• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : SIMBOL SUBKULTUR :

4. Berhadapan dengan Multikultur „ Ausländer ‟

Ausländer merupakan musuh dan objek perasaan permusuhan dari kelompok ekstrem kanan. Pengobjekan ini berupa pembentukan stereotip tentang

Ausländer, terutama mereka dengan ciri-ciri fisik yang dengan mudah dikenali. Misalnya, warna kulit dan rambut orang dari Asia dan Afrika.

Penulis pernah bertanya kepada seorang pemuda dengan seluruh tato 8 di lengan hingga kaki, tato kartu As, dan semacam tasbih dengan bola-bola bertuliskan angka 8,11 kenapa dia memakai angka delapan, dia menjawab,

9Terjemahan: „Kamu nggak bakal menemukan barang menjijikkan itu. Ini daerah orang kiri.“

10

Penelitian mengenai teritori Skinhead di Inggris oleh Phil Cohen, Subcultural Conflict and Working Class Society.(1980:85).

11

Bola hitam dengan angka 8 adalah ciri khas kelompok Neonazi. 2 bola angka delapan dapat dibaca sebagai HH (H sebagai angka ke-8 dalam alfabet), kartu as dibaca sebagai angka 1. Gabungan huruf ke-1 dan ke- 8 dalam alfabet adalah A dan H, Adolf Hitler.

109 „Karena ini adalah angka keberuntunganku“. Dalam proses tanya jawab ini, teman di sebelahnya yang juga berkepala plontos bertanya, „Kamu mau Kamikaze12, ya?“. Penulis balik bertanya, apa maksud dari pertanyaan tersebut, namun dia tidak mau menjelaskan. Dia melanjutkan pembicaraan dengan yang lain, dengan selipan kata-kata umpatan seperti ‚Kanaken‟ (dimaksudkan kepada penulis, yang disangka tidak tahu maksud kata-kata tersebut).13

Pengalaman di atas terjadi di sebuah bar di Berlin Lichtenberg, bagian pinggiran kota Berlin yang dulunya merupakan bagian Jerman Timur. Bar ini terletak di jalan utama di depan stasiun kereta. Satu blok dari stasiun ini terkenal sebagai daerah Neonazi, meskipun tidak jauh dari sana terdapat daerah yang cukup „internasional‟: beberapa warung Kebab Turki, toko bahan makanan Asia, toko bunga yang dikelola orang Vietnam, restoran sushi Jepang, bar dan rumah musik (music house) rock. Pernah suatu ketika penulis bersama seorang teman Jerman bertanya kepada beberapa orang skin-head di bar musik tersebut, apakah mereka bersedia diwawancarai dan diambil gambarnya. Mereka adalah pemuda dengan kepala botak, tato dan pakaian hitam-hitam, serta beberapa emblem seperti Eisenkreuz. Serta-merta mereka menolak dan menyuruh kami bertanya pada yang lain.

Beberapa orang seperti seorang pemuda Vietnam dari toko Asia menolak untuk menjawab pertanyaan mengenai Neonazi. Wajah khawatir nampak dari roman mukanya ketika mendengar kata „Nazi‟. Dia menolak untuk ditanyai tentang hal itu karena dia masih dalam hubungan kerja dengan toko tersebut.

12

Kamikaze adalah bahasa Jepang untuk bunuh diri.

13

Pengalaman penulis di sebuah bar di Berlin-Lichtenberg. Daerah ini merupakan daerah aktivis Neonazi, pernah menjadi area domisili pemimpin Neonazi Ingo Hasselbach.

110 Cerita mengenai hubungan dengan Neonazi kami dapatkan dari seorang Vietnam yang bekerja di toko bunga. Dia menceritakan bahwa dia datang dari keluarga miskin di Vietnam. Dia datang ke Jerman untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dia mendapatkan pekerjaan di toko bunga tersebut dari kenalannya, yang juga orang Vietnam. Selama bekerja di sana dia tidak mendapatkan masalah yang berarti. Belajar bahasa Jerman baginya memang tidak mudah, tapi harus dilakukan agar bisa bekerja. „Masalah kecil‟ yang dihadapinya adalah orang-orang dengan kepala botak yang sering nongkrong di depan rumah musik.(Orang-orang skinhead yang menolak kami wawancarai). Kadang-kadang mereka meneriakinya dengan sebutan “Fiji”. Kata itu sebenarnya menyinggung perasaannya, namun dia memilih untuk diam daripada memancing masalah dengan mereka.14

Kata-kata makian terhadap Ausländer adalah bagian dari ekspresi mereka pada sikap anti –imigrannya. Dalam beberapa wawancara dengan orang kulit berwarna di Jerman terungkap bahwa: Warna (kulit) kita adalah tanda itu sendiri, yang melekat pada kita dan tak bisa ditanggalkan. Inilah tanda yang selalu kita bawa dan berpotensi memprovokasi (rasisme) mereka.

Apa yang diekspresikan oleh anak muda merupakan sikap mereka yang merupakan wacana yang tumbuh di masyarakatnya, dan merupakan warisan dari generasi sebelumnya. Dalam wawancara penulis dengan Rosel (75 tahun), seorang perempuan yang mengalami jaman Nazi, dia mengatakan bahwa setelah Perang Dunia II berakhir, hampir sebagian besar rakyat Jerman tidak mengetahui

14

Wawancara dengan Kim (nama disamarkan), 24 tahun, asal Vietnam, Berlin-Lichtenberg, 27 Juni 2007.

111 kejahatan yang dilakukan Hitler dengan membunuh 6 juta orang Yahudi.15 Namun dalam masa itu, memang begitu besar wacana yang berkembang dalam masyarakat, bahwa banyak Yahudi menjadi kaya raya karena menjadi lintah darat, meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi. Wacana tentang Yahudi ini menjadi dominan karena inilah yang sering ditemui dan dialami, sekaligus menjadi bayangan tentang Yahudi. Perempuan yang mengalami jaman era Hitler di masa remajanya ini tidak memiliki pengalaman secara langsung dengan Yahudi, namun stereotipe tentang Yahudi sebagai lintah darat cukup mengemuka waktu itu.16

Wacana tentang yang Lain sebagai musuh muncul setelah Jerman bersatu dengan tema seputar pengungsi yang menjadi wacana mengenai mereka yang jorok, makan dari roti kita, merebut tempat kerja, dan hidup dari uang kita. Tindakan kekerasan terhadap Ausländer oleh anak muda ekstrem kanan adalah bagian dari proyeksi keinginan mereka yang tidak terpenuhi. Dengan nempelengin Ausländer mereka dibawa kembali pada bayangan tentang yang ideal sebelum jaman kakek-nenek dahulu, yang diperjuangkan oleh Nationalsozialismus pada bahaya tentang Ziegeuner17 seperti mereka.18

Apa yang muncul sebagai fenomena anak muda adalah kumpulan dari dinamika wacana ini. Ia dimungkinkan muncul dalam konteks masa kini karena

15

Ungkapan seperti ini harus dipandang agak kritis. Kemungkinan besar mereka sebenarnya tahu, tapi tidak mau tahu.

16

Dalam masyarakat Indonesia terjadi imajinasi seperti ini terhadap orang Tionghoa. Mereka dianggap lebih kaya dari orang Indonesia „asli‟, dan menjadi pengendali ekonomi di Indonesia.

17

Istilah ini mengacu pada kelompok Gipsi dari Rumania yang tinggal berpindah-pindah. Banyak dari mereka yang hidup dengan mencuri karena sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini kemudian berkembang menjadi wacana mengenai Ausländer (terutama para pencari suaka) sebagai pemalas dan pencuri.

18

Hajo Funke dalam studinya tentang kekerasan ekstrem kanan yang dilakukan oleh anak muda di Rostock. (Funke, 1995: 25).

112 ada situasi yang mendukung untuk itu. Ketidakpuasan terhadap kondisi masyarakat ditampilkan dalam rasa marah dan agresi terhadap sang ‟musuh‟,

Ausländer. Musuh ini diciptakan, ‟imagined enemy‟ dalam wacana, dan dipelihara dalam mitos mengenai mereka.

Dokumen terkait