• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subkultur Neonazi: studi mengenai simbol dan ideologi rasisme dan anti imigran subkultur Neonazi di Jerman - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Subkultur Neonazi: studi mengenai simbol dan ideologi rasisme dan anti imigran subkultur Neonazi di Jerman - USD Repository"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

i

SUBKULTUR NEONAZI

STUDI

MENGENAI SIMBOL DAN IDEOLOGI RASISME DAN ANTI IMIGRAN SUBKULTUR NEONAZI DI JERMAN

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora

pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Fransiska Irmayani NIM : 0263220022

Pembimbing: St. Sunardi

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

PERSEMBAHAN

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Penelitian ini sebenarnya bermula dari sebuah kegelisahan pribadi penulis ketika menyadari berbagai stereotipe yang penulis hadapi dalam kehidupan penulis sehari-hari sebagai imigran di Jerman. Secara kasat mata, tidaklah mudah bagi penulis yang berkulit coklat, berwajah Asia, berbahasa Jerman dengan tidak sempurna, untuk beradaptasi dengan masyarakat Jerman yang memiliki budaya yang berbeda dengan penulis. Singkatnya, penulis adalah seorang Ausländer di Jerman : yang berasal dari tanah air lain. Istilah ini turut mengacu pada implikasi sosial mengenai stereotipe Ausländer (biasanya yang negatif).

Salah satu bentuk yang paling ekstrem adalah melalui seorang komentar seorang 'Nazi' yang pada awalnya sangat menjengkelkan. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan orang ini, terutama melalui pembicaraan panjang lebar dalam wawancara (salah satu narasumber bagi penulis), terjalin pemahaman di antara kami mengenai pemikiran masing-masing. Inilah salah satu sisi yang penulis syukuri dari penelitian ini.

Dengan latar belakang kegelisahan dan kejengkelan memicu penulis untuk bertanya lebih lanjut mengenai apa yang ada di kepala orang-orang Neonazi ini, serta latar belakang masyarakat apa yang menghidupi subkultur tersebut. Berita-berita mengenai tindakan kekerasan dan sikap rasisme kaum Neonazi cukup banyak penulis dengar dan lihat di Jerman. Merasa sebagai Ausländer dan 'yang Lain' dari mereka ada rasa jirih yang justru memicu keingintahuan penulis tentang kelompok tersebut.

(8)

viii

Penulis sangat bersyukur pada Sang Penyelenggara Utama, yang tanpa kehendak-Nya penulisan ini tak akan terjadi, dengan segala suka duka, serta pangalaman tak terduga yang menjadi anugerah bagi penulis, dengan menghadirkan mereka yang terlibat dalam penulisan tesis ini.

Penulis megucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tanpa keterlibatan mereka penulisan karya ini tidak mungkin terjadi:

Bapak St. Sunardi sebagai pembimbing utama, yang dengan kesabaran, kejelian, dan pengertiannya yang luar biasa terhadap penulis selama tesis ini disusun dan diselesaikan,

Dr. Katrin Bandel, pembimbing tesis yang berasal dari negeri tempat penelitian ini dilakukan, yang dengan pemahaman dan pengertiannya, serta bantuannya sangat mendorong penulis menyelesaikan tesis ini.

Dr. Budi Subanar, supporter dengan kesabaran, pemahaman, dan pemaklumannya yang luar biasa!

Mbak Titin Florentina Purwokinanti dan Martin, yang menyediakan tempat kos di rumahnya di Dresden selama penelitian dilakukan, di sela-sela kesibukan dan kerepotannya.

Thomas Klose, yang menyediakan tempat di rumahnya di Berlin selama penelitian berlangsung, dan menemani penulis ke daerah-daerah berbahaya di Berlin di sela-sela kesibukannya bekerja dan kuliah.

Marianne Thum, seorang perempuan yang penulis kagumi karena keberpihakannya yang tak tanggung-tanggung dan sikap anti rasismenya, serta kesediannya untuk memberikan informasi dan 'membawa' penulis mendekati kelompok Neonazi di Dresden.

Teman-teman 'Die Falken' yang memberikan banyak informasi bernilai untuk penyusunan tesis ini, termasuk pengalaman-pengalaman tak sengaja berhadapan dengan kelompok Neonazi.

(9)

ix

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada mereka yang sangat dekat dan banyak diam namun mereka menjadi pendorong luar biasa bagi penulis, Suryo yang dengan memandangnya, semua keletihan terhapus. Heiko, yang mempercayai penulis melakukan apa yang terbaik. Papa Harmanto yang membantu dengan segala kemampuan dan waktunya menyusun tesis ini, terutama untuk hal-hal teknis di sekitar komputer dan lay-out di mana penulis 'keteteran', hingga malam-malam lembur menjelang ujian hingga akhir revisi. Mama Dewi, yang doanya menjadi kekuatan tak terbantahkan, adik-adikku yang dengan kasih dan cara mereka masing-masing mendukung penulis: Nana Anna Maria Irmarini yang 'cerewet' untuk mengajak penulis menyelesaikan karya ini hingga tuntas, Margaretha Dharmayanti, yang dengan ketulusan dan kerelaannya menjaga Suryo setiap saat agar penulis memiliki waktu untuk menulis, dan Melania Setyorini, yang mengajak 'Lomba' cepat lulus dari Sanata Dharma (Lomba yang bak Kijang melawan Keong). Teman-teman di IRB dari berbagai angkatan yang pertemuan dengan mereka menjadi pengalaman dan dorongan berharga dalam studi selama di S2. Para dosen yang sungguh memperkaya dan mendorong penulis untuk tak pernah berhenti bertanya dan mencari jawabannya.

Studi ini banyak diwarnai oleh tema Poskolonial, sebuah tema yang selalu aktual bagi penulis dalam kehidupan sehari-hari penulis. Spirit dari tema ini adalah beberapa perempuan yang semangatnya menginspirasi penulis, meskipun mereka telah tiada, atau bahkan mungkin tak pernah ada! Merekalah yang mengilhami penulis untuk tetap mempertahankan harga diri di tengah carut-marutnya kehidupan: nenek Gabriela Sumartiyah, dan Nyai Ontosoroh (seorang tokoh dalam Bumi Manusia, Pramoedya). Inspirasi dari merekalah yang membuat proses bertanya ini dicoba penulis cari jawabannya sebagai karya ini. Penulis berharap proses pembelajaran ini tak hanya berguna bagi penulis tapi juga bagi mereka yang tertarik pada tema-tema serupa.

(10)

x ABSTRAK

Neonazi di Jerman menjadi sebuah fenomena yang menguat dalam dekade terakhir, terutama karena banyaknya kasus-kasus kekerasan berbasis rasisme. Secara umum, Neonazi merupakan sebuah gerakan yang berusaha menghidupkan kembali ideologi berbasis Nazisme. Fenomena ini menarik karena poengikut dari gerakan ini kebanyakan adalah anak muda.

Salah satu tema yang menonjol dari gerakan meraka adalah dengan sikap terhadap yang 'Lain', terutama terhadap Ausländer (imigran di Jerman)

Dalam kaitannya dengan kajian Budaya, penelitian ini berusaha melihat bagaimana Neonazi hidup sebagai sebuah subkultur. Subkultur ini tumbuh di kalangan anak muda dengan caranya yang khas. Dengan 'cerdik' mereka menggunakan berbagai simbol yang dimainkan di antara berbagai larangan, peraturan, dan kelompok-kelompok yang menentang mereka.

Simbol menjadi alat untuk menyebarkan idelogi Nazisme di kalangan anak muda. Penelitian ini mencoba melihat berbagai simbol yang digunakan di kalangan Neonazi. Simbol mempunyai fungsi ke dalam yaitu untuk menumbuhkan identitas, dan ke luar sebagai artikulasi dari ideologi mereka, terutama menyangkut ideologi anti imigran.

Permaian tanda meggunakan berbagai media yang diakrabi oleh anak muda, dari tato hingga ke outfit secara keseluruhan. Media representasi yang cukup penting adalah tubuh. Dengannya tanda-tanda diterakan dan ditampilkan sebagai kode milik mereka, di wilayah kekuasaan pribadi, dan dengannya membangun identitas ke-Nazi-an mereka.

Simbol bergerak bersama waktu dan konteksnya. kadangkala terjadi perebutan tanda terhadap mereka yang berkepentingan terhadap tanda-tanda tersebut. Kelangsungan hidupnya tergantung pada para penggunanya dan bagaimana dia dipertahankan. Dengan demikian, arena pertarungan tanda ini adalah medan pertempuran kepentingan. Subkultur Neonazi adalah pemain dalam arena yang cerdik bermain dengan kamuflase berhadapan dengan peraturan kelompok dominan sepetri negara dan kelompok mainstream.

(11)

xi ABSTRACT

Neonazi in Germany becomes a phenomenon which grows stronger in recent decades, which is caused mainly by rasism- based violences. Generally, Neonazi is a movement trying to awaken Nazism-based ideology. This phenomenon is interesting because most of the companions of this movement are young people.

One of the outstanding themes from this movement is a behaviour toward the ‘other’, especially toward Ausländer (imigrants living in Germany).

In its relationship with culture studies, the research tries to examine how Neonazi lives as a subculture. This subculture grows among the youth with its special way. Ingeniously, they use various symbols which are placed in many cautions, rules and groups against them.

Symbols become a tool to spread Nazism ideology among the youth. The research tries to observe various symbols used in Neonazi group. Symbols have functions-internally to bring up identity,- and externally as an articullation from their ideology, especially the anti-imigrant ideology.

These syombols are presented in various media which are close to youth, starts from tatoos until overall outfits. A representative media which is quite important is body. In body, symbols are represented and showed as their belonging codes, in private- authorized area, and used to bring up their Nazism identity.

Symbols are developed through time and context. Sometimes, there are some fights againts those who have the interest to gain the symbols. The symbols’ continuity depends on its users and how it is preserved. Therefore, the arena of

fights to gain the symbols is the arena of interests’s fights. Neonazi subculture is

the player in this arena which are ingenious to play with its camouflage to face againts the rules from dominant group like the nation and mainstream group.

(12)

xii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

7. Signifikansi Penelitian ... 15

BAB II : GERAKAN NEONAZI DI JERMAN: RASISME SEBAGAI POLITIK IDENTITAS BERHADAPAN DENGAN YANG LAIN ... 16

(13)

xiii

2. Latar Belakang Ekonomi Politik Jerman: Imigrasi

dan Politik Multikultur ... 19

3. Rasisme: Sejarah Jerman dan „Ausländer’ ... 25

a. Rasisme sebagai Penemuan Identitas tentang „Diri‟ ... 26

b. Ausländersebagai „Other‟ ... 29

4. Neonazisme : Ideologi hingga Kekerasan ... 33

5. Musik ... 36

BAB III :GAYA HIDUP SUBKULTUR ANAK MUDA NEONAZI: PERMAINAN DAN PERTARUNGAN DALAM RUANG YANG

h. Bendera Perang Imperium(Reichskrieg) ... 52

i. Rudolf Hess ... 53

j. Matahari Hitam ... 54

k. SS-Totenkopf (SS-Tengkorak) ... 54

(14)

xiv

n. H8wear (Hatewear), Pro-Violence, dan Sportfrei ... 79

o. Rizists ... 79

6. Outfit dan Mode: Tubuh sebagai Representasi Tanda ... 79

7. Permainan dan Pertarungan dalam Ruang yang Sempit : Sebuah Siasat Tanda ... 84

8. Merk sebagai Pilihan Ekonomi Politik ... 87

9. Simbol: Sebuah Upaya Penemuan Diri ... 89

(15)

xv

1. Berhadapan dengan Kultur Dominan ... 95

2. Berhadapan dengan Pop Culture ... 100

3. Berhadapan dengan Kelompok „Musuh‟ ... 103

4. Berhadapan dengan Multikultur „Ausländer‟ ... 108

5. Berhadapan dengan Perempuan ... 112

6. Ideologi vs. Mode : Membayangkan Masa Depan ... 114

7. “Kami yang Berjuang”: Sebuah Distingsi ... 116

BAB V : KESIMPULAN ... 123

1. Tentang Simbol Subkultur Nazi ... 123

2. Neonazi dalam Masyarakat Jerman Kontemporer: Pencarian Anak Muda ... 129

3. Refleksi tentang Indonesia: Solidaritas dalam Masyarakat Multikultur ... 132

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Gerakan Neonazi di Jerman menjadi fenomena yang mengundang perhatian banyak kalangan, tak hanya oleh publik Jerman sendiri bahkan dunia

internasional. Perolehan 6 di antara 71 kursi di parlemen oleh partai NPD atau Partai Demokrasi Nasional yang merupakan partai dari gerakan Neonazi

menunjukkan adanya kebangkitan gerakan yang ideologinya searah dengan Nazi yang rasis dan antiimigran. Bagi Jerman dan dunia internasional kekejaman partai

tersebut masih merupakan trauma atas salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam Perang Dunia II.1

Kerisauan tersebut tergambar pada slogan Piala Dunia 2006 yang diselenggarakan di Jerman. Menguatnya isu tentang rasisme pada Piala Dunia ini

membuat FIFA dan pemerintah Jerman membuat slogan tentang anti rasisme. Peristiwa olah raga akbar ini sangat besar andilnya dalam menentukan image

Jerman di mata internasional.

Sensitivitas Nazi ini juga terlihat ketika Pangeran Charles harus meminta

maaf kepada pemerintah Jerman kerena putranya Pangeran Harry telah menggunakan lambang Nazi untuk pesta kostum dan mengundang reaksi keras

ketika diberitakan oleh media massa.2

1

Fenomena Neo-Nazi Jerman, Kompas, 20 September 2006. 2

(17)

2 Fenomena ini juga dapat dilihat dengan jelas pada kejadian anti ras yang

dilakukan oleh kelompok Neonazi. Berbagai tindak kekerasan berbasis rasisme yang dilakukan oleh kaum Neonazi meningkat secara mencolok pada tahun 2006,

yang meningkat sekitar 20% dari tahun sebelumnya. Tercatat lebih dari 10.000 kasus tindak kriminal oleh kelompok kanan, dan di antaranya 593 kasus tindak

kekerasan berbasis rasisme.3 Sejak Jerman bersatu pada tahun 1990 sampai penelitian ini dilakukan (2007), telah 143 orang terbunuh akibat serangan bermotif rasisme dan antisemit yang berbasis ekstrem kanan.4 Gerakan Neonazi menguat

terutama di daerah bekas Jerman Timur yang memiliki tingkat pengangguran tinggi. Persoalan ketersediaan lapangan pekerjaan menjadi faktor yang

mengakibatkan kekecewaan terhadap partai koalisi yang tengah berkuasa. Koalisi besar yang dipimpin oleh Angela Merkel dinilai belum mampu mewujudkan janji

reformasinya dalam perbaikan ekonomi. Gerakan partai Neonazi menjadi salah satu wujud dari „perlawanan‟ terhadap pemerintah koalisi. Perspektif sosial

-ekonomi menjadi penting untuk melihat konteks Neonazi dalam masyarakat Jerman.

Kekecewaan ini juga dibarengi dengan kondisi membanjirnya imigran yang datang ke Jerman. Salah satu bentuk dari imigran ini adalah pencari suaka

yang mendapat tunjangan hidup dari pemerintah. Selain para pencari suaka, terdapat kelompok imigran dari Turki, yang merupakan populasi imigran terbesar

di Jerman. Banyak dari mereka membawa keluarganya untuk tinggal dan bekerja

3

(18)

3 di Jerman. Sebagian lain adalah mereka yang merupakan generasi Turki yang

lahir dan tumbuh di Jerman. Komunitas Turki menjadi salah satu sasaran rasisme dan kekerasan kelompok Neonazi.

Kelompok Neonazi ini membangun klub-klub anak muda di kota-kota yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Kampanye dilakukan secara

sistematis dan terorganisasi, memberikan penyuluhan dan mendistribusikan surat kabar gratis untuk menyebarkan pesan dan pengaruh. Orang dapat mengenali kelompok ini melalui simbol-simbol yang mereka kenakan, baik melalui pakaian,

perilaku, dan bahasa.

Dalam kaitannya dengan Kajian Budaya, fenomena ini menarik untuk

dilihat sebagai suatu subkultur yang „bangkit‟ dalam masyarakat Jerman yang justru berusaha „membunuh‟ gerakan Nazi. Pada kenyatannya, gerakan Neonazi

tersebut justru menjadi populer. Lambang-lambang Nazi yang dilarang digunakan kembali oleh kelompok ini. Simbol-simbol „diplesetkan‟ untuk berkelit dari

larangan pemerintah. Sebagai sebuah subkultur, mereka memprovokasi budaya orang tua, budaya mapan yang telah ada. Mereka juga menggunakan lambang dan

simbol yang digunakan oleh subkultur lain, bahkan menggunakan lambang yang digunakan oleh lawan mereka. Dinamika penggunaan simbol inilah yang menjadi

sasaran dari penelitian ini. Pemahaman mengenai simbol menjadi sarana untuk melihat dan memahami tarik-menarik kepentingan tidak hanya pada simbol itu

sendiri, melainkan juga pada lembaga-lembaga dalam masyarakat yang terkait

4

149 Todesopfer rechtsextremer Gewalt - 28 Menschen in Brandenburg ermordet!

(19)

4 dalam fenomena Neonazi, seperti negara, masyarakat umum, kelompok tandingan,

warga negara asing, dan anak muda.

Dalam perkembangan mutakhirnya, kelompok Neonazi tak hanya sekedar

berusaha menghidupkan kembali ideologi Nazisme. Mereka juga mencari musuh yang meresahkan keberadaan „orang asli Jerman‟, „unser Volk‟, yaitu orang asing

atau Ausländer. Tidak hanya orang asing yang menjadi sasaran penyerangan mereka, tetapi juga kelompok yang berlawanan dengan ideologi mereka seperti kelompok kiri, kelompok Anti- Nazi seperti Antifa5, dan kaum homoseksual.

Mendefinisikan siapa Neonazi sebenarnya bukan perkara yang gampang. Dinamika kelompok dan aktivitas yang beragam, penggunaan lambang yang sama

dan penampilan yang mirip oleh kelompok di luar Neonazi menyulitkan pembedaan mereka. Aktivis dan pemikir kelompok mereka justru berpenampilan

sebagai orang biasa untuk menyembunyikan keterlibatan mereka. Sebagian pengikut Neonazi menyatakan diri secara terang-terangan, misalnya dengan gaya

Nazi Skinhead, kelompok Neonazi bergaris keras dengan ciri kepala plontos. Ini juga membuat berang kelompok Skinhead klasik ala Inggris yang justru anti

rasisme.6

Secara umum kelompok Neonazi diasosiasikan sebagai kelompok yang

ingin meneruskan aliran Nazisme. Mereka termasuk dalam kelompok ekstrem kanan yang mengunggulkan nasionalisme. Dalam dinamika selanjutnya, mereka

kekerasan berbasis rasisme.

5

(20)

5 memasuki kelompok anak muda dalam menyebarkan ide-ide nazisme, melalui

musik dan gaya hidup anak muda. Inilah yang menjadikan Neonazi menjadi populer, lebih dari ideologinya sendiri, melainkan dengan kode-kode yang

diusungnya, festival musik, dalam gaya, cara berpakaian, cara berpenampilan. Musik menjadi salah satu sarana populer untuk menyebarkan ideologi Nazisme.

Kelompok ini menyebarkan secara gratis CD musik berhaluan kanan kepada anak-anak muda.

Gaya akan menjadi salah satu pokok kajian studi subkultur pada anak

muda Jerman ini. Subkultur Neonazi menjadikan tubuh sebagai medan untuk menampilkan identitas ke-nazi-an mereka. Fenomena kebertubuhan ini dan hubungannya dengan relasi sosial disebut Giddens sebagai “uniform”: seragam,

yang mengacu pada gaya berpakaian yang distandarisasikan dalam relasi untuk

memberikan posisi sosial yang pilihan-pilihannya cenderung terbuka.7

Dengan mengamati momen gaya subkultur tersebut, kajian ini tidak

berambisi untuk menelanjangi ideologi ala Nazisme klasik dalam aktivitas Neonazi, tetapi lebih pada ideologi subkultur itu sendiri dalam konteks anak muda

masyarakat Jerman.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dirumuskan masalah sebagai berikut:

6

www.skin-head.com. Situs ini adalah milik kelompok Skinhead Klasik yang ingin membela dirinya dengan membedakan beberapa jenis Skinhead. Skinhead Neonazi juga disebut sebagai Skinhead Nazi.

7

Giddens, Anthony, Modernity and Self Identity: Self and Society in the Late Modern Age

(21)

6 a) Simbol-simbol apa yang digunakan dalam subkultur anak muda Neonazi?

(Bagaimana mereka menggunakan gaya hidup sebagai artikulasi nilai dan ideologi mereka?)

b) Bagaimana mereka menggunakan simbol dan gaya untuk mengartikulasikan nilai-nilai mereka dalam kaitannya dengan rasisme dan

anti-imigran?

c) Bagaimana nilai kelompok dominan (mainstream) Jerman berhadapan dengan subkultur Neonazi?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Meneliti simbol-simbol yang dipakai oleh subkultur anak muda Neonazi dan

bagaimana simbol-simbol tersebut diambil dari simbol yang sudah ada.

2. Melihat bagaimana simbol-simbol tersebut dipakai untuk mengartikulasikan

nilai-nilai mereka yang rasis dan anti-imigran.

3. Melihat bagaimana simbol dan gaya hidup subkultur Neonazi berhadapan

dengan kelompok mainstream yang memiliki resistensi balik terhadap mereka.

4. Kerangka Teori dan Perspektif

Penelitian ini akan menggunakan konsep subkultur untuk melihat

(22)

7 keunikannya dia berhadapan dengan nilai dominan yang ada di masyarakatnya.8

Inilah yang menjadi pemahaman umum mengenai subkultur. Pemahaman ini hanya melihat bahwa subkultur adalah sebuah resistensi terhadap yang dominan.

Hebdige melihat bahwa subkultur tidak semata-mata resistansi kelompok minoritas berhadapan dengan mayoritas:

The “subcultural response“ is neither simply affirmation nor refusal, neither “commercial exploitation” nor “genuine revolt”. It is neither

simply resistance against some external order nor straightforward conformity with the parent culture. It is both a declaration of independence, of otherness, of alien intent, a refusal of anonymity, of subordinate status. It is an insubordination.9

Berbeda dengan pemahaman umum bahwa subkultur adalah sebuah bentuk

deviasi, Hebdige melihat bahwa subkultur adalah sebuah deklarasi independensi dari keberlainan mereka.

Hebdige melihat bahwa subkultur bergerak melalui suatu siklus perlawanan dan penentraman. Siklus ini berada dalam suatu kompleks kultural

dan komersial yang lebih luas.10 Pada suatu ketika simbol dan benda-benda dari gaya subkultur diangkat oleh kepentingan komersial dalam budaya populer.

Simbol itu tidak lagi rahasia dan muram, dan hanya dimiliki secara eksklusif oleh kelompok subkultur.

Berhadapan dengan nilai-nilai yang lain, subkultur berusaha untuk membedakan dirinya sebagai kelompok khusus dengan cultural capital yang

dimilikinya.

8

(23)

8 Mengacu pada Bourdieu11,

subcultural capital as the cultural knowledge and commodities acquired by members of a subkultur, raising their status and helping differentiate themselves from members of other groups.

Subkultur Neonazi terkenal dengan simbol-simbol yang mereka adopsi dari Nazi lama. Dengan „ketrampilan‟ khas anak muda, mereka mengadaptasikan

simbol Nazi yang dilarang oleh negara. Mereka juga menggunakan simbol dari subkultur lain, termasuk mereka yang secara ideologis berseberangan. Dalam

penggunanaan lambang dan ekspresi gaya, kelompok subkultur yang saling berlawanan memanfaatkan simbol yang sama dengan makna yang berbeda bahkan

berlawanan. Neonazi juga meniru gaya baju kelompok Antifa yang melawan mereka. Mode terakhir Neonazi di Berlin adalah syal hitam-putih, yang dikenakan

oleh militer kelompok garis keras Palestina. Simbol dan ketrampilan mereka mengolahnya merupakan pengetahuan dan komoditas sebagai modal subkultur.

Dengan demikian, pemahaman mengenai simbol-simbol Neonazi menjadi penting untuk memahami bagaimana mereka mengartikulasikan ideologi rasisme

mereka. Menurut St. Sunardi, kita dapat melihat budaya sebuah kelompok sosial, dengan melihat transaksi pertukaran tanda, dengan memperhatikan sistem tanda

yang ada dan bagaimana para anggotanya menggunakan sistem tanda tersebut.12

9

Dick Hebdige, Hiding in the Light: on images and things (London and New York: A Comedia Book, 1996) hlm. 35.

10

Hebdige, op.cit, 1999 : 258. 11

Pierre Bourdieu (Ricard Nice, tr.), Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, (Cambridg: Harvard University Press, 1988).

12

(24)

9 Rasisme adalah bagian dari ketakutan terhadap yang Lain. Konsep yang

Lain mengacu pada mereka yang berbeda warna kulit, ras, etnisitas, mereka yang dianggap berbeda dibandingkan dengan mayoritas. Yang Lain adalah bagian dari

Mereka berhadapan dengan Kita. Penegasan kekitaan, menjadi alat penegasan diri suatu “ego kolektif” yang panik.13

Salah satu jawaban kenapa terjadi kepanikan ego adalah karena ekonomi dan politik nasional dilanda krisis, sehingga angka pengangguran meningkat, ego merasakan hampa makna dan krisis kepribadian menggiringnya menjadi pelaku

kekerasan kolektif.14

Dengan demikian, penting untuk melihat subkultur Neonazi secara

sosiologis, untuk melihat struktur ekonomi politik yang menjadi konteks gerakan Neonazi. Meskipun begitu, cukup disadari bahwa struktur ini tidak cukup

memberi jawaban mengenai kebencian mereka terhadap kaum imigran. Para pendatang asing ini dianggap sebagai parasit. Mengobyekkan yang Lain sebagai

sumber rasa takut adalah sebuah strategi psikis untuk ego yang mengalami krisis. Penegasan diri ditemukan dalam tindakan kolektif destruktif terhadap yang Lain

sebagai cara menghilangkan Si Jahat sumber ketakutan.15

Konsep mengenai Diri dan yang Lain berguna untuk melihat bagaimana

kelompok Neonazi menggunakan simbol-simbol mereka untuk mendefinisikan diri dan menyatakan sikap terhadap para imigran asing. Fungsi simbol ditemukan

dalam hubungan simbol ini ke dalam, tentang Diri, dan ke luar, tentang yang Lain.

13

F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma

(25)

10 Di sisi yang lain, keberadaan subkultur ini bisa dipandang sebagai salah satu dari

yang Lain. Berada dalam jalinan kultur dominan, keberadaan mereka juga bagian minoritas dalam acuan nilai dominan.

Dalam studi subkultur, gaya subkultur merupakan suatu dinamika, yang menurut Culler berada dalam rentetan alih-ubah rangkaian item yang mengacu

pada susunan internal polarisasi.16 Penggunaan gaya yang sama oleh aliran yang berbeda merepresentasikan dinamika ini, misalnya gaya skinhead klasik berhadapan dengan Skinhead Nazi. Polarisasi ini dinyatakan secara terbuka dalam

pengambilan gaya itu sendiri atau pada pernyataan diri. Kejengkelan kelompok Skinhead klasik menggambarkan polarisasi ini, yang dinyatakan melalui

kategorisasi dan pernyataan diri dalam kategori tertentu yang berbeda dengan Skinhead Nazi. Dalam perjumpaaannya dengan subkultur yang lain, terjadi

dinamika yang menjadi tarik ulur kekuasaan di antara mereka.

Subkultur berada dalam konteks jamannya dan berhadapan dengan kultur

dominan dan subkultur yang lain. Subkultur Neonazi berhadapan dengan kultur dominan yang tercermin lewat negara, dengan kebijakan politik Jerman untuk

melindungi pengungsi, mendukung globalisasi ekonomi berikut aspek dan efek multikulturalnya. Jerman merupakan negara yang menyatakan diri sebagai negara

demokrasi, dan mencantumkan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam undang-undang dasarnya.

(26)

11 Globalisasi, walaupun ditentang oleh gerakan politis Neonazi, turut

menentukan dinamika Neonazi. Dalam prakteknya banyak dari subkultur ini yang tidak bisa dikatakan murni Jerman. Pembuatan website dengan provider dari

Amerika Serikat atau membuat situs yang beralamat di luar negeri adalah bentuk dari cara berkelit dari aturan negara. Jerman melarang adanya propaganda

Nazisme, tapi dibebaskan di Amerika Serikat, atas nama kebebasan berpendapat. Menurut Hebdige, persoalan subkultur lebih diletakkan pada momen luapan tontonan yang singkat dan alih ubahnya ketimbang pada obyeknya

sendiri.17 Dengan demikian kajian subkultur tidak terlepas dari kajian mengenai masyarakat yang menjadi konteks dan memiliki historisitas dalam pembentukan

subkultur tersebut.

Penelitian ini menggunakan 3 perspektif dalam melihat fenomena Neonazi,

yaitu:

perpektif Marxisme, untuk melihat konteks sosial ekonominya, perspektif

Semiotika untuk melihat simbol yang digunakan serta melihat ideologi (nilai) dalam ekspresi kelompok, serta psikoanalisa untuk melihat perilaku subkultur

Neonazi.

5. Kerangka Penulisan

Penelitian ini akan menggunakan skema penulisan sebagai berikut:

A. Sejarah dan Kebangkitan Neonazi

17

(27)

12 Bagian ini merupakan telaah umum mengenai ideologi Nazi. Neonazi diletakkan dalam distansi dari Nazi „lama‟sebagai perbandingan antara arus

ideologi Nazi dan Neonazi. Apakah Neonazi ini mengadopsi sepenuhnya

nilai-nilai Nazi lama? Bagaimana ideologi ini diadopsi? B. Konteks Sosial Ekonomi Jerman Era Neonazi

Kebangkitan Neonazi berhubungan erat dengan konteks sosial-ekonomi Jerman kontemporer. Dalam beberapa hal, kekecewaan kaum muda terhadap kondisi sosial ekonomi Jerman memicu tumbuhnya gerakan ini. Frustasi

ekonomi yang menuju pada gerakan „fundamentalis‟ini menjadi salah satu aspek dalam wajah bopeng Jerman.Alih-alih dimusnahkan, ideologi dalam

sejarah gelap Jerman ini justru hidup kembali dalam kultur anak muda Jerman. C. Subkultur Neonazi

Bagian ini akan secara lebih mendalam membahas fenomena subkultur Neonazi. Bagian ini menjadi inti dari penelitian ini, dengan menggunakan

pencarian dan pemeriksaan data yang didapatkan peneliti. Penelitian mencakup lambang-lambang simbol, gaya, penampilan, dll.

D. Neonazi dalam Konteks Jerman Kontemporer

Implikasi metodologis dari pembahasan subkultur adalah pembahasan pada

kelompok mainstream di luar kelompok ini, pada bagaimana mereka menanggapi isu Neonazi, berikut simbol, ideologi dan perilaku mereka.

(28)

13

6. Metode

a. Strategi Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dan eksploratif, yaitu menggali data-data dari

fenomena subkultur Neonazi.

Karena sensitivitas persoalan Neonazi yang rasis dan anti-imigran berhadapan

dengan subjek peneliti (perempuan, imigran, dan kulit berwarna), maka studi ini akan melihat fenomena subkultur Neonazi sebagai orang luar. Posisi ini menjadi keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian akan dilakukan sedekat mungkin

pada kelompok ini sejauh memungkinkan.

Penelitian mengenai subkultur ini sebenarnya ingin diarahkan pada sebuah

studi etnografis yang lebih partisipatoris. Ini menjadi gambaran ideal yang harus berhadapan dengan keterbatasan penulis. Sebagai Ausländer dengan kulit

berwarna, peneliti mempunyai kesulitan untuk melakukan pendekatan terhadap kelompok ini. Dalam beberapa pengalaman, mereka sudah menunjukkan sikap

penolakan terhadap peneliti ketika mendekati mereka.

Pengalaman pribadi penulis sebagai kulit berwarna berhadapan dengan

kelompok Neonazi atau orang berhaluan ekstrem kanan menjadi bagian tak terpisahkan dari penelitian ini. Posisi peneliti menjadi bagian dari sisi refleksif

penulisan penelitian.18 Hal ini berpengaruh pada teknik penelitian yang bervariasi dari „just being around“ (mengamati sambil „jalan-jalan“) hingga wawancara

(29)

14 b. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut: 1. Observasi

Pengamatan terhadap simbol-simbol, ekspresi dan bahasa subkultur Neonazi 2. Wawancara Mendalam

Wawancara terhadap anggota kelompok Neonazi, pemerhati Neonazi, dan kelompok mainstream di luar subkultur tersebut.

3. Hasil penelitian lain terhadap subkultur Neonazi

4. Pengalaman individu penulis berhadapan dengan orang Neonazi. Posisi penulis sebagai seorang kulit berwarna merupakan pengalaman langsung

mengenai sikap kalangan Neonazi terhadap penulis sebagai Ausländer.

c. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini memilih kota Berlin, Dresden, dan Karlsruhe. Berlin

sebagai ibukota dan metropolitan Jerman sarat dengan dinamika multikultur, termasuk di dalamnya subkultur Neonazi. Kota yang lain adalah Dresden, dengan

pertimbangan bahwa kota ini bagian dari daerah bekas Jerman Timur di mana dukungan terhadap kelompok ini sangat besar. Karsruhe adalah sebuah kota di

bagian yang dulunya wilayah Jerman Barat, di mana dapat ditemukan anak muda dengan orientasi kanan.

18

(30)

15 Penelitian ini mengambil fokus pada simbol-simbol yang dipakai oleh

kalangan Neonazi akhir-akhir ini, yang sebagian besar merupakan dokumentasi media, surat kabar, majalah, serta pemberitaan organisasi nirlaba. Penelitian

mengenai tanda juga dihubungkan dengan pengalaman penulis sebagai bagian dari masyarakat Jerman dan sekaligus „Ausländer‟.

7. Signifikansi Penelitian

Meskipun dilakukan di luar Indonesia, menurut penulis penelitian ini memiliki signifikansinya dalam melihat bangkitnya gerakan-gerakan fundamentalis yang

muncul dalam konteks Indonesia. Gerakan-gerakan tersebut merupakan minoritas yang termanifestasikan dalam gerakan subkultur, yang dalam perkembangannya

cukup meresahkan karena potensi anarkisnya. Pemahaman akan fenomena ini membantu kita untuk lebih jauh melihat persoalan-persoalan yang menjadi

(31)

16

BAB II

GERAKAN NEONAZI DI JERMAN:

RASISME SEBAGAI POLITIK IDENTITAS BERHADAPAN DENGAN

YANG LAIN

Bagian ini merupakan pemaparan mengenai kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Jerman yang melatarbelakangi munculnya gerakan Neonazi di

Jerman. Meskipun nazisme berasal dari Jerman, gerakan Neonazi tidak hanya terdapat di negara asalnya. Gerakan ini ada di berbagai negara di luar Jerman,

seperti di Inggris, Swedia, Amerika Serikat, Prancis, Italia, dalam jaringan skinhead1 atau divisi anak muda seperti Blood and Honor2. Gerakan Neonazi berada dalam spektrum yang luas, dari mereka yang merupakan garis kanan keras

dan terorganisasi, partai politik, sampai ke klik anak muda yang mengekspresikan dirinya dalam simbol-simbol nazisme. Kelompok terakhir inilah yang menjadi kajian penelitian ini dalam hubungannya dengan studi mengenai interaksi anak

muda dan wilayah simbolik.

1. Neonazi di Jerman: Dari Gerakan Politik ke Sebuah Subkultur Anak Muda

Istilah Neonazi secara umum berarti gerakan yang berusaha

membangkitkan kembali semangat nasionalisme yang berkiblat pada gerakan Nationalsozialismus (sosialisme nasional), disingkat Nazi era Hitler. Bersama

dengan waktu dan dinamikanya, istilah ini menjadi spesifik mengacu pada

1

Kent Lindahl, Janne Mattson, EXIT Ein Neonazi steigt aus, Deutscher Taschenbuch Verlag, Munchen, 2001, hlm. 136-137.

2

(32)

17 subkultur ekstrem kanan tertentu. Secara kasat mata, mereka dapat dikenali dari

gaya mereka berpakaian, berikut simbol-simbol yang dikenakan, kepala plontos, jaket bom, pakaian serba hitam, serta sepatu boot, tato, simbol Nazi, dan lain-lain.

Pemakaian lambang dan simbol oleh kelompok ini merupakan jalinan dari dinamika kelompok berhadapan dengan kelompok atau subkultur yang lain. Secara sekilas mungkin seorang Skinhead tampak sebagai seorang Neonazi

Skinhead karena keduanya berkepala plontos. Tapi secara ideologis, mereka bisa sangat berseberangan. Kelompok Skinhead klasik berasal dari Inggris dan mereka

mengambil gaya ini untuk menolak rasisme kelas menengah kulit putih pada tahun 1960-an. Neonazi Skinhead mengambil gaya ini untuk menunjukkan kelompok mereka yang rasis. Subkultur Neonazi mengambil beberapa gaya hidup

juga dari kelompok-kelompok yang menentangnya, seperti kelompok Antifa (Anti Fasisme) yang berbaju serba hitam. Permainan bahasa gaya dan simbol menjadi salah satu strategi untuk bertahan dan menggunakan simbol Nazisme di tengah

larangan dari negara terhadap simbol dan gestur ala Nazi lama, serta tentangan dari kelompok anti Nazisme.

Gerakan Neonazi muncul di Jerman sekitar tahun 1945, ketika NSDAP (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei) menjadi partai yang dilarang. Gerakan ini menguat secara fenomenal pada tahun 1990an terutama di kalangan

anak muda, dengan bentuk subkultur berhaluan ekstrem kanan. Aktivitas mereka cukup meresahkan pemerintah dan masyarakat Jerman, terutama berkaitan dengan

(33)

18 bentuk kelompok „Kameradschaft‟, ikatan pemuda. Perkumpulan ini menjadi bibit

dari subkultur anak muda Neonazi dan pendukung partai nasionalis seperti NPD (Nationaldemokratishe Partei Deutschland).

Sampai tulisan ini dibuat, Neonazi merupakan sebuah `heisses Thema‟ (tema panas) di kalangan masyarakat Jerman, sehubungan dengan pro-kontra mengenai keberadaan mereka. Keberadaan mereka dianggap meresahkan terutama

karena melibatkan anak-anak muda. Beberapa kelompok orangtua berinisiatif membentuk kelompok untuk saling mendukung orangtua yang lain ketika

anak-anak remaja mereka terlibat dengan kelompok ekstrem kanan ini. Para orangtua menemukan anak remaja mereka berperilaku „menyimpang‟ baik dari perilaku, cara bertutur, dan cara berpakaian mereka. Beberapa yang lain bahkan menjadi

takut oleh anak mereka sendiri. Kelompok seperti EXIT adalah salah satu contoh dari kelompok yang berusaha menarik kembali anak-anak mereka dari kelompok Neonazi.3

Beberapa pemerintah kota melarang adanya demontrasi yang dilakukan oleh kelompok Neonazi di kota mereka, seperti yang terjadi di Ettlingen tahun

2006.4 Beberapa kelompok juga menolak adanya rumah Neonazi di daerah mereka, seperti yang dilakukan oleh kelompok kiri di Weitlingsraße,

3

www.exit-deutschland.de

4

Pelarangan demo ini dilakukan oleh kota Ettlingen, terjadi pada tanggal 1 Desember 2006. Perintah pelarangan demo ini dikeluarkan oleh pengadilan administrasi

(VGH/Verwaltungsgerichtshof) Baden-Wütternberg („Neonazi-Demo in Ettlingen verboten“,

(34)

19 Lichtenberg, Juni 1990. Mereka melakukan dalam aksi hujan batu terhadap rumah

pemimpin Neonazi beserta anggotanya.5

Pelarangan demo Neonazi mengundang protes dari kalangan Neonazi

karena dianggap bertentangan dengan kebebasan bersuara. Kelompok Neonazi berpandangan bahwa mereka berhak untuk menyatakan pendapat sesuai dengan demokrasi yang dianut Jerman. Sementara pihak pemerintah menyatakan

penolakan terhadap rasisme dan gerakan ekstrimis.

Di sisi lain, gerakan Neonazi membawa tema-tema krusial seputar masalah

yang dihadapi oleh Jerman. Masuknya Ausländer atau warga negara asing dengan berbagai alasan adalah sebuah tema sensitif. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah Jerman untuk melindungi pengungsi turut menjengkelkan

sebagian masyarakat Jerman yang harus bekerja dan membayar pajak tinggi untuk menghidupi mereka. Tenaga kerja asing juga menawarkan upah yang lebih rendah daripada orang Jerman. Untuk bidang pekerjaan kasar dan berat, tenaga kerja

asing mengambil jatah lapangan pekerjaan bagi orang Jerman. Gerakan Neonazi membawa tema-tema seputar pembelaan terhadap warga negara sendiri, yang juga

menjadi masalah warga Jerman sendiri berhadapan dengan Ausländer.

2. Latar Belakang Ekonomi Politik Jerman: Imigrasi dan Politik Multikultur

Setelah Perang Dunia II, Jerman merupakan negara yang paling cepat bangkit dari keterpurukannya. Banyak pihak menilai kebangkitan ini adalah

5

(35)

20 sebagai kemauan dan semangat rakyat (unser Volk) untuk membangun Jerman

kembali. Karena kurangnya tenaga kerja, negara ini mengundang tenaga kerja asing dengan ikatan kontrak untuk bekerja di Jerman, seperti dari Italia, Spanyol,

Brazil, dll. Mereka mengisi kekosongan untuk pekerjaan kasar yang kurang diminati oleh warga Jerman.6 Para pekerja ini menetap dan mempunyai keturunan di Jerman. Maka banyak ditemui orang-orang keturunan dari negara-negara

tersebut yang lebih merasa fasih berbahasa Jerman daripada bahasa ibunya. Jerman dengan segera menjadi salah satu negara dengan peningkatan

ekonomi dan menjadi negara yang terkemuka di Eropa pasca perang. Dalam percaturan ekonomi dunia, Jerman adalah pemenang ekonomi. Karena daya tarik ekonominya, Jerman menjadi salah satu tujuan imigrasi dari berbagai negara

untuk mencari penghidupan.

Pada tahun 1968, tercatat sekitar 2,6 juta warga asing di Jerman Barat sejak dibukanya pasar tenaga kerja bagi warga asing tahun 1955 yang berada di

kisaran 280.000. Berbeda dengan Jerman Timur yang berorientasi komunis, tidak ditemukan angka yang pasti mengenai jumlah imigran di negara tersebut. Tenaga

kerja asing diijinkan tinggal selama 4 tahun berdasarkan kontrak kerja. Setelah itu mereka harus kembali ke negaranya. Tetapi tidak terdapat peraturan mengenai keluarga yang ikut pindah. Sampai akhir tahun 1989, tidak terdapat catatan resmi

mengenai warga negara asing di Jerman Timur. Catatan ini menjadi rahasia

6Beberapa jenis pekerjaan menjadi ‚spesifikasi‟ bangsa tertentu, biasanya pekerjaan berat yang

tidak membutuhkan ketrampilan khusus, seperti orang Portugis dan Turki untuk pembangunan jalan, Italia untuk restoran atau rumah makan, Yugoslavia untuk pekerjaan bangunan. (Helga

(36)

21 negara. Pada tahun 1991 tercatat sekitar 120.000 warga negara asing di bekas

wilayah Jerman Timur.7

Meningkatnya imigrasi warga negara asing ke Jerman memberi perasaan

takut dan tidak aman terhadap sebagian warga Jerman. Bersama dengan itu, sulit membedakan status dari para imigran, apakah pekerja, pengungsi, ilegal, atau korban perang, kekerasan dan kemiskinan di negara asalnya. Para imigran atau

warga asing dari luar Jerman ini secara umum disebut sebagai „Ausländer‟ Warga negara asing dapat memiliki ijin untuk tinggal di Jerman sebagai orang dalam

perjalanan (transit), wisatawan, pemilik perusahaan, diplomat, pengungsi, peminta suaka perlindungan, atau mengikuti keluarga yang tinggal di Jerman. Bagi warga negara dari Uni Eropa, mereka dapat tinggal dan mendapat ijin kerja tak terbatas

seperti warga Jerman yang lain.8

Tahun 1973 pemerintah Jerman Barat menerapkan Anwerberstopp, yakni larangan untuk melakukan perjalanan ke negara ini untuk bekerja. Pada tahun

tersebut, terjadi angka pengangguran yang sangat tinggi karena krisis minyak dunia.9

Di Jerman Timur, kebijakan untuk mendatangkan tenaga kerja asing dimulai sejak tahun 1966 dengan tenaga kerja dari Polandia, diikuti Hungaria (1967 dan 1973), Algeria (1974); Kuba (1978), Mosambik (1979), Vietnam

(1980), Angola (1984) dan Republik Rakyat Cina (1986). Negara-negara tersebut adalah negara-negara partner yang sama-sama berbasis pemerintahan komunis,

7Helga Hermann, „Vorbemerkung“, dalam Informationen zur Politische Bildung

(37)

22 merupakan negara berkembang yang didominasi oleh pembangunan agraria daripada industri. Tujuannya adalah „bantuan ekonomi‟ agar ketika mereka

kembali dapat membangun negaranya. Pada kenyataannya, penerimaan tenaga

kerja ini dilatarbelakangi dengan kepentingan ekonomi sebagai tenaga kerja bagi industri di Jerman Timur. Tidak begitu jelas, apakah upah mereka dibayarkan sesuai dengan perjanjian. Yang terjadi adalah, pemotongan sebesar 15% dari gaji

untuk membangun negara mereka.10

Sistem ketenagakerjaan Jerman Timur yang dikenakan terhadap para

pekerja ini sangat ketat.11 Mereka diatur dan dikontrol dengan peraturan kerja, termasuk di mana mereka harus tinggal. Pengaturan ini menyebabkan mereka tidak bisa melakukan kontak dengan penduduk asli Jerman. Kondisi ini

menyebabkan kecenderungan sikap bermusuhan terhadap Ausländer di Jerman Timur.

Setelah Jerman bersatu pada tahun 1990, banyak tenaga kerja dari Jerman

Timur yang mencari pekerjaan di Jerman Barat, termasuk tenaga kerja asingnya. Mereka memiliki pilihan untuk tetap tinggal di Jerman hingga kontrak berakhir,

atau pulang ke negara asalnya. Mereka yang diuntungkan dari biaya pulang adalah dari Angola, Mozambik, dan Cina yang menjadi gelombang pulang ke tanah air hingga akhir 1990. Sebagian lainnya menjadi pengangguran karena perusahaan

tidak menerima mereka lagi. Di saat yang sama, nuansa permusuhan terhadap

10

Seperti contoh, mereka memotong gaji bersih tenaga kerja dari Vietnam sebesar 12 % untuk ditransfer langsung ke Vietnam, atau diperhitungkan dengan hutang Vietnam kepada pemerintah Jerman Timur (Hermann, ibid.)

11

(38)

23 warga negara asing semakin terlihat.12 Suasana permusuhan ini turut dipengaruhi oleh propaganda organisasi dan partai ekstrem kanan dari bekas wilayah Jerman Barat yang berusaha menancapkan kakinya di wilayah bekas Jerman Timur. Di

wilayah baru ini, mereka menemukan ladang subur ideologi berupa mentalitas yang memiliki kelemahan pada pengalaman demokrasi. Dengan segera sikap kebencian terhadap Ausländer mewujud dalam tindakan diskriminasi dan kultur

kekerasan terhadap yang asing. Ambruknya sistem politik di Jerman Timur turut mempengaruhi rasa tidak aman pada warga di Jerman Timur.13

Ketika Tembok Berlin diruntuhkan pada November 1989, sebagai bagian dari proses Jerman bersatu, banyak dari pekerja Vietnam meminta suaka ke wilayah Jerman Barat. Masalah pencari suaka menjadi tema krusial di kemudian

hari.

Pencari suaka terjadi pada pertengahan tahun 70an, berasal dari negara-negara di blok Timur, diikuti negara-negara di Oriental. Tercatat 116.400 pencari suaka,

jumlah yang besar untuk seluruh Jerman Barat dan Timur, yang pada saat itu bukan merupakan masalah yang besar. Setelah tahun 1975, datang para pencari

suaka dari negara-negara di Asia dan Afrika. Pada pertengahan tahun 1992 tercatat rekor sebanyak 187.455 pencari suaka.14

Jerman merupakan negara yang mengikuti politik luar negeri Hak untuk

Pencari Suaka, dengan memberikan suaka perlindungan pada orang yang di

12

Helga Hermann, Ursachen und Entwicklung der Ausländerbeschäftigung, dalam Informationen, ibid.

13

Hans-Gerd Jaschke, Nach Hitler Radikale Rechte rüsten auf, (München: C.Bertelsman Verlag, 2001),hlm.17.

14

(39)

24 negaranya terancam atau diusir. Ini diatur dengan Undang-undang Dasar Artikel

16 Pasal 2 ayat 2 mengenai politik atas hak mencari suaka, yang bunyinya: Republik Jerman menerima warga negara asing, yang mendapat ancaman politik

dengan hak mencari suaka.15 Mereka mendapat hak untuk tinggal di Jerman dan mendapat tunjangan hidup dari pemerintah Jerman. Sampai pertengahan tahun 1991 terdapat larangan bekerja selama 5 tahun untuk para pengungsi. Efek dari

peraturan ini ternyata kontraproduktif, karena tanpa bekerja isolasi sosial mereka semakin besar, mengalami gangguan psikologis dan fisiologis, dan tidak jarang

menjadi pecandu dan pelaku kriminal. Karena pertimbangan ini, sejak 1 Juli 1991 para pengungsi diijinkan untuk bekerja. Dengan demikian, mereka mendapatkan fasilitas tunjangan pencari suaka dari pemerintah serta penghidupan dari bekerja.

Bersama dengan berjalannya waktu, kedatangan pencari suaka ke Jerman tidak lagi bermotif politik-karena terancam di negara asalnya. Motif mereka lebih karena alasan ekonomi: mencari penghidupan yang lebih baik. Dengan

meningkatnya kebebasan di Eropa, pengungsi dan pencari suaka politik menyerbu ke wilayah ini. Sekitar 60% dari pencari suaka ke Eropa memilih untuk tinggal di

Jerman. Secara finansial, surat ijin masuk dan tinggal di Jerman adalah yang paling murah di antara negara-negara lain di Eropa.16Mereka berusaha masuk ke Jerman dengan alasan apa pun. Alasan ini tidak bisa terkontrol dan merupakan

penyalahgunaan undang-undang perlindungan hak suaka. Media memberitakan penyalahgunaan hak suaka untuk mendapatkan tunjangan, misalnya penggunaaan

identitas yang berganti-ganti untuk meminta tunjangan dari organisasi di kota lain.

15

Politisch Verfolgte genießen Asylrechts“ (Artikel 16 Absatz 2 Satz 2), dalam Informationen,ibid.

16

(40)

25 Beberapa oknum pencari suaka juga menyalahgunakan keberadaan mereka di

Jerman untuk menjual obat-obat terlarang dan psikotropika. Kondisi ini menyebabkan stereotipe negatif mengenai para pencari suaka di kalangan

masyarakat Jerman.

Stereotipe ini berkembang dan menjadi wacana umum di masyarakat Jerman mengenai pencari suaka, meskipun banyak bukti dan statistik yang

menunjukkan tuduhan terhadap pengungsi tersebut tidak benar. Wacana lain yang berkembang adalah bahwa mereka makan dari uang rakyat melalui pajak yang

dibayarkan kepada negara, atau Ausländer sebagai perebut pekerjaan rakyat Jerman. Wacana ini muncul dalam bentuk jargon mengenai Ausländer serta kritik terhadap kebijakan politik, serta menjadi salah satu tema yang paling ‚digemari‟

dalam kampanye politik.

Jerman termasuk negara yang menganut sistem demokrasi. Dasarnya adalah pada pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dinyatakan di dalam

undang-undang dasarnya. Salah satu bentuknya adalah dengan penolakan terhadap perlakuan yang tidak adil terhadap manusia yang lain karena

perbedaannya.17

3. Rasisme: Sejarah Jerman dan ‘Ausländer’

Sejarah rasisme Jerman telah diwarnai dengan politik Nazisme hingga Perang Dunia II. Warna rasisme ini masih ada di Jerman pasca perang, dengan ‟musuh‟

(41)

26 yang berbeda. Bila dalam era Nazi musuh ini adalah orang Yahudi, setelah perang

adalah Ausländer yang membanjiri Jerman. Wajah rasisme ini ditemukan dalam sikap permusuhan terhadap yang asing hingga ke bentuk kekerasan. Dalam

konteks rasisme Neonazi, Diri (Self) dipandang sebagai “Manusia yang Lebih“ (Übermensch) berhadapan dengan yang Lain (Other), Ausländer „Bukan Manusia“(Untermensch)18. Dalam bab ini, istilah Diri sebagai bagian dari

masyarakat Jerman berhadapan dengan yang Lain sebagai Ausländer (termasuk kaum homoseksual orang-orang kiri). Dalam sebuah masyarakat dengan kontak

sosial, Mereka diciptakan dalam sebuah distingsi dengan Kita, karena ciri-ciri fisiknya, perbedaan orientasi seksual, perbedaan pandangannya. Kata „di

hadapan“ berarti hubungan konfrontatif yang bervariasi dari pengambilan jarak

sosial tanpa kekerasan, seperti rasa tak suka dan mengabaikan, sampai pada konflik dengan kekerasan.19

a. Rasisme sebagai Penemuan Identitas tentang „Diri‟

Imigran terbesar di Jerman datang dari Turki, yang mencapai 7% dari seluruh populasi penduduk di Jerman yang hanya 82 juta jiwa. Kondisi ini

menyebabkan ketakutan tersendiri dalam masyarakat Jerman akan sebuah gelombang besar rakyat ‟Lain‟ yang akan mendominasi Jerman.20

Bahkan terdapat sebuah parole bahwa Jerman adalah propinsi ke-68 dari Turki.21

18

Perbedaan ini ditentukan oleh ciri-ciri fisik, seperti warna kulit. Pandangan rasisme ini melihat kulit putih sebagai ras dengan kualifikasi yang lebih tinggi.

19

F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 10-11.

20

Lihat lampiran tentang statistik imigran di Jerman. Pendatang dari Turki adalah yang terbanyak, 1739 000 jiwa dari 6,7 juta imigran. Statistische Bundesamt, 2006. http://www.learn-line.nrw.de

21

(42)

27 “Überfremdung“ adalah ketakutan akan banyaknya orang asing di negara sendiri

yang mengancam keberadaan penduduk asli.

Dalam wawancara dengan seorang Neonazi, Max mengatakan bahwa

ketika terlalu banyak orang asing akan terjadi ‟Überfremdung‟, dia ada di Jerman tetapi seperti di negara lain. Katanya kepada penulis,“Kalau cuma kamu, satu orang di Indonesia di Kleinsteinbach22 nggak begitu masalah, tapi kalau ada 400 orang Turki di Berghausen23, sementara penduduk Jerman di sana hanya 2000 orang, rasanya kau sudah tidak ada di tanah airmu sendiri.“ Perasaan ini juga

terungkap dalam pengamatannya ketika dia berada di rumah penulis yang penuh barang-barang dari Indonesia, “Banyak terjadi di Jerman, terlalu banyak perubahan, sehingga orang mulai kehilangan identitasnya, mereka berada di

Jerman tetapi memakai barang-barang dari Cina. Coba saja lihat di sini, kamu berada di Jerman, tapi rasanya seperti berada di Indonesia “.

Rasa terancam ini mengakibatkan orang mencari perlindungan pada fiksasi

akan identitas. Fiksasi ditemukan lewat perasaan lebih tinggi atas yang lain entah itu dari segi material, warna kulit, jenis kelamin, atau ras. Rasisme adalah

kepercayaan bahwa suatu ras lebih tinggi daripada yang lain, dan suatu sifat melekat pada suatu komunitas ras tertentu karena perbedaan ras ini. Rasisme di Jerman mengunggulkan kulit putih sebagai ras Tuan, terutama karena mereka

adalah bagain dari ras Aria, kelompok kulit putih yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan kulit putih yang lain. Gambaran ideal tentang ras Aria ini

didasarkan pada pandangan diri sebagai keturunan bangsa Viking yang memiliki

22

Desa kecil di wilayah Landkreis Karlsruhe, Baden-Wüttemberg, tempat penulis tinggal, dihuni sekitar 2500 jiwa.

23

(43)

28 kelebihan dari segi fisik, lebih besar dan kuat, serta jauh lebih cerdas

dibandingkan dengan ras yang lain.

Gambaran tentang sebuah masyarakat homogen Aria ini berusaha diwujudkan

dalam sebuah masyarakat ideal „Dritte Reich‟, Kekaisaran Ketiga24. Pandangan ini diusung sebagai sebuah gerakan politik oleh Hitler beserta partainya Nazi. Mereka yang bukan merupakan bagian dari gambaran ideal bangsa Aria harus

dimusnahkan. Pemerintahan diktator ini menetapkan sebuah ‟bingkai‟ mengenai mereka yang berada di dalam bingkai sebagai rakyat Aria, dan siapa yang berada

di luarnya.

Musuh yang paling utama dan ditakuti karena mengancam keberadaan ras Aria di wilayahnya adalah warga Yahudi. Jumlah mereka cukup besar di wilayah

Jerman dan memiliki citra sebagai orang kaya dan rentenir di antara orang-orang Jerman yang masa itu berada dalam kemiskinan. Karena potensinya yang mengancam ini, orang Yahudi dianggap sebagai musuh bersama orang Jerman.

Merekalah yang berada jauh di luar bingkai dan dipandang yang paling perlu ‟dididik‟ menjadi warga negara yang baik, dikumpulkan dalam ghetto-ghetto dan ‟dijinakkan‟.

Inilah yang kemudian terjadi pada “Shoah“, sebuah tragedi kemanusiaan yang memusnahkan 6 juta penduduk Yahudi. Pemusnahan ini merembet seperti efek

obat nyamuk bakar. Yahudi berada di lingkaran terluar dan terdahulu dimusnahkan. Kemudian merembet ke lingkaran lebih dalam, orang-orang yang

24

Terjemahan ini menjadi tidak terlalu pas dalam bahasa Indonesia. Reich dalam bahasa Inggris disebut Imperium, sebuah wilayah kekuasaan yang besar berdasarkan ekspansi wilayah. Kata

(44)

29 dianggap ‟tidak ideal‟ sebagai rakyat bangsa Jerman: orang-orang yang tidak

produktif, penyandang cacat, orang tua, homoseksual.

Sejarah ini seperti terulang pada warga Turki di Jerman saat ini, mereka

menjadi salah satu musuh yang diburu oleh para ekstrem kanan dan menjadi sasaran kekerasan. Bahkan salah satu band menamakan diri sebagai “Turken Jäger“(Pemburu Turki). Beberapa kalangan termasuk orang Turki sendiri menyebut dirinya sebagai ‟Yahudi masa kini‟ di Jerman.

Orang Turki adalah sebagian dari musuh yang diciptakan oleh kelompok

ektrem kanan. Dengan orientasi politik kepada sebuah masyarakat homogen berdasarkan ras, mereka menumbuhkan perasaan permusuhan terhadap orang-orang yang tidak termasuk dalam Frame ideal: Ausländer, pengungsi. Orang

Jerman juga termasuk dalam kategori musuh bila mereka dianggap sebagai ‚penyakit‟ masyarakat: kelompok kiri, punks, kaum homoseksual, pecandu

alkohol dan gelandangan.

b. Ausländer sebagai „Other‟

Istilah Ausländer sebenarnya bermakna sangat umum, yaitu warga asing. Dalam konteks mengenai rasisme, istilah ini mempunyai konotasi yang negatif, yaitu „mereka yang berada di luar kita dan hidup pada (dari) kita‟. Istilah ini

mempunyai potensi yang sewenang-wenang karena mengimplikasikan suatu kategori tertentu pada mereka yang nampak bukan sebagai orang Jerman, mereka

(45)

30 Adanya jargon “Deutschland den Deutschen, Ausländer raus” (Jerman

untuk bangsa Jerman, orang asing keluar) hingga ke kekerasan fisik adalah warna dari permusuhan terhadap yang asing ini.

Kekerasan berupa kata-kata dapat dilihat pada sebutan bagi yang Lain. Sebutan bagi Ausländer dan kelompok musuh dari kalangan ekstrem kanan cukup beragam, dan berkonotasi negatif. Tidak begitu jelas darimana asal-usul sebutan

tersebut, namun dia digunakan dan cukup dikenal oleh orang-orang di luar kelompok ekstrem kanan, misalnya:

Kanaken, Kana, atau Kake, yaitu sebutan untuk kotoran manusia yang

dikenakan pada Ausländer, biasanya dengan kulit berwarna.

Zecke, adalah serangga parasit sejenis caplak yang menghisap darah

korbannya dan seringkali memasukkan virus dan bakteri ke aliran darah

korban. Sebutan ini dikenakan untuk kaum kiri, seperti punks dan subkultur hippies, karena mereka dianggap sebagai parasit yang hidup dari

uang negara. Di satu sisi, kaum kiri juga menggunakan istilah ini untuk menyebut dirinya sendiri dengan konotasi yang positif karena mereka menjadi parasit untuk musuhnya.

Parasiten, yang berarti parasit, ditujukan pada mereka yang dianggap

sebagai parasit di Jerman, misalnya pengungsi.

Nigger, sebutan untuk orang dengan kulit hitam (Afrika).

Fiji, sebutan untuk orang dengan penampilan oriental, berkulit kuning,

bermata sipit, dan berambut gelap seperti orang keturunan Cina, Vietnam.

(46)

31 adalah sebuah suku bangsa di kepulauan Polinesia, yang ciri-ciri fisiknya

jauh dari orang Cina. Sebutan ini menjadi mode akhir-akhir ini terutama di kalangan anak muda.

Zigeuner, sebutan untuk para pengelana dari Eropa Timur seperti kaum

Gipsi Rumania. Biasanya mereka dijauhi dan dianggap sebagai pencuri

oleh warga Jerman.

Kata-kata di atas tidak hanya digunakan oleh kelompok kanan, tetapi juga oleh orang kebanyakan yang diucapkan begitu saja, tanpa disadari konotasi rasisnya.

Seperti misalnya, dalam pengalaman seorang guru TK di Dresden, kata Fiji diucapkan oleh anak-anak TK berusia 3-5 tahun untuk mengolok-olok seorang

anak keturunan Vietnam. Dalam pengalaman penulis, ketika membicarakan seseorang kenalan dengan kulit berwarna dari Afrika, orang-orang di sekitarnya dengan enteng mengatakannya sebagai ‚Nigger„.

Kalimat seperti: Ausländer raus! (Ausländer Keluar!)–dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai bentuknya, dalam ungkapan

langsung atau diperhalus, dari pidato pejabat atau partai hingga orang kebanyakan. Ungkapan dan argumentasi mengenai Ausländer berangkat dari

stereotipe mengenai yang Lain dan menjadi wacana umum. Ungkapan berupa parole ini tidak sepenuhnya benar, namun kadangkala begitu meyakinkan karena terdapat fakta seolah-olah sedemikian adanya. Beberapa contoh dari parole

tersebut:25

25

(47)

32  Ausländer mengambil tempat kerja kita. (Di berbagai daerah, terdapat

tingkat pengangguran tinggi melebihi jumlah Ausländer yang hanya sebagian kecil. Jadi tidak adanya lapangan kerja bukan karena Ausländer)  Kalau Ausländer terus-menerus datang, segera tidak ada orang Jerman

disini.

Ausländer ingin diperlakukan seperti orang Jerman - tapi mereka

seharusnya pertama-tama harus belajar bahasa Jerman.

Ausländer merasa dirinya di rumahnya sendiri, namun tidak ada

ketertarikan sama sekali untuk menyesuaikan diri.  Ausländer menghabiskan uang kas kita.

Ausländer lebih kriminal daripada orang Jerman.

 Pencari suaka politik di sini sebagian besar adalah orang-orang dengan

kepentingan ekonomi.

Jargon ini seringkali menjadi argumen dari pihak ekstrem kanan untuk menempatkan Ausländer sebagai warga kelas dua. Sedangkan mereka meninggikan dirinya sebagai warga kelas satu karena memiliki „Kualitas darah

jerman‟. Di balik parole ini tersembunyi ideologi mereka untuk meruntuhkan

pertahanan orang lain dan membuat mereka sepakat dengan argumen ini. Mereka

mengambil dengan hati-hati „bahan‟ omongan mereka dan menempatkannya satu sama lain sehingga tampak logis. Dengan ini mereka mencoba mempengaruhi yang lain, menunjukkan diri sebagai orang penuh karakter dengan fantasi penuh

(48)

33 rasa takut yang begitu besar akan ketidakmampuan dirinya menghadapi yang

Lain.26

Perasasan terancam dan sikap bermusuhan terhadap yang Lain tidak

datang begitu saja. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa perasasan ini disosialisasikan sejak kanak-kanak dan usia sekolah.27 Dalam wawancara penulis dengan seorang pengikut Neonazi, dia mengatakan bahwa banyak hal dan „kebaikan‟ dari Adolf Hitler beserta ideologinya didengar dari kakeknya, seorang

polisi SS yang cukup dekat dengannya selama masa kanak-kanaknya.

Wacana rasisme mengenai Ausländer dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai bentuknya, dalam diskriminasi, stereotipe. Kaum ekstrem kanan mungkin sangat ekspresif dan ekstrem, bahkan hingga ke

kekerasan fisik dan menghilangkan nyawa. Dalam bentuknya yang lain, rasisme mungkin tidak bisa dicatat dan dilihat begitu saja, dia hanya dapat dirasakan.

4. Neonazisme : Ideologi hingga Kekerasan

Nazisme adalah wajah dari rasisme dalam bentuk ideologi negara hingga

aparatusnya. Nationalsozialismus (sosialisme nasional) adalah ideologi dari partai yang berkuasa di Jerman waktu itu (1933-1945), NSDAP.

Ideologi ini berusaha diusung kembali oleh kelompok ekstrem kanan di

Jerman, dengan ideologi nasionalisme. Partai politik dengan haluan kanan di Jerman saat ini adalah partai DVU (Deutsche Volksunion), Der Republikaner, dan

NPD (Nationaldemokratishe Partei Deutschland). Partai terakhir ini adalah partai

26

Ibid., hlm.11

27

(49)

34 yang paling mendukung gerakan neonazisme. Partai ini secara mengejutkan

mendapatkan perolehan suara yang cukup berarti di Jerman. Perolehan suara ini meningkat di beberapa daerah dengan pengikut ekstrem kanan yang cukup besar.

Perolehan suara yang cukup sukses pada tahun 2006 adalah di Sachsen, di mana banyak pemilih partai ini adalah anak muda dengan pemilihan suara pertama mereka.

Ideologi ekstrem kanan mewujud dalam berbagai bentuk seperti partai politik, organisasi ekstrem kanan, hingga ke subkultur Neonazi dan skinhead.28Pengikut ekstrem kanan ini banyak ditemukan di bekas daerah Jerman Timur di mana angka pengangguran sangat tinggi. Sejak tahun 1990 terjadi peningkatan angka kekerasan berbasis rasisme dan permusuhan terhadap orang asing di

wilayah-wilayah ini yang dilakukan oleh kalangan ekstrem kanan.29 Sebagaimana dilaporkan oleh Bundesamt für Verfassungsschutz tahun 199930, dalam 10 tahun sejak Jerman bersatu, telah terjadi perkembangan ekstrem kanan dalam sikap dan

simbol pada kultur anak muda, seperti misalnya ditunjukkan dengan jaket, sepatu boot, potongan rambut. Mereka menciptakan „zona nasional bebas‟ sebagai

wilayah kekuasaan mereka. Tindakan ini diikuti dengan tindakan kekerasan yang bersifat spontan.31

Ideologi ekstrem kanan muncul dari benih umbi nasionalisme dan rasisme.

(50)

35 bangsa ini bersifat homogen. Ideologi yang anti-pluralis ini dalam prakteknya

menyerang dan memusuhi mereka yang minoritas dan bukan dari etnis mereka.32 Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Bergmann/Leggewie dari 1400

kasus, 80-90% tindakan kekerasan berbasis rasisme yang dilakukan oleh anak muda dilakukan oleh mereka yang tidak berhubungan langsung dengan organisasi Neonazi atau Skinhead.33 Mereka tergabung dalam kelompok klik anak muda, hanya 1 atau 2 orang saja yang merupakan aktivis organisasi Neonazi. Ketika ditanya bagaimana mereka mendefinisikan diri, dengan sederhana mereka

menjawab:

“Wie sind gegen Ausländer, die Zecken sind dafur.“34

Waktu ditanya apa yang dilakukan oleh klik mereka, jawabnya:

„Ach, eigentlich nichts. Wir sitzen so ‟rum, rauchen, trinken, hören Musik, deutsche Musik, reden halt über das, was einem gerade so passiert ist, in der Schule oder Streß auf der Arbeit, über die Kana…, die Ausländer eben.“35

Klik subkultur anak muda ini jauh dari ide-ide teoritis dan strategis

mengenai politik. Kekerasan dilakukan kerena ideologi yang ‟sederhana‟, permusuhan dengan Ausländer. Korban dari tindakan kekerasan yang mereka lakukan biasanya adalah laki-laki dan dalam pandangan mereka ‟setidaknya satu tingkat di bawah mereka‟ dalam hirarki sosial. Korban mereka adalah mereka

yang dari warna kulit dan rambutnya dipandang sebagai Ausländer, orang kiri,

32

Nationalismus und Rassismus als Wurzeln, dalam Sachische Zeitung, hlm. 105

33

Klaus Farin, Neonazis (Auszug), http//:www.jugendkulturen.de

34

Terjemahan: Kami melawan Ausländer, dan Caplak (sebutan untuk orang kiri) termasuk di dalamnya. (Farin, ibid.)

35

Terjemahan: Ah, sebenarnya bukan apa-apa. Kami cuma duduk bersama-sama, merokok, minum, mendengarkan musik-musik Jerman, membicarakan hal-hal yang terjadi di sekolah atau

(51)

36 rambut warna-warni ‟Punks‟, atau orang Jerman yang dianggap lebih rendah dan

lemah, pecandu alkohol, gelandangan, dan mereka yang tergantung pada obat bius. Pekerjaan yang diinginkan oleh anak muda Neonazi bukan sesuatu yang

revolusioner, namun pekerjaan seperti polisi, penjaga perbatasan, atau tentara.36 Pekerjaan di masa depan yang didambakan adalah profesi yang maskulin, dan memberi jasa kepada negara dari tindakan kriminal dan yang ‟asing‟.

5. Musik

Musik merupakan bagian penting dari subkultur anak muda Neonazi. Sejak tahun 80-an grup musik ekstrem kanan di Jerman meningkat. Kelompok kanan ini ditandai dengan teks dan kecenderungan wacana yang diangkat dalam

teks lagu mereka. Kekerasan sebagai bentuk kesenangan pengalaman menjadi kecenderungan bermusik kelompok tersebut.

Salah satu subkultur yang cukup berpengaruh pada munculnya jenis musik

kanan adalah Skinhead. Awalnya kultur ini merupakan tandingan terhadap kultur Hippie, dengan menonjolkan identitas sebagai Harte Kerle‚ Anak Muda yang Keras‟. Awal 70-an subkultur ini mulai menghilang, dan muncul lagi sejak

kedatangan Punk pada tahun 1976-1977 di Inggris.37 Hal ini tidak lepas dari situasi politik di Inggris. Untuk mengumpulkan massa dari kalangan anak muda,

partai National Front (NF) di Inggris dengan menyebarkan ide nasionalisme dan anti imigran. Berhadapan dengan kultur dari kelompok pendatang koloni Inggris,

mereka menyebarkan semangat nasionalisme dan rasisme, seperti misalnya dalam

36

Karin, op.cit.

37

Gambar

Gambar Swastika (Hakenkreuz)
Gambar Reichsadler atau Elang Imperium
Gambar Gauwinkel
Gambar Landser
+4

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan tersebut terus mengalami penurunan jumlah barang yang dijual (dalam satuan wastafel) dari tahun 2010 sampai bulan Agustus 2014 dengan jumlah penjualan

Hubungan Keuangan Anggota Dewan Komisaris dengan Pemegang Saham Pengendali, Anggota Dewan Komisaris lain dan/atau anggota Direksi PT.. Hubungan Keuangan Anggota

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara masih menunggu hasil tes urine pejabat mereka yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN),Provinsi Sumut, belum lama ini.Pejabat yang positif

Observasi adalah metode pengumpulan data yang kompleks karena melibatkan berbagai faktor dalam pelaksanaannya. Metode pengumpulan data observasi tidak hanya mengukur

Pelaksanaan program kegiatan pengabdian kepada masyarakat berupa Pelatihan pengelolaan keuangan dan pemanfaatan bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah di Desa

Berdasarkan Keputusan Rapat Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan Kabupaten Ban 5 nimas pada tanggal 18 Juni 2015, dengan ini diumumkan hasil tes potensi dan

Untuk memperoleh instrumen yang dapat dipertanggung jawabkan validitasnya maka semua instrumen dikembangkan berdasar disain dan dalam proses pengembangannya dimintakan