• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Deskripsi Umum Objek Penelitian

II.1. Sumatera Timur Pada Masa Pemerintahan Kesultanan

II.1.1. Latar Geografis

Sumatera Timur membentang mulai dari titik batas di puncak barisan bukit yang dulu disebut Wilhelmina dan Bukit Simanuk–manuk. Dari bukit ini menurun menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran rendah dan rawa pantai sepanjang Selat Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari sistem Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda, di selatan. Di sebelah utara Sumatera Timur berbatasan dengan Aceh, sebelah timur dengan Selat Malaka, di selatan dengan Riau dan di sebelah barat masuk ke wilayah Tapanuli dan Pantai Timur45

Sumatera Timur terletak antara garis khatulistiwa dari garis lintang Utara 4 dengan iklim pantai tropik yang dalam sifat iklim mikronya dipengaruhi oleh topografi seperti daerah–daerah tanah tinggi, dataran tinggi, pegunungan Simalungun dan Habinsaran. Di daerah pantai rata–rata suhu 25ºC, dengan maksimum 32ºC. Dataran rendah pantai menikmati hembusan angin darat dan laut dan relatif sejuk pada malam hari. Karena suhu menurun dengan 0,6ºC per 100 meter maka suhu daerah pegunungan .

45

Karl Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria (Jakarta: Sinar Harapan 1985) hal. 31

lebih rendah dari dataran rendah. Di daerah–daerah lebih tinggi, suhu menurun sampai 12ºC dan 18ºC46

Sumatera Timur dengan ketinggian antara permukaan laut hingga 1000 meter mempunyai jenis iklim hutan tropik. Sebaliknya pegunungan dengan ketinggian diatas 1000 meter mempunyai iklim mesotermal yang lembab

.

47

. Perlu juga dikemukakan tumbuhan alam di Sumatera Timur terdiri dari berbagai jenis hutan meliputi hutan pasang surut sepanjang pantai melalui hutan rawa–rawa berair tawar dan hutan hujan tropik yang selalu hijau sampai hutan–hutan pegunungan di daerah pegunungan. Dengan kata lain, wilayah Sumatera Timur ditutupi oleh hutan tropik zaman purba dan hutan belukar48

Wilayah Sumatera Timur terdiri dari 3 (tiga) bagian : pertama, dataran rendah ;

kedua, pegunungan ; ketiga, dataran tinggi Karo dan Simalungun. Disamping itu, di

Sumatera Timur banyak dijumpai sungai. Apabila dibandinglan dengan sungai di Sumatera Selatan, sungai Sumatera Timur relatif pendek dapat dilayari perahu. Sungai yang penting adalah sungai–sungai Langkat, Deli, dan Asahan

. 49 46 Ibid, hal.45 47 ibid 48 Ibid, hal. 47 49 Ibid, hal. 34

. Sumatera Timur adalah dataran rendah yang sangat luas. Di daerah ini terdapat hutan payau yang ditumbuhi bakau dan nipah. Di sepanjang sungai, terutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di dataran tinggi Karo dan Simalungun membawa sisa–sisa debu halus, pasir dan tanah gembur. Endapan lumpur yang dibawa sungai–sungai itu luasnya rata–rata 30 km. Akibatnya daerah pantai timur dan bertambah luas dan masuk Selat Malaka. Tanah–tanah disepanjang pantai Timur Sumatera yang

menjadi lahan subur pertanian. Menurut Karl Pelzer50

Sampai pertengahan abad ke–19, Sumatera Timur didiami orang Melayu, Batak Karo, Batak Simalungun. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur

, luas seluruh daerah Sumatera Timur menjadi 31.715 km persegi. Tanah yang subur merupakan kunci sukses wilayah ini menjadi kantong perkebunan. Jadi, kesuburan tanah disamping berhasil menarik para pengusaha asing mengembangkan modalnya dalam industri perkebunan mulai dari sungai Wampu sampai sungai Ular, juga mengantarkan Sumatera Timur menjadi salah satu daerah Indonesia yang dari segi geologi paling dikenal.

II. 1.2. Latar Kehidupan Sosial dan Ekonomi

51

. Orang Melayu sebagian besar bermukim di daerah Timur. Menurut Lah Husni 52

yang dimaksud suku Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat resam dan Melayu secara sadar dan berkelanjutan. Penambahan keterangan tempat pada orang Melayu tidak lain untuk pembeda dengan orang Melayu yang ada di Jambi, dan sebagainya. Orang Melayu mayoritas beragama Islam, masuk Melayu sama dengan masuk Islam53

Orang Simalungun menetap di dataran tinggi Simalungun sama seperti Melayu, orang Simalungun juga mempunyai rajanya sendiri. Ada beberapa kerajaan kecil yang berdiri di Simalungun. Sistem pemerintahan kerajaan Simalungun hampir mirip dengan . Mata pencarian orang Melayu bertani dan nelayan.

50

Edy Suhartono. BPRPI VS PTPN II. Bandung, Wahana Informasi Masyarakat, 1997. hal. 10

51

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hal. 87

52

Lah Husni, Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur, Medan: B.P.Husni, 1983, hal. 10

53

pemerintahan kerajaan Melayu. Orang Simalungun ada yang bermukim di daerah–daerah kerajaan Melayu malah ada yang menjadi Melayu54

Orang Batak Karo mendiami wilayah dataran tinggi Karo. Di dataran tinggi karo tidak dijumpai sistem kerajaan. Akan tetapi pada masa kolonial, Belanda menciptakan lembaga–lembaga kerajaan di Dataran Tinggi Karo. Secara administrasi unit terkecil pemerintahan di tanah Karo adalah kuta (kampung). Kuta didirikan oleh marga tertentu. Pada mulanya ada banyak kuta disana sehingga perlu digabungkan. Gabungan dari dua kuta ini disebut kesain, yang dipimpin oleh seorang kesain (penghulu). Kuta induk disebut perbapaan, sedangkan kampung anak disebut dusun, gabungan dari perbapaan dari dusun–dusun disebut urung. Urung–urung ini kemudian membentuk sebuah federasi yang dikenal dengan sibayak. Pada saat melakukan gerakan falsifikasi ke tanah Karo, Belanda menjumpai banyak sekali urung (pengelompokan berdasarkan marga). Demi efisiensi, Belanda hanya mengakui 15 urung dan akhirnya mengangkat 5 pemimpin mereka yang paling berpengaruh sebagai Sibayak

, misalnya di Bedagai Luhak Dusun Batak Timur (Serdang), Batubara, dan Labuhan Batu

55

Nama Gocah Pahlawan adalah nama yang sering disebut sebagai orang yang menurunkan sultan–sultan Deli dan Serdang. Tidak ada kata sepakat tentang Gocah Pahlawan. Sumber Deli mengatakan Gocah Pahlawan berasal dari Bukit Siguntang,

.

II.1.3. Masyarakat Sumatera Timur di Bawah Kesultanan

54

Suprayitno, Dari Federalisme ke Unitarisme: Studi Tentang Negara Sumatera Timur, Yogyakarta: Tesis S2, 1995, hal. 34

55

Mahameru. Kendati tidak ada kesepakatan tetapi sumber Deli dan Serdang mengaku suatu hari Gocah Pahlawan terdampar di pantai Pasai Aceh56

Karena dianggap berjasa mengusir para perusuh di Aceh, Sultan Iskandar Muda memberi gelar Gocah Pahlawan. Gocah Pahlawan sampai ke kesultanan Deli tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik Sultan Aceh. Pada waktu itu kerajaan Deli berada di bawah pengaruh Aceh. Sultan Aceh mengangkat Gocah Pahlawan menjadi wakil kerajaan Aceh di Deli. Sebagai wakil kerajaan Aceh, Gocah Pahlawan bertugas antara lain, menumpas perlawanan orang Haru dan mengislamkan wilayah–wilayah pedalaman Sumatera Timur sesuai dengan misi kerajaan Aceh

.

57

Di Deli Gocah Pahlawan kawin dengan adik pengusaha Sunggal, Nang Baluan. Perkawinan ini membuka peluang Gocah Pahlawan meluaskan pengaruhnya di kerajaan Deli. Denan kekuatan pengaruh itu. Gocah Pahlawan mendirikan beberapa perkampungan semisal, Kampung Gunung Kelaras, Sampali, kota Jawa, Pulau Berayan, kota Rengas, dan Kampung Sigara–gara

.

58

. Berdirinya beberapa perkampungan ini merupakan awal dari perluasan wilayah kerajaan Deli. Setelah Gocah Pahlawan meninggal, seterusnya yang memerintah kerajaan Deli adalah keturunannya. Tetapi pada masa Tuanku Panglima Paderap terjadi perewbutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan itu menyebabkan berdirinya kerajaan Serdang. Jadi, keturunan Gocah Pahlawan terbagi dua, ada yang memerintah di Deli dan adapula yang menjadi pewaris kerajaan Serdang.

56

Ibid hal. 15

57

Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang, Medan, Tanpa Penerbit, 1971, hal. 31

58

II.1.4. Sumber Pendapatan Kerajaan

Letak Sumatera Timur yang strategis dan tanahnya yang subur rupanya membawa keuntungan tidak saja bagi perkembangan perekonomian wilayah ini tetapi juga menambah sumber penghasilan kerajaan. Sebelum masuknya intervensi Belanda ke Sumatera Timur, sumber pendapatan kerajaan selain dari perdagangan dan hasil hutan juga ada yang berasal dari pajak59, diantaranya, pertama, barang larangan yaitu barang– barang yang dikumpulkan seseorang dengan seizin sultan. Barang larangan ini bukan dipersembahkan untuk sultan sebagai upeti tetapi sebagian diserahkan kepada sultan. Yang termasuk kategori adalah cula badak, kayu gaharu, dan gading gajah. Kedua, tapak lawang yaitu pajak tanah yang dikenakan atas orang bukan pribumi yang hendak membuka hutan untuk perkebunan. Ketiga, pancung alas yaitu pajak yang dikenakan pada orang asing yang masuk wilayah kerajaan untuk mengumpulkan hasil hutan60

Di samping itu adalagi sumber pendapatan kerajaan umpamanya, cukai barang– barang impor dan ekspor. Cukai ini dikenakan atas jenis barang yang keluar masuk dari dan kepelabuhan atau muara sungai kerajaan. Penarikan cukai diberlakukan terhadap semua jenis kapal yang memasuki pelabuhan kerajaan. Dari hasil cukai ini Sultan Deli dapat mengumpulkan sekitar 4500 dolar, sedangkan Sultan Serdang hanya mendapat 1200 dolar setiap tahunnya

.

61

59

Syafruddin Kalo. Op Cit, hal. 39-48

60

Ibid, hal. 64

61

Edy Suhartono, Op Cit, hal. 13.

. Kecuali itu sumber pendapatan lainnya adalah monopoli perdagangan garam, candu, dan ladah. Pendapatan kerajaan terus menaik ketika perkebunan kolonial berkembang di Sumatera Timur. Berkat konsesi tanah yang

diberikan kepada pemilik modal swasta asing, keluarga sultan menjadi kekuatan ekonomi baru di wilayah masing–masing.

II. 1.5. Sultan dan Kekuasaan

Masyarakat tradisional Melayu mengutamakan keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. Melalui keseimbangan jagat mikrokosmos dan makrokosmos inilah sultan menjalankan kekuasaannya dan memerintah rakyatnya. Agar kekuasaannya terus dipertahankan sekuat mungkin, sultan menegakkan keselarasan jagat itu. Setiap unsur yang dipandang dapat mendisrupsi kelancaran keselarasan jagat di singkirkan segera mungkin. Kalau perlu, unsur yang merusak itu dilenyapkan supaya suasana keselarasan tetap terpelihara.

Pada masa masyarakat Melayu, terutama dikerajaan tradisional, unsur magis berperan penting dalam upaya membangun keabsahan sultan. Misalnya istana beserta perangkatnya dianggap mempunyai daya magis yang luar biasa besar. Ibukota kerajaan bukan saja berfungsi sebagai pusat politis dan budaya melainkan juga sebagai pusat magis62. Segala sesuatu yang bersumber dari lingkungan istana dipandang suci, terutama sosok pribadi sultan. Sultan dipercaya sebagai pribadi tanpa cacat, tanpa cela, dan sempurna. Sultan merupakan penjelmaan wakil tuhan dibumi. Karena wakil tuhan maka kekuasaannya tidak terbatas, segala ucapan sultan tidak boleh ditentang, dan keinginannya merupakan kemauan tuhan (gods management)63

62

Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, Jakarta: Rajawali Pers, 1972, hal. 6.

63

Edy Suhartono

,

Op Cit, hal. 13-14.

Masyarakat Melayu percaya menolak, menentang dan melanggar perintahnya akan menerima pembalasan dari sultan. Namun begitu, bukan berarti masyarakat Melayu diam kalau sultan berbuat tindakan tercela. Orang Melayu tak segan–segan melawan bila pemimpinnya melakukan tindakan tidak terpuji. Ungkapan Melayu, raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah,menunjukkan kendatipun kekuasaannya tidak terbatas, sultan tidak bisa memperlakukan rakyatnya semena–mena. Bagi orang Melayu sepanjang sultan tidak berbuat sewenang–wenang, mereka tidak akan melawan atau memberontak sultan. Jangankan memberontak, mengangkangi perintahnya saja sudah tergolong durhaka. Orang yang durhaka pada sultan, menurut adat Melayu, harus dibuang, rumahnya dibakar, dan abunya dibuang kelaut64

Berhadapan dan berbicara dengan sultan mempunyai tutur tersendiri. Pantang berhadapan dengan sultan jika tak memakai ntutur kata yang dizalimkan sesuai dengan yang telah ditentukan oleh adat. Orang yang hendak menghadap dan berjumpa sultan dimulai dengan kalimat, “ampun beribu ampun patik pacal yang hina ini datang

merapatkan sembah kebawah kaus cerpuh terlebih dahulu patik berbanyak–banyak memohon keampunan jika kata – kata atau ucapan yang terkhilaf. “

. 65 64 Ibid hal. 15. 65

Burhan, Aziddin, Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981. hal. 14.

Patik dan Hamba artinya saya, kebawah kaus cerpu artinya dibawah telapak sultan,. Jadi “ ampun beribu ampun patik pacal sembah kebawah kaus cerpu “, walau itu sebagai tanda hormat dan merendahkan diri, secara harfiah dapat ditafsirkan tempat rakyat derajatnya hanya dibawah telapak kaki sultan.

Sumber kekuasaan sultan adalah regalia kerajaan. Regalia kerajaan mengikuti alat musik (gendang, seruling, dan terompet), lencana jawatan (kayu, garnit, kamala, surat ciri, ubor–ubor dan lansir), senjata (pedang, tombak , keris). Yang terakhir ini di percaya bisa bergerak sendiri dan bendanya di penuhi kuasa sakti sehingga dapat memusnahkan siapa saja yang memegangnya tanpa izin66

Di Sumatera Timur regalita sultan yang memiliki kekuatan magis adalah gong, nafiri, pedang, dan keris. Bila sultan membawa salah satu dari regalia ini, dia dijaga pengawal. Pengawal biasanya terdiri dari putera–putera atau kerabat–kerabat bangsawan dan anak –anak kepala daerah

.

67

. Nafiri dikeluarkan apabila ada penobatan sultan, ditiup berturut – turut sebanyak tiga kali. Jika suara nafiri berkumandang orang harus duduk tertib seolah sultan berada didepannya. Orang boleh diizinkan berdiri lagi kalau tiupan ketiga berakhir. Jika orang melintas pada saat nafiri bertiup yanpa memberi rasa hormat atau tidak mau tunduk, orang tersebut dianggap bersalah, akibatnya akan diganjar hukuman68

Di samping sebagai pemimpin dan agama sultan juga menjadi pemimpin adat. Dengan demikian segala yang ada dalam wilayah kekuasaannya, semuanya milik sultan. Secara adat sultan juga pemilik tanah

.

69

66

J.M. Gullick, Sistem Politik Bumi Putera Tanah Melayu Barat, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972, hal. 72.

67

Lukman Sinar, op cit, hal. 241.

68

Syed Alwi Sheikh Al-Hadi, Adat Resmi dan Adat Istiadat Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1980, hal. 68.

69

Edy Suhartono, op cit, hal. 15

. Dengan begitu sultan memiliki sumber daya polotik dan ekonomi yang memungkinkan dia dapat melanggengkan kekuasaannya. Kecuali itu sultan memonopoli simbol–simbol dan lambang–lambang. Siapa saja yang

coba menyamai simbol dan lambang yang dipakai sultan dipandang pesaing kekuasaannya. Wujud dari monopoli simbol dan lambang itu misalnya warna kuning dan pemakaian kata seperti titah, sabda, patik, murka, santap, beradu, gering (sakit), mangkat, bersiram, pacal, dan semayam. Kata–kata ini merupakan perbahasaan khusus sultan, yang tak mungkin ditiru orang kebanyakan. Simbol–simbol itu sepenuhnya milik sultan.

Dokumen terkait