• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA Kebebasan Beragama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANCASILA Kebebasan Beragama"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PANCASILA “Kebebasan Beragama”

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan oleh Bapak Uci Sanusi, M.H.

Disusun oleh :

Nama : Dina Shinta Lestari

NIM : D111811005

Kelas : IF – A

Program Studi : Teknik Informatika

POLITEKNIK TEDC BANDUNG

Jl. Pesantren KM. 2 Cibabat – Cimahi Utara, Jawa Barat

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini, karena tanpa dorongan dan kuasa-Nya penulis tidak mampu berbuat apa-apa. Saya selaku peyusun karya tulis ini ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Uci Sanusi, M.H. , selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Teknik Informatika.

2. Orang tua yang sudah mendukung untuk menyelesaikan karya tulis ini.

3. Teman-teman khususnya DIV Teknik Informatika, saya mengucapkan banyak terima kasih.

Demikian penulisan makalah ini telah selesai dibuat, dan saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini saya selaku penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya, seperti peribahasa ‘TAK ADA GADING YANG TAK RETAK’. Atas perhatiannya saya sampaikan terima kasih.

Bandung, 16 November 2018

(3)

iii

DAFTAR ISI

PANCASILA “Kebebasan Beragama” ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 2

1.3. Tujuan ... 2

BAB II SUMBER HUKUM ... 3

2.1. Undang-Undang ... 3

2.1.1. Konsep kebebasan beragama bila dikaitkan dengan UUD 1945 3 2.1.2. Konsep kebebasan beragama bila dikaitkan dengan HAM. ... 9

2.2. Peraturan Pemerintah ... 16

2.3. Peraturan Presiden ... 21

2.4. Peraturan Daerah ... 22

2.5. Al-qu’an ... 24

2.6. Al-Hadist ... 27

BAB III PEMBAHASAN ... 30

3.1. Dasar-dasar Hukum ... 30

3.2. Deskripsi Permasalahan Kebebasan Beragama di Indonesia ... 31

3.3. Jelajah histori mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi ... 36

3.4. Jaminan Konstitusi Tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ... 37

3.5. Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Bergama dan Berkeyakinan ... 45

(4)

iv

3.5.1. Kaum perempuan ... 46

3.5.2. Penerapan UU Perlindungan Anak ... 46

3.5.3. Organisasi keagamaan asing ... 46

3.5.4. Peraturan bersama 2 Menteri... 47

3.5.5. Aksi anarkis ... 47

3.6. Berbagai Tantangan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Keragaman ... 48

3.7. Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat? 58 3.8. Khalifah Imam Mahdi ... 60

BAB IV PENUTUP ... 76

4.1. Kesimpulan ... 76

4.2. Saran ... 78

(5)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Namun dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama diatur dalam undang-undang sebagai ”bebas untuk memilih dan memeluk agama tertentu”, ”bukan bebas untuk tidak beragama”, karena Indonesia adalah negara Pancasila yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga masalah pelaksanaannya di lapangan. Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat sipil.

Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi, pengadilan, dll); Kedua, ranah hukum. Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan paling serius adalah menguatnya arus gerakan Islamisme, tidak hanya di pusat tapi juga

(6)

2

didaerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam membangun karakter masyarakat yang lebih toleran.

1.2. Permasalahan

Dalam makalah yang berjudul ”Kebebasan dalam Beragama” memiliki beberapa rumusan masalah:

1. Apa saja dasar-dasar hukum yang menjamin kebebasan seseorang beragama dan melaksanakan ibadahnya?

2. Bagaimana jelajah histori mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi

3. Bagaimana bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Bergama dan Berkeyakinan di Indonesia.

4. Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum yang menjamin kebebasan seseorang beragama dan melaksanakan ibadahnya

2. Memberikan gambaran umum tentang permasalahan kebebasan beragama di Indonesia.

3. Memahami tantangan dan peluang kebebasan beragama di Indonesia.

4. Mengetahui berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

(7)

3

BAB II SUMBER HUKUM

UUD 45 dalam sistem hukum di Indonesia dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi turunannya. Adapun tingkatan hukum di Indonesia setelah UUD 45 adalah: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Daerah. Dalam sistim hukum global Indonesia banyak juga meratifikasi berbagi konvenan Internasional seperti Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik lewat UU 12/2005. Dalam masa reformasi UUD 45 paling tidak telah mengalami empat kali amandemen, sungguh sebuah masa perubahan yang sangat cepat dalam hukum di Indonesia.

2.1. Undang-Undang

2.1.1. Konsep kebebasan beragama bila dikaitkan dengan UUD 1945

Konsep kebebasan beragama menurut UUD Tahun 1945 Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha. Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Dengan arti kata, masalah kebebasan beragama memang tidak pernah tuntas diperdebatkan hingga sekarang.

(8)

4

Semula, rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian diubah lewat keputusan rapat PPKI, 18 Agustus 1945 menjadi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya), yang justru dipandang prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Rumusan inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga sekarang dan tidak mengalami perubahan meski telah empat kali mengalami amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Di era reformasi sekarang, banyak sekali produk hukum yang lahir dalam masa reformasi dihasilkan sebagai produk kontestasi etno politik dari berbagai kelompok masyarakat baik ditingkat pusat maupun daerah. Reformasi berjalan dengan berbagai upaya legislatif mengisi ruang hukum Negara Indonesia dengan berbagai produk hukum. Bercampur dengan situasi politik dan ekonomi Negara dan berbagai agenda kepentingan lainnya, reformasi telah menghasilkan sejumlah produk hukum, mulai dari UU sampai dengan Peraturan Daerah. Sangat disayangkan, sejumlah produk hukum atau peraturan yang ada menimbulkan ketegangan di masyarakat dan tumpang tindih bahkan ada juga yang melihat sebagai produk-produk multitafsir.

Namun demikian, di sisi lain Negara Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama.

(9)

5

Penduduk Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah. Penduduk ini menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Bagian terbesar dari penduduk menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, bahkan juga ratusan aliran keagamaan. Karena itu, diperlukan kearifan dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Dari sisi Pemerintah, diperlukan kebijaksanaan dan strategi untuk menciptakan dan memelihara suasana kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman, damai, sejahtera dan bersatu.

Dimana yang dimaksud kerukunan umat beragama disini adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan, pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama.

Dilain pihak kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama

(10)

6

sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Menurut Mahfud M.D, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing.

Dengan demikian, kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh UUD 1945 terutama pasal 28E, 28I, dan 29. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya dapat dilakukan melalui UU sebagaimana ditur dalam Pasal 28J UUD 1945 tersebut. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa:

“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Tetapi Undang-Undang yang sama juga mengatur adanya kewajiban dasar manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 1, 67, 68, 69 dan 70 UU tersebut. Tentang pembatasan hak dan kebebasan hanya dapat dilakukan oleh UU sebagaimana diatur Pasal 73 UU tersebut. Demikian pula kebebasan beragama dijamin oleh

(11)

7

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU ini, disebutkan sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Prinsip dan pasal-pasal mengenai kebebasan beragama diatas masih sangat umum dan perlu penjabaran lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan isu kebebasan beragama di Indonesia dewasa masalahnya dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya 4 masalah11:

(12)

8

1) Hubungan kebebasan beragama dengan agama lain. Ini menjadi masalah karena adanya pluralitas agama yang mengakibatkan adanya benturan program antara satu agama dengan agama lain.

2) Hubungan kebebasan beragama pada pemeluk agama masing-masing. Ini menyangkut masalah-masalah pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang oleh umat penganut agama tersebut dianggap menyimpang.

3) Hubungan kebebasan beragama dan pemerintah. Khusus ketika terjadi konflik peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai penengah dan fasilitator antar agama atau antar pemeluk agama.

4) Hubungan kebebasan beragama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini bermasalah ketika HAM yang dianggap universal itu ternyata secara konseptual dan praktis berbenturan dengan prinsip-prinsip dalam agama.

UUD 1945 tidak secara tegas mengatur agama-agama apa saja yang harus dipeluk oleh seseorang sebagai warga negera Indonesia. Dengan demikian menurut ketentuan UUD 1945 tersebut, warga negara diberi kebebasan untuk memeluk dan memilih salah satu agama atau keyakinan serta menjalankan ibadat sesuai syariatnya. Agama dan kepercayaan seseorang tidak dapat dipaksaan, Negara sekalipun tidak dapat memaksakan dan menentukan seseorang harus memilih salah satu agama tertentu.

(13)

9

2.1.2. Konsep kebebasan beragama bila dikaitkan dengan HAM.

Hak-hak asasi manusia adalah menjadi hak-hak konstitusional karena statusnya yang lebih tinggi dalam hirarki norma hukum biasa, utamanya ditempatkan dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Artinya memperbincangkan kerangka normatif dan konsepsi hak-hak konstitusional sesungguhnya tidaklah jauh berbeda dengan bicara hak asasi manusia. Perlu diakui bahwa perubahan UUD 1945 hasil amandemen adalah lebih baik dibandingkan dengan konstitusi sebelumnya dalam membangun sistem ketatanegaraan, salah satu utamanya terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia.

Sementara itu, dalam konteks legislasi nasional, kewajiban ini juga ditegaskan UUD 1945 di Pasal 28I ayat 4. Demi mengimplementasikan kewajiban tersebut, selayaknya negara menempuh langkah-langkah yang efektif di pelbagai bidang, seperti: hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta bidang lain seperti termaktub di Pasal 71 jo. Pasal 72 dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dilain pihak, jika universalitas agama dipahami dengan baik, hak asasi manusia (HAM) sama sekali tidak berbenturan dengan agama. HAM sangat menghargai kemanusian layaknya agama menghormati hak hidup manusia. Pasalnya, tiap agama juga mengatur interaksi sesama manusia. Saling bantu dalam

(14)

10

menghadapi musuh bersama, membela yang teraniaya, saling menasehati, serta menghormati kebebasan beragama.

Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai posisi yang kompleks. Dalam konfigurasi ketatanegaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting juga. Sebagian besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik. Menurut Ifdhal Kasim, kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang paling mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik. Namun jika dikaitkan kebebasan beragama dalam hal kenegaraan banyak menemukan persoalan-persoalan yang butuh penyelesaian apalagi persoalanya dikaitkan dengan HAM. Didalam konstitusi, dijelasakan dalam sejumlah pasal yang bukan saja menunjukkan pentingnya agama, akan tetapi juga betapa agama dan kehidupan beragama merupakan HAM, seperti:

1. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A)

2. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat (Pasal 28E)

3. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2))

(15)

11

4. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G)

5. Hak atas bebas dari penyiksaan (Pasal 28G ayat (3)). Puncak pengakuan atas hak asasi manusia dalam konstitusi ditutup dengan dengan termuatnya Pasal 28 J, yang menyatakan:

“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Kebebasan beragama sebagai salah satu fondasi bernegara juga diakui oleh UUD 1945, yaitu Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). “Negara

berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.” Legalisasi dalam

konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama menduduki porsisi yang penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Kebebasan

(16)

12

beragama sebagaimana dimaksud dalam pasal 28E dikaitkan dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa kebebasan dalam memeluk agama dan beribadat menurut agamanya tersebut yang berdasar pada keTuhanan Yang Maha Esa, artinya pengakuan adanya Tuhan Yang Esa yang menjadi sendi bernegara, oleh karena itu setiap werganegara diwajibkan memeluk agama yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa.

Hak dasar inilah yang disebut sebagai Hak Asasi. Hak beragama yang dimilki oleh setiap warga negara Indonesia yang dinyatakan sebagai bagian dari hak asasi sebagaimana diatur dalam pasal 4 dan pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Karena itu negara memberikan kebebasan warganegara untuk memeluk agama, akan tetapi tidak dapat menentukan salah satu agama yang dipilihnya. Namun demikian di dalam negara hukum (rechstaat) yang dapat merampas Hak asasi hanyalah Peraturan Perundang-undangan. Hal ini berdasarkan asal legalitas dalam negara hukum, di mana kebebasan asasi dapat dijalankan dengan tanpa melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Implementasi “kebebasan” dalam negara hukum tidak dapat dijalankan sebebas-bebasnya, tetapi tetap berdasarkan atas hukum yang berlaku, termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

(17)

13

Dengan demikian di dalam memeluk agama dan menjalankan ibadatnya sesuai yang diatur dan ditetapkan dalam agama yang dianut dan diakui keberadaannya oleh negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.18 Banyaknya agama, keyakinan dan kepercayaan di Indonesia merupakan hiteroginitas dan cermin pengakuan hak asasi dalam berkeTuhanan Yang Maha Esa. Eksistensi agama di Indonesia ada dalam posisi minoritas dan mayoritas, oleh karena itu hak asasi beragama baik yang ada dalam posisi minoritas maupun mayoritas dijaga untuk memiliki hak yang sama.

Hal ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar (Konstitusi), sehingga tidak terjadi prinsip marginalisasi yang bertentangan dengan konsep hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang. Kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang paling mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional dan internasional, jauh sebelum berkembangnya pemikiran mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik.. Pada paragraf pertama Pasal 18 ayat (1) ICCPR menyatakan bahwa ”semua orang memiliki hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Hak ini juga mencakup kebebasan untuk mengambil atau memeluk agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya dan kebebasan, baik secara individual atau bersama-sama dan di ranah umum maupun privat, untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam pemujaan,

(18)

14

pelaksanaan perintah agama, praktik, dan pengajaran.” Namun demikian ICCPR juga menegaskan bahwa kebebasan beragama itu tidak mutlak. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 ayat (3) ICCPR yang pada intinya menyatakan bahwa ”kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan hanya boleh dibatasi oleh hukum dan hanya yang perlu untuk melindungi keselamatan masyarakat, ketenteraman, kesehatan, atau moral, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.”

Menurut Karl Josef Partsch, pembatasan-pembatasan yang diijinkan paragraf tadi hanya berlaku terhadap kebebasan untuk menjalankan perintah agama atau kepercayaan. Tidak ada pembatasan yang dibolehkan terhadap kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama seperti dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (1) ICCPR, juga tidak membatasi pula kebebasan ”untuk memeluk atau menganut agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihan dalam ayat (2). Pembatasan tadi dengan syarat-syarat:

(1) hanya bila diperkenakan oleh hukum dan diperlukan;

(2) untuk melindungi keselamatan masyarakat, namun bukan keamanan nasional; dan

(3) untuk melindungi kebebasan mendasar orang lain namun tidak semua hak atau kebebasan orang lain.

Kemudian Pasal 18 ayat (4) menegaskan bahwa ada jaminan pada orang tua untuk menentukan dan menjamin pendidkan agama dan moral

(19)

15

anak-anak mereka. Dalam UUD 1945, hak kebebasan agama diatur di dalam Pasal 28E ayat (1) dan bahkan Pasal 28I ayat (1) juga menegaskan hal tersebut sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Kemudian, pelaksanaan atas hak tersebut diatur di dalam Pasal 28I ayat (5) yang pada intinya menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan mengenai kebebasan beragama itu tidak dilepaskan dari sukma Pasal 29 UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa serta negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sudah barang tentu pelaksanaan HAM ini juga tunduk kepada ketentuan ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yang selengkapnya dikutip sebagai berikut:

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Dalam menjelankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang

(20)

16

adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kesimpulan 3. Konsep kebebasan beragama menurut UUD Tahun 1945, dapat dilihat

terutama pasal 28E, 28I, dan 29. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya dapat dilakukan melalui UU sebagaimana ditur dalam Pasal 28J UUD 1945. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.

4. Konsep kebebasan beragama bila dikaitkan dengan HAM, dapat dilihat terhadap hak beragama yang dimilki oleh setiap warga negara Indonesia yang dinyatakan sebagai bagian dari hak asasi sebagaimana diatur dalam pasal 4 dan pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun

2.2. Peraturan Pemerintah

Indonesia juga terikat secara yuridis dan moral terhadap Universal Declaration of Human Rights serta perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM (international bill of rights yang semua anggotanya mengakui hak kebebasan beragama. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah berpedoman pada landasan yuridis sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, 28I, 28J, dan 29 yang pada intinya bahwa setiap warga bebas dan berhak untuk

(21)

17

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.

2. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 3. Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

4. Undang-Undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

5. Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

6. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

7. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

8. Peraturan Bersama Menteri Agama dan ivienteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

(22)

18

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

9. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Rl Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA-6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Dalam rangka membangun dan memelihara kerukunan umat beragama, Pemerintah mengarahkan pada dua kebijakan besar yaitu:

1. Pemerintah berupaya memberdayakan masyarakat pada umumnya dan kelompok umat beragama serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah umat beragama.

2. Pemerintah memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama baik yang dilakukan oleh umat maupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Rambu-rambu tersebut berupa peraturan perundangan yang mengatur lalu lintas kehidupan warga negara yang berbeda kepentingan karena perbedaan agama. Rambu-rambu tersebut disusun dengan tetap memperhatikan partisipasi masyarakat, seperti dalam penyiapan draf Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Sekolah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan

(23)

19

Pendirian Rumah Ibadat, melalui beberapa kali pertemuan para wakil majelis agama sehingga hampir seluruh naskah PBM merupakan hasil diskusi pemuka agama.

Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Pembentukan dan peningkatan efektivitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Hingga saat ini telah terbentuk FKUB di 33 provinsi di seluruh Indonesia, dan juga telah terbentuk di 421 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia. Sebagian FKUB itu telah banyak yang berperan maksimal dalam pemeliharaan kerukunan, namun sebagian lainnya masih berproses menuju optimalitas perannya.

2) Pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran. Pengembangan sikap dan perilaku seperti ini menjadi sangat penting di tengah isu terorisme dan radikalisme belakangan ini. Badan Litbang dan Diklat telah melakukan sejumlah penelitian dan lokakarya terkait upaya deradikalisasi dan pengembangan budaya damai.

3) Penguatan kapasitas masyarakat dalam menyampaikan dan mengartikulasikan aspirasi-aspirasi keagamaan melalui cara-cara

(24)

20

damai, serta pengembangan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM).

4) Peningkatan dialog dan kerjasama intern dan antarumat beragama, dan pemerintah dalam pemeliharaan "kerukunan umat beragama. Kementerian Agama telah melaksanakan kegiatan "Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah" sejak tahun 2003 hingga saat ini, dan sudah dilakukan di 26 provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

5) Peningkatan koordinasi antar instansi/lembaga pemerintah dalam upaya penanganan konflik terkait isu-isu keagamaan. Kementerian Agama senantiasa berkoordinasi dalam berbagai isu keagamaan dan kerukunan yang terjadi.

6) Pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama, penyuluh agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon pemimpin agama.

7) Peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia internasional. Pemerintah telah turut aktif bahkan menjadi inisiator dalam berbagai kegiatan dialog lintas agama atau keyakinan (interfaith dialogue) antarnegara, baik tingkat regional, bilateral, maupun internasional.

8) Penguatan peraturan perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan, seperti perlunya penyusunan rancangan

(25)

undang-21

undang tentang kerukunan umat beragama, perlindungan dan kebebasan beragama. Meskipun pemerintah telah membuat langkah-langkah sehingga kerukunan umat beragama dan kebebasan beragama dapat berjalan di tengah masyarakat, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pemerintah malah kerap menjadi pelanggar hak kebebasan beragama itu sendiri. Masyarakat sendiri juga perlu untuk mewujudkan kebebasan beragama. Ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik antar umat beragama yang kerap muncul dalam masyarakat majemuk.

2.3. Peraturan Presiden

Di dalam Penetapan Presiden (PnPs) No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden menjadi Undang-undang, khususnya dalam Penjelasan pasal 1, agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khong Cu (Confusius). Agama-agama inilah yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia. Oleh karena itu agama-agama dimaksud mendapatkan jaminan dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain mendapatkan

(26)

22

jaminan dari negara juga mendapatkan bantuan-bantuan dan perlindungan.12

Jadi ke 6 (enam) agama tersebutlah yang mendapat fasilitas dari negara atau bantuan dari negara. Akan tetapi tidak berarti agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Teosism, di larang di Indonesia. Mereka juga mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan adanya asal tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Kemudian, masalah kebebasan beragama mempunyai jalinan yang erat dengan kerukunan umat beragama.

Dalam hal ini, ketika kebebasan beragama merupakan HAM, maka menjadi tanggung jawab negara untuk menjadi fasilitator agar dapat dilindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Hal ini penting karena kerukunan umat beragama merupakan benih terciptanya harmoni sosial yang penting untuk pelaksanaan pembangunan guna mencapai tujuan negara. Harmoni sosial juga penting untuk menjadi jalan agar HAM dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2.4. Peraturan Daerah

Laporan kebebasan beragama harus ditulis dengan menggunakan kriteria atau tolak ukur yang jelas untuk memilah insiden apa yang akan dimasukkan sebagai pelanggaranatau tidak. Dengan modifikasi yang penting, tiga kategori yang digunakan Center for Religious Freedom harus dipertimbangkan sungguh-sungguh untuk digunakan sebagaikriteria untuk melihat pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Karena

(27)

kategori-23

kategorinya yang sangat khusus, penggunaannya akan membawa tiga manfaat sekaligus.

Pertama , menghindarkan kita dari melaporkan satu peristiwa

pelanggarantertentu secara tumpang-tindih dan lebih dari satu kali.

Kedua , mendorong kita untuklebih fokus kepada bobot atau kualitas

insiden, bukan jumlahnya, dan membantu paraaudiens dan pengguna laporan tersebut untuk melihat akar masalah dari satu peristiwapelanggaran. Dan

Ketiga , karena kategori-kategori ini juga makin luas digunakan didunia,

dengan menggunakannya kita juga sedang membawa masuk wacana kebebasanberagama di Indonesia ke dalam wacana yang sama di dunia internasional.

Dalam penulisan laporan tahunan kebebasan beragama, selain paparan kualitatifdengan dukungan data yang jelas, lengkap dan akurat, analisis statistik perludimanfaatkan semaksimal mungkin. Hal ini akan sangat membantu kita di dalammenilai perkembangan kebebasan beragama dilihat dari segi-segi tertentu yang lebihkhusus seperti sebaran menurut wilayah atau kota/desa tertentu, intensitas, pelaku dankorban, isu-isu yang dominan, dan lainnya. Hal itu juga akan membantu kita di dalammengembangkan indeks kebebasan beragama, yang dapat digunakan untukmembandingkan kinerja kebebasan beragama antarwilayah di seluruh Indonesia.Dengan begitulah kita dapat belajar banyak dari

(28)

24

membandingkan berbagai kasus danterus memperluas serta memperkuat kampanye kebebasan beragama.

2.5. Al-qu’an

Ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat universal, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan ditujukan untuk seluruh umat di belahan bumi manapun mereka berada. Rangkaian ajarannya meliputi aspek keimanan, hukum, etika dan sikap hidup dengan menampilkan kepedulian besar terhadap kemanusiaan. ِ AlQuran berulang kali menyebutkan bahwa Allah SWT mengangkat derajat manusia dari makhluk lainnya dan berulang kali pula akan menurunkan derajatnya sampai lebih hina dari binatang apabila tidak mampu menggunakan anugerah akal dan kelengkapan anggota jasmani yang diberikan kepadanya. Di satu sisi derajatnya diangkat melebihi dari Malaikat, tetapi di sisi lain ia juga bisa menjadi lebih rendah dari hewan.

Alquran menjelaskan hal ini secara tegas untuk memperkuat prinsip kemuliaan martabat manusia yang dinyatakan dengan ungkapan yang mutlaq, yaitu Banî dam. Kemuliaan martabat manusia mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali. Jaminan terhadap perlindungan harkat dan martabat manusia datang dan berasal dari Allah SWT dari sifat Raẖmân dan Raẖim-Nya. Implikasi yang terkandung dari prinsip ini adalah bahwa tunduk dan hormat pada kekuasaan Allah S.w.t. haruslah sekaligus berarti

(29)

25

menghormati jaminan dan ketentuan Allah SWT yang dalam hal ini berarti menghormati dan mengakui martabat setiap manusia.

Tidaklah mungkin seseorang dapat mengaku menghormati kekuasaan Allah SWT apabila dalam kenyataan ia tetap merendahkan martabat manusia dalam berbagai bentuknya. Dalam kaitan ini, Islam dengan ajaran tauhidnya, memberikan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan. Islam mentolerir perbedaan keimanan dan keyakinan, tanpa harus memaksakan keyakinan dan keimanan terhadap orang lain. Dengan kata lain, Islam melalui ajarannya memiliki pendangan universal yang berlaku untuk seluruh umat manusia.

Atas dasar penjelasan di atas, dalam tulisan ini, dikemukakan wawasan Alquran tentang kebebasan beragama dan implikasinya bagi tata interaksi sosial yang pembahasannya dibagi dalam beberapa sub bahasan. Bagian pertama berupa pendahuluan dan bagian kedua bahasan tentang prinsip kebebasan beragama. Kemudian pada bagian ketiga dikemukakan konsekuensi logis dari adanya prinsip kebebasan beragama bagi interaksi sosial.

Pembahasan terhadap berbagai masalah di atas bertitik tolak dari beberapa ayat Al-Qur`an, antara lain:

1. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu siapa yang ingkar kepada Thâgūt dan beriman

(30)

26

kepada Allah, maka sesungguhnya ia berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha endengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. 2 :256).

2. (Q.S. 88:21-22).

(21). ْ رِّ كَذُمَْت نَأ اَمَّنِّإْ رِّ كَذَف Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.

(22). ْ رِّط يَصُمِّبْ مِّه يَلَعَْت سَل Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka

3. Dan jikalau Tuhan-mu menghendaki tentulah semua orang yang ada di muka bumi beriman seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (Q.S 10:99).

4. Katakanlah: Hai Ahli Kitâb marilah (berpegang) pada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari pada Allah, jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah). (Q.S. 3:64).

5. Katakanlah: Siapakah yang memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan dari bumi. Katakanlah: Allah, dan sesungguhnya kami

(31)

27

atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. 34:24).

6. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(Q.S. 60:8).

7. Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab melainkan dengan cara yangpaling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka dan katakanlah: Kami beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu dan kami hanya kepadanya diri. (Q.S. 29:46). (bersambung/bagian 2)

2.6. Al-Hadist

Sebagai hasil identifikasi terhadap hadis yang memilikicontent kebebasan beragama tercermin paling tidak dalam 3 (tiga) hadis yang dianggap penting dan relevan berikut ini:

1. Hadis pertama, diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhârî dalam kitab Abwâb al-Jizyah wa al-Muwâda’ah bab Itsm Man Qatala Mu’âhadan bighairi Jarm: “(Al-Bukhârî berkata:) Qais bin Hafsh telah menyampaikan

kepada kami (katanya), ‘Abd alWahid telah menyampaikan kepada kami (katanya), al-Hasan bin ‘Amru telah menyampaikan kepada kami (katanya), Mujahid telah menyampaikan kepada kami, dari ‘Abd Allâh bin ‘Amru ra.

(32)

28

dari Nabi SAW. ia bersabda: “Siapapun yang memerangi (kafir) mu’ahad, dia tidak (akan) mendapatkan wanginya surga, karena wangi surga itu dapat dijangkau dari empat puluh tahun perjalanan.” (HR.Bukharî)

Dari hadis di atas diperoleh informasi bahwa orang-orang yang termasuk mu’âhad adalah pihak yang mengadakan perjanjian dengan Islam meskipun agamanya berbeda dengan agama Islam. Dalam literatur dan kajian hadis, term mu’âhad lebih sering digunakan untuk ahl al-zimmah. Kadang juga digunakan terhadap orang-orang kafir yang mengadakan rekonsiliasi (ishlah) tanpa melakukan perang untuk jangka waktu tertentu. Tentu saja dalam hal ini, baik ahl al-zimmah maupun mu’âhad adalah masyarakat yang harus dilindungi, sebagaimana bunyi hadis di atas.

2. Hadis kedua, diriwayatkan dalam Sunan Abî Dâud kitab al-Jihâd bab al-Asîr Yukrahu ‘alâ al-Islâm: “Abû Daud (berkata:) Muhammad bin

‘Umâr bin ‘Alî al-Muqaddamî telah menyampaikan 11 - ) . ( 11 Abû Daud Sulaiman bin al-Asy‘ats al-Sijistanî, Sunan Abî Dâud, juz III (Beirut: Dâr alKitâb al- Arâbî, t.t.), h. 11. 181 kepada kami, katanya Asy’ats bin ‘Abd Allâh – yaitu al-Sijistanî – telah menyampaikan kepada kami. (Pada jalur yang lain Abû Daud berkata:) Muhammad bin Basysyar telah menyampaikan kepada kami, katanya Ibn Abî ‘Adî telah menyampaikan kepada kami, ini adalah ungkapannya. (Pada jalur yang lain pula, Abû Daud berkata:) al-Hasan bin ‘Alî telah menyampaikan kepada kami, katanya Wahb bin Jarîr telah menyampaikan kepada kami, dari Syu’bah dari Abî Bisyr dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbâs, ia berkata: Dahulu

(33)

29

ada seorang perempuan yang setiap kali anak yang dilahirkannya selalu meninggal, maka dia pun berjanji, kalau sekiranya nanti anaknya bisa hidup, dia akan memasukkan ke agama Yahudi. Maka ketika suku Bani Nadir telah masuk Islam, mereka masih punya anak-anak Anshâr (yang masih beragama Yahudi).

Mereka mengatakan: Kita tidak akan membiarkan begitu saja

agama anak-anak kita. Maka Allah menurunkan ayat: “Tidak ada paksaan dalam beragama, telah jelas yang benar dari yang sesat”. (HR. Abû Dâud).

Hadis di atas mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama memiliki hak yang sama untuk memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa ada tekanan dan paksaan dari manapun. Hadis di atas memberi penjelasan kepada umat Muslim untuk menghargai dan menghormati setiap pemeluk agama meskipun berbeda. Hubungan antara sesama manusia (habl min al-nâs) tidak dipandang dari perbedaan agama.

(34)

30

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Dasar-dasar Hukum

Dasar Hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia, yaitu :

1. Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

2. Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

3. UU NO. 39 TAHUN 1999 PASAL 22 ayat (1)

“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

4. UU NO. 39 TAHUN 1999 PASAL 22 ayat (2)

“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

(35)

31

3.2. Deskripsi Permasalahan Kebebasan Beragama di Indonesia

Masalah mengenai pelanggaran kebebasan kehidupan beragama sebenarnya telah terjadi baik pada masa kekuasaan orde lama, orde baru maupun orde reformasi. Namun berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama mulai mencuat ketika orde baru berkuasa di Indonesia. Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku, perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan perlawanan atas kekuasaannya.

Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini: (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29

(36)

32

(2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.

Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah yang

(37)

33

membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.

Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikirangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”

Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan “tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.

Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan:

(38)

34

Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan komunitas Kaharingan di Kalimantan.

Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru. Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama-agama-agama lokal sebagai dampak dari kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi melalui islamisasi atau kristenisasi.

Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan

(39)

35

diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945 semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama.

(40)

36

3.3. Jelajah histori mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi

Berdasarkan jelajah historis, beberapa kesimpulan dapat ditarik terkait konsep apa yang diusung founding people. Pertama, pembahasan mengenai kebebasan beragama relatif lancar, artinya tidak dijumpai perdebatan sengit berarti dalam soal substansi. Hal ini menandakan bahwa, boleh jadi pada saat itu telah terdapat kehendak kuat para perancang UUD untuk meletakkan dasar kebebasan beragama di Indonesia. Ada kesamaan visi bahwa kebebasan beragama harus diakomodir dalam konstitusi yang sedang mereka kerjakan, dengan mengingat kondisi bangsa yang memiliki latar antropologis dan kesadaran akan pluralisme atau kebhinekaan. Pluralitas, kemajemukan dan keberagaman terutama soal agama, disadari menjadi penyokong kelahiran sebuah negara baru, Indonesia.

Kedua, meskipun diliputi suasana kebatinan di tengah kenyataan bahwa Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia tetapi kelompok-kelompok Islam tidak berkeinginan sedikitpun untuk mewujudkan hukum yang eksklusif bagi orang Islam sendiri. Founding people justru mengusung konsep yang jauh dari keinginan membatasi kemerdekaan penduduk untuk beragama lain, selain Islam sehingga perlu memberi jaminan dalam konstitusi bagi tiap-tiap penduduk untuk secara merdeka memeluk agama apapun dan beribadat menurut agama serta kepercayaannya masing-masing.

(41)

37

Ketiga, frase ……untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya

itu menegaskan bahwa konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan yang

diusung founding people mengandung konotasi positif.Artinya, mereka menjamin warga negara untuk memeluk agama dan tidak membuka peluang bagi ateisme atau propaganda anti agama di Indonesia.Ini jelas berbeda dengan pemahaman Sir Alfred Denning mengenai konsep freedom of

religion di AS, baik dalam arti positif maupun negatif. Denning

mengungkapkan bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama.

3.4. Jaminan Konstitusi Tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(42)

38

3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di

(43)

39

Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi pembedaan status hokum tentang agama yang diakui melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:

(44)

40

1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di public dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.

2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hokum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan kesehatan public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC.

(45)

41

Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfuse darah atau melarang penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adapt-istiadat tertentu di Afrika.

4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social. Oleh karena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.

5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)

5.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui

(46)

aktivitas-42

aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.

5.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.

Komponen-komponen Inti Dari Hak Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan

Merujuk dasar-dasar tersebut di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu:

1. Kebebasan Internal. Setiap orang memunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya.

(47)

43

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi omunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban public, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.

(48)

44

8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun. Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Pada tradisi Islam, misalnya, prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam al-Quran dan Hadis, termasuk dalam kitab fikih, tafsir, dan bukti sejarah keislaman.

Dalam al-Quran prinsip-prinsip tersebut termuat dalam QS. Al-Baqarah, 2: 256 (tidak ada paksaan dalam beragama); Yunus 99 (larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam); Ali Imran, 64 (himbauan kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapaai “kalimatun sawa”); al-Mumtahanah, 8-9 (anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi dan mengusir mereka). Dalam tradisi fikih, prinsip ini termuat dalam konsep “maqashid al-syariah”: kebebasan untuk hidup (hifz al-nafs); kebebasan beropini dan berpendapat (hifz al-‘aql); menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nasl); kebebasan memiliki properti (hifz nasl); kebebasan beragama (hifz al-din).

Dalam tradisi Katholik dan Protestan, prinsip ini terdapat Kitab Galatia: Kasihilah sesama manusia seperti kamu mengasihi diri sendiri, Injil Matius 22: 37-40 (Hukum Kasih), atau dalam Advent – Matius 7 : 12-Advent: “Apa yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat padamu, perbuatlah demikian juga, karena inilah isi kitab hukum Taurat dan kitab

(49)

45

para nabi; Hindu dalam Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Pelemahan), Tat Twam Asi (Aku adalah Kau, Kau adalah aku); Budha dalam kitab Falisuta dan Kalamasuta (jangan mencela agama lain karena dengan mencela agama lain, berarti telah mencela atau mengubur agamanya; Khonghucu dalam ajaran “di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara”.

3.5. Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Bergama dan Berkeyakinan

Berikut beberapa situasi ragam aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak berdasarkan tafsir kelompok tertentu terjadi di bumi pertiwi ini, yang terjadi baik dilakukan kelompok masyarakat maupun pemerintah ; 1. Perda-perda bernuasa Syariat Agama. Beberapa daerah di Indonesia, para pimpinan setempat menerapkan praktek agama yang lebih ketat .

Misalnya, di kabupaten Cianjur, beberapa kabupaten maupun kotamadya Sumatera Barat, Gowa, Maros dll. ada peraturan daerah mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian Muslim. Beberapa penduduk mengatakan bahwa pihak berwenang mencampuri urusan pribadi mereka. Bahkan praktek-praktek agama Islam yang lebih ketat memberikan waktu untuk para pegawai untuk menjalankan shalat berjamaah. Contoh lain adalah munculnya Rancangan Perda (raperda) Kota Injil di Monokwari Papua.

(50)

46 3.5.1. Kaum perempuan

Kaum perempuan di Tangerang mengalami pembatasan dalam ruang publik setelah keluarnya Perda No 8 tahun 2005. Terjadi pembatasan aktivitas perempuan di waktu malam hari. Dan peristiwa penangkapan seorang perempuan buruh pabrik menjadi bukti bahwa peraturan yang ada sangat diskriminatif dan membatasi hak ekonomi kaum perempuan untuk bekerja mencari nafkah.

3.5.2. Penerapan UU Perlindungan Anak

Penerapan UU Perlindungan Anak 2002 telah memenjarakan 3 orang perempuan di Indramayu, Jawa Barat yang ditangkap pada 13 Mei 2005 dengan alasan berusaha menarik anak-anak Muslim masuk Kristen. Para perempuan tersebut ditangkap setelah anggota komunitas mengeluhkan bahwa pada saat dilakukannya program sekolah Minggu di rumah mereka, mereka memberikan kotak pensil dan kaos kepada para pengunjung, termasuk anak-anak Muslim.

3.5.3. Organisasi keagamaan asing

Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin dari Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (baik dalam

(51)

47

bentuk bantuan itu sendiri, personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering kepada kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim.

3.5.4. Peraturan bersama 2 Menteri.

Sebelum dan sesudah adanya PBM no 9 dan 8 2006 terjadi aksi penutupan rumah ibadah Kristiani terjadi secara serentak dan terencana. Dalam beberapa kejadian terjadi aksi kekerasan yang terjadi di depan aparat keamanan pemerintah dan ada kesan pembiaran terhadap aksi kekerasan, terjadi dalam aksi penutup tiga gereja di Perumahan Jatimulya, Bekasi (sampai tulisan ini dibuat aksi ketidakadilan masih terjadi, pembongkaran rumah ibadah oleh pemerintah kabupaten Bekasi).

3.5.5. Aksi anarkis

Dilakukan FPI pada saat hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2008 di Monas. Dalam suasana semangat kabangsaan yang ada, peristiwa kekerasan terjadi hanya karena perasaan tidak suka. Sungguh sebuah keadaan yang memalukan dalam negara Pancasila. Demikian hanya beberapa contoh kecil ragam persoalan yang terjadi seputar kebebasan beragama dan berkeyakinan dan disayangkan apa yang terjadi dan bila mencermati Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan

(52)

48

beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.

3.6. Berbagai Tantangan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Keragaman

Tampak dalam potret berbagai keagamaan dan perkembangan media dewasa ini seperti dijelaskan di atas jelas merupakan buah nyata sekaligus sesuatu yang absah di alam demokrasi. Tidak hanya mereka yang meyakini bahwa pluralitas harus dijaga dan dikelola dengan baik, demokrasi memberi ruang bagi kelompok keagamaan atau media yang seakan menolak pluralitas itu bahkan bisa tumbuh subur. Sayangnya keragaman dan perbedaan pandangan mereka ini justru sering berujung pada tindak kekerasan, situasi yang justru membahayakan demokrasi itu sendiri.

(53)

49

Sepanjang era reformasi hingga sekarang, pola kekerasan agama muncul dalam dua bentuk.

Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran keagamaan dan kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Wahid Institute mencatat sekitar 27 kasus kekerasan berlangsung sejak 2004 hingga Februari 2006. Sepanjang Januari hingga Nopember 2007, Setara Institute for Democracy and Peace dalam laporan tahunannya mencatat telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah, sebuah aliran keagamaan dalam Islam yang dipimpin Ahmad Moshaddeq.

Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaah Kristen/ Katholik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran. Sebelumnya bentuk kekerasan mengambil modus aksi terorisme dan konflik antar agama. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 untuk Indonesia yang diterbitkan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan Amerika Serikat, misalnya, cukup gamblang menggambarkan bagaimana kekerasan model ini berlangsung.

Kedua, kristenisasi dan penutupan rumah ibadah. Dalam laporan pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya kebutuhan masyarakat akan pengelolaan dokumen membuat tinggi pula permintaan akan pemenuhan jasa tersebut, produk Self Service Document Centre Box merupakan

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan

Teori Stakeholder dapat menggambarkan beberapa elemen pariwisata dalam suatu komunitas, sejarah pengembangan pariwisata di masyarakat, prosedur dan

Bagaimana dampak pengaruh dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terhadap bahasa dalam era globalisasi.. 1.3

[r]

Jika sumber berupa terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari sebuah karya berbahasa non-Inggris, cantumkanlah ter- jemahan Inggrisnya: Tuliskanlah judul berbahasa Inggrisnya tidak

Subbagian Tata Usaha pada Fakultas Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2) huruf c mempunyai tugas melakukan urusan penyusunan rencana, program, dan