• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Deskripsi Umum Objek Penelitian

II.3. Persoalan Agraria Terhadap Rakyat Penunggu

II.3.1. Tanah Jaluran dan Rakyat Penunggu

Diberlakukannya akta konsensi semakin mengubah cara bertani orang Melayu yang menetap menjadi berpindah–pindah sesuai dengan panen tembakau. Ketika akta konsensi ditandatangani sultan tidak memahami persoalan agraria. Yang memahami akta konsensi jelas pemerintah Belanda, sedang sultan hanya menerima saja. Sultan terkesan tida berwenang dalam mengurusi persoalan agraria di daerah kekuasaannya sendiri. Kalaupun terdapat perselisihan tanah, sultan tidak dapat memberi keputusan. Ia lebih dahulu berunding dengan hoofd van gewestelijk atau plaatselijk bestuur82

Akta konsensi diberlakukannya pertama kali tahun 1877 merupakan perjanjian yang ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai jalan keluar untuk mengatasi proses pemberian konsesi yang memakan waktu yang lama. Dalam akta konsensi 1877 disebutkan hak–hak rakyat yang berkaitan dengan tanah. Pengertian ini telah membawa penguatan dan pengakuan adanya hak ulayat yang pada hakekatnya dipegang oleh

. Oleh karena itu bisa dimengerti kalau sultan kurang mempersoalkan hak–hak tradisional orang Melayu yang tidak dimasukkan dalam pasal–pasal akta konsensi.

82

Mahadi. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975., Bandung, Alumni, 1978, hal. 55.

kampong. Pengakuan adanya hak tanah orang Melayu ini dikuatkan lagi dalam model akta konsensi 1878, khususnya pasal 6 yang menyatakan83

Kendati akta konsensi model 1878 ini sudah diperbaharui, tapi sedikit mencantumkan hak–hak tanah orang asli. Misalnya mengenai tanah yang dipakai tanaman tembakau, sesudah panen tanah itu mesti diserahkan kepada siapa belum ada penjelasan. Baru enam tahun kemudian sesudah akta konsensi 1878, tepatnya pada tahun 1884, hak–hak rakyat dimasukkan dalam akta konsensi 1884.

: “ Jika di atas tanah yang diserahkan itu terdapat penduduk, maka orang tersebut harus dapat menguasai : a. tanah yang sedang mereka kerjakan ditambah dengan, b. tanah yang baik, secara rabian seluas empat bahu seluruhnya untuk tiap penduduk. Yang dimaksud penduduk adalah orang– orang yang mempunyai rumah sendiri diatas anah yang diserakan itu”.

84

“ Selain dari tanah yang dimaksud pasal sebelumnya, pihak perkebunan mengikat diri untuk selama setahun panen menyerahkan kepada penduduk yang dimaksud dalam pasal 6 tanah tembakaunya yang telah dipetik dan yang akan belum di tanami dengan tembakau pada tahun berikutnya. Tanah itu boleh

Pasal 10 menyatakan :

“ Di sekitar kampung selain dari tanah serap untuk penduduk harus disediakan jaluran tanah denga lebar sekurang–kurangnya 100 vadem dan luas sekurang–kurangnya tiga kali luas kampung. Hasil–hasil alam yang terdapat di tanah ini tidak boleh di kutip oleh pihak perkebunan “

Pasal 11 :

83

Budi Agustono. Kebijakan Perburuhan di Sumatera Timur. Medan, Yayasan Akatiga, 1995 hal. 20

84

Burhan Aziddin, Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 28

ditanami oleh penduduk dengan padi dan jagung. Untuk penyerahan ini pihak perkebunan boleh membuat syarat, bahwa hasil–hasil yang akan diperdagangkan dijual oleh penduduk kepada pihak perkebunan dengan harga pasaran. Seorang penduduk berhak mendapat paling luas 1,5 bau ; tanah–tanah itu hendaknya terletak sedekat mungkin pada tempat tinggal penduduk. “

Pasal 12 :

“ Sejajar dengan tepi sungai harus dikeluarkan dari pengolahan satu jaluran tanah selebar sekurang 25 vadem kayu–kayu yang terdapat di jaluran itu tidak boleh ditebang, tapi pihak perkebunan berhak membuat jalan–jalan ke sungai itu melalui jaluran tersebut, juga pihak perkebunan berhak membuat jalan– jalan ke sungai – sungai itu melalui jaluran tersebut, juga pihak perkebunan berhak membangun bangsal– bangsal dan rumah di tepi sungai dan untuk itu pihak perkebunan boleh melakukan penebangan– penebangan yang perlu. Yang tidak tergolong sungai adalah parit–parit besar dan sejenisya yang kering pada waktu berkala “

Akta konsensi 1884 tidak saja memasukkan hak–hak rakyat, melainkan juga tanah Jaluran. Ini artinya dalam akta konsensi masa itu tanah jaluran yang diusahakan orang Melayu diakui secara resmi, sekalipun akta konsensi 1884 diperbarui lagi dan diganti akta konsensi 1892, namun tanah jaluran tetap dicantumkan, diakui, dan dipertahankan. Beberapa pasal akta konsensi yang menyatakan diakuinya tanah jaluran85

1. Tanah–tanah dalam batas konsensi dipergunakan sendiri oleh penduduk untuk bercocok tanam dan disediakan sebagai tanah rabian tetap dalam kekuasaan para penggarap.

adalah : Pasal 4

85

Mahadi. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975., Bandung, Alumni, 1978, hal. 55-59.

2. apabila untuk maksud yang tertera dalam pasal 1 dalam batas–batas konsensi para penggarap tidak dapat menguasai tanah yang cukup luas menurut pendapat kepala daerah, maka koensesionaris harus menyediakan tanah sehingga untuk tiap keluarga disediakan.

3. Jumlah kepala keluarga yang dipandang berhak diterapkan sekali lima tahun.

4. Kepada konsesionaris tidak diizinkan untuk menguasai tanah ini yang telah digarap oleh penduduk, sekalipun dengan persetujuan penggarap itu sendiri, kecuali ada izin kepala daerah. 5. izin yang dimaksudkan dalam ayat 4 diperlukan untuk setiap penyerahan tanah yang

diserapkan untuk tanah rabian tersebut diatas kepada orang–orang yang tidak tergolong bumi putera.

Pasal 7

1. Di sekeliling kampung harus ada tanah kampung :

a. Tanah serap yang dimaksudkan dalam ayat 1 dan 2 pasal 4

b. Jalur tanah selebar sekurang–kurangnya 200 meter dengan luas sekurangnya tiga kali luas kampung

2. Tanah ini tidak boleh diperjualbelikan. Setiap perjanjian yang bertentangan dengan itu adalah batal. Tetapi jika ada azain penduduk dan kepala daerah,boleh diadakan pengecualian apabila pengecualian itu tidak dapat dihindarkan untuk saluran air, jalan dan lainnyabagi keperluan kensesionaris.

3. kampung–kampung baru tidak boleh didirikan di perbatasan tanah konsensi, melainkan atas izin kepala wilayah, dengan mempertimbangkan kepentingan konsesionaris dan penduduk Bmiputera setelah diadakan perundingan dengan pihak swapraja.

Pasal 9

1. Selain tanah bercocok tanam dan tanah kampung yang harus diserakan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 4 dan 7, sebagian dari tanah yang telah ditanami dan tidak ditanami di tahun berikutnya oleh konsesionaris harus diserahkan kepada rakyat yang bertempat tinggal

dalam konsei untuk satu kali panen ditanami padi atau jagung. Untuk itu konsesionaris tidak boleh memungut retribusi

2. bagian yang dimaksud dalam ayat 1 tidak melebihi setengah dari yang ada

3. Tanah – tanah yang dimaksudkan disini oleh yang berhak tidak boleh diserahkan kepada orang yang bukan penduduk bumi putera, kecualiada izin kepala daerah.

Pasal 28

Dengan kampung dalam pasal 7 dimaksudkan juga semua tempat tinggal penduduk bumi putera yang menurut pendapat kepala daerah. Sesuai dengan adat bukan merupakan tempat tinggal sementara seperti pondok–pondok ladang dan sebagainya. Kampung–kampung yang telah ada berhak mengadakan perluasan di atas jalur – jalur tersebut diperhitungkan untuk menyesuaikan luas jalur–jalur dengan aturan pertama pasal 7.

Kampung–kampung baru tidak boleh didirikan dalam perbatasan konsensi, kecuali dengan izin kepala daerah dengan memperhatikan kepentingan konsesionaris dan penduduk bumi putera serta setelah mengadakan rembukan dengan pihak swapraja.

Pasal 29

Bila luas tanah menurut pasal 9 harus disediakan untuk penduduk kurang dari 1 hektar untuk satu keluarga, pembagian diantara yang berhak dilakukan oleh kepala daerah.

Jika melihat beberapa pasal akta konsensi yang memuat kewajiban perkebunan menyediakan tanah pertanian kepada orang Melayu dapat dikatakan sejak awal masalah hak tradisional khususnya masalah pengakuan tanah jaluran menjadi persoalan fundamentaldalam akta konsensi. Dikatakan tanah jaluran karena tanah tembakau itu berjalur–jalur. Sebagaimana diketahui pada awal berdirinya perkebunan yang pertama

kali ditanam adalah tembakau. Adanya tanaman tembakau membuat kebiasaan orang Melayu dalam mengolah pertanian mengalami hambatan. Agar kebiasaan orang Melayu mengolah pertanian tidak terganggu diciptakan lembaga tanah jaluran.

Akta konsensi tidak pernah menjelaskan siapa yang berhak mendapat tanah–tanah Jaluran. Memang dalam akta konsensi 1878 ada disebut kata opgezeten yang berarti orang–orang yang mempunyai rumah sendiri di atas tanah yang diserahkan kepada perkebunan. Tetapi kata opgezeten menimbulkan bermacam tafsir. Perkebunan mengatakan yang berhak memperoleh tanah jaluran hanya orang–orang yang pada saat pemberian konsensi sudah mempunyai rumah dalam persil konsensi86. Namun pernyataan ini dipandang terlalu sempit. Malah dalam akta konsensi 1884 pengertian opgezeten berubah menjadi ” semua kepala keluarga baik yang telah tinggal di tanah bersangkutan maupun sesudah penyerahan tanah, kedua golongan itu yang menurut adat digolongkan kepada yang berhak atas tanah ”87. Demikian pula dengan akta konsensi 1892 tidak juga merinci secara jelas siapa yang berhak mendapat tanah jaluran. Namun begitu akta tersebut mengatakan, yang berhak atas tanah jaluran adalah rakyat yang bertempat tinggal dalam batas perkebunan. Walaupun terdapat perbedaan tafsir, tetapi swapraja memiliki peraturan tersendiri tentang tanah jaluran dan rakyat penunggu. Peraturan yang dipakai sebagai tuntunan mengenai tanah jaluran dan rakyat penunggu adalah peraturan yang dikeluarkan Sultan Serdang88

1. Orang–orang yang lebih dulu sudah berumah tangga dimana tanah saudagar bikin kontrak.

. Isinya :

86

Ibid, hal. 56

87

Burhan Aziddin, op cit, hal. 37

88

2. Dulunya dia berumah tangga di daerah itu kemudian dipindah di lain kerajaan, sesudah tuan saudagar ambil tanah di datang kembali, berumah disitu dengan anak bininya

3. Anak rakyat yang tersebut di nomor 2 dengan rumah tangganya.

4. Rakyat jajahan Sri Paduka Tengku Sultan yang datang dan lain tempat. Sesudahnya tanah Tuan Saudagar ambil mendirikan rumah sendiri. 5. Rakyat asal negeri mulanya tinggal di perwatasan lain kebon, jajahan

serdang juga, kemudian dia pindah di tanah itu sesudahnya tuan kebon bikin kontrak.

6. Rakyat asal demi lain negeri (lain kerajaan) sebelum tuan saudagar ambil kontrak berpindah ia kesitu membawa anak bini, kemudian anaknya bernikah serta berumah tangga sendiri pula.

7. Rakyat penunggu ajnda yang ada di rumah sendiri dan pelihara anak. 8. Rakyat laki–laki yang kematian bini ada di rumah tangga dan anak

yang dipiaranya.

9. Asal Batak kerajaan Serdang laki–laki dan perempuan dulunya belum kawin, sesudahnya tanah kontrak maka dia pun kawin.

10.Rakyat yang berduduk mempunyai dua rumah keduanya itu ada mempunyai bini, yang satu di tempat lain, jauh, maka dapat bini yang tua ”

Jika dilihat dari kriteria Rakyat Penunggu menurut peraturan yang dikeluarkan Sultan Serdang dapat dikatakan tidak hanya orang Melayu yang berhak atas tanah jaluran, melainkan orang bukan Melayu pun dapat memperoleh tanah jaluran asal

memenuhi syarat–syarat tertentu. Akan tetapi jika dilihat dari penduduk asli Sumatera Timur (Melayu, Karo, Simalungun) hanya merekalah yang berhak dan mengerjakan tanah jaluran. Namun, sedari awal orang Melayu yang paling besar memiliki tanah jaluran. Sepanjang sejarahnya, suku lain ketiga suku ini amat jarang mendapat tanah jaluran. Oleh karena itu, kemudian muncul anggapan bahwa hak rakyat penunggu atas tanah jaluran merupakan privelese orang Melayu dan orang Melayu dipandang sebagai anak emas pemerintah Belanda. Sebutan anak emas itu belakangan mengundang kecemburuan politik dari orang diluar etnis Melayu. Sebutan anak emas itu belakangan mengundang kecemburuan politik dari orang diluar etnis Melayu.

Dokumen terkait