• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAKAN DALAM AKUAKULTUR

ABSTRAK

Tepung ikan merupakan bahan baku pakan utama dalam perikanan budidaya. Namun seiring dengan berkembangnya industri akuakultur, permintaan tepung ikan semakin meningkat, sehingga memicu kenaikan harga sehingga meningkatkan biaya operasional akuakultur. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sumber protein alternatif berbasis perairan sebagai bahan baku pakan dalam akuakultur. Bahan baku hasil budidaya yang dievaluasi yaitu mikroalga (Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans), mikrobial flok dan klekap. Dari analisis proksimat, diperoleh hasil bahwa mikroalga T. chuii, S. platensis dan mikrobial flok memiliki kandungan nutrien protein diatas 20%, dengan kandungan asam amino yang hampir menyerupai tepung ikan dan tepung kedelai. Hasil analisis asam lemak essensial, tepung mikrobial flok dan tepung mikroalga C. calcitrans memiliki kandungan asam lemak yang dibutuhkan ikan air tawar (asam lemak linoleat) dan ikan air laut (EPA dan DHA). Sementara itu, pada T. chuii merupakan satu-satunya bahan baku yang ditemukan adanya asam lemak linolenat, namun tidak ditemukan kandungan asam lemak DHA, sedangkan pada S. platensis dan klekap hanya ditemukan asam lemak linoleat.

22

1 PENDAHULUAN

Akuakultur memainkan peranan penting dalam pemenuhan sumber protein hewani dan secara keseluruhan, akuakultur mampu menyumbang sekitar 50% dari total ikan yang dikonsumsi manusia (Naylor et al. 2009). Produksi akuakultur akan terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan dan populasi dunia. Peningkatan kontribusi akuakultur tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat sangat dramatis dalam beberapa dekade terakhir (FAO 2009).

Faktor yang menjadi pembatas dalam kesinambungan produksi akuakultur yaitu ketersediaan bahan baku pakan. Sampai saat ini bahan baku pakan yang paling disukai dan diandalkan adalah tepung ikan, karena tepung ikan memiliki keseimbangan dalam asam amino essensial, asam lemak essensial, vitamin, mineral dan memiliki palatabilitas yang baik untuk ikan (Muzinic et al. 2009). Tingginya kandungan asam amino methionin dan lisin merupakan salah satu keunggulan bahan baku ini, karena kedua asam amino tersebut jumlahnya sangat sedikit pada bahan baku nabati. Beberapa kelebihan tepung ikan inilah yang menjadikan persentase pemakaiannya pada pakan menjadi tidak terbatas (Millamena et al. 2002). Seiring dengan perkembangan industri akuakultur secara global, permintaan tepung ikan semakin meningkat. Tingginya permintaan dan fluktuasi ketersediaan tepung ikan, mengakibatkan melambungnya harga tepung ikan, pada akhirnya meningkatkan biaya produksi.

Penelitian dalam upaya mencari sumber protein alternatif sudah banyak dilakukan untuk menekan biaya pakan, dengan mengurangi atau mengganti peran tepung ikan. Misalnya mengganti tepung ikan dengan tepung kedelai (Chou et al. 2004; Lin and Luo 2011; Ma et al. 2014), namun ketersediaan sumber protein berbasis terrestrial ini masih memiliki kendala dalam kesinambungannya, dikarenakan adanya kompetisi dengan manusia dan masih diimpor. Menurut data KKP (2010) menunjukkan bahwa dari tahun 2004–2009, impor tepung kedelai meningkat dari 9.776,1 ton menjadi 53.475,8 ton (rata-rata kenaikan 110,03%), dengan harga rata-rata per ton pada tahun 2009 adalah 734,43 USD. Sehingga harga tepung kedelai sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, hal ini menjadikan tepung kedelai relatif lebih mahal.

Upaya mendapat sumber protein alternatif lainnya yaitu dengan memanfaatkan potensi perairan Indonesia. Potensi perairan masih melimpah dan sangat menjanjikan untuk mengurangi atau menggantikan peran tepung ikan dan sumber protein alternatif yang berbasis terestrial misalnya tepung kedelai. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam upaya mencari sumber protein alternatif berbasis perairan, antara lain: pemanfaatan mikroalga Spirulina maxima (Olivera-Novoa et al. 1998), Chlorella spp dan Scenedesmus spp (Tartiel et al. 2008) pada ikan nila, Spirulina platensis pada udang putih (Hanel et al. 2007),

23 Skeletonema sp, Chaetoceros sp, Tetraselmis sp, Chlorella sp dan Isochrysis sp pada berbagai spesies ikan (Muller-Feuga 2000), kombinasi Nannochloropsis sp dan Isochrysis sp pada juvenil cod atlantik (Walker and Berlinsky 2011), Scenedesmus almeriensis pada juvenil seabream (Vizcaíno 2014), mikrobial flok pada udang putih (Kuhn et al. 2009) dan klekap pada juvenil teripang putih (Hartati et al. 2005).

Pemanfaataan sumber protein alternatif berbasis perairan didasarkan atas: mudah dibudidayakan dan kaya akan sumber protein, karbohidrat, asam lemak essensial dan vitamin yang merupakan komponen penting dalam pakan akuakultur. Seperti mikroalga, mikrobial flok dan klekap.

Mikroalga telah lama dijadikan pakan alami larva udang dan ikan sehingga dapat dijadikan sumber protein alternatif antara lain: Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans. Mikroalga jenis T. chuii merupakan mikroalga hijau berflagel, uniseluler, berukuran 7-12 µm, dinding sel terbentuk dari selulosa dan pektin. Kandungan nutrien alga ini berupa protein 45-47%, lemak 8-9%, serat kasar 1-2% dan BETN 16-17% (Milamena et al. 2002). S. platensis merupakan organisme berbentuk menyerupai benang berdiameter 1-12 µm, dinding sel terbentuk dari gula kompleks dan protein. Alga hijau biru ini mengandung protein berkisar antara 60-70%, provitamin A, β karoten, lemak 4- 7%, karbohidrat 13,6% dan pigmen antioksidan seperti karatenoid dan fikosianin (Jaime-Ceballos et al. 2006). C. calcitrans merupakan diatom berbentuk bulat dengan diameter 4-6 µm, uniseluler dan dinding selnya terbentuk dari silikat. Alga coklat keemasan ini mengandung protein sebesar 26%, lemak 6-7% dan BETN 28-29% (Milamena et al. 2002).

Mikrobial flok adalah material detritus yang kaya akan protein dan mineral. Flok terbentuk dari bakteri heterotrof yang tersusun atas campuran berbagai jenis mikroorganisme (bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, koloid, polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati yang menjadi biomassa mikroba. Selain flok bakteri, organisme lain yang ditemukan yakni protozoa, rotifer dan oligochaeta (Ekasari 2009; Kuhn et al. 2010). Pembentukan mikrobial flok merupakan mekanisme yang kompleks, melibatkan berbagai aspek fisika, kimia dan biologis, sehingga kandungan nutrisi mikrobial flok cenderung tidak stabil, banyak dipengaruhi sumber karbon dan komposisi biologisnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mikrobial flok dapat dijadikan bahan baku pakan, hal ini didasarkan pada kandungan protein (19-58%), lemak (2-39%), karbohidrat (27-59%) dan abu (2-17%) (Crab et al. 2009).

Klekap merupakan suatu kumpulan organisme yang terdiri atas berbagai jenis alga dan mikroorganisme membentuk suatu lapisan benthos di dasar tambak. Komponen penyusun klekap terdiri dari alga biru, diatom (Navicula, Nitzschia, Amphora, Pleurosigma), alga hijau berfilamen (Oscillatoria, Phormidium, Lyngbya, Spirulina), juga didalamnya mikroorganisme seperti protozoa (Zoothamnium, Vorticella, Epistylis, Acineta), entomostraka (Cladocera,

24

Copepoda), bakteri, cacing, detritus dan partikel-partikel mineral (Hartati et al. 2005). Klekap mengandung kadar protein sebesar 22.9% (Poernomo 1979).

Informasi pemanfaatan bahan baku pakan tersebut dalam pakan ikan laut masih terbatas, sehingga dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengevaluasi kandungan nutrien sumber protein alternatif berbasis perairan sebagai bahan baku pakan juvenil cobia.

2 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama 6 bulan, dari bulan Januari-Juni 2014. Produksi bahan baku mikroalga (Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans) dan mikrobial flok di Laboratorium Basah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, sedangkan produksi klekap di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang. Analisis kandungan nutrien bahan baku dilakukan: untuk proksimat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) Bogor, analisis asam amino di PT Saraswanti Indo Genetech (SIG) Bogor dan analisis asam lemak di Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor (KT-IPB) Bogor

Kandidat Bahan Baku

Kandidat bahan baku pakan dalam penelitian ini yaitu mikroalga dari jenis Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans, mikrobial flok dan klekap. Pemilihan bahan baku tersebut karena dapat dikultur sehingga bahan baku tersebut dapat diperoleh secara berkesinambungan.

Produksi Bahan Baku Produksi Mikroalga

Mikroalga diproduksi dengan melakukan kultur dari jenis Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans. Metode kultur mikroalga mengikuti petunjuk teknis (juknis) BBPBL (2007) yang mengacu Coutteau (1996). Secara umum tahapan dalam kultur mikroalga sebagai berikut:

Kultur mikroalga skala laboratorium dilakukan dalam ruangan (indoor), dengan menggunakan botol labu Erlenmeyer sebagai wadahnya. Agar terjadi fotosintesis, digunakan lampu neon TL sebagai sumber cahaya. Pupuk terbuat dari bahan kimia teknis dan PA (pro analis) dengan dosis pemakaian sebanyak 1 mL

25 per 1 L volume kultur. Pupuk menggunakan formula Conwy atau Walne’s medium untuk alga hijau dan Guillard & Rhyter untuk alga coklat (Lampiran 1). Selama masa kultur, wadah kultur diberi aerasi dan untuk mendapatkan volume yang diinginkan dilakukan kultur berulang-ulang. Setiap 5 (lima) hari, volume dipecah menjadi sekitar 20% dan ditambahkan air kultur hingga 100%. Kemudian dilanjutkan dengan skala semi massal.

Kultur mikroalga semi massal dilakukan pada ruangan semi outdoor, beratap transparan, untuk dapat memanfaatkan cahaya matahari. Pupuk yang digunakan dan dosisnya sama dengan skala laboratorium, sedangkan wadah kultur yang digunakan berupa akuarium volume 100 L dengan volume air kultur 80 L. Panen dilakukan pada hari ke-5 untuk mikroalga jenis T. chuii dan C. calcitrans, sedangkan mikroalga S. platensis pada hari ke 4. Untuk mendapatkan hasil kultur yang diinginkan, maka dilakukan kultur berulang-ulang. Untuk mendapatkan volume air pada awal skala massal sebanyak 2000 L, maka volume air yang dibutuhkan sekitar 320 L, selanjutnya dilakukan secara massal.

Kegiatan skala massal tidak jauh berbeda dengan kultur skala semi-massal namun wadah yang digunakan bak fiber 2.500 L dengan volume air 2.000 L. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk pertanian seperti Urea, ZA dan DSP dengan perbandingan Urea 30: ZA 30: DSP 10 gram per tonnya untuk alga hijau dan untuk alga coklat 40:30:20 gram pertonnya serta ditambahkan unsur silikat sebanyak 1 mL/L air kultur. Kepadatan optimal diperlukan waktu kultur selama 4- 5 hari, tergantung jenis mikroalganya.

Panen mikroalga S. platensis dengan mengambil 75% air kultur dari wadahnya. Agar didapat mikroalganya, maka dilakukan penyaringan dengan menggunakan plankton net 20 µm, sedangkan untuk jenis T. chuii dan C. calcitrans terlebih dahulu dipindahkan sekitar 20% ke wadah lain dan kemudian dipanen total dengan cara diendapkan dengan menambahkan NaOH. Setelah didapat endapan, kemudian dikering-anginkan untuk selanjutnya dilakukan analisis kandungan nutriennya.

Produksi Mikrobial Flok

Produksi mikrobial flok dengan teknologi bioflok melalui pembibitan skala kecil dilakukan secara semi in door. Wadah yang digunakan berupa bak bulat fiber volume 3.000 L dengan volume air 2.000 L, dengan juvenil ikan cobia terdapat didalamnya. Bak kultur diberi aerasi kuat tanpa pergantian air. Prosedur untuk menghasilkan mikrobial flok berdasarkan metode produksi dari Ekasari (2008) yang mengadopsi perhitungan yang dilakukan oleh Avnimelech (1999). Produksi mikrobial flok dengan C/N rasio 10 dan sumber karbon yang digunakan molase (kandungan karbon 50%). Sumber nitrogen diperoleh dari amoniak hasil metabolisme juvenil cobia yang diberikan pakan komersil (kadar protein 50%). Bakteri dan organisme lainnya berasal dari air laut langsung yang masuk ke dalam wadah kultur. Panen dilakukan dengan memindahkan sebanyak 50% volume air

26

ke wadah lain dan diendapkan selama 2 jam. Endapan yang terbentuk kemudian dikering-anginkan selanjutnya dilakukan analisis kandungan nutriennya.

Produksi Klekap

Produksi klekap dilakukan dengan jalan menumbuhkan klekap di tambak dengan menggunakan metode produksi dari Juknis Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang (Lampiran 2). Tambak yang digunakan memiliki volume 5.000 m2. Pembentukan klekap dilakukan dengan pemupukan tambak. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk Urea 50 kg dan TSP 100 kg. Klekap yang sudah tumbuh di seluruh permukaan tambak, diambil dengan menyeser klekap beberapa cm dari dasar tambak. Klekap dikering anginkan selanjutnya dilakukan analisis kandungan nutriennya.

Analisis Kimia Bahan Baku

Metode yang digunakan untuk analisis nutrien bahan baku mengikuti prosedur AOAC (1999) yaitu untuk analisis proksimat kadar air dilakukan dengan metode Gravimetric, kadar protein dengan metode Kjeldhal, kadar lemak dengan metode Soxhlet, kadar abu dengan metode Gravimetric dan serat kasar dengan metode Vansus, sedangkan analisis asam amino dengan menggunakan metode AA-HPLC dan analisis asam lemak dengan menggunakan kromatografi gas (GC).

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait