fase setelah kelangsungan hidup terus (survive) dalam jangka panjang. Untuk itu organisasi harus bisa memperluas kemampuannya, sehingga bisa berkembang dengan baik dan sekaligus akan dapat melewati fase kelangsungan hidupnya. Usaha pengembangan kemampuan tersebut seperti program pelatihan bagi karyawan. Dari pengembangan kemampuan organisasi diharapkan dapat mengembangkan orgasnisasinya dengan baik untuk sekarang maupun yang akan datang.

Menurut Nugroho (2012:107) pada dasarnya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu:

1. Tepat Kebijakan.

Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal dapat memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.

Sisi kedua kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang hendak dipecahkan. Sisi ketiga adalah, kebijakan tersebut dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakannya.

2. Tepat Pelaksanaan.

Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah saja. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan. Kebijakan-kebijakan yang bersifat monopoli sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat memberdayakan masyarakat sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan masyarakat sebaiknya

diselenggarakan oleh masyarakat.

3. Tepat Target.

Ketepatan disini berkenaan dengan tiga hal. Pertama, target yang diintervensi sesuai dengan apa yang telah direncanakan, tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, dan tidak bertentangan dengan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua, target tersebut dalam kondisi siap untuk diintervensi atau tidak. Ketiga, intervensi implementasi kebijakan tersebut bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan sebelumya.

4. Tepat Lingkungan.

Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan dan lingkungan eksternal kebijakan. Lingkungan kebijakan yaitu interaksi di antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Kemudian lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebiajakan dan implementasi kebijakan; interpretive instution yang berkenaan dengan interpretasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan; individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.

5. Tepat Proses.

Secara umum, implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu:

1) Policy acceptance. Di sini publik memahami kebijakan sebagai sebuah “aturan main” yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.

2) Policy adoption. Di sini publik menerima kebijakan sebagai sebuah

“aturan main” yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.

3) Strategic readiness. Di sini publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari kebijakan, di sisi lain birokrat pelaksana siap menjadi pelaksana kebijakan.

Menurut Campbell (dalam Stress 1985:46) pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah :

1. Keberhasilan Program 2. Keberhasilan Sasaran

3. Kepuasan Terhadap Program 4. Tingkat input dan output 5. Pencapaian tujuan menyeluruh

Pendapat lain, Budiani (2007:53) menyebutkan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah sebagai berikut :

1. Ketepatan sasaran program, yaitu sejauh mana peserta program tepat yang sudah ditentukan sebelumnya. Menurut Makmur (2011:8) ketepatan sasaran lebih berorientasi kepada jangka pendek dan lebih bersifat operasional, penentu sasaran yang tepat baik ditetapkan secara indvidu maupun sasaran yang ditetapkan organisasi sesungguhnya sangat menentukan keberhasilan aktivitas organisasi. Demikian pula sebaiknnya,

jika sasaran yang ditetapkan itu kurang tepat maka akan menghambat pelaksanaan berbagai kegiatan itu sendiri.

2. Sosialisasi program, yaitu kemampuan penyelenggaraan program dalam melakukan sosialisasi program sehingga informasi mengenai pelaksanaan program dapat tersampaikan kepada masyarakat pada umumnya dan sasaran peserta program pada khususnya. Menurut Wilcox dalam Mardikonto (2013:86), Memberikan informasi merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal dan memperlancar dalam melanjutkan suatu pekerjaan, karena dengan memberikan informasi dapat dipergunakan dan meningkatkan pengetahuan bagi orang yang menerima informasi tersebut

3. Pencapaian tujuan program, yaitu sejauh mana kesesuaian antara hasil program dengan tujuan program yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Duncan (dalam Streers 1985:53) menyebutkan bahwa pencapaian tujuan adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodesasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor yaitu : kurun waktu dan sasaran yang merupakan target yang kongkrit.

4. Pemantauan program, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah dilaksanakan program sebagai bentuk perhatian kepada peserta program. Selanjutnya menurut Winardi (2010:7), pengawasan meliputi tindakan mengecek dan membandingkan hasil yang dicapai dengan standar-standar yang telah digariskan. Apabila hasil yang dicapai menyimpang dari standar yang berlaku perlu dilakukan tindakan korektif untuk memperbaikinya.

Selanjutnya menurut Bohari (1992:3) pengawasan merupakan suatu bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih kepada bawahannya. Siagian (dalam Situmorang Dkk 1993:19) menyebutkan bahwa pengawasan merupakan proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan beberapa pengukuran efektivitas diatas, peneliti menggunakan indikator-indikator untuk mengukur efektivitas Budiani (2007:53) karena peneliti ingin mengetahui ukuran efektivitas dalam pelaksanaan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dalam pengentasan kemiskinan di Kecamatan Medan Johor melalui ketetapan sasaran program, sosialisasi program, pencapaian tujuan program dan pemantauan Program.

2.4 Konsep Kebijakan Publik dan Program

Dokumen terkait