• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

2. Bercerita (Storytelling)

Menurut Echols dalam (Suwangsih, 2011:7), storytelling terdiri atas dua kata yaitu story berarti cerita dan telling berarti penceritaan. Gabungan kedua kata storytelling berarti penceritaan cerita atau perihal menceritakan cerita.

Fisher dalam (Suwangsih, 2011:7), menyatakan bahwa storytelling adalah bentuk kreativitas yang menyenangkan yang terbentuk dalam lintas negara dan budaya. Cerita-cerita yang lahir dari masyarakat mengkomunikasikan apa yang ada dalam cerita dan memperluas wawasan anak tentang berbagai ragam budaya.

Menurut Bachri dalam (Suwangsih, 2011:7), kegiatan bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain.

b. Manfaat Penggunaan Metode Storytelling

Metode storytelling dimaknai sebagai metode yang dapat mengembangkan berbagai hal: sosial, moral, emosional, bahasa dan sebagainya. Musfiroh (2008: 20) menyebutkan manfaat bercerita adalah sebagai berikut:

1) Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak di samping teladan yang dilihat anak setiap hari.

2) Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara, menulis, dan menyimak.

3) Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak untuk memiliki kepekaan sosial.

4) Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu permasalahan dengan baik, bagaimana melakukan pembicaraan yang baik, sekaligus memberi pelajaran pada anak bagaimana mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat.

5) Bercerita memberikan barometer sosial pada anak, nilai-nilai apa saja yang diterima oleh masyarakat sekitar, seperti menghargai orang lain, bersikap baik kepada teman, dan selalu bersikap jujur.

6) Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat daripada pelajaran budi pekerti yang diberikan melalui penuturan dan perintah langsung.

7) Bercerita memberikan ruang gerak pada anak, kapan sesuatu nilai yang berhasil ditangkap akan diaplikasikan.

8) Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai pengganti figur lekat orang tua.

9) Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa atau cerita, alur, plot, dan demikian itu menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa dan memberikan peluang bagi anak untuk belajar menelaah kejadian-kejadian sekelilingnya.

10)Bercerita mendorong anak memberikan makna bagi proses belajar terutama mengenai empati sehingga anak dapat mengkonkretkan rabaan psikologis mereka bagaimana seharusnya memandang sesuatu masalah dari sudut pandang orang lain.

Nasution (dalam Musfiroh 2008: 82), menjelaskan bahwa: Cerita mendorong perkembangan moral pada anak karena

beberapa sebab. Pertama, menghadapkan anak pada situasi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat mungkin mirip yang dihadapi anak dalam kehidupan. Kedua, cerita dapat memancing anak menganalisis situasi, dengan melihat bukan hanya yang nampak tetapi juga sesuatu yang tersirat di dalamnya, untuk menemukan isyarat-isyarat halus yang tersembunyi tentang perasaan, kebutuhan dan kepentingan

orang lain. Ketiga, cerita mendorong anak untuk menelaah perasaannya sendiri sebelum ia mendengar respon orang lain untuk dibandingkan. Keempat, cerita mengembangkan rasa konsiderasi atau tepa selira yaitu pemahaman dan penghargaan atas yang diucapkan atau dirasakan tokoh nyata hingga akhirnya anak memiliki konsiderasi terhadap orang lain dalam alam nyata.

Kegiatan bercerita ternyata disadari ataupun tidak dapat mempengaruhi anak dalam cara berpikir dan bertindak, berkembangnya perasaan terhadap orang lain, serta dapat mempertimbangkan perasaannya sendiri, sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak serta peduli pada yang lain. Betapa berharganya cerita bagi perkembangan anak, dengan situasi yang menyenangkan ternyata banyak fungsinya yang mungkin tidak disadari, bahkan tidak menutup kemungkinan dari sebuah imajinasi menjadi sebuah kenyataan yang akan mereka alami.

c. Teknik Penggunaan Metode Storytelling

Menurut Majid (2008:47) ada beberapa metode penyampaian cerita yang penting untuk diketahui dan dipahami oleh para pencerita. Metode penyampaian cerita dijabarkan sebagai berikut.

1) Tempat bercerita

Bercerita tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas, tetapi boleh juga di luar kelas yang dianggap baik oleh guru agar para siswa bisa duduk dan mendengarkan cerita.

2) Posisi duduk

Sebelum guru memulai bercerita, sebaiknya ia memposisikan para siswa dengan posisi yang baik untuk mendengarkan cerita. Kemudian guru duduk di tempat yang sesuai dan mulai bercerita. Sebaiknya, guru tidak langsung duduk pada awal bercerita tetapi memulainya dengan berdiri. Selama bercerita, guru hendaknya tidak duduk terus, tetapi juga berdiri, bergerak, dan mengubah posisi gerakan sesuai jalannya cerita.

3) Bahasa cerita

Bahasa dalam bercerita hendaknya menggunakan gaya bahasa yang lebih tinggi dari gaya bahasa siswa sehari-hari, tetapi lebih ringan dibandingkan gaya bahasa cerita dalam buku. Dengan catatan, tetap dipahami oleh siswa.

4) Intonasi guru

Cerita itu mencakup pengantar, rangkaian peristiwa, konflik yang muncul dalam cerita, dan klimaks. Pada permulaan cerita, guru hendaknya memulai dengan suara tenang. Kemudian mengeraskan sedikit demi sedikit. Perubahan naik-turunnya cerita harus sesuai dengan peristiwa dalam cerita. Ketika guru sampai pada puncak konflik ia harus menyampaikannya dengan suara ditekan dengan maksud menarik perhatian para siswa. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa besarnya perhatian para siswa akan bertambah ketika konflik mulai berkembang dan mereka akan

merasa lega dari ketegangannya, jika telah sampai pada klimaks. Maka guru hendaknya menyampaikan peristiwa-peristiwa dalam cerita dengan suara yang meyakinkan yang dapat membuat siswa penasaran hingga tiba saat klimaks. Ketika guru menyampaikan klimaks, ia harus menjiwai setiap ungkapan dan intonasi suara sampai akhir cerita.

5) Pemunculan tokoh-tokoh

Ketika mempersiapkan cerita, seorang guru harus mempelajari terlebih dahulu tokoh-tokohnya, agar dapat memunculkan secara hidup di depan para siswa. Dalam bercerita guru juga harus dapat menggambarkan setiap tokoh dengan gambaran yang sesungguhnya dan memperlihatkan karakternya seperti dalam cerita.

6) Penampakan emosi

Saat bercerita guru harus dapat menampakkan keadaan jiwa dan emosi para tokohnya dengan memberi gambaran kepada pendengar bahwa seolah-olah hal itu adalah emosi si guru sendiri. jika situasinya menunjukkan rasa kasihan, protes, marah atau mengejek, maka intonasi dan kerut wajah harus menunjukkan hal tersebut.

7) Peniruan suara

Sebagian orang ada yang mampu meniru suara-suara binatang dan peristiwa tertentu. Seorang guru dalam bercerita dituntut untuk

dapat melakukan peniruan suara ini sesuai dengan yang diinginkan dalam cerita. Peniruan suara ini dapat menciptakan penjiwaan dalam cerita dan memberi kesan yang lebih dalam di hati para siswa.

8) Penguasaan terhadap siswa yang tidak serius

Perhatian siswa di tengah cerita haruslah dibangkitkan sehingga mereka bisa mendengarkan cerita dengan senang hati dan berkesan. Apabila guru melihat siswa mulai bosan, jenuh dan banyak bercanda, maka ia harus mencari penyebabnya. Ketika proses cerita berlangsung, guru mungkin menemukan salah seorang murid yang mengabaikan cerita dan menyepelekannya. Dalam hal ini guru tidak boleh memotong penyampaian cerita untuk memperingatkan anak tersebut, tetapi dapat menghampirinya, menarik tangannya dan mendudukkan kembali si anak di tempat duduknya atau membiarkannya berdiri di samping si guru. Bisa juga dengan menyebut nama siswa dan menatapnya. Biasanya, tindakan ini bisa mengembalikan perhatian siswa.

9) Menghindari ucapan spontan

Guru acapkali mengucapkan ungkapan spontan setiap menceritakan suatu peristiwa. Ucapan spontan yang dimaksud adalah ucapan spontan yang merupakan kebiasaan sehari-hari si guru atau bisa dikatakan latah. Kebiasaan tersebut tidak baik

karena dapat memutuskan rangkaian peristiwa dalam cerita. Guru sebaiknya bercerita dengan ucapan yang jelas dan lancar.

Kesembilan hal di atas sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan guru ketika bercerita. Memang, membaca petunjuk-petunjuk yang tertulis saja tidak cukup. Harus ditambah pula dengan praktek dan melampaui pengalaman dalam waktu yang tidak singkat.

d. Efektivitas Metode Storytelling

Penelitian tentang penerapan efektivitas metode bercerita (storytelling) telah dilakukan oleh beberapa orang, salah satu diantaranya adalah Sobarna (Jurnal Mimbar, 2010: 71-80) dengan judul penelitian “Efektivitas Metode Storytelling Bermedia Boneka untuk Pengembangan Kemampuan Berkomunikasi”. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuasi eksperimental. Hasil yang diperoleh adalah sebelum memperoleh perlakuan berupa cerita dengan media boneka, untuk kemampuan berkomunikasi verbal, anak memperoleh skor 341, setelah memperoleh perlakuan berupa cerita dengan media boneka, untuk kemampuan berkomunikasi verbal, anak meperoleh skor 423. Maka efektivitas metode cerita dengan media boneka untuk pengembangan kemampuan komunikasi verbal anak adalah 19,3%.

Penelitian yang lainnya dilakukan oleh Ahyani (Jurnal Psikologi, 2010: 24-32) dengan judul “Metode Dongeng dalam Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah”. Hasil analisis deskriptif dari penelitian ini menjabarkan skor empirik pada

pre-test dan post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen dengan melihat rerata pada pre-test 11,18 terjadi kenaikan rerata pada post-test menjadi 17,47. Pada kelompok kontrol juga terjadi kenaikan dengan melihat rerata pada kelompok

pre-test 11,82 menjadi 14,41. Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasan moral sebelum mendapatkan penyampaian nilai moral melalui metode dongeng lebih rendah dibandingkan tingkat kecerdasan moral setelah mendapatkan penyampaian nilai moral melalui metode dongeng. Kedua penelitian di atas membuktikan bahwa penggunaan metode

storytelling efektif untuk meningkatkan suatu variabel tertentu. Metode storytelling ini dapat berjalan efektif apabila siswa dapat menyimak cerita yang diberikan.

Menurut Majid (2008:35-36), keinginan dan perhatian siswa saat menyimak cerita akan ditentukan oleh kemahiran guru dalam bercerita selain adanya perbedaan kemampuan mereka dalam mengabadikan gambaran para tokoh dan peristiwa.

Untuk itu, sebaiknya guru memperhatikan beberapa faktor berikut: 1) Perhatian siswa timbul karena pengaruh cerita, rangkaian

peristiwa, dan cara penyampaiannya. Penting bagi guru untuk menjaga sinkronisasi hal-hal tersebut.

2) Posisi duduk siswa yang kurang strategis dan situasi ruangan yang kurang kondusif membuat siswa tidak dapat menyimak cerita dengan baik. Untuk itu, guru boleh menyesuaikan posisi duduk siswa dan menata ruangan sebaik mungkin.

3) Berbagai peristiwa dalam cerita haruslah merupakan satu rangkaian yang tidak terputus agar menjadi satu cerita yang utuh dan mudah untuk dipahami.

4) Dalam proses penyimakan, guru sebaiknya dapat membuat siswa membayangkan keadaan, situasi dan perasaan yang sedang dialami tokoh dalam cerita.

Dari pembahasan di atas, disimpulkan bahwa efektivitas metode

storytelling sudah teruji dengan baik. Berangkat dari hal tersebut, maka metode storytelling dapat digunakan untuk meningkatkan minat siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler pengembangan kepribadian. Selain sebagai metode dalam pemberian layanan bimbingan,

storytelling juga dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan dalam dirinya seperti kemampuan berbicara, menyimak, imajinasi, dan menarik kesimpulan.

Dokumen terkait