• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Deskripsi Umum Objek Penelitian

II.4. Melemahnya Hegemoni Melayu di Sumatera Timur

II.4.1. Berdirinya BPRPI

Meski pemerintahan tetap mengakui keberadaan tanah jaluran dalam kenyataannya masalah hak adat orang Melayu terus terabaikan. Memasuki tahun 1950-an arus migrasi dari berbagai daerah ke kantong-kantong perkebunan terus meningkat. Para pendatang yang membanjiri dan mendirikan pemukiman- pemukiman di tanah–tanah kosong perkebunan, seperti dikatakan di depan, banyak yang bergabung dengan organisasi petani. Dengan demikian bila menghadapi persoalan pertahanan organisasi petani itulah yang mengartikulasikan kepentingan mereka. Membanjirnya para pendatang dan hadirnya partai politik beserta ormas–ormasnya yang gencar menyuarakan soal tanah memicu konflik agraria antara pendatang dan perkebunan dan pendatang dengan Rakyat Penunggu (orang Melayu). Partai dan ormasnya jelas memihak pendatang atau memakai bahasa Karl Pelzer, “to win a large following had to oppose a land policy hat treated the majority of the voters of East Sumatera as second class citizens”101

101

Karl Pelzer, op cit, hal. 55.

. Dengan cara seperti itu partai dan ormasnya mampu menarik pengikutnya. Beberapa organisasi petani yang militant adalah Sarbupri, BTI, dan RTI, ketiganya merupakan organisasi massa petani yang mengajuk ke partai komunis.

Ormas petani tahun 1950-an cukup terpengaruh. Dalam penyelesaian atau perundingan soal tanah perkebunan, ormas petani sering dilibatkan, dan pemerintah daerah tampak kewalahan menghadapi tekanan ormas petani tersebut. Namun dalam penyelesaian masalah pertahanan ini baik pemerintah daerah maupun ormas petani cenderung mengesampingkan dan mengabaikan hak adat orang Melayu. Oleh karena itu, untuk memperjuangkan hak adat yang semakin terabaikan dan terpinggirkan di tengah hiruk pikuknya berbagai macam aliran ormas petani yang terang-terangan menyudutkan posisi orang melayu, maka pada tahun 1953 Rakyat Penunggu mendirikan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Pendirinya adalah Tengku Nikmatullah dan Abdul Kadir Nuh. Pendiri pertama berasal dari keluarga Bangsawan Serdang, sedang yang kedua berasal dari keluarga biasa di Deli. Ketua BPRPI adalah Abduk kadir Nuh, ia sangat aktif menyuarakan kepentingan hak adat orang Melayu. Di awal Berdirinya BPRPI berafiliasi ke Partai Rakyat Nasiona (PRN)102

Sewaktu BPRI didirikan persoalan agraria di Sumatera Utara sedang memanas. Sangketa pertahanan terus meningkat dan itu tak menguntungkan BPRPI. Dari awal peraturan tentang tanah dalam konsesi tahun 1947 yang membagi–bagikan atau meminjamkan tanah kepada penduduk, secara langsung atau pun tidak langsung telah memperkecil peluang warga BPRPI, karena dianggap mengurangi lahan tanah jaluran yang dulu pernah menjadi hak mereka. Sebagai reaksi atas hal tersebut. Ormas petani bertindak gigih mendukung kosong konsensi. Sedang pemerintah pendistribusian tanah dalam mengatasi tanah konsensi ini mengeluarkan pedoman tentang pemberian tanah– tanah yang akan dikeluarkan dari daerah konsesi tembakau kepada penduduk. Pedoman

.

102

BPRPI adalah organisasi petani orang Melayu yang terdapat di Sumatera Utara, PRN bepusat di Jakarta yang diketuai Djody Gondokusumo. PRN tergolong partai kecil dan bersikap moderat.

pemerintah memang menyebutkan ada golongan-golongan yang akan diberi tanah konsensi, tetapi dalam praktiknya jauh dari kenyataan. Bahkan adanya penggolongan dari pemerintah itu disadari atau tidak justru semakin memperkecil ruang BPRPI untuk mendapat tanah jaluran. Sebenarnya mengecilnya ruang BPRPI mendapat tanah jaluran sudah dirasakan saat PPNKST mengeluarkan pasal soal agraria dan ekonomi yang menyatakan bahwa “penduduk warga Negara Indonesia dewasa yang menjalankan pertanian dengan tenaga sendiri atau keluarganya dan bertempat tinggal di daerah Sumatera Timur sekurang–kurangnya enam bulan. Penduduk tidak dibedakan apakah orang Sumatera Timur sejati atau orang pendatang asal lain Daerah”103

Di pihak lain, perkebunan menolak kebijakan pemerintah tentang pembagian tanah konsensi kepada rakyat. Hal itu jelas tampak dari pernyataan perhimpunan perkebunan Sumatera Utara yang Diwakili Algemene Vereniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatera (AVROS) yang berkesimpulan “kebun budi daya di Sumatera Utara yang menempati sebagian yang dapat dikatakan kecil dari daerah propinsi Sumatera Utara, seharusnyalah tetap jangan diganggu gugat dalam kedudukannya selaku pencipta kesempatan bekerja serta sumber penghasilan bagi Negara”

.

104

Melihat keadaan yang demikian, ketua BPRPI, Abdul Kadir Nuh, menggalang kekuatan anggotanya untuk melawan kebijakan pemerintah yang jelas–jelas merugikan . Artinya, pihak perkebunan secara tegas tetap mempertahankan kepentingan ekonominya dan ingin melepaskan diri dari kebijakan pemerintah dalam hal pertahanan yang dipandang merugikan perkebunan. Malah perkebunan pula meniadakan tanah jaluran.

103

Edy Suhartono, op cit, Cara Melaksanakan Urgensi Program PPNKST mengenai soal Agraria dan Ekonomi, 1950, hal. 57

104

Ibid, Keterangan Umum Para Pengusaha Partikelir Dalam Panitia Negara Untuk Pembagian Tanah Kebun di Sumatera Timur, 1954

kepentingan BPRPI. Perlawanan BPRPI atas kebijakan pemerintah bukan dilakukan dengan jalan aksi protes turun ke jalan atau memobilisasi massa, melainkan dengan membuat pernyataan keberatan atau tuntutan kepada pemerintah dan perkebunan. Tuntutan BPRPI 105

Kecuali semua adapt tanah rakyat diseluruh Indonesia disamaratakan.

kepada pemerintah tentang hak adapt dapat diringkas sebagai berikut 1. Tanah dikelilingi kampong seluas 200 meter dan tidak kurang dari tiga kali Besar kampong itu.

2. Tanah 4 bau. 3. Hak jaluran tetap.

4. Kampung rakyat penunggu tidak dipindahkan teapi tanah dikelilingi satu Kampung pada ayat a dan 4 bau pada ayat b disatukan dan dihubungkan Pula kampung lain ditambah 4 baunya, sehingga kampung–kampung

Itu satu sama lain tidak lagi bercerai.

5. Tanah–tanah yang diserahkan kepada rakyat penunggu itu hendaknya di Tepi jalan.

6. Apabila tanah perkebunan dikembalikan maka anak asli yang tinggal di luar Daerah tanah perkebunan serupa haknya dengan rakyat penunggu atas Tanah yang dikembalikan itu.

7. Supaya Rakyat Penunggu (anak asli) dapat membangunkan pertanian Modern kepada mereka diberikan bantuan alat–alat dan uang dan mereka Akan membentuk koperasi rakyat penunggu.

8. Tidak tersedia menerima perubahan adat tanah Rakyat Penunggu pesisir saja

105

9. Apabila Rakyat Penunggu yang mesti dipindahkan maka padanya diperlukan Serupa dengan kaum tani lain yang dipindahkan.

10. Dimana tidak ada jaluran dan tanah 4 bau belum dikeluarkan supaya rakyat Penunggu mendapat tanda rabian untuk bertanam padi dan palawja.

Sedangkan tuntutan BPRPI kepada perkebunan 106

1. Sebelum pengembalian tanah dilakukan oleh pengusaha kebun tanaman adalah :

Tanama keras kepada pemerinatah supaya para pengusaha kebun tanaman keras terlebih dahulu memenuhi kewajiban kepada Rakyat Penunggu,

Yaitu :

a) tanah dikelilingi kampong seluas 200 meter, sekurang- kurangnya tiga kali seluas kampong; b) tanah 4 bau.

2. Rakyat Penunggu menuntut supaya pengembalian tanah ini berhubung Kewajiban para pengusaha terhadap rakyat penungg, menurut akta konsesi Hendaklah ditinjau konsesi demi konsesi dengan memperhatikan letak kampung–kampung yang berhak.

3. Kampung Rakyat Penunggu tidak akan dipindahkan.

4. Tanah 4 bau yang menjadi hak Rakyat Penunggu itu haruslah bertaut dengan tanah di sekeliling kampung–kampung itu satu sama lain tidak lagi bercerai. 5. Tanah yang diserahkan kepada Rakyat Penunggu itu haruslah tanah yang baik

untuk pertanian dan letaknya ditepi jalan.

6. Diberikan ganti kerugian atas pohon buah – buahan kepunyaan rakyat penunggu yang tumbuh di atas tanah perkebunan di luar kampung.

106

Di samping menuntut pemerintah dan perkebunan, BPRPI terus melakukan Konsolidasi dan penggalangan kekuatan untuk memperjuangkan hak adat mereka. Pada tahun 1950-an BPRPI membuat pernyataan keberatannya atas pelaksanaan pengembalian tanah perkebunan kepada pemerintah. BPRPI juga menjelaskan hukum adat tentang tanah dan hak Rakyat Penunggu menurut akta konsensi kepada warganya. Tujuannya agar pemerintah tidak merugikan golongan rakyat yang berhak menurut akta konsensi dan pemerintah tetap mengakui dan mempertahankan hak Rakyat Penunggu107

Rupanya kegigihan BPRPI mempertahankan hak adat dalam suasana sangketa agraria yang terus menajam itu bukanlah persoalan mudah. Beragamnya ormas petani yang memihak kepentingan politik para pendatang lebih sering menyerang BPRPI ketimbang membelanya. Para pendatang itu tidak rela diperlakukan sebagai warga kelas dua dan tidak suka melihat hanya orang Melayu saja yang mendapat tanah jaluran. Jika pemerintah mengabulkan tuntutan BPRPI sama artinya dengan pemerintah menganakemaskan BPRPI. Ormas petani menginginkan dalam pembagian tanah semua warga Negara harus diperlakukan sama dihadapan republik. Desakan ormas petani agar semua warga diperlakukan sama sangat dirasakan BPRPI. Bahkan beberapa ormas petani melalui Front Persatuan tani Komisariat Sumatera Utara terang–terangan menyerang perjuangan BPRPI

.

108

Ketika diserang orang petani, pemerintah tidak mempunyai kebijakan politik yangjelas terhadap BPRPI. Apalagi pada tahun 1954 BPRPI menuntut akta konsensi, sedang menurut pemerintah sistem pembagian tanah jaluran sebenarnya sudah ditiadakan

.

107

Keterangan Umum Para Wakil dari BPRPI Sumatera Utara Dalam Panitia Negara Untuk Pembagian Tanah Perkebunan di Sumatera Timur, 1954, Hasil Wawancara dengan pengurus BPRPI tanggal 16 Juni 2010.

108

Front Persatuan Tani Komisariat Sumatera Utara merupakan kumpulan beberapa ormas petani. Tetapi yang mendominasi Front ini, dan ormas petani ini merupakan underbow partai komunis.

oleh pemerintah daerah terhubung dengan persetujuan pengembalian tanah konsensi dari pihak pengusaha perkebunan, yaitu dengan adanya penggarapan tanah- tanah bekas tanah tembakau oleh buru perkebunan. Penggrapan bekas tanah tanaman tembakau itu menyangkut ketegangan dan bentrokan fisik antara BPRPI dan buruh perkebunan. Akibat adanya sikap yang jelas dari pemerintah daerah dalampolitik asraria mendorong ormas petanibertambah berani membabat BPRPI.

Menghadapi perlakuan seperti ini tak ada jalan lain bagi BPRPI kecuali melakukan tindakan defensif. Tindakan defensif diambil karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menyelesaikan hak adat BPRPI. Setiap kali terbit surat keterangan pemerintah yang berkaitan dengan masalah agraria tidak ada yang mendukung perjuangan BPRPI. Keluarnya surat keterangan, kendatipun tidak dinyatakan secara tegas, sering merugikan BPRPI. Maklumat bersama gubernur militer VII Sumatera Utara, S. M. Amin, jelas mempersempit ruang gerak BPRPI untuk memperoleh hak adatnya109

109

Maklumat memutuskan antara lain: Tidak diakui sah hak yang diambil oleh mereka, baik dengan perantaraan organisasi petani maupun perorangan dengan kemauannya sendiri dan dengan tiada mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah, mengusahai tanah pemerintah yang kosong, tanah erfpacht dan tanah konsensi perkebunan. Barang siapapun yang memakai/mengusahai tanah-tanah yang masuk tanah pemerintah yang kosong, tanah erfphact dan konsensi perkebunan dengan tidak sah atau menurut peraturan walau untuk tujuan apa sekalipun, dapat dituntut dan dihukum dan segala barang-barang kepunyaannya yang ada diatas tanah itu disita. Mengenai keputusan selanjutnya lihat Maklumat Bersama Gubernur Militer VII Sumatera Utara, tanggal 22 Mei 1950.

. Ironisnya sewaktu ruang gerak BPRPI ditean sedemikian rupa tidak ada ormas petani lain yang memihak kepadanya. BPRPI dekat ke PRN, sehingga organisasi politik itulah yang menyokong perjuangannya. Namun karena PRN kurang berpengaruh, suaranya yang membela kepentingan politik BPRPI tidak didengar. Bahkan upaya seorang menteri dan PRN yang sengaja datang ke Medan untuk menyuarakan hak adat BPRPI mendapat kecaman keras ormas petani. Pada akhirnya, PRN pun tak bisa berbuat

banyak membela BPRPI. Tidak mengherankan kalau BPRPI mengalami kesukaran dan tidak mempunyai pendukung dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya.

Memasuki tahun 1960-an ormas petan yang menguasai wacana politik nasional adalah ormas petani kiri. Meningkatnya pengaruh ormas petani kiri tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan pusat yang terus bergerak ke kiri. Di Sumatera Utara ormas petani dan buruh kiri, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia

(Sarbupri) dan Tani Indonesia (BTI), mempunyai pengikut yang besar di kantong – kantong perkebunan . kalau pada tahun 1950-an, sekalipun digempur bermacam ormas petani, BPRPI masih bersuara dan berupaya kuat memulihkan hak adatnya, tetapi memasuki tahun 1960-an, teriakan BPRPI merebut kembali tanah jaluran bertambah redup. Apabila karena organisasi ini tidak berdaya melawan ormas petani kiri. Jika meneriakkan isu tanh jaluran BPRPI dituduh antek kolonialisme. Apabila BPRPI memperjuangkan tanah jaluran, partai kiri mencap ingin membangkitkan feodalisme.

Ketika mengerjakan tanah jaluran BPRPI selalu menemui kesukaran dari kaum kiri. Sering terjadi rebutan tanah jaluran antara warga BPRPI dan massa kaum kiri, karena mereka selalu menghalang–halangi BPRPI turun ke lapangan. Akibat bentrokan fisik selalu tak terhindarkan. Dalam bentrokan fisik itu warga BPRPI selalu membawa cangkul, sabit, pisau atau benda tajam lainnya yang dapat melindungi diri. Namun, warga BPRPI bukanlah golongan yang suka memakai kekerasan dalam mencapai tujuannya sehingga sekalipun telah mempersenjatai diri sehingga sekalipun telah mempersenjatai diri mereka tetap ketakutan berhadapan dengan massa kaum kiri yang selalu memakai cara kekerasan untuk menyingkirkan lawan–lawan politiknya membuat BPRPI menarik

diri dalam pertarungan memperjuangkan tanah jaluran. Pada tahun 1960-an inilah aktivisme BPRPI dalam memperjuangkan hak adatnya mencapai titik rendahnya.

Mendekati 1965 situasi politik nasional dipenuhi konflik ideologi. Partai komunis melalui cara kekerasan dapat dengan mudah menindas lawan politiknya dan melancarkan aksi sepihak110. Rupanya konflik politik berjalan tanpa kendali dan puncaknya meletuskan Gerakan 30S/PKI. Kudeta komunis dapat dipadamkan, pengikut dan simpatisan partai kiri dibersihkan. Setelah partai komunis dihancurkan pada 1966 berdiri pemerintah Orde Baru. Tumbangnya kekuatan politik Orde Lama dan munculnya Orde Baru bukan berarti BPRPI kehilangan semangat untuk mempertahankan hak adatnya. Dua tahun setelah berdirinya Orde Baru, tepatnya tahun 1968 BPRPI kembali bergerak memperjuangkan hak adatnya.

110

BAB III

Dokumen terkait