• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Deskripsi Umum Objek Penelitian

II.2. Sumatera Timur Dibawah Kekuasaan Belanda

II.2.1. Masuknya Kekuasaan Kolonial Belanda Dan Pertumbuhan Perkebunan Hal yang memiliki kaitan erat dan pengaruh yang mendalam dengan di tegakkannya kekuasaan Belanda atas pola masyarakat tradisional di Sumatera Timur adalah pertumbuhan perkebunan-perkebunan besar. Sebelum kedatangan Belanda dan tumbuhnya perkebunan-perkebunan besar, Sumatera Timur adalah hutan belantara dengan sedikit keuntungan ekonomi. Pada tahun 1874 semua kesultanan di Sumatera Timur telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Di tahun tersebut pemerintah kolonial Belanda mengadakan pembagian daerah pemerintahan di wilayah Sumatera Timur dibagi menjadi wilayah-wilayah keresidenan dibawah pengawasan seorang residen Belanda yang berkedudukan di Bengkalis (Siak). Sekalipun modal dan tanah yang tersedia tidak menjadi permasalahan akan tetapi kuli-kuli yang diperlukan sebagai tenaga kerja tetap menjadi persoalan Ekspansi kekuasaan kolonial, masuk ke Sumatera Timur, melalui kerajaan Siak. Dengan Siak, Belanda berhasil mengadakan perjanjian yang disebut Traktat Siak yang ditanda tangani pada 185870

70

Ibid Hal. 30

. Isi Traktat Siak antara lain, a. Raja Siak menyatakan bahwa kerajaannya menjadi bagian dari

pemerintahan Hindia Belanda dibawah kedaulatan Belanda, b. Pemerintah Belanda diizinkan mendirikan pos militer di Bengkalis, c. Pengganti Raja atau Raja muda harus bersumpah setia kepada Gubernur Jenderal, d. Tanpa izin dari izin residen Riau Sultan tidak dibolehkan berhubungan dengan pemerintah asing dan melarang orang asing menetap di wilayah kekuasaannya, e. Pemerintah Hindia Belanda jika berkeinginan dapat mengambil alih pajak atau pendapatan Sultan dengan diberi ganti rugi.

Karena Siak telah ditundukkan, selanjutnya Traktat Siak oleh Belanda dipakai sebagai langkah persiapan menaklukkan Sumatera Timur. Apalagi dalam Traktat Siak itu kerajaan–kerajaan Sumatera Timur menjadi wilayah jajahan Siak, tak pelak lagi mendorong Belanda semakin bernafsu melebarkan ekspansi kekuasaannya di wilayah ini. Untuk mewujudkan perluasan kekuasaannya Belanda melalui Resden Riau, Elisa Netscher yang berkedudukan di Riau, megirim ekspedisi ke kerajaan–kerajaan Sumatera Timur untuk menagih takluk seperti yang diklaim kerajaan Siak. Ekspedisi pertama menagih takluk itu tidak membuahkan hasil. Ketidak berhasilan ekspedisi itu membuat Residen Elisa Netscher cemas, kemudian pada 2 Agustus 1862 dia dengan kapal perang Reiner Classen berangkat kembali dari Bengkalis menuju Sumatera Timur. Residen Elisa Netscher tiba di Serdang (Sumatera Timur) pada 6 Agustus 1862 disambut Sultan Serdang dengan upacara kebesaran, sewaktu Residen Riau disambut upacara kebesaran, dank arena pengaruh Aceh cukup kuat sultan Serdang mengaku Wazir sultan Aceh sambil membawa bendera Aceh menemui Residen di atas kapal perang Reine Classen. Rupanya Residen Elisa Netscher tidak senang kalau sultan memakai simbol kebesaran Aceh, lalu dia meminta sultan mencopot dan menukar bendera Aceh dengan bendera

Belanda71. Akhir pertemuan di atas kapal perang itu sultan Serdang menandatangani verklaring dengan pemerintah Belanda. Isi verklaring 72

Belanda menaklukkan Sumatera Timur bukan lewat peperangan, melainkan melalui kontrak politik atau akta perjanjian yang disodorkan secara paksa kepada kesultanan. Berbeda dengan Jawa, di Sumatera Timur, sekalipun ada konflik internal kesultanan, tetapi tidak pernah melahirkan peperangan. Di wilayah ini tidak ada peperangan atau rebutan kekuasaan yang disokong Belanda, yang memakan biaya besar dan berakhir dengan penyerahan kekuasaan daerah tertentu kepada Belanda Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan lebih dari lima kali menandatangani Akta Perjanjian dengan Pemerintahan

meliputi antara lain, 1. mengakui sultan Siak Sri Indera Pura menjadi raja dibawah kedaulatan pemerintahan Hindia Belanda, 2. Menjaga perdamaian dan kedamaian di dalam negeri dan dengan kerajaan negara tetangga, 3. menghapus perbudakan, 4. Melindungi dan memajukan pernigaan dan pertanian, 5. Tidak membolehkan orang Eropa menetap di kerajaan tanpa persetujuan pemerintah Belanda. Ditanda tangani verklaring oleh Sultan Serdang pada 1862 di hadapan Residen Elisa Netscher berarti Sumatera Timur telah mengakui dan tunduk dalam kekuasaan Belanda. Setelah Serdang ditaklukkan giliran Belanda menganeksasi Deli, Langkat, Asahan dan kerajaan kecil lainnya. Sebagai konsekuensi penaklukkan itu, Belanda benar–benar menguasai Sumatera Timur. Oleh karena Residen Belanda berkedudukan di Bengkalis dan waktu itu di Sumatera Timur belum ada petinggi kolonial setingkat Residen, maka Sumatera Timur dimasukkan kedalam wilayah administratif keresidenan Riau. Dari sana lah pemerintah kolonial mengendalikan kekuasaannya di Sumatera Timur. 71 Ibid hal. 23 72 Ibid hal. 40

Belanda. Setiap kali menanda-tangani Akta Perjanjian kepada Sultan, Belanda memaksakan kehendak politiknya. Sultan tak berdaya melakukan perlawanan, akibatnya bertambah lama kedaulatan sultan kian menyusut73. Dengan Akta Perjanjian itu pula Belanda semakin mudah mengontrol dan mendiktekan kemauan politiknya. Agar lebih gampang mengawasi kelakuan politik kesultanan sambil mengikis kekhawatiran pembangkangan sultan, Belanda membuat ketentuan melarang masuk segala jenis amunisi, senjata api, dan mesiu ke wilayah kekuasaan sultan. Pelarangan itu dibuat di atas Akta Perjanjian. Ini artinya Belanda tidak membolehkan kesultanan memelihara pasukan tempur. Sebab jika amunisi, senjata api, dan mesiu bebas masuk ditakutkan kesultanan dapat membangun kekuatan persenjataan yang dapat mengancam kekuasaan Belanda, untuk menghindari ketakutan itu pemerintah Belanda hanya membolehkan kesultanan dijaga opas74

Awal masuknya modal besar ke Sumatera Timur lewat seorang pengusaha swasta asing Belanda, Jacobus Nienhuys yang bermaksud menanamkan modalnya dalam industri tembakau

.

II.2.2. Kedatangan Modal Besar

75

73

Syafruddin Kalo, op cit, hal. 101

74

Edy Suhartono, Op Cit, hal. 24

75

Alwi, Afrizan, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan : Studi Kasus di Sumatera Utara. Medan, CV.Cahaya Ilmu, 2006, hal. 62

. Pada waktu Jacobus Nienhuys pertama kali menginjakkan kakinya ke tanah Deli tahun 1863, Sumatera Timur diperintah Belanda dari Bengkalis–Riau. Dengan persetujuan Residen Riau pengusaha Belanda ini tidak mendapat rintangan masuk ke tanah Deli. Sesampainya dia ke tanah Deli dia menjumpai Sultan Deli yang saat itu bersemayam di kampung Labuhan. Nienhuys mengutarakan maksudnya hendak

menanam tembakau kepada sultan. Ia menjumpai sultan karena secara adat sultan adalah pemilik tanah. Waktu itu tanah Deli belum dihuni banyak penduduk, masih ditutupi hutan ,berawa, subur, dan belum terjamah manusia. Oleh karena itu, ketika Nienhuys berencana membuka industri tembakau, Sultan Deli dengan baik hati memberikan tanah seluas yang diminta pengusaha swasta asing Belanda itu tanpa meminta sewa tanah76. Diatas tanah Deli inilah Nienhuys menanam tembakau yang kemudian menjadi perkebunan pertama di Sumatera Timur77

Menjulangnya mutu tembakau Deli di pasar dunia menarik pengusaha swasta asing mancanegara berdatangan ke Sumatera Timur untuk menanamkan modalnya dalam industri tembakau. Pengusaha swasta asing mancanegara tertarik mendatangi Sumatera Timur karena dipermudah oleh kesultanan dalam hal memperoleh tanah. Sultan Deli,

.

Dan ternyata Tembakau Sumatera Timur cukup memiliki kualitas yang bermutu tinggi.. Tidak mengherankan karena aroma dan mutunya tembakau Sumatera Timur cepat mendapat tempat di pasaran dunia, bahkan dalam waktu relatif singkat menyaingi tembakau lain dan mampu menerobos ke posisi atas dalam pasaran tembakau dunia. Karena itu Sumatera Timur dikenal sebagai penghasil tembakau bermutu di dunia. Tanah dan tembakau Deli menjadi kesohor di pasaran Internasional.

Kualitas tembakau tersebut menjadi pusat perhatian bagi pengusaha swasta asing sehingga menjadi suatu daya tarik untuk bisnis yang memberikan gambaran yang baik bagi pemodal asing dalam investasi usaha yang cukup memiliki peluang usaha yang dapat memajukan pendapatan perkembangan investasi.

76

Ibid, hal. 63

77

Serdang, Langkat, dan Asahan menyambut pengusaha swasta mancanegara penuh kegembiraan tanpa sedikitpun bermaksud mempersukar masuknya modal besar ke daerah kekuasaannya. Lantaran tidak menemukan hambatan bahkan beroleh kemudahan izin memakai tanah maka dalam waktu singkat pengusaha asing mancanegara berlomba menginvestasikan modalnya dalam industri tembakau. Mereka itu adalah pengusaha swasta asing Belanda, Swiss, Jerman, Perancis, Belgia, Inggeris, Amerika, dan Jepang.

Kehadiran pengusaha swasta asing mancanegara disertai pula dengan mengalirnya modal besar ke Sumatera Timur, orang Belanda Eropa yang ke Sumatera Timur pekerjaannya berkait dengan perkebunan dan jumlah mereka terus membengkak sejalan dengan pertumbuhan perkebunan. Selama 28 tahun (1863–1991) di Sumatera Timur beroperasi 170 perkebunan78. Beroperasinya ratusan perkebunan mengundang persoalan tenaga kerja. . Kekurangan tenaga kerja semakin dirasakan pada saat ratusan perkebunan bertebaran di wilayah kesultanan ini. Untuk mengatasi masalah tenaga kerja ini tuan kebon membentuk Deli Planter Vereeniging (DPV)79

78

Saidin, Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, Ringkasan Hasil Penelitian, 2002.

79

Budi Agustono, Kebijakan Perburuhan Di Sumatera Timur, Medan, Laporan Penelitian, 1995, hal. 20

, sebuah sindikasi yang bertujuan merekrut tenaga kerja ke negeri Cina. Melalui sindikasi ini pencarian tenaga kerja ke negeri Cina diintensifkan. Guna memudahkan pekerjaan, sindikasi itu mengirimkan perantara, yaitu buruh Cina yang masa kontraknya habis ke negeri Cina. Di Cina sindikasi ini mendirikan konsulat sebagai wadah informasi bagi orang Cina untuk direkrut bekerja di perkebunan. Cara seperti ini memudahkan DPV merekrut ribuan orang Cina ke perkebunan Sumatera Timur. Makin hari orang Cina yang direkrut sebagai buruh jumlahnya bertambah besar sehingga sampai sebelum tahun 1900 mereka menjadi

mayoritas buruh perkebunan Sumatera Timur. Tetapi setelah zaman emas tembakau memudar tahun 1890–an, mayoritas buruh Cina digantikan buruh Jawa. Hampir berbarengan dengan tergesernya dominasi buruh Cina, sekitar tahun 1905 karet dan kelapa sawit mulai diperkenalkan. Kalau tembakau mayoritas buruhnya Cina, tanaman karet didominasi buruh Jawa. Pergeseran dari buruh Cina ke buruh Jawa di perkebunan merupakan kebijakan politik tuan kebon untuk menjinakkan sekaligus memotong solidaritas buruh Cina.80

Terangkatnya kesultanan sebagai kekuatan ekonomi baru tampak dari perubahan gaya hidup sederhana ke gaya hidup modern yang ke barat–baratan perubahan gaya hidup itu terekspresikan dari tempat tinggal Sultan Deli. Kalau tadinya tempat bersemayam sultan menyerupai rumah penduduk biasa yang terletak di dekat pantai maka sesudah memperoleh sumber finansial baru tempat tinggal sultan berubah menjadi istana besar yang dipenuhi perabotan dari Eropa terutama Belanda

Di Sumatera Timur kekuasaan tuan kebon sangat besar. Di perkebunan tuan kebon punya pengacara, hakim, polisi, penjara dan lembaga pengontrol buruh. Nasib buruh sungguh menyedihkan dan menyengsarakan. Akibat adanya lembaga pengawasan itu kaum buruh tidak punya kekuatan melawan tuan kebon. Jika buruh melakukan protes, pemogokan atau berbuat keonaran segera ditindas aparat perkebunan.

II.2.3. Koalisi Perkebunan dan Kesultanan

81

80

Ibid, hal. 20-40.

81

Karl Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria (Jakarta: Sinar Harapan 1985) hal. 137.

. Istana besar itu tidak lagi terletak didekat pantai melainkan dipindahkan ke Medan, ibu kota keresidenan Sumatera

Timur. Istana inilah yang terkenal dengan Istana Maimoon, sebuah istana besar dan megah yang didirikan dari hasil konsensi tanah. Hampir berbarengan dengan itu Sultan Serdang, Langkat, dan Asahan tidak ketinggalan pula membangun dan mengubah tempat tinggalnya menjadi istana–istana besar. Sejalan dengan pembangunan istana–istana megah sultan–sultan dan kaum bangsawannya dalam gaya hidup semakin terbaratkan. Mereka mengkonsumsi pola hidup mewah, berkendaraan mobil, memakai telepon, dan berbusana gaya barat. Lebih dari itu kalangan bangsawan tingginya ada yang melanjutkan pendidikan ke Belanda.

Menaiknya posisi elit kesultanan dalam stuktur masyarakat kolonial menyebabkan mereka terperangkap dalam konservatisme. Berkoalisi dengan pengelola ekonomi perkebunan (tuan kebon) dan pemerintah Belanda, kesultanan bersama–sama menegakkan ideologi keamanan dan ketertiban. Paham asing yang menelusup di perkebunan, daerah kekuasaan kolonial, dan wilayah kesultanan ditindas. Nasionalisme yang diawal abad ke–20 menjadi ideologi pergerakan kebangsaan di tanah air di perkebunan, wilayah kekuasaan kolonial, dan jurisdiksi kesultanan segera disingkirkan. Ideologi nasionalisme dihalau karena mereka takut kalau paham kebangsaan menerobos ketiga wilayah itu dapat mengguncang struktur masyarakat kolonial. Terguncangnya struktur kolonial berarti terdisrupsinya orde tradisional. Padahal orde tradisional merupakan orde yang tidak saja menguntungkan kesultanan, tapi juga pengelola ekonomi perkebunan. Jika orde internasional terdisrupsi otomatis sumber pendapatan baru kesultanan mengalami gangguan pula. Kalau ini terjadi sumber pendapatan baru yang mereproduksi kehormatan, kewibawaan, dan kemewahan dapat terporak – poranda.

Untuk menghindari ancaman kekuatan asing kesultanan, pengelola ekonomi perkebunan dan pemerintahan kolonial berkoalisi mempertahankan tegaknya orde tradisional dan lestarinya struktur masyarakat kolonial. Koalisi ini terus dipertahankan sampai tumbangnya pemerintah kolonial Belanda di Sumatera Timur.

Dokumen terkait