• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai Tantangan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Dalam dokumen PANCASILA Kebebasan Beragama (Halaman 52-62)

BAB III PEMBAHASAN

3.6. Berbagai Tantangan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Tampak dalam potret berbagai keagamaan dan perkembangan media dewasa ini seperti dijelaskan di atas jelas merupakan buah nyata sekaligus sesuatu yang absah di alam demokrasi. Tidak hanya mereka yang meyakini bahwa pluralitas harus dijaga dan dikelola dengan baik, demokrasi memberi ruang bagi kelompok keagamaan atau media yang seakan menolak pluralitas itu bahkan bisa tumbuh subur. Sayangnya keragaman dan perbedaan pandangan mereka ini justru sering berujung pada tindak kekerasan, situasi yang justru membahayakan demokrasi itu sendiri.

49

Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul dalam dua bentuk.

Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006. Sepanjang Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq.

Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran. Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat, misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini berlangsung.

Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia

50

kepada Komnas HAM pertengahan Desember 2007, sejak 2004 – 2007 telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan, dan pengrusakan gereja. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat, Banten, Poso, Jawa Tengah dan Bengkulu.

Aksi kekerasan keagamaan itu sepertinya berbanding lurus dengan meningkatnya gerakan islamisme yang juga kian menjamur hingga ke pelosok daerah. Isu yang diangkat beragam, mulai dari kristenisasi dan pemurtadan, anti-maksiat, aliran sesat, atau penegakan syariat Islam. Di daerah, kelompok-kelompok islamis ini menjadi aktor penting bagi lahirnya sejumlah perda bernuansa Syariat. Sebut saja Komite Penegakan Syariat Islam (KPPSI) pimpinan Aziz Kahar, putera Kahar Muzakar pemimpin DI/TII, di Sulawesi Selatan .

Organisasi ini dengan tegas menyatakan misinya sebagai organisasi yang memperjuangkan Syariat Islam di Sulsel secara legal formal melalui perjuangan politik konstitusional, demokratis, dan tetap dalam bingkai NKRI. Perda-perda yang lahir di Sulsel sebagian besar ditopang KPPSI. Dengan kendaraan ini pula Aziz Kahar juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Sulsel pada 2004 setelah Aksa Mahmud. Aziz meraih suara 636.856 suara. Tahun 2007, Azis mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Kalsel berpasangan dengan Mubyl Handaling.

Menariknya, KPPSI berhasil memperoleh dukungan dari sejumlah tokoh organisasi besar yang selama ini dikenal sebagai organisasi moderat

51

seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Strategi mencari legitimasi dari ormas besar ini juga dipakai kelompok-kelompok Islamis di derah lain. Dalam kasus Monas, bisa dilihat pula bagaimana Riziek Sihab berupaya mencari dukungan opini dari pernyataan ketua PBNU Hasyim Muzadi terkait posisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragaman dan Berkeyakinan (AKKBB).

Di Sulawesi Selatan, KPPSI berhasil mengajak tokoh NU dan Muhammadiyah untuk ikut menandatangi surat dukungan kepada usaha penegakan syariat Islam yang dilakukan KPPSI. Mereka antara lain KH. Sanusi Baco, Lc., pimpinan pimpinan NU Sulsel, dan KH. Jamaludin Amien dan pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsesl. Fenomena serupa juga tampak dalam pernyataan-pernyataan sikap Forum Umat Islam (FUI) di Jawa Barat terkait isu-isu keagamaan tertentu.

Agar lebih “efektif” di lapangan, kelompok Islamis ini biasanya membentuk kelompok-kelompok sayap militer. KPPSI misalnya membentuk Lasykar Jundullah dan Aliansi Muslim Bulukumba yang menjadi organ taktisnya. Di Jawa Barat berdiri Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) Aliansi Gerakan Anti-Anti-Pemurtadan (AGAP) diklaim didukung 27 organisasi massa Islam antara lain Front Pembela Islam, Barisan Pemuda Persis, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Jumlah anggotanya diklaim mencapai 50 ribu laskar yang tersebar di Bandung, Purwakarta, Garut, dan Sumedang.

52

Sekali lagi perlu ditegaskan, kekerasan umumnya tidak berdimensi tunggal. Ada banyak faktor pemicunya. Di luar soal doktrin keagamaan, lemahnya sikap tegas aparat terhadap aksi-aksi kekerasan ini merupakan faktor lainnya. Tidak jarang pula dijumpai adanya kecenderungan sikap keberpihakan aparat terhadap pandangan mayoritas dan tekanan kelompok-kelompok islamis sehingga mengorbankan mereka yang sesungguhnya adalah korban kekerasan.

Netralitas negara dalam penyelenggaraan kehidupan keberagamaaan juga patut dipertanyakan dalam konteks hubungan kepala negara terhadap ormas atau lembaga keagamaan, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dalam sebuah forum pertemuan dengan pihak MUI yang baru menggelar Rapat Kerja Nasional MUI september tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungannya atas keluarnya 10 Kriteria versi MUI. Sikap ini menunjukkan kecenderungan keberpihakan negara terhadap agama tertentu yakni Islam. Dari ini bisa juga dimulai untuk melihat posisi Majlis Ulama Indonesia dalam struktur kelembagaan dan tata pemerintahan Indonesia.

Seperti di ketahui, konteks khusus terbentuknya MUI di era Orde Baru telah menjadikan lembaga ini “istimewa” dan seperti setara dengan lembaga independen lain yang juga dibiayai negara melalui APBN seperti halnya Komnas HAM atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal jika merujuk pada anggaran dasar MUI, lembaga ini jelas dinyatakan sama kedudukannya sebagai organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah.

53

Jika alasan ini bisa diterima, maka pola hubungannya negara terhadap MUI tak berbeda dengan ormas lainnya. Hanya saja dalam realitas politik Indonesia, pemerintah, baik langsung maupun tak langsung, kerap kali merujuk fatwa-fatwa MUI untuk mengambil kebijakan.

Bahkan pasca dikeluarkannya 11 fatwa MUI pada Juli 2005 lalu, presiden memberikan dukungan penuh atas fatwa-fatwa tersebut. Wajar jika sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Syafii Anwar, Ulil Abshar-Abdala, dan Weinata Sairin menolak fatwa-fatwa tersebut karena dinilai bertentangan dengan semangat kebhinekaan Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila. Tak ketinggalan, Hazim Muzadi, Ketua Umum PBNU juga menilai mundur fatwa MUI tersebut terutama bagi kehidupan antar umat beragama.

Bergulirnya era reformasi berpengaruh terhadap kehidupan berdemokrasi masyarakat Indonesia. Kesadaran untuk mengemukakan pendapat di muka umum, berserikat, berorganisasi, bahkan mendirikan partai politik menjadi warna tersendiri di era ini. Tercatat pada pemilu 1999 ada 48 partai politik (parpol) peserta pemilu, pemilu 2004 menciut menjadi 24 parpol saja. Namun demikian jumlah tersebut sudah merupakan jumlah yang signifikan dibanding dengan era Orde Baru.

Kebijakan publik seperti perundangan-undangan yang dihasilkan oleh parpol di parlemen pun mengalami kemajuan, meski belum sesuai dengan yang kita harapkan. Paling tidak terkait dengan masalah kebebasan

54

beragama yang dalam UUD 1945 dipatrikan pada pasal 28 dan 29 sebagai telah diuraikan sebelumnya tidak mengalami perubahan. Ini menunjukkan bahwa pada umumnya partai politik kita cenderung untuk tetap mempertahankan koridor kebebasan beragama sebagaimana telah dirancang para pendiri bangsa (founding fathers) ini sejak tahun 1945 silam. Sayangnya, persoalan kebebasan beragama nampaknya tak cukup hanya diatur melalui pasal-pasal dalam UUD tersebut. Entah karena cara menafsirkan dan implementasinya yang berbeda-beda pada tataran pelaksanaan atau kekurangjelasan para implementator di lapangan terhadap isi dari pasal-pasal dimaksud.

Yang terang, sejumlah peristiwa yang mencederai konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan terus berlangsung hingga hari ini. Kekerasan bernuansa agama yang masih kerap terjadi di berbagai daerah dan menimpa berbagai kelompok masyarakat dan komunitas agama. Lantas bagaimana sikap partai-partai politik (dan fraksi-fraksi di DPR RI) era Reformasi menyikapi hal itu? Terhadap peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun 2007 Komisi III DPR RI menyatakan prihatin akan hal itu. Seperti dilaporkan SETARA Institute, sepanjang Januari hingga November 2007 sebanyak 135 peristiwa terjadi di tahun itu. Keprihatinan itu disampaikan anggota Komisi III DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan SETARA Institute, Perwakilan Hakim Adhoc PHI dan Human Right Working Group, pada 22 Januari 2008 yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Suripto (F-PKS).

55

Atas peristiwa tersebut Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional menanyakan kenapa sekarang dengan alasan agama kita bisa memerangi orang lain, padahal negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya masalah ini persoalan yang serius untuk segera ditangani dan ada hal-hal yang perlu dievaluasi. Karena berdasarkan amanah konstitusi, sesungguhnya negara wajib melindungi setiap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Soal SKB Tiga Menteri yang mengatur keberadaan Ahmadiyah dua partai politik nampak berseberangan pendapat. Sebelum SKB tersebut dikeluarkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap meminta pemerintah membatalkan rencana Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah itu. Jika pemerintah mengeluarkan putusan tersebut, Ahmadiyah dan seluruh elemen masyarakat pendukung pluralisme wajib mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan dari PDIP itu ditegaskan oleh anggota Fraksi PDIP Said Abdullah pada 6 Juni 2008 lalu. Ia mengatakan negara atau siapa pun tidak berhak mengatur keyakinan beragama seseorang.

Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebelum SKB itu dikeluarkan, tetap mendesak pemerintah segera mengeluarkan SKB Ahmadiyah, untuk menghindari konflik sosial yang lebih luas dan supaya tidak terkesan pemerintah membiarkan aliran Ahmadiyah sehingga memicu munculnya berbagai aliran sesat lainnya di Indonesia. Ketua DPP PPP

56

Hasrul Azwar mengatakan, pihaknya akan tetap mendesak pemerintah mengeluarkan SKB Ahmadiyah. Menurutnya, bagi umat Islam ajaran Ahmadiyah sangat meresahkan dan memicu perpecahan umat, khususnya dalam hal shalat dan ibadah lainnya.

Kasus-kasus kekerasan dengan mengatasnamakan agama juga mendapat perhatian dari kalangan parpol dan fraksi-fraksi di DPR. Yang teranyar adalah terhadap peristiwa kekerasan yang menimpa aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyainan (AKKBB) di Silang Monas, 1 Juni 2008 lalu. Atas peristiwa yang memakan 70-an korban dan 14 diantaranya harus dirawat di rumah sakit itu Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, menyatakan keprihatianan yang mendalam sehubungan dengan terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk penyerangan oleh kelompok Front Pembela Islam. Fraksi ini melalui Pimpinan DPR mendesak pemerintah untuk: (1) Secara tegas tanpa ragu-ragu melalui Aparat Kepolisian RI segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kelompok yang melakukan tindak kekerasan sesuai dengan hukum berlaku; (2) secara tegas tanpa ragu-ragu memberikan sikap dan pengaturan terhadap permasalahan Ahmadiyah, sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945, dan kewenagan yang diberikan oleh peraturan perundangan yang berlaku dalam mewujudkan perlindungan dan jaminan terhadap seluruh umat beragama; (3) melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsekwen tanpa diskriminasi, sehingga dapat memelihara rasa keadilan masyarakat sebagai prasyarat terwujud kerukunan

57

hidup umat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Senada dengan fraksi PDIP, Ketua Fraksi PKB DPR A Effendy Choirie memprotes keras tindakan anarkis yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap AKKBB. Tindakan itu menurutnya jelas melanggar hak asasi manusia, konstitusi bangsa dan mencerminkan pemahaman keagamaan yang dangkal. Karena itu negara dan aparat kepolsian harus bertindak tegas dengan menangkap serta memproses mereka secara hukum. Bahkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng kubu Ali Maskur Moesa mendukung langkah tegas pihak polisi dengan menangkap aktivis Front Pembela Islam (FPI) pelaku kekerasan AKKBB di Silang Mona situ. Ketua DPW PKB Jawa Tengah kubu Ali Maskur Moesa, KH Yusuf Cudlori menyatakan siapapun yang melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama warga negara, tanpa ada alasan jelas harus di proses secara hokum.

Sementara itu Fraksi PKS menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) harus dilihat sebagai reaksi atas ketidaktegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah. Pemerintah dihimbau untuk segera mengambil keputusan tegas mengenai keberadaan aliran-aliran sesat di Indonesia seperti Ahmadiyah. Karena jika hal itu tidak dilakukan konflik sosial tidak mustahil akan terjadi lagi. Hal ini diungkapkan Ma’mur Hasanuddin, Anggota komisi III DPR RI menanggapi insiden Monas 1 Juni.

58

Dari beberapa pernyataan dan sikap di atas masih menunjukkan bahwa suara prapol dan fraksi-fraksi di DPR baru sampai pada tataran keprihatinan dan himbauan kepada pemerintah untuk bersikap tegas. Padahal, kita berharap parpol melalui wakilnya di DPR dapat mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui langkah-langkah kongkrit seperti membuat peruandang-undangan yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Bukankah di penghujung tahun 2005, Komisi VIII DPR RI melalui ketuanya Hazrul Azhar menyatakan siap mengusulkan UU Kebebasan Beragama untuk menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/MDN-MAG/1969 tentang “Pendirian Rumah Ibadah” yang saat itu disempurnakan pemerintah. Tentunya kita menunggu usaha-usaha itu untuk direalisasikan di tengah adanya pula parpol dan fraksi di DPR yang kurang atau belum memahami pentingnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi warga masyarakat.

3.7. Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan

Dalam dokumen PANCASILA Kebebasan Beragama (Halaman 52-62)

Dokumen terkait