• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP

Dalam dokumen PANCASILA Kebebasan Beragama (Halaman 80-88)

4.1. Kesimpulan

Merurut historisnya, pembahasan mengenai prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi, diawali setelah Rapat Besar BPUPKI pada 11 Juli 1945 yang membentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota 19 orang, dan diketuai oleh Soekarno. Sore harinya, Panitia Hukum Dasar menyelenggarakan rapat membicarakan hal-hal pokok yang hendak dituangkan dalam hukum dasar.Atas kebijakan Soekarno, dalam panitia itu dibentuk lagi Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang bertugas menyusun rancangan, Panitia kecil itu beranggotakan 6 orang antara lain Wongsonagoro, Soebardjo, Maramis, Soepomo, Soekiman dan Agus Salim.Atas usul Wongsonagoro, Soepomo ditunjuk sebagai ketua.

Sebagai negara yang memiliki pijakan hukum tertinggi berupa UUD 1945, bahkan sejumlah besar kegiatan manusia juga dilindungi oleh pasal-pasalnya, termasuk yang berkatian dengan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kebebasan politik. Ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menjadi salah satu representasi bahwa setiap individu mendapat jaminan kemerdekaan dalam memeluk agama. Namun Pasal tersebut seolah kehilangan ruhnya ketika negara (pemerintah) berusaha membuat peraturan organiknya. Berbagai aturan yang mengkhianati prisnip kebebasan beragama secara kentara dipraktekan oleh negara setiap

77

tahunnya. Negara seolah kebingungan dalam menafsirkan Pasal 29 UUD 1945 ke dalam UU organiknya. Keagamaan itu tidak akan terjadi apabila ia memahami secara komprehensif maksud dan tafsir atas Pasal 29 UUD 1945 dan instrumen internasional yang berkaitan dengan kebebasan beragama.

Dalam menjawab aspek tersebut, maka pemerinath dalam membuat sebuah aturan agar tidak menciderai HAM serta prinsip keadilan harus berpijak pada lima hal, (1). Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk melindungi keselamatan masyarakat); (2). Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk melindungi ketertiban masyarakat); (3). Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk melindungi keshatan masyarakat); (4). Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi moral masyarakat); (5). Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain). Desain wilayah yang lain agar terwujudnya kedamaian dalam beragama, adalah terbangunnya paradigma egaliter antar oemeluk agama. Pemeluk agama

78 4.2. Saran

Meski sejumlah kemajuan penting dalam isu kebebasan beragama berhasil dicapai sepanjang era reformasi, namun problem-problem masih menjadi pekerjaan rumah yang segera di selesaikan, mulai dari persoalan regulasi hingga aksi kekerasan yang makin meningkat. Ini berarti, masalah kebebasan beragama tidak hanya problem negara tapi juga masalah bagi seluruh anak bangsa. Dan bisa dipastikan pula bahwa tidak ada solusi tunggal untuk keluar dari masalah yang begitu komplek ini. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi untuk pihak-pihak/ lembaga/ instansi yang tyersebut di bawah ini, yang mungkin berguna sekaligus bagian dari kontribusi anak bangsa terhadap masalah yang masih menggelayuti negeri ini.

1. DPR. Diharapkan menjadi lembaga pengontrol yang efektif bagi pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia; tetap bersepakat bahwa negara ini bukanlah negara berdasarkan agama, tapi berdasarkan Pancasila seperti ditunjukkan sepanjang sejarah parlemen Indonesia terkait isu kebebeasan beragama. DPR diharapkan untuk melanjutkan pembahasan mengenai RUU Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan LSM/NGO yang concern terhadap masalah ini, sehingga RUU tersebut akhirnya dapat disahkan menjadi UU. 2. Kepada Presiden dan Wakil Presiden. Jika kita sepakat bahwa negara ini berdasarkan Pancasila, bukan negara agama, maka sepatutnya untuk

79

bersikap netral terhadap setiap problem keagamaan dan kepercayaan, khususnya menyangkut keyakinan, seperti diamanahkan konstitusi. Presiden dan Wakil Presiden menyerahkan masalah agama dalam urusan internal mereka masing-masing. Memosisikan Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga seperti ormas-ormas keagamaan lain. Tetapi sebagai pimpinan penyelenggara negara, Presiden dan Wakil Presiden juga berkewajiban untuk memfasilitasi semua agama dan kepercayaan yang dipeluk warganya agar berkembang secara secara prima. Misalnya penyediaan guru agama, fasilitas pendirian rumah ibadah dan lain-lain.

3. Menteri Kabinet. Khususnya kepada Menteri Agama, sudah seyogyanya pula untuk tidak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Betapapun Menteri Agama adalah aparat negara yang seyogyanya bersikap netral. Dalam pandangan konstitusi, Jabatan Menteri Agama tidak dipandang sebagai mewakili agama atau kepercayaan tertentu. Tidak pula mewakili mainstream pemikiran dalam agama atau kepercayaan tertentu.

4. Mahkamah Agung. Agar mengawal proses singkronisasi antara Undang-Undang yang sudah disahkan sebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan. Misalnya keberadaan Perda-Perda berbasis agama (syari’at) yang diberlakukan di sejumlah daerah.

80

5. Kejaksaan Agung. Sudah saatnya lembaga ini meninjau ulang keberadaan Bakor Pakem yang kerap bertindak sebagai polisi agama yang dapat menentukan sesat atau tidaknya suatu agama atau aliran keagamaan. Sebab, kewenangan semacam itu bertentangan dengan semangat kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, DUHAM, dan UU No. 39/1999 tentang HAM.

6. Mahkamah Konstitusi. Agar mengawal proses singkronisasi antara konstitusi yang sudah disahkan sebelumnya dengan aturan-aturan/kebijakan di bawahnya yang bertentangan.

7. Komnas HAM. Menjadi lembaga yang terus-menerus mengawal negara dalam melaksanakan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakianan, serta memberikan pendidikan tentang HAM kepada masyarakat agar mereka memahami kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara.

8. TNI/POLRI. Khususnya kepada pihak kepolisian, bisa lebih responsif untuk mencegah terjadinya aksi-aksi kekerasan; tidak cenderung tunduk pada tuntutan kelompok-kelompok mainstream yang melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas terutama yang terjadi di

81

daerah-daerah; melihat kasus-kasus keagamaan bukan pada soal masalah keyaakinan tetapi tegas pada soal kekerasan, apapun motifnya.

9. Partai Politik. Mendesak kepada parpol-parpol nasionalis untuk terus menyuarakan isu-isu kebebasan beragama dan mempertahankan dasar Pancasila dari kelompok-kelompok yang berusaha menggantikan dasar negara ini; tidak melakukan tindakan politisasi agama yang bisa mengancam keutuhan republik ini.

10. Lembaga Keagamaan dan pemuka agama. Terus menerus menyuarakan nila-nilai toleransi dan perdamaian. Khususnya kepada ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk mewaspadai menguatnya gerakan Islamisme yang diam-diam juga menggerogoti umatnya. Isu perebutan masjid dan aset pendidikan bisa menjadi indikasinya.

11. Media Massa. Sebagai pilar penting demokrasi, media harus berperan aktif untuk menyuarakan isu-isu kebebasan beragama, dan meminimalisir berita-berita kekerasan agama dan kelompok-kelompok garis keras. Menghindari idiom-idiom yang berdampak negatif bagi toleransi masyarakat seperti kata “aliran sesat”; tindak tunduk pada tuntutan

82

sekelompok orang untuk menghakimi kelompok yang lain dengan cara-cara kekerasan.

12. Organisasi Masyarakat. Menghindari cara-cara kekerasan dalam menyampaikan aspirasi mereka, melainkan dialog yang santun dan terbuka. Melakukan tindakan hukum seperti yudicial review terhadap peraturan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama sebagai tercantum dalam konstitusi.

13. Masyarakat Umum. Mengembangkan semangat keterbukaan dan toleransi serta menghindari kecurigaan keagamaan dengan usaha untuk terus berdialog; mengembangkan tradisi media literacy (melek media) untuk kritis terhadap pemberitaan media khususnya dalam isu-isu kebebasan beragama.

83

DAFTAR PUSTAKA

Chandra Setiawan ; Asep Mulyana Kebebasan Beragama atau

Berkepercayaan di Indonesia.Jakarta,Komnas HAM,2006.

Dr. Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia.Jakarta,PSAP,2007.

Umar Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai

Dasar menuju Dailog dann Kerukunan Antar Umat Beragama.Surabaya,

Bina Ilmu,1979.

Musdah, Siti Mulia Munuju Kebebasan Beragama di Indonesia.Jakarta, Paramadina Press,2007.

Naipospos Boonar Tigor Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran

Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.Jakarta,

SETARA Institute,2007.

Abû ‘Abd Allâh Muhammad bin ‘Ismâ’îl Bukharî Ja’fî, Shahîh al-Bukhârî, juz III, cet. 3 (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), h. 1155.

R.Suroso Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2005

Ilhami, Bisri Sistem Hukum Indonesia. Jakarta, Rajawali Pers, 2004

Dalam dokumen PANCASILA Kebebasan Beragama (Halaman 80-88)

Dokumen terkait