• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Sumber Protein Alternatif Berbasis Perairan Sebagai Bahan Baku Pakan Juvenil Cobia (Rachycentron Canadum)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Sumber Protein Alternatif Berbasis Perairan Sebagai Bahan Baku Pakan Juvenil Cobia (Rachycentron Canadum)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI SUMBER PROTEIN ALTERNATIF

BERBASIS PERAIRAN SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN

JUVENIL COBIA (

Rachycentron canadum

)

SURYADI SAPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Evaluasi Sumber Protein Alternatif Berbasis Perairan sebagai Bahan Baku Pakan Juvenil Cobia (Rachycentron canadum) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SURYADI SAPUTRA. Evaluasi Sumber Protein Alternatif Berbasis Perairan sebagai Bahan Baku Pakan Juvenil Cobia (Rachycentron canadum). Dibimbing oleh MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, ENANG HARRIS, MIA SETIAWATI dan WIDANARNI

Cobia, Rachycentron canadum (Linnaeus 1766) merupakan spesies ikan karnivora laut yang relatif baru dalam akuakultur, dengan potensi tinggi untuk peningkatan produksi secara global. Tingginya kinerja pertumbuhan (4-6 kg/tahun), rasio konversi pakan (1,5-1,8) dan kemampuan adaptasi ikan dalam kondisi budidaya merupakan daya tarik bagi ikan cobia untuk dibudidayakan. Dengan kriteria demikian, ikan cobia dapat diajukan menjadi kandidat spesies utama dalam akuakultur

Saat ini pakan cobia masih menggunakan pakan ikan kerapu, harga cobia yang rendah dengan biaya pakan yang tinggi mengakibatkan budidaya cobia tidak berkembang. Berdasarkan perhitungan analisis dalam produksi 1 kg daging cobia, biaya pakan menempati porsi terbesar yakni sekitar 85%-90% dari biaya produksinya. Agar dapat menekan biaya produksi, maka perlu dikembangkan pakan buatan khusus ikan cobia dan salah satu faktor penentu dalam menekan biaya pakan adalah ketersediaan bahan baku.

Sampai saat ini bahan baku pakan utama adalah tepung ikan dan seiring dengan perkembangan industri akuakultur secara global, permintaan akan tepung ikan semakin meningkat. Tingginya permintaan dan fluktuasi ketersediaan tepung ikan mengakibatkan melambungnya harga tepung ikan, pada akhirnya meningkatkan biaya produksi.

Salah satu solusinya yaitu memanfaatkan bahan baku yang berasal dari perairan. Perairan Indonesia memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber protein alternatif berbasis perairan, sehingga dapat mengurangi atau menggantikan peran sumber protein dari tepung ikan dan tepung kedelai yang berbasis terestrial. Beberapa penelitian telah berhasil memanfaatkan sumber protein alternatif berbasis perairan dalam pakan ikan dan udang sebagai pengganti tepung ikan yaitu tepung mikroalga dan mikrobial flok.

(5)

nutriennya, untuk mengetahui potensinya sebagai bahan baku pakan akuakultur. Lima jenis bahan baku yang berhasil diproduksi yaitu Mikroalga jenis Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans, mikrobial flok dan klekap. Bahan baku yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan, salah satunya memiliki kriteria kandungan nutrien kadar protein diatas 20%, hanya mikroalga jenis Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan mikrobial flok yang memenuhi kriteria tersebut.

Pada tahap kedua, bahan baku yang terpilih dari tahap pertama yaitu: mikroalga jenis Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan mikrobial flok, dievaluasi aktivitas enzim dan nilai biologisnya dalam pakan juvenil cobia. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pakan Spirulina platensis memiliki aktivitas enzim, kecernaan dan retensi protein yang lebih baik dibanding dengan pakan mikrobial flok, namun nilai biologis pakan mikrobial flok lebih baik dibanding pakan Spirulina platensis, sedangkan pakan yang mengandung Tetraselmis chuii tidak dikonsumsi juvenil cobia. Secara umum, kedua bahan baku pakan tersebut (Spirulina platensis dan mikrobial flok) tidak memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan juvenil cobia.

Pada tahap akhir (tahap ketiga), dilanjutkan evaluasi kombinasi mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS) dalam pakan juvenil cobia terhadap kinerja pertumbuhan dan respons stres. Pemberian pakan yang mengandung MFMS sebesar 15%, menunjukkan kinerja pertumbuhan yang terbaik pada juvenil cobia dan pakan MFMS dapat diberikan hingga 30%, karena tidak memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan juvenil cobia. Juvenil cobia yang mengkonsumsi pakan MFMS 15% dan 30% dapat mengatasi dampak fisiologis (stres) akibat perendaman air tawar.

(6)

SUMMARY

SURYADI SAPUTRA. Evaluation of Waters-based Alternative Protein Sources as Row Material for Juvenile Cobia (Rachycentron canadum) Fed. Supervised by MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, ENANG HARRIS, MIA SETIAWATI and WIDANARNI

Cobia, Rachycentron canadum (Linnaeus 1766) is a carnivorous marine fish species that relatively new to aquaculture, with high potential for increased production on a global basis. High performance growth (4-6 kg / year), high feed conversion ratio (1,5-1,8) and its adaptability to the captivity condition were increasing interest of aquaculturist to cultivate cobia. With those advantage, cobia can be a prime candidate species in aquaculture.

Currently the feed of cobia using the feed grouper, the low prices of cobia with high cost of feed resulting cobia aquaculture was not growing. Based on the analysis calculation in the production of 1 kg of cobia, feed cost was the highest part of cost production that is about 85% - 90%. Thus, to reduce the cost of production, it was necessary to develop an artificial diet of cobia and the one factor in reduced the cost of feed is the availability of raw materials.

Until now, the main raw material of feed is fishmeal and along with the development of the global aquaculture industry, demand for fishmeal was increasing. The high demand and fluctuations in the availability of fish meal resulted in increased prices of fishmeal, ultimately increases the cost of production.

The one solution for decreasing fish meal requirement was using water-based raw materials, Due to the tropical archipelagic country, Indonesia has great potential to obtain water-based alternative protein source in order to substitute fish meal and soybean meal. Several studies indicated that microalgae and microbial floc have high potential for substitute fish meal for fish and shrimp artificial feed.

(7)

on the criteria above, only Tetraselmis chuii, Spirulina platensis and microbial floc were qualified as feed fish materials because have protein content above 20%. The second stage was add Tetraselmis chuii, Spirulina platensis and microbial floc respectively to the juvenile cobia feed, then evaluate their enzyme activity and biological value after feed to juvenile cobia. The results indicated that enzyme activity, protein digestibility and protein retention of Spirulina platensis were better than microbial floc; mean while the biological value of microbial floc was better than Spirulina platensis. On the contrary Tetraselmis chuii was not consumed by juvenile cobia. Generally, feeding Spirulinaplatensis and microbial floc do not have negative impact for the growth of juvenile cobia. The final stage or third stage was continued evaluation of the combination of microbial floc and microalgae Spirulina platensis (MFMS) in juvenile cobia fed on growth performance and stress response. Feeding 15% of MFMS showed the best growth performance in juvenile cobia and MFMS feed can be given up to 30%, because it does not give a negative impact on the growth of juvenile cobia. Juvenile cobia was consuming the feed MFMS 15% and 30% can reduce the physiological impact (stress) due to fresh water immersion

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

EVALUASI SUMBER PROTEIN ALTERNATIF

BERBASIS PERAIRAN SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN

JUVENIL COBIA (

Rachycentron canadum

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc Staf pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ophirtus Sumule, DEA Direktur Sistem Inovasi

Direktur Jenderal Penguatan Inovasi

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc Staf pengajar Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ophirtus Sumule, DEA Direktur Sistem Inovasi

Direktur Jenderal Penguatan Inovasi

(11)

Judul Disertasi : Evaluasi Sumber Protein Alternatif Berbasis Perairan sebagai Bahan Baku Pakan Juvenil Cobia (Rachycentron canadum) Nama : Suryadi Saputra

NIM : C161110121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, M.Si Ketua

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Anggota

Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si Anggota

Dr. Ir. Widanarni, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr. Ir. Widanarni, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian:

Tertutup : 23 Juni 2016 Terbuka : 26 Juli 2016

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah sumber protein alternatif berbasis perairan, dengan judul Evaluasi Sumber Protein Alternatif Berbasis Perairan sebagai Bahan Baku Pakan Juvenil Cobia (Rachycentron canadum).

Penulis sangat menyadari bahwa proses penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini tidak akan dapat berjalan lancar tanpa dukungan banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Muhammad Agus Suprayudi, M.Si, Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS, Dr. Ir. Mia Setiawati, M.Si dan Dr. Ir. Widanarni, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas waktu dan bimbingannya mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Muhammad Zairin Junior, M.Sc dan Dr. Ir. Ophirtus Sumule, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka atas saran-saran yang diberikan.

(14)

disampaikan kepada istri dan anak tercinta, Desy Marlina dan Rizqi Fakhry Albanna; kedua orang tua H. Kamardi Said dan Hj Anita Wirda; Adik-adik yang tersayang Sri Aisyah, Nurhamidah, Nuraida dan Laila Misbah; bapak dan ibu mertua Anwar St Jamaris dan Yusnidar; saudara ipar Dedy Eka Saputra dan Deny Trio Putra beserta seluruh keluarga besar atas doa dan kasih sayang.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat mendukung kemajuan ilmu pengetahuan bidang akuakultur di Indonesia.

Bogor, Juli 2016

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

PENDAHULUAN UMUM 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Hipotesis Penelitian 5

Kebaruan (novelty) 6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Profil Ikan Cobia 7

Kebutuhan Nutrisi Ikan Cobia 8

Enzim Pencernaan dan Perannya dalam Proses Pencernaan Ikan 10

Bahan Baku Pakan Berbasis Perairan 13

Interaksi Imunitas ikan dengan bahan baku 15

Gambaran Darah Ikan 16

Kimia Darah 17

Stres 20

TAHAP SATU 21

ABSTRAK 21

1 PENDAHULUAN 22

2 METODE 24

Waktu dan Tempat 24

Kandidat Bahan Baku 24

Produksi Bahan Baku 24

Analisis Kimia Bahan Baku 26

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Hasil 26

Pembahasan 31

4 SIMPULAN DAN SARAN 34

Simpulan 34

(16)

TAHAP DUA 35

ABSTRAK 35

1 PENDAHULUAN 36

2 METODE 37

Waktu dan Tempat 37

Persiapan Bahan Baku 37

Formulasi Pakan 39

Pemeliharaan Ikan 40

Pengumpulan Data 40

Analisis Biokimia 41

Analisis Statistik 41

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 43

Hasil 43

Pembahasan 47

4 SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 51

TAHAP TIGA 53

ABSTRAK 53

1 PENDAHULUAN 54

2 METODE 56

Waktu dan Tempat 56

Persiapan Bahan Baku 56

Formulasi Pakan 58

Pemeliharaan Ikan 59

Pengumpulan Data 60

Analisis Kimia 60

Analisis Statistik 60

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 63

Hasil 63

Pembahasan 69

4 SIMPULAN DAN SARAN 76

Simpulan 76

Saran 76

PEMBAHASAN UMUM 77

SIMPULAN UMUM 80

DAFTAR PUSTAKA 81

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan nutrisi bioflok 15

2. Produksi bahan baku sumber protein alternatif berbasis perairan 27 3. Kandungan nutrien bahan baku sumber protein berbasis perairan 28 4. Perbandingan hasil analisis proksimat bahan baku tepung ikan dan

sumber protein berbasis daratan dengan bahan baku berbasis perairan

(berat kering) 29

5. Indeks asam amino essensial (IAAE) tepung ikan dan tepung kedelai

dengan bahan baku berbasis perairan (%) 30

6. Komposisi asam lemak bahan baku uji (% bahan) 31 7. Komposisi proksimat dan asam amino (% bahan) bahan baku pakan 38 8. Kandungan asam lemak (% bahan) bahan baku pakan 39

9. Komposisi pakan perlakuan 40

10. Aktivitas enzim pencernaan dan rasio enzim tripsin/kemotripsin

(T/K) pada juvenil cobia 44

11. Kecernaan protein, glikogen dan lemak pada organ otot dan hati serta nilai hepatosomatik indek (HSI) pada juvenil cobia 44 12. Data analisis HDL (High Density Lipoprotein), LDL (Low Density

Lipoprotein), TG (Triglyserida), protein dan glukosa darah pada

juvenil cobia 45

13. Gambaran darah pada juvenil cobia 45

14. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR), Laju Pertumbuhan Harian (SGR), Efisiensi Pakan (EP) dan Retensi Protein (RP) pada juvenil cobia. 46 15. Retensi asam amino essensial pada juvenil cobia 46 16. Retensi protein, kecernaan protein dan nilai biologis bahan baku yang

diberikan pada juvenil ikan cobia 47

17. Komposisi proksimat dan asam amino (% bahan) bahan baku pakan

MFMS 57

18. Komposisi formulasi pakan dan hasil proksimat pakan perlakuan. 58 19. Profil asam amino pakan perlakuan (% bahan) 59 20. Tingkat kelangsungan hidup (SR), pertumbuhan relatif (WG), laju

pertumbuhan harian (SGR), rasio konversi pakan (FCR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL) juvenil cobia yang diberi pakan

MFMS. 64

21. Retensi asam amino essensial juvenil cobia yang diberi pakan MFMS 65 22. Kadar glikogen dan lemak pada otot dan hati serta indek

(18)

23. Parameter gambaran darah juvenil cobia yang diberi pakan MFMS 66 24. Parameter serum darah juvenil cobia yang diberi pakan MFMS. 66 25. Aktivitas enzim pencernaan pada usus juvenil cobia yang diberi

pakan MFMS 67

26. Kadar kortisol dan glukosa pada serum darah juvenil cobia setelah

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir perumusan masalah penelitian 4

2. Profil tubuh ikan cobia (Rachycentron canadum) 8 3. Pertumbuhan berat tubuh (g) juvenil cobia yang diberikan pakan

MFMS. 63

4. Pertumbuhan panjang tubuh (cm) juvenil cobia yang diberikan pakan

MFMS. 64

5. Kadar kortisol juvenil cobia selama 24 jam yang diberi pakan MFMS

setelah perendaman air tawar 68

6. Kadar glukosa juvenil cobia selama 24 jam yang diberi pakan MFMS

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Formula pupuk untuk produksi mikroalga (BBPBL 2007) 91 2. Metode kultur klekap (petunjuk teknis Krawang) 92

3. Prosedur analisis proksimat (AOAC 1990) 93

4. Prosedur analisis asam amino esensial (AOAC 1999) 96

5. Uji aktifitas enzim 97

6. Prosedur analisis kadar glukosa terlarut (Wedemeyer and Yasutake

1977) 98

7. Prosedur analisis kadar protein terlarut (Bradford, 1976) 99

8. Prosedur pengamatan gambaran darah Ikan 100

9. Prosedur pengukuran glikogen hati dan otot 102

10. Prosedur pengukuran kimia darah 103

11. Prosedur pengujian konsentrasi kortisol dengan metode RIA 104

12. Analisis statistik tahap 2 105

(21)

PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Cobia, Rachycentron canadum merupakan spesies ikan laut karnivora yang relatif baru dalam akuakultur, mempunyai potensi yang tinggi untuk peningkatan produksi secara global (Liao and Leano 2007). Hal ini menarik perhatian masyarakat akuakultur untuk membudidayakannya, dikarenakan performa pertumbuhan yang cepat, dapat mencapai ukuran pasar 4-6 kg dalam setahun (Zhou et al. 2005), tingginya efisiensi konversi pakan pada fase juvenil berkisar 1,5 – 1,8 (Chou et al. 2004) dan faktor yang paling menarik adalah ikan ini dapat beradaptasi, dipijahkan dan dibesarkan dalam kondisi budidaya (Liao et al. 2004), Dengan kriteria demikian, ikan cobia dapat diajukan menjadi kandidat spesies utama dalam akuakultur (Mach et al. 2010).

Permasalahan yang muncul dalam produksi ikan cobia adalah belum adanya pakan praktis khusus cobia, pakan yang diberikan masih menggunakan pakan komersil ikan laut lainnya seperti pakan ikan kerapu, bawal atau kakap, sedangkan harga jual ikan ini masih rendah. Saat ini pakan komersil ikan laut berkisar Rp. 16.000 – Rp. 18.000, maka untuk pemeliharaan cobia hingga mencapai ukuran konsumsi dengan konversi pakan sekitar 2-2,5, dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp. 32.000 – Rp. 45.000 per kg ikan cobia. Sementara itu, harga jual ikan cobia dipasaran lokal berkisar antara Rp. 35.000 – Rp. 40.000 per kg, hal inilah yang menyebabkan budidaya ikan cobia sulit berkembang. Berdasarkan perhitungan analisis dalam produksi 1 kg daging cobia, biaya pakan menempati porsi terbesar yakni sekitar 85-90% dari biaya produksi cobia, Agar dapat menekan biaya produksi, maka perlu dikembangkan pakan buatan khusus ikan cobia dan salah satu faktor penentu dalam menekan biaya pakan adalah ketersediaan bahan baku.

Saat ini, tepung ikan merupakan bahan baku paling diandalkan dalam pakan akuakultur. Hal ini karena tepung ikan memiliki kandungan protein tinggi dengan profil asam amino seimbang yang dibutuhkan organisme akuatik. Tepung ikan mengandung protein 60-80% dan hampir 80-95% dapat dicerna ikan serta memiliki jumlah asam amino lisin dan metionin yang tinggi, yaitu dua jenis asam amino yang jumlahnya rendah pada bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuhan (Lovell 1989). Namun bahan baku pakan ini ketersediaannya terbatas, oleh karena permintaan yang meningkat dan adanya kompetisi dengan kebutuhan manusia sehingga harganya naik terus (mencapai dua kali lipat) dan tepung ikan dengan kandungan protein tinggi masih diimpor.

(22)

2

2011; Ma et al. 2014) dan soybean meal (Chou et al. 2004; Zhou et al. 2005; Lin and Lou 2011; Ma et al. 2014). Namun bahan baku tersebut masih diimpor sehingga harganya tergantung dengan nilai tukar dolar dan terdapat zat anti nutrisi pada soybean meal seperti saponin, fitoestrogen, anti tripsin, asam fitat dan alergen yang dapat memberikan dampak negatif pada pertumbuhan (Lin and Lou 2011).

Untuk mengurangi ketergantungan bahan baku tepung ikan dan bahan baku berbasis daratan, maka perlu dicari sumber protein alternatif lainnya. Namun sumber protein alternatif lainnya harus memiliki beberapa kriteria seperti: bahan baku harus mengandung nutrien yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, diutamakan dari sumber nabati, tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan manusia, hasil samping produk dan jumlah tersedia melimpah (Suprayudi 2010). Salah satu solusi yang termasuk dalam kriteria bahan baku sumber protein alternatif tersebut di atas, yakni pemanfaatan potensi yang berasal dari perairan Indonesia.

Perairan Indonesia memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan dalam upaya mendapatkan sumber protein alternatif berbasis perairan, untuk mengurangi atau menggantikan peran sumber protein dari tepung ikan dan bahan baku berbasis terestrial. Beberapa penelitian yang telah memanfaatkan sumber protein alternatif berbasis perairan dengan mensubstitusi tepung ikan pada pakan ikan dan udang, yaitu mikroalga (Vizcaino 2014; Walker and Berlinsky 2011; Olivera-Novoa et al. 1998; Ju et al. 2012) dan mikrobial flok (Avnimelech 2007; Bauer et al. 2012; Kuhn et al. 2009).

Mikroalga telah lama menjadi pakan alami larva udang dan ikan, sehingga memiliki potensi sebagai sumber protein alternatif dalam akuakultur. Menurut Maisahvili et al. (2015), mikroalga kaya akan protein, karbohidrat dan lemak yang merupakan komponen penting yang dibutuhkan hewan. Demikian pula mikrobial flok, sumber protein alternatif yang merupakan campuran heterogen dari mikroorganisme, partikel anorganik, koloid, polimer organik, kation dan sel mati (De Schryver et al. 2008), juga memiliki kandungan nutrien yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan. Flok dihasilkan dari konversi nitrogen anorganik terutama amoniak oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba yang mengandung protein, lemak, karbohidrat dan vitamin C (Crab et al. 2010 ; Crab 2010).

(23)

3 Bacillariophyceae paling banyak jenis yang ditemukan dan jumlahnya mendominasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka sumber protein alternatif berbasis perairan memiliki potensi sebagai kandidat bahan baku pakan akuakultur, untuk mengurangi atau mengganti peran tepung ikan dan bahan baku pakan berbasis daratan. Namun saat ini kajian mengenai bahan baku tersebut untuk dijadikan pakan ikan laut karnivora khususnya ikan cobia masih terbatas. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan evaluasi terhadap sumber protein alternatif berbasis perairan dalam tiga tahap. Tahap pertama, memproduksi kandidat bahan baku dengan kajian kandungan nutrien berupa analisis proksimat, asam amino dan asam lemak; dilanjutkan dengan tahap kedua, dengan mengevaluasi aktivitas enzim dan nilai biologis bahan baku yang terpilih dari tahap pertama dalam pakan juvenil cobia. Tahap akhir atau tahap ketiga dilakukan evaluasi kinerja pertumbuhan dan respons stres juvenil cobia yang diberikan pakan yang mengandung bahan baku terpilih dari tahap kedua.

Perumusan Masalah

Sintesis permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini adalah :

1. Ikan cobia merupakan kandidat spesies ikan laut utama dalam akuakultur, hingga kini masih memiliki kendala dalam produksi sebagai ikan konsumsi. Salah satu faktor penyebabnya adalah belum adanya pakan praktis dengan kandungan kadar protein yang optimal bagi pertumbuhan ikan cobia. Pakan yang digunakan selama ini masih menggunakan pakan komersil ikan laut jenis lain (pakan ikan kerapu, bawal atau kakap), dengan harga per kilogramnya relatif tinggi, yakni sekitar Rp. 16.000 – Rp. 18.000.

2. Dengan konversi pakan sekitar 2-2,5 untuk mendapatkan ukuran ikan konsumsi, maka dalam produksi 1 kg ikan cobia, dibutuhkan biaya pakan sebesar Rp. 32.000 – Rp. 45.000. Sementara itu, harga jual ikan cobia dipasaran lokal dalam kisaran antara Rp. 35.000 - Rp. 40.000 per kg, hal inilah yang menyebabkan budidaya ikan cobia sulit berkembang.

(24)

4

Kerangka pemikiran perumusan masalah dalam penelitian ini disusun dalam bentuk bagan dibawah ini:

Gambar 1. Diagram alir perumusan masalah penelitian Biaya pakan cobia 85-90%

Dari biaya produksi (bahan baku impor)

Menggunakan pakan ikan laut

lain Rp 16.000 -

Rp18.000

Lokal Ekspor

Biaya pakan per kg daging Rp 32.000

Ukuran 2-3 kg Pemeliharaan 6-8 bulan

FCR ± 2

Ukuran 4-6 kg Pemeliharaan 12 bulan

FCR ± 2.5

Biaya pakan per kg daging Rp 45.000

Harga jual ikan cobia Rp. 35.000 – Rp. 40.000 per kg - Karnivora pelagis

-Pertumbuhan yang cepat -Daging berkualitas -Dapat diadaptasikan,

dipijahkan dan dibesarkan dalam kondisi budidaya -Dapat mengkonsumsi pakan

buatan

-Dibandingkan dengan ikan laut lainnya, waktu

pemeliharaan relatif lebih singkat untuk mencapai ukuran konsumsi yang sama -Diterima konsumen dan - Segmen pasarnya sudah

terbentuk

FISIOLOGI EKONOMI

Cobia

KANDIDAT SPESIES UTAMA AKUAKULTUR

PERMASALAHAN PRODUKSI COBIA

Belum adanya pakan praktis cobia Menggunakan pakan ikan laut lain

Harga jual yang lebih rendah

Budidaya ikan cobia sulit berkembang

(25)

5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sumber protein alternatif berbasis perairan sebagai bahan baku pakan juvenil cobia dan secara khusus bertujuan untuk:

1. Mengevaluasi kandungan nutrien bahan baku berbasis perairan hasil budidaya dengan kajian analisis proksimat, asam amino essensial dan asam lemak essensial.

2. Mengevaluasi aktivitas enzim dan nilai biologis bahan baku terpilih dari tahap satu pada pakan juvenil cobia.

3. Mengevaluasi kinerja pertumbuhan dan respons stres juvenil cobia yang diberikan pakan mengandung bahan baku terpilih dari tahap dua.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas usaha budidaya ikan laut terutama pada ikan cobia dan menyediakan informasi terkait dengan bahan baku pakan yang dihasilkan melalui pemanfaatan sumber protein alternatif berbasis perairan. Pada akhirnya formulasi pakan berbasis perairan diharapkan dapat menekan biaya produksi dan turut meningkatkan produksi akuakultur.

Ruang Lingkup Penelitian

Secara umum ruang lingkup dan tahapan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama : Evaluasi kandungan nutrien berbagai sumber protein hasil budidaya berbasis perairan antara lain: mikroalga (jenis Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans), mikrobial flok dan klekap sebagai kandidat bahan baku pakan juvenil cobia.

2. Tahap kedua : Evaluasi aktivitas enzim dan nilai biologis pemberian bahan baku terpilih dari tahap satu yaitu: mikroalga jenis T. chuii, S. platensis dan mikrobial flok sebagai pakan juvenil cobia. 3. Tahap ketiga : Evaluasi pemanfaatan sumber protein berbasis perairan

dalam pakan buatan dengan menggunakan bahan baku terpilih dari tahap 2 yaitu: kombinasi mikrobial flok dan mikroalga S. platensis terhadap kinerja pertumbuhan dan respons stres juvenil cobia.

Hipotesis Penelitian

(26)

6

a. Jika sumber protein alternatif berbasis perairan dalam formulasi pakan buatan mampu menggantikan peran sumber protein berbasis daratan maka sumber protein berbasis perairan dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan.

b. Jika bahan baku berbasis perairan mengandung bahan-bahan aktif, maka bahan baku berbasis perairan dapat mengatasi dampak fisiologis (stres) akibat perendaman air tawar.

Kebaruan (novelty)

Kebaruan dari penelitian ini adalah:

1. Bahan baku pakan berbasis perairan (mikroalga Spirulina platensis dan mikrobial flok) memiliki kandungan nutrien dan nilai biologis yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan juvenil cobia.

2. Kombinasi kedua bahan baku tersebut dapat digunakan untuk menggantikan bahan baku berbasis daratan tanpa mengurangi kinerja pertumbuhan dan kinerja fisiologis juvenil cobia.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2013 – Januari 2015 dengan menggunakan fasilitas Laboratorium Basah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dan Tambak Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang serta analisis yang dilakukan di:

- Lab. Nutrisi Ikan BDP FPIK IPB : Proksimat - Lab. Kesehatan Ikan BDP FPIK IPB : Gambaran darah

- Lab. Kimia Terpadu IPB : Asam Lemak

- Lab. Terpadu Dept. Ilmu Nutrisi & Tek Pakan IPB : HDL, LDL & TG - Lab. Isotop/Radioaktif Balitnak Bogor : Kortisol & glukosa - Lab. PT Saraswanti Indo Genetech Bogor : Asam amino

Secara bertahap, penelitian yang dilakukan meliputi:

- Tahap pertama : Produksi bahan baku berbasis perairan (mikroalga Tetraselmis chuii, Spirulina platensis, Chaetoceros calcitrans, mikrobial flok dan klekap ) dengan kajian kandungan nutrien (proksimat, asam amino dan asam lemak) selama 6 bulan (Januari – Juni 2014).

- Tahap kedua : Pemeliharaan juvenil cobia di akuarium dengan menggunakan pakan yang mengandung bahan baku mikrobial flok dan mikroalga jenis Tetraselmis chuii dan Spirulina platensis selama 35 hari (September – Oktober 2014).

(27)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Profil Ikan Cobia

Cobia merupakan ikan pelagis yang suka bermigrasi dan tersebar luas pada perairan subtropis dan tropis seluruh dunia, kecuali bagian tengah dan timur Samudra Pasifik. Ikan ini menyukai hewan krustasea sebagai makanannya, namun hewan-hewan invertebrata lain dan ikan juga dimakannya. Ikan ini biasanya ditemukan mencari makan secara sendirian atau dalam kelompok kecil, dari laut dangkal di daerah terumbu karang hingga laut lepas (Shaffer and Nakamura 1989). Ikan ini dikenal dengan nama Ling, Lemonfish, Crabeater dan Cobio, namun nama-nama umum standar dari FAO adalah: di Inggris, cobia; Perancis, mafou; Spanyol, cobia (Shaffer and Nakamura 1989; Kaiser and Holt 2007).

Penulisan nama ilmiah ikan cobia diambil dari dua kata dari bahasa Yunani, yaitu kata ‘rachis’ mempunyai arti jalur tulang punggung dan kata ‘kentron’ mempunyai arti duri tajam. Ikan cobia termasuk ke dalam kelas Osteichthyes yang merupakan satu-satunya spesies dari famili Rachycentridae. Ikan cobia memiliki tubuh yang panjang dengan kepala agak pipih, pita gelap pada sisi lateral yang memanjang dari mata sampai pangkal ekor, sirip dorsal pertama berupa duri berjumlah 7 sampai 9 yang tidak dihubungkan oleh membran (Shaffer and Nakamura 1989; Kaiser and Holt 2007).

Penelitian budidaya cobia pertama kali dilaporkan pada tahun 1975, dengan mengumpulkan telur cobia liar di lepas pantai Carolina Utara. Hasil penelitian tersebut berupa pengamatan perkembangan larva dan pemeliharaan selama 131 hari, kesimpulan yang diambil bahwa cobia memiliki potensi perikanan budidaya yang baik, oleh karena pertumbuhan cepat dan kualitas daging yang baik. Penelitian lanjutan pada cobia, dilakukan di akhir 1980an dan awal 1990an di Amerika Serikat dan Taiwan. Laporan terjadi pemijahan yang pertama kali di awal 1990an di Taiwan, Provinsi China. Pada tahun 1997, teknologi budidaya dengan telah berkembang di Taiwan dengan pembesarannya di keramba jaring apung (Kaiser and Holt 2007). Di Indonesia, laporan penelitian keberhasilan pemijahan pertama kali pada tahun 2007 oleh Balai Besar Riset Kelautan dan Perikanan Gondol Bali. Ikan cobia yang dipijahkan merupakan hasil tangkapan dari perairan Pegametan Bali. Pada tahun 2009, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung telah berhasil mengembangkannya menjadi sebuah paket teknologi pemijahan dan pembesaran ikan cobia di bak terkendali dan keramba jaring apung (KJA).

(28)

8

et al. 2004), menjadikan ikan ini kandidat utama spesies akuakultur (Mach et al. 2010).

Profil tubuh ikan cobia ditampilkan pada Gambar 1 dan klasifikasinya menurut Shaffer and Nakamura (1989) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata Superclass : Gnathostomata

Class : Osteichthyes

Superorder : Acanthopterygii Order : Perciformes Suborder : Percoidei

Family : Rachycentridae Genus : Rachycentron

Species : Rachycentron canadum (Linnaeus 1766)

Gambar 2. Profil tubuh ikan cobia (Rachycentron canadum)

Kebutuhan Nutrisi Ikan Cobia

Cobia, seperti hewan lainnya membutuhkan keseimbangan dalam pakannya untuk dapat tumbuh dan hidup sehat. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan ikan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral pakan ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya (Gatlin 2002). Pada ikan cobia, informasi kebutuhan nutrisi secara optimal hingga kini banyak ditemukan pada fase juvenil, sedangkan untuk induk dan cobia ukuran konsumsi masih sangat terbatas (Fraser and Davies 2009).

Protein

(29)

9 protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ukuran ikan, suhu air, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna dan kualitas protein.

Keseimbangan antara energi dan kadar protein sangat penting dalam laju pertumbuhan, karena apabila kebutuhan energi kurang, maka protein akan dipecah dan digunakan sebagai sumber energi. Pemakaian sebagian protein sebagai sumber energi ini akan menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat (Buwono 2000). Protein dalam pakan dengan nilai biologis tinggi akan memacu penimbunan protein tubuh lebih besar dibanding dengan protein yang bernilai biologis rendah. Peningkatan kelebihan energi dari pakan yang dikonsumsi menyebabkan jumlah total protein yang ditimbun menurun, akan tetapi bagian energi yang diretensi akibat meningkatnya energi yang dikonsumsi menyebabkan terjadinya penimbunan lemak tubuh. Atas dasar ini maka pemberian protein pada pakan ikan harus berada pada batas tertentu agar dapat memberikan pertumbuhan maksimum bagi ikan dan efisiensi pakan yang tinggi.

Setiap ikan membutuhkan kadar protein yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh umur/ukuran ikan, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 35–50% dalam pakannya (Hepher 1990). Fase juvenil cobia merupakan fase ikan membutuhkan protein yang relatif tinggi sebagai sifat alami ikan karnivora (Fraser and Davies 2009). Protein yang dibutuhkan juvenil cobia untuk pertumbuhan yang minimum sebesar 40% dan untuk mencapai pertumbuhan yang maksimun cobia membutuhkan protein sebesar 44.5% (Chou et al. 2001).

Kualitas protein bahan baku atau pakan, terutama ditentukan oleh kandungan asam amino esensialnya, semakin rendah kandungan asam amino esensialnya maka mutu protein semakin rendah pula. Penentuan kualitas protein dapat dilakukan dengan membandingkan komposisi asam amino essensial yang dikandung bahan baku pakan dengan standar kebutuhan asam amino essensial hewan uji. Secara kuantitatif, kebutuhan protein terkait dengan umur/ukuran, tingkat kematangan gonad, kondisi lingkungan dan kondisi fisiologis. New (1987) mengemukakan bahwa asam amino yang terkandung di dalam pakan dalam jumlah yang rendah akan bersifat sebagai limiting amino acid. Defiensi asam amino pada bahan baku tidak sama, oleh karena itu defisiensi pada salah satu asam amino pada suatu bahan dapat dikombinasi dengan asam amino yang sama dari bahan baku yang berbeda.

(30)

10

dibutuhkan ikan dalam pertumbuhannya, kekurangan asam amino lisin akan mengakibatkan ikan menjadi kehilangan selera makan dan pertumbuhan ikan menjadi lambat pada ikan japanese sea bass. Pada juvenil cobia, kebutuhan asam amino lisin dalam protein pakan untuk pertumbuhan maksimal sebesar 2.33% (Zhou et al. 2007).

Lemak

Lemak pada pakan mempunyai peranan penting bagi ikan, karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin yang terlarut dalam lemak, bahan baku hormon dan untuk mempertahankan daya apung tubuh (NRC 1993).

Lemak dalam satu unit yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak yang dikonsumsi dapat memberikan energi yang cukup untuk kebutuhan metabolisme, maka sebagian protein yang di konsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan sebagai sumber energi (NRC 1993). Takeuci et al. (1996) mengemukakan bahwa kandungan protein pakan rainbow trout dapat diturunkan dari 48% menjadi 35% tanpa menurunkan pertambahan bobot badan, jika kadar lemak pakan ditingkatkan dari 15% menjadi 20%. Akan tetapi penambahan lemak didalam pakan perlu diperhatikan kuantitasnya, karena kadar lemak didalam pakan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penyimpanan lemak yang berlebihan didalam tubuh ikan (NRC 1993). Pada juvenil cobia, kebutuhan optimum untuk tumbuh sebesar 5.67% (Chou et al. 2001).

Lemak pakan harus mengandung asam lemak yang tidak dapat disintetis tubuh yaitu asam lemak esensial. Watanabe and Pongmaneerat (1988) mengemukakan bahwa ikan rainbow trout yang mengalami defisiensi asam lemak esensial memperlihatkan gejala efisiensi pakan yang menurun, pertumbuhan rendah, erosi sirip dan mortalitas meningkat. Kebutuhan ikan akan asam lemak esensial berbeda untuk setiap spesies ikan (NRC 1993). Perbedaan ini dihubungkan dengan habitatnya, ikan yang hidup di laut lebih memerlukan asam lemak n-3 atau kombinasi asam lemak n-3 dan n-6 (Hepher 1990).

Enzim Pencernaan dan Perannya dalam Proses Pencernaan Ikan

(31)

11 enzim perncernaan seperti protease, karboksilase dan lipase (Zonneveld et al. 1991).

Kecernaan didefinisikan sebagai bagian pakan yang diserap oleh hewan (Lovell 1989). Pengetahuan tentang kecernaan bahan pakan sangat diperlukan dalam mempelajari kebutuhan energi ikan dan penilaian dari berbagai bahan pakan yang berbeda. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrient yang dicerna oleh berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding usus dan masuk ke dalam sistem peredaran darah. Kecernaan ikan terhadap bahan baku pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, sifat kimia air, suhu air, jenis pakan, ukuran, umur ikan, kandungan nutrien pakan, frekuensi pemberian pakan, sifat fisika dan kimia pakan serta jumlah dan macam enzim pencernaan yang terdapat dalam saluran pencernaan pakan (NRC 1993; Hepher 1990).

Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Enzim adalah protein, yang disintesis dalam sel dan dikeluarkan dari sel yang membentuknya melalui proses eksositosis. Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal dari sel-sel mukosa lambung, pilorik kaeka, pankreas dan mukosa usus (Halver and Hardy 2002). Oleh karena itu perkembangan sistem pencernaan erat kaitannya dengan perkembangan aktivitas enzim dalam rongga saluran pencernaan. Enzim-enzim tersebut berperan sebagai katalisator dalam hidrolisis protein, lemak dan karbohidrat menjadi bahan-bahan yang sederhana. Sel-sel mukosa lambung menghasilkan enzim protease dengan suatu aktivitas proteolitik optimal pada pH rendah. Pilorik kaeca yang merupakan perpanjangan dari usus yang berfungsi mensekresikan enzim yang sama seperti yang dihasilkan pada bagian usus yaitu enzim pencernaan protein, lemak dan karbohidrat yang aktif pada pH netral dan scdikit basa. Cairan pankreatik kaya akan tripsin, yaitu suatu protease yang aklivitasnya optimal sedikit di bawah pH basa. Di samping itu cairan ini juga mengandung amilase, maltase dan lipase. Ikan yang tidak memiliki lambung dan pilorik kaeka, aktivitas proteolik terutama berasal dari cairan pankreatik. (Watford and Lam 1993).

Kecernaan (digestibility) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) jenis pakan yarg dimakan dan kadar kepekaan pakan terhadap pengaruh enzim pencernaan, (2) aktivitas enzim-enzim pencernaan dan (3) lama waktu pakan yang dimakan terkena aksi enzim pencernaan. Masing-masing faktor di atas dipengaruhi oleh berbagai faktor sekunder yang berkaitan dengan ikan tersebut (spesies, umur, ukuran) dan kondisi fisiologis, yang berkaitan dengan lingkungan (temperatur), dan yang berkaitan dengan pakannya (komposisi pakan, ukuran partikel dan jumlah pakan yang dimakan). Kecernaan berbeda antar spesies ikan, hal ini terjadi akibat perbedaan sistem dan enzim-enzim pencernaan (De Silva and Anderson 1995).

(32)

12

Bagian yang tidak dicerna dibuang dalam bentuk feses (Hepher 1990). Kecernaan pakan dan nutrien dapat ditentukan dengan menggunakan indikator yang mempunyai sifat mudah diindentifikasi atau tidak diserap, sehingga dapat melewati saluran pencernaan. Kromium (Cr2O3) dapat digunakan sebagai

indikator dalam menentukan kecernaan pakan dengan asumsi semua khrom trioksida melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses (NRC 1993). Kromium yang digunakan pada penentuan kecernaan ikan adalah 0,5-1,0% (Watanabe and Pongmaneerat, 1988).

Kemampuan ikan dalam mencerna makanan sangat bergantung pada kelengkapan organ pencernaan dan ketersediaan enzim pencernaan. Perkembangan saluran pencenaan tersebut berlangsung secara bertahap dan setelah mencapai ukuran/umur tertentu saluran pencernaan mencapai kesempurnaan. Perkembangan struktur alat pencernaan ini diikuti oleh perkembangan enzim pencernaan dan perubahan kebiasaan makan (food habit). Kandungan nutrien pakan nampaknya berpengaruh pada aktivitas enzim pencernaan. Kuzmina (1996) mengungkapkan bahwa tersedianya substrat merupakan faktor yang nyata dalam pengaturan aktivitas enzim pada ikan dan mamalia. Kandungan protein pakan yang tinggi dikaitkan dengan kandungan selulase yang rendah dapat meningkatkan aktivitas protease pada ikan rainbow trout.

Enzim protease menguraikan rantai-rantai peptida dari protein. Peptidase diklasifikasikan menjadi endopeptidase dan eksopeptidase yang bergantung pada letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul. Endopeptidase menghidrolisis protein dan peptida-peptida rantai panjang menjadi peptida-peptida pendek. Endopeptidase penting antara lain pepsin yang dihasilkan dari zimogen pepsinogen, tripsin dari trypsinogen dan kimotripsin dari kimotripsinogen. Eksopeptidase menghidrolisis peptida menjadi asam-asam amino. Karboksipeptidase, aminopeptidase dan dipeptidase termasuk dalam kelompok eksopeptidase.

(33)

13 Bahan Baku Pakan Berbasis Perairan

Bahan baku pakan merupakan faktor utama yang harus tersedia dalam pembuatan pakan. Berdasarkan keutamaan produk maka bahan baku dibedakan menjadi produk utama dan hasil samping dan berdasarkan sumber bahan baku pakan, digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu bahan baku yang berasal dari tumbuhan (nabati) dan berasal dari hewan (hewani). Bahan baku pakan nabati semakin meningkat digunakan dalam pakan, akan tetapi menggantikan tepung ikan dengan sumber protein nabati secara keseluruhan tidak selalu mencapai kesuksesan karena menurunnya pallatabilitas pakan sehingga pertumbuhan dan efisiensi pakan menjadi rendah. Beberapa protein nabati kekurangan satu atau lebih asam amino esensial, sehingga penggunaan protein nabati sebagai bahan baku utama pada pakan, harus ditambahkan suplemen asam amino. Hal ini ditujukan agar profil asam amino yang diberikan sesuai dengan kebutuhan asam amino esensial pada ikan. Adapun kriteria bahan baku dalam menggantikan tepung ikan menurut Suprayudi (2010), bahan baku mengandung nutrien yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan, diutamakan dari sumber nabati, tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan manusia, hasil samping produk dan jumlah tersedia melimpah. Kandidat bahan baku yang termasuk dalam kriteria di atas dan berbasis perairan yaitu:

Tepung Mikroalga

(34)

14

(Jaime-Ceballos et al. 2006) dan mikroalga C. calcitrans merupakan diatom berbentuk bulat dengan diameter 4-6 µm, uniseluler dan dinding selnya terbentuk dari silikat. Alga coklat keemasan ini mengandung protein 26%, lemak 6-7% dan BETN 28-29% (Milamena et al. 2002).

Tepung Bioflok

Bioflok dapat dikatakan sebagai SCP (Single Cell Protein). Menurut El-Sayed (1999), SCP dapat dipertimbangkan sebagai alternatif sumber protein bagi beberapa spesies ikan karena mengandung nutrisi dan dapat diproduksi dengan biaya murah. Avnimelech (1999) mengatakan manipulasi C/N rasio dapat menyebabkan pergantian dari sistem autotrofik menjadi sistem heterotrofik, kemudian nitrogen diambil oleh bakteri untuk mensintesis protein dan sel baru (protein sel tunggal). Teknologi bioflok, sering disebut juga dengan teknik suspensi aktif (activated suspension technique, AST), menggunakan aerasi konstan untuk memungkinkan terjadinya proses dekomposisi secara aerobik dan menjaga flok bakteri berada dalam suspensi (Azim et al. 2007). Dalam sistem ini, bakteri heterotrof yang tumbuh dengan kepadatan yang tinggi berfungsi sebagai bioreaktor yang mengontrol kualitas air terutama konsentrasi N serta sebagai sumber protein bagi organisme yang dipelihara. Flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis mikroorganisme (bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (De Schryver et al. 2008) dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 m (Azim et al. 2007; De Schryver et al. 2008).

Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok. Bioflok didominasi oleh bakteri dan mikroalga hijau mengandung protein yang lebih tinggi (38 dan 42% protein) daripada bioflok yang didominasi oleh diatom (26%) (Ju et al. 2008). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioflok dapat dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Ekasari 2008; Kuhn et al. 2008).

(35)
[image:35.595.111.508.116.326.2]

15

Tabel 1. Kandungan nutrisi bioflok Parameter % Berat

kering Sumber karbon Pustaka

Protein 23 - 61 Asetat dan gliserol De Schryver et al. (2009)

49 Glukosa Kuhn et al. (2009)

50,7 – 60,1 Glukosa Kuhn et al. (2008) 42 - 43 Asetat, gliserol, glukosa Crab et al. (2009)

Lemak 1,13 Glukosa Kuhn et al. (2009)

2,3 – 5,4 Asetat, gliserol, glukosa Crab et al. (2009)

Serat kasar 12,6 Glukosa Kuhn et al. (2008)

Kadar abu 13,4 Glukosa Kuhn et al. (2009)

17 - 27 Asetat, gliserol, glukosa Crab et al. (2009) Asam lemak n-3 0,04 – 0,07 Asetat, gliserol, glukosa Crab et al. (2009) Asam lemak n-6 0,7 - 2 Asetat, gliserol, glukosa Crab et al. (2009)

Tepung Klekap

Klekap merupakan suatu kumpulan organisme yang terdiri atas berbagai jenis alga dan mikroorganisme yang membentuk suatu lapisan benthos di dasar tambak. Klekap merupakan pakan alami dalam budidaya ikan bandeng dan dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan udang. Poernomo (1979) menyatakan bahwa klekap dapat dimanfaatkan sebagai pakan udang, hal ini dikarenakan adanya Bacillariophyceae dan jasad renik hewan lainnya. Hal ini dikarenakan Bacillariophyceae mengandung kadar protein yang tinggi (22,9%). Hartati et al. (2005) mengemukakan bahwa klekap tersusun dari alga biru, diatom, alga hijau berfilamen, mikroorganisme, entomostraka bakteri, cacing, detritus dan partikel-partikel mineral. Fragmen klekap seringkali terangkat dari dasar karena adanya gelembung-gelembung udara yang terbentuk oleh fotosintesis, sehingga mereka menjadi planktonik atau mengapung.

Interaksi Imunitas ikan dengan bahan baku

Imunitas adalah suatu mekanisme fisiologi yang penting bagi hewan-hewan untuk perlindungan melawan infeksi dan pemeliharaan keseimbangan internal (Saurabh and Sahoo 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa sistem imun terbagi menjadi dua bagian, yaitu imunitas alami (innate immunity) yang juga disebut sebagai imunitas nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu dan siap berfungsi sejak lahir serta merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan imunitas yang didapat (adaptive immunty) yang juga disebut sebagai imunitas spesifik, karena mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya dan siap menyerang benda asing tersebut pada penyerangan berikutnya (sel-sel memori).

(36)

parameter-16

parameter imunitas alami dan telah digunakan sebagai indikator respons stres hewan akuatik dan resistensi terhadap penyakit. Sel-sel dan molekul-molekul penting pada sistem imun yang didapat di antaranya adalah reseptor sel-T dan immunoglobulin (Ig).

Peningkatan daya tahan tubuh ikan melalui perbaikan formulasi pakan yang mengandung bahan-bahan tertentu dapat meningkatkan sistem imun sehingga ikan lebih tahan terhadap serangan penyakit dan produksi akuakultur dapat meningkat (Gatlin 2002). Pakan yang mengandung mikroalga S costatum dapat meningkatkan respons imun ikan, hal ini disebabkan mikroalga tersebut menghasilkan autoinhibitor berupa asam lemak 15-hydroxy eikosapentanoik dan mempunyai aktifitas antibakteri. Ekstrak intraseluler murni dari S costatum mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen seperti Vibrio sp S322, Vibrio sp VRP, V mytili dan Listonella anguillarum (Naviner et al. 1999).

Respons imun ikan diduga dapat juga diperbaiki dengan pemberian pakan yang mengandung bahan baku dari bioflok. Ju et al. (2008) menyatakan bahwa bioflok dapat meningkatkan kesehatan ikan melalui stimulasi sistem imun. Menurut Defoirdt et al. (2007), bioflok mengandung PHB yang dapat mencegah Artemia franciscana dari infeksi virus dan bakteri patogen. Akumulasi PHB pada bioflok terjadi di bawah kondisi khusus yang ditentukan oleh adanya faktor pembatas pertumbuhan seperti nitrogen dan adanya sumber karbon yang berlebih. PHB merupakan biodegradasi polimer intraseluler yang dihasilkan oleh sejumlah mikroorganisme dan meliputi karbon di dalam bakteri serta cadangan energi. Polimer ini merupakan hasil dari asimilasi karbon (gula atau pati) dan digunakan oleh mikroorganisme sebagai cadangan energi untuk metabolisme ketika sumber energi habis (Defoirdt et al. 2007). Bahkan ketika sel bakteri mati dan lisis, degradasi PHB dilakukan dengan aktivitas enzim depolimerase PHB ekstraseluler yang dapat menyebar pada bakteri dan fungi (Jendrossek and Handrick 2002) yang menghasilkan 3-hydroxybutyrate ke lingkungan sehingga berpotensi sebagai prebiotik untuk akuakultur (De Schryver et al. 2008).

Gambaran Darah Ikan

(37)

17 Sel darah ikan diproduksi di dalam jaringan hematopoietik yang terletak di ujung anterior ginjal dan limpa. Berbeda dengan mamalia, pada ikan tidak ada sumsum tulang namun ikan memiliki limfonodus. Pada ikan, darah dibentuk di dalam organ ginjal, limpa dan timus (Dellman and Brown 1989). Fungsi darah pada ikan yaitu untuk mengedarkan zat makanan hasil pencernaan dan oksigen ke sel-sel tubuh serta membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan pada darah adalah jumlah sel darah merah (SDM), sel darah putih (SDP), kadar hemoglobin (Hb) dan kadar hematokrit (Ht) (Lagler et al. 1977).

SDM pada ikan merupakan sel dengan jumlah paling banyak, mencapai 4x106 sel/mm3 (Moyle and Cech 2004). Jumlah SDM bervariasi pada tiap spesies dan biasanya dipengaruhi oleh stres dan suhu lingkungan. SDM mengandung hemoglobin yang merupakan protein-pigmen kompleks yang mengandung zat besi, yang merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Sebagai intinya Fe dan rangka protoperphyrin serta globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan membentuk oksihemoglobin dalam sel darah merah. Hemoglobin dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel menuju paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti terjadinya kekurangan darah yang disebut anemia. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal. Hampir semua gangguan pada sistem peredaran darah disertai dengan anemia yang ditandai dengan warna kepucatan pada tubuh, penurunan kerja fisik dan penurunan daya tahan tubuh (Moyle and Cech 2004).

Konsentrasi hemoglobin diukur berdasarkan pada intensitas warna dan dinyatakan dalam satuan gram hemoglobin/100 mL darah (g/100 mL) (Lagler et al. 1977). SDP dikelompokkan berdasarkan pada ada tidaknya butir-butir (granul) dalam sitoplasma, yaitu granulosit dan agranulosit. Kelompok granulosit meliputi neutrofil, eosinofil dan basofil. Jenis ini memiliki sifat reaksi terhadap zat tertentu yaitu leukosit eosinofil yang bersifat asidofil (berwarna merah oleh eosin), leukosit basofil berwarna basofil (ungu) dan leukosit netrofil bersifat tidak basofil maupun asidofil (Dellman and Brown 1989). Menurut Lagler et al. (1977), jumlah SDP berkisar antara 20-150 x 104 sel/mm3.

Kimia Darah

Kolesterol

(38)

18

tubuh sendiri yang berlangsung di dalam usus, kulit terutama dalam hati (kira-kira 50%), selebihnya kolesterol diambil dari bahan makanan. Sebagian besar kolesterol membentuk lapisan lemak dari membran plasma. Perubahannya menjadi asam empedu juga menggunakan jumlah kolesterol yang sangat besar. Selain itu kolesterol juga disekresikan ke dalam empedu dalam bentuk yang tidak diubah. Sejumlah kecil kolesterol berfungsi pada biosintesis hormon steroid. Keseluruhannya setiap hari digunakan atau dieliminasi kurang lebih 1 g kolesterol (Koolman and Röhm 2001).

Kolesterol disintesa oleh tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus halus, dan kelenjar adrenal meskipun seluruh sel-sel mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sterol (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kolesterol digunakan untuk sintesis hormon hormon steroid, garam-garam empedu, dan vitamin D. Zat-zat tersebut ditranspor diantara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama chylomicronchylomicron dan lipoprotein-lipoprotein dengan densitas rendah (LDL). Kebutuhan yang tepat akan kolesterol belum diketahui, tapi para ahli sependapat bahwa meskipun dalam bentuk sedikit saja kolesterol yang disintesa dalam tubuh, telah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kolesterol sangat larut dalam lemak tetapi hanya sedikit larut dalam air, dan mampu membentuk ester dengan asam lemak. Kolesterol diabsorbsi setiap hari dari saluran pencernaan, yang disebut kolesterol eksogen, dan jumlah yang lebih besar dibentuk didalam sel tubuh disebut kolesterol endogen. Seperti digambarkan dalam formula kolesterol struktur dasarnya adalah inti sterol. Inti sterol seluruhnya dibentuk dari molekul Asetil-KoA. Sebaliknya inti sterol dapat dimodifikasi dengan berbagai rantai samping untuk membentuk a) kolesterol; b) asam kolat, yang merupakan dasar dari asam empedu yang dibentuk didalam hati; c) beberapa hormon steroid yang penting yang disekresi oleh korteks adrenal, ovarium, dan testis (Guyton and Hall 2008).

Lemak

Lemak merupakan substansi yang dapat ditemukan pada jaringan tanaman atau hewan. Lemak tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzen, eter dan chloroform. Lemak mengandung karbon, hidrogen dan oksigen dengan rumus C12H22O11. (Mc Donald et al. 2002). Lemak merupakan

ikatan organik yang masuk kedalam klasifikasi lipid bersama-sama dengan ikatan kimia lainnya termasuk lilin, fosfolipid dan sterol.

(39)

19 trigliserida. Trigliserida merupakan komponen utama asam lemak dalam makanan yang dibentuk dari fraksi katalisa gliserol dengan tiga molekul asam lemak. Trigliserida merupakan bentuk lemak yang paling efisien untuk menyimpan kalori. Kelebihan energi terjadi jika energi melebihi energi metabolis yang dibutuhkan, kelebihan energi dapat menyebabkan akumulasi lemak yang berlebihan sehingga disimpan pada jaringan adiposa dalam bentuk cadangan lemak. Beberapa trigliserida berbentuk butir-butir lipid kecil pada jaringan yang digunakan untuk metabolisme energi.

Trigliserida

Trigliserida atau triasilgliserol merupakan lemak netral yang terdiri atas sebuah gliserol dan tiga rantai asam lemak serta disintesis di hati dan usus halus. Menurut Guyton and Hall (2008), trigliserida dipakai dalam tubuh terutama untuk menyediakan energi bagi berbagai proses metabolik. Seluruh jenis lipoprotein berperan untuk mengangkut trigliserida, namun sebagian besar dari trigliserida diangkut oleh VLDL dan kilomikron. Campuran dari trigliserida teremulsifikasi tampak dalam jumlah besar setelah mengkonsumsi pangan tinggi lemak, umumnya dalam darah yang mengalir dari empedu ke hati (Ravnskov 2004). Pencernaan dan penyerapan trigliserida rantai panjang merupakan proses yang sangat efisien. Proses tersebut melibatkan beberapa langkah tertentu yaitu emulsifikasi dan hidrolisis oleh enzim lipase menjadi asam lemak dan monoasilgliserol. Pencernaan lemak pangan yang efisien membutuhkan kolipase dan asam empedu sebagai bahan tambahan pada lipase trigliserida. Asam empedu diperlukan untuk penyerapan hampir sempurna lemak pangan yang secara normal terjadi meskipun asam empedu tidak secara mutlak diperlukan untuk penyerapan lemak pangan (Lowe 2005).

Lipoprotein

Lipoprotein adalah molekul yang terdiri atas protein dan lipida yang digabungkan dengan ikatan non-kovalen yaitu interaksi hidrofob antara bagian (gugus) non polar dari lipida dengan molekul protein. Ada dua jenis fungsi lipoprotein yaitu sistem lipoprotein pengangkut dan sistem lipoprotein membran (Wirahadikusumah 1985).

Low Density Lipoprotein. Low density lipoprotein (LDL) merupakan

pengangkut utama kolesterol dalam darah. LDL disintesa di dalam hati dan diangkut oleh darah (Boyer 2002). Kadar kolesterol darah tidak hanya dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi tetapi juga kecepatan tubuh membentuk dan membuang LDL dari dalam tubuh (Santos et al. 2003). LDL yang berlebih dalam darah disimpan dalam dinding arteri dan menyebabkan terbentuknya plak (Zhou et al. 2005).

High Density Lipoprotein. High density lipoprotein (HDL) memiliki

(40)

20

HDL sering disebut sebagai kolesterol baik karena aktivitasnya yang mengeluarkan kolesterol dari dalam tubuh (Boyer 2002). Pengaruh perlindungan terhadap perkembangan aterosklerosis melekat pada HDL berdasarkan peran utama dalam transportasi kolesterol balik (Duchateau et al. 2000).

Stres

Stres didefinisikan sebagai respons nonspefisik oleh tubuh terhadap berbagai kebutuhan yang diakibatkan oleh stres itu, sedangkan stressor didefinisikan sebagai faktor lingkungan yang menimbulkan stres (Selye 1973). Selanjutnya dikatakan bahwa ketika organisme terpapar suatu stressor, respons fisiologinya mengikuti pola yang dikenal sebagai general adaptation syndrome, yang dicirikan dengan tiga tahapan proses, yaitu tahap peringatan (alarm), resistens, dan exhaustion. Pada ikan, tahap peringatan ditandai dengan hilangnya nafsu makan, kehilangan keseimbangan, dan perubahan tingkah laku. Tahap resistens ditandai dengan meningkatnya metabolisme dan laju konsumsi pakan, sedangkan pada tahap exhaustion pengaruh kumulatif pemaparan menyebabkan kematian prematur pada individu. Kematian terjadi ketika mekanisme kompensasi gagal karena ikan-ikan tidak sanggup mempertahankan tingkat aksi yang dibutuhkan untuk mengimbangi pengaruh stressor.

Stres juga diartikan sebagai sejumlah respons fisiologi yang terjadi pada saat hewan berusaha mempertahankan homeostatis. Respons terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin melalui pelepasan hormon kortisol (Barton et al. 1980). Stres menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (glukokortikoid) dan glukosa darah.

Pada kegiatan budidaya ikan, stres biasanya dipicu oleh padat tebar yang tinggi, perubahan suhu secara signifikan, salinitas, oksigen terlarut, dan stres akibat penanganan yang kurang baik sehingga menurunkan kemampuan ketahanan tubuh ikan. Anderson (1974) menyatakan bahwa stressor lingkungan mempengaruhi respons imunitas dan kesehatan ikan, karena cekaman lingkungan dapat meningkatkan kortisol plasma yang selanjutnya dapat mempengaruhi penurunan sel antibodi, aktivitas makrofag, dan menghambat proliferasi limfosit.

(41)

21 TAHAP SATU

EVALUASI KANDUNGAN NUTRIEN

BERBAGAI SUMBER PROTEIN ALTERNATIF

BERBASIS PERAIRAN SEBAGAI KANDIDAT BAHAN BAKU

PAKAN DALAM AKUAKULTUR

ABSTRAK

Tepung ikan merupakan bahan baku pakan utama dalam perikanan budidaya. Namun seiring dengan berkembangnya industri akuakultur, permintaan tepung ikan semakin meningkat, sehingga memicu kenaikan harga sehingga meningkatkan biaya operasional akuakultur. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sumber protein alternatif berbasis perairan sebagai bahan baku pakan dalam akuakultur. Bahan baku hasil budidaya yang dievaluasi yaitu mikroalga (Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans), mikrobial flok dan klekap. Dari analisis proksimat, diperoleh hasil bahwa mikroalga T. chuii, S. platensis dan mikrobial flok memiliki kandungan nutrien protein diatas 20%, dengan kandungan asam amino yang hampir menyerupai tepung ikan dan tepung kedelai. Hasil analisis asam lemak essensial, tepung mikrobial flok dan tepung mikroalga C. calcitrans memiliki kandungan asam lemak yang dibutuhkan ikan air tawar (asam lemak linoleat) dan ikan air laut (EPA dan DHA). Sementara itu, pada T. chuii merupakan satu-satunya bahan baku yang ditemukan adanya asam lemak linolenat, namun tidak ditemukan kandungan asam lemak DHA, sedangkan pada S. platensis dan klekap hanya ditemukan asam lemak linoleat.

(42)

22

1 PENDAHULUAN

Akuakultur memainkan peranan penting dalam pemenuhan sumber protein hewani dan secara keseluruhan, akuakultur mampu menyumbang sekitar 50% dari total ikan yang dikonsumsi manusia (Naylor et al. 2009). Produksi akuakultur akan terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan dan populasi dunia. Peningkatan kontribusi akuakultur tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat sangat dramatis dalam beberapa dekade terakhir (FAO 2009).

Faktor yang menjadi pembatas dalam kesinambungan produksi akuakultur yaitu ketersediaan bahan baku pakan. Sampai saat ini bahan baku pakan yang paling disukai dan diandalkan adalah tepung ikan, karena tepung ikan memiliki keseimbangan dalam asam amino essensial, asam lemak essensial, vitamin, mineral dan memiliki palatabilitas yang baik untuk ikan (Muzinic et al. 2009). Tingginya kandungan asam amino methionin dan lisin merupakan salah satu keunggulan bahan baku ini, karena kedua asam amino tersebut jumlahnya sangat sedikit pada bahan baku nabati. Beberapa kelebihan tepung ikan inilah yang menjadikan persentase pemakaiannya pada pakan menjadi tidak terbatas (Millamena et al. 2002). Seiring dengan perkembangan industri akuakultur secara global, permintaan tepung ikan semakin meningkat. Tingginya permintaan dan fluktuasi ketersediaan tepung ikan, mengakibatkan melambungnya harga tepung ikan, pada akhirnya meningkatkan biaya produksi.

Penelitian dalam upaya mencari sumber protein alternatif sudah banyak dilakukan untuk menekan biaya pakan, dengan mengurangi atau mengganti peran tepung ikan. Misalnya mengganti tepung ikan dengan tepung kedelai (Chou et al. 2004; Lin and Luo 2011; Ma et al. 2014), namun ketersediaan sumber protein berbasis terrestrial ini masih memiliki kendala dalam kesinambungannya, dikarenakan adanya kompetisi dengan manusia dan masih diimpor. Menurut data KKP (2010) menunjukkan bahwa dari tahun 2004–2009, impor tepung kedelai meningkat dari 9.776,1 ton menjadi 53.475,8 ton (rata-rata kenaikan 110,03%), dengan harga rata-rata per ton pada tahun 2009 adalah 734,43 USD. Sehingga harga tepung kedelai sangat dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, hal ini menjadikan tepung kedelai relatif lebih mahal.

(43)

23 Skeletonema sp, Chaetoceros sp, Tetraselmis sp, Chlorella sp dan Isochrysis sp pada berbagai spesies ikan (Muller-Feuga 2000), kombinasi Nannochloropsis sp dan Isochrysis sp pada juvenil cod atlantik (Walker and Berlinsky 2011), Scenedesmus almeriensis pada juvenil seabream (Vizcaíno 2014), mikrobial flok pada udang putih (Kuhn et al. 2009) dan klekap pada juvenil teripang putih (Hartati et al. 2005).

Pemanfaataan sumber protein alternatif berbasis perairan didasarkan atas: mudah dibudidayakan dan kaya akan sumber protein, karbohidrat, asam lemak essensial dan vitamin yang merupakan komponen penting dalam pakan akuakultur. Seperti mikroalga, mikrobial flok dan klekap.

Mikroalga telah lama dijadikan pakan alami larva udang dan ikan sehingga dapat dijadikan sumber protein alternatif antara lain: Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans. Mikroalga jenis T. chuii merupakan mikroalga hijau berflagel, uniseluler, berukuran 7-12 µm, dinding sel terbentuk dari selulosa dan pektin. Kandungan nutrien alga ini berupa protein 45-47%, lemak 8-9%, serat kasar 1-2% dan BETN 16-17% (Milamena et al. 2002). S. platensis merupakan organisme berbentuk menyerupai benang berdiameter 1-12 µm, dinding sel terbentuk dari gula kompleks dan protein. Alga hijau biru ini mengandung protein berkisar antara 60-70%, provitamin A, β karoten, lemak 4 -7%, karbohidrat 13,6% dan pigmen antioksidan seperti karatenoid dan fikosianin (Jaime-Ceballos et al. 2006). C. calcitrans merupakan diatom berbentuk bulat dengan diameter 4-6 µm, uniseluler dan dinding selnya terbentuk dari silikat. Alga coklat keemasan ini mengandung protein sebesar 26%, lemak 6-7% dan BETN 28-29% (Milamena et al. 2002).

Mikrobial flok adalah material detritus yang kaya akan protein dan mineral. Flok terbentuk dari bakteri heterotrof yang tersusun atas campuran berbagai jenis mikroorganisme (bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, koloid, polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati yang menjadi biomassa mikroba. Selain flok bakteri, organisme lain yang ditemukan yakni protozoa, rotifer dan oligochaeta (Ekasari 2009; Kuhn et al. 2010). Pembentukan mikrobial flok merupakan mekanisme yang kompleks, melibatkan berbagai aspek fisika, kimia dan biologis, sehingga kandungan nutrisi mikrobial flok cenderung tidak stabil, banyak dipengaruhi sumber karbon dan komposisi biologisnya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mikrobial flok dapat dijadikan bahan baku pakan, hal ini didasarkan pada kandungan protein (19-58%), lemak (2-39%), karbohidrat (27-59%) dan abu (2-17%) (Crab et al. 2009).

(44)

24

Copepoda), bakteri, cacing, detritus dan partikel-partikel mineral (Hartati et al. 2005). Klekap mengandung kadar protein sebesar 22.9% (Poernomo 1979).

Informasi pemanfaatan bahan baku pakan tersebut dalam pakan ikan laut masih terbatas, sehingga dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengevaluasi kandungan nutrien sumber protein alternatif berbasis perairan sebagai bahan baku pakan juvenil cobia.

2 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama 6 bulan, dari bulan Januari-Juni 2014. Produksi bahan baku mikroalga (Tetraselmis chuii, Spirulina platensis dan Chaetoceros calcitrans) dan mikrobial flok di Laboratorium Basah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, sedangkan produksi klekap di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang. Analisis kandungan nutrien bahan baku dilakukan: untuk proksimat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan F

Gambar

Gambar 1. Diagram alir perumusan masalah penelitian
Gambar 2. Profil tubuh ikan cobia (Rachycentron canadum)
Tabel 1. Kandungan nutrisi bioflok
Tabel 2. Produksi bahan baku sumber protein alternatif berbasis perairan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGGUNAAN TEPUNG DAGING DAN TULANG AYAM SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PROTEIN HEWANI PADA PAKAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Evaluasi Kinerja Pertumbuhan Benih Lele (Clarias gariepinus) pada Sistem Budidaya Bioflok yang Diberi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Makanan Cair Alternatif Tinggi Protein Berbasis Tepung Ikan Lele ( Clarias gariepinus ) dan Pengaruhnya Terhadap

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan Mas Cyprinus carpio Linn” adalah karya

Penelitian tentang Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Eceng Gondok sebagai Sumber Daya Pakan di Perairan yang Mendapat Limbah Kotoran Itik dilaksanakan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ”Karakteristik Protein Serupa Silicatein dari Sponge Asal Perairan Nias dan Lombok”, adalah benar-benar merupakan karya

Peluang usaha yang besar karena potensi daerah sebagai daerah pesisir yang mempunyai hasil tangkap berlebih merupakan sumber bahan baku pembuat pakan ikan

Penelitian tentang Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar Eceng Gondok sebagai Sumber Daya Pakan di Perairan yang Mendapat Limbah Kotoran Itik dilaksanakan