• Tidak ada hasil yang ditemukan

berhubungan dengan perkawinan seperti kesehatan reproduksi dan seksualitas.

Dalam dokumen Mediakom Edisi 31 Agustus 2011 - [MAJALAH] (Halaman 69-71)

kecanikan, serta keluhan dan gaya hidup. Semua arikel pernah dimuat di majalah Perkawinan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 yang sebagaian besar ditulis sendiri oleh Penulis.§

Nomor Klasiikasi : 362.828.6

Judul : Perkawian Sehat Tips untuk Sang Dara impresum : Jakarta: Dian Rakyat :

dr. Endang R. Sedyaningsih – Mamahit.-- 2011 kolasi : v, 210 hlm; 23 x 14 cm

Subyek : MARRIAGE COUNSELING PREMARITAL cOUNSELING

Buku ini membantu pengantin belia menghadapi

banyak masalah hidup terutama masalah

kesehatan. Banyak masalah kesehatan yang

berhubungan dengan perkawinan seperti kesehatan

reproduksi dan seksualitas.

A

Akhir Juli 2011, telat pulang kantor karena menyelesaikan pekerjaan serba deadline. Baru selepas isya’, pkl 19.30 dapat meninggalkan kantor. Menumpang mikrolet jurusan stasiun Jainegara. Keika sampai Jainegara, kereta meluncur meninggalkan stasiun. Terburu-buru membeli karcis seharga Rp 6.500 ,-. Baru sadar ternyata hanya punya uang Rp 5.000,-. Berhubung kereta juga sudah datang, saya sampaikan kepada petugas, saya ngutang dulu ya, besok saya bayar. Ngak bisa pak, kata petugas itu. Saya pegawai Depkes lho..., lihat logo Depkes , sambil berbalik menunjukkan logo di lengan tangan. Tetap ngak bisa pak...! kata petugas itu, sambil tersenyum. Apakah ada ATM BNI ? tanyaku. Ada pak di dalam,

jawabnya. Saya lari, kemudian kembali lagi menyodorkan uang Rp 50.000,- Setelah transaksi, saya iseng bertanya kepada petugas, mas mengapa saya tadi idak boleh ngutang ? “Saya tak percaya pak, walau berbaju Depkes, begitu jawab petugas polos. Terima kasih ya..jawabku sambil ngloyor mengejar kereta. Mengapa demikian...?

Keidakpercayaan petugas di atas memang wajar, bahkan sangat wajar, walau hanya berhutang Rp 1500,-. Sebab petugas belum tahu siapa saya. Berbaju Depkes belum dapat menumbuhkan kepercayaan untuk berhutang. Petugas tak percaya akan membayar dikemudian hari. Sekali lagi keidakpercayaan itu logis. Sebab Atribut tersebut belum terpercaya jujur. Sebab siapa saja dapat memakai atribut itu, jujur atau dusta. Itulah kesan yang tertangkap dari petugas penjual karcis.

Bagaimana membangun budaya jujur dan terpercaya ? Bagi yang berputus asa, saat ini ibarat menegakkan benang basah. Tak mungkin, tak mungkin, sehingga mereka sendiri terbawa arus. Tapi bagi yang opimis, Ia akan memulai sedikit, demi sedikit. Belajar dari yang mudah dan murah. Mulai dari diri sendiri, keluarga dan orang sekitar. Walau rintangan dan tantangan terus menerjang, tapi Ia tetap menjaga konsistensi keterpercayaannya.

Konsistensi keterpercayaan ini akan menular kepada anggota keluarga dan orang lain disekitar. Walau harus dipahami, bahwa munculnya pribadi terpercaya ini lambat, bahkan pada suatu saat mandeg tak ada pertambahan. Berbeda dengan sifat buruk, ia akan menyebar seperi virus, menyergap dan menyerang siapa saja.

Munculnya pribadi-pribadi terpercaya, bukan kebetulan. Tapi hasil kerja keras dan tak mengenal lelah para pemilik kepercayaan seperi para nabi dan rasul. Kemudian mewariskan kepada generasi berikutnya, hingga akhir zaman. Hanya saja pertumbuhannya semakin kecil, lemah dan nyaris tak terdengar. Apalagi hingar-binggar dusta dipublikasi lewat media cetak, elektronik dan media maya. Sedikit sekali publikasi kejujuran, dedikasi dan pengabdian. Hal ini semakin menutup kemungkinan bertambahnya jumlah pribadi terpercaya.

Faktanya, semakin hari makin terbuka perilaku para pendusta. Mereka saling membuka dan mempertontonkan kedustaan mereka sendiri. Mulai dari kalangan birokrat, teknokrat, pengusaha dan berbagai kalangan, hampir merata, tak terkecuali. Fenomena ini memang perlu menjadi pelajaran bagi yang ingin menumbuhkan dan mencetak pribadi-pribadi masa depan. Pribadi yang terpercaya dan amanah. Mereka mampu mengemban tanggung jawab kepada diri, orang lain dan tuhanNya.

Melalui mimbar ini, mari belajar jujur, minimal kepada diri sendiri, kemudian kepada orang lain dan tuhanNya. Melalui pintu jujur akan mengantar ke ruang terpercaya. Semakin besar prestasi kejujuran, semakin besar pula ingkat kerpercayaan, demikian pula sebaliknya. Untuk itu setelah belajar jujur, mari belajar mempercayai. Mempercayai diri sendiri, keluarga dan orang lain. Jangan pernah kapok bila suatu saat mereka berdusta, tetaplah untuk terus belajar percaya. Sebab proses belajar

adakalanya harus jatuh bangun. Sebab tumbuhnya pribadi terpercaya, juga dipengaruhi oleh kepercayaan orang lain disekitarnya. Masihkah kau tetap percaya...?

Prawito

MaSiHkaH kaU

PerCaya?

M

emang wajib, kata itu meluncur dari anak pertama yang menyaksikan saya sedang terburu-buru berangkat kantor, agar dapat mengikui senam pagi yang diselenggarakan Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan olahraga. Begitu sampai dilapangan ada peserta senam mengatakan” pak teman-teman diwajibkan saja, agar sehat”, katanya. saya hanya tersenyum. selesai senam, masuk ruangan “ mas diwajibkan saja senamnya. Kalau tak ada kewajiban, seperinya banyak yang malas “ kata mbak Iik. hanya hitungan jam, 3 orang mengucapkan hal yang sama. Pertanyaannya, apakah seiap akiitas kebaikan, seperi olahraga harus diwajibkan?

Memahami cara pandang di atas sungguh unik. Akivitas kebaikan harus diwajibkan. orang harus dipaksa untuk berbuat baik. Timbul pertanyaan menggeliik, apakah dengan memaksa lantas orang berbuat baik? Jawabnya, mungkin ya. Tapi apakah permanen? Jelas idak, kecuali hanya sedikit. sebab bila melakukan dengan terpaksa akan menghadirkan rasa bosan, akhirnya malas dan tamat. tapi itulah fenomena sebagian besar cara pandangannya. Bagaimana caranya agar berolahraga salah satu perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) idak seperi hidup segan mai tak mau?

Merubah paradigma. sebaik apapun program, bila para pengikutnya belum mempunyai paradigma yang sesuai dengan tujuan program tersebut, pasi idak akan nyambung. Program inggal program, tak ada yang melaksanakannya. untuk itu, perlu perubahan paradigma. Menumbuhkan kesadaran kepada seluruh masyarakat, betapa peningnya berolahraga. Bagaimana caranya? Topik olahraga harus menjadi bagian keseharian masyarakat. Ia dibahas dalam berbagai kesempatan. Kemudian dipublikasi dengan media cetak ( brosur, lealet dan papan pengumuman), pengeras suara dan berbagai kesempatan pertemuan. Dengan cara demikian, olahraga menjadi bagian pening dalam hidup bagi masyarakat, mulai dari rakyat biasa sampai pejabat.

Mewajibkan? Sungguh idak mudah. Sebab wajib sebagai bentuk penekanan dan keterikatan kepada hal tertentu. Mewajibkan, tapi tak ada sanksi bagi yang melanggar, maka

kewajiban itu hambar dan mubazir. Kalau mau diberi sanksi, apa sanksi dan dasarnya? Olahraga kok wajib ?, begitu kata yang idak setuju.

sebenarnya, sesuatu yang baik, termasuk olahraga, memang idak menarik di tengah abad materialisik sekarang ini, kecuali yang mendatangkan materi, khususnya uang. Walau, olahraga yang teratur akan menghemat biaya kesehatan karena tubuh tetap bugar. Persepsi seperi ini belum sampai pada ingkat pemahaman bawah sadar sebagian besar masyarakat. Terbuki, semakin inggi angka kemaian yang disebabkan penyakit akibat perilaku hidup yang idak sehat, seperi jantung, darah inggi, dll. Untuk itu program olahraga ruin menjadi tantangan besar yang harus terus diperjuangkan.

Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan olahraga dan pihak terkait tak boleh lelah hanya karena program olahraga yang digulirkan belum mendapat respon yang memadai. Program harus tetap dilaksanakan secara ruin, dinamis dan banyak variasi untuk menarik minat lebih banyak peserta. Bila peminat terus berkurang, perlu evaluasi apakah program monoton dan kurang menarik ?

senam pagi di Kemkes, memang kurang peminat. setelah mengobrol dengan banyak karyawan, mereka beralasan rumahnya jauh dari kantor, macet, harus antar anak sekolah terlebih dahulu dan banyak alasan lainnya. Pertanyaannya, setelah tak sempat olahraga di kantor, apakah olahraga ditempat lain?. Ternyata, enggak juga. Alasan idak olahraga di kantor memang logis, tapi olahraga saat lain juga tak sempat. Bila ditanya alasanya, logis juga. akhirnya logis pula kalau tak sempat olahraga. Ya...tak sempat olahraga sepanjang masa.

Jadi kalau dicari, selalu ada alasan untuk idak berolahraga, dan itulah masalahnya ”banyak alasan”. Sampai kapanpun, selalu ada alasan. Ininya, olahraga dianggap idak pening, sehingga idak dipeningkan. Sebaik apapun program itu bermanfaat, bila tak dianggap pening, pasi idak terlaksana. Jikalau diwajibkanpun idak efekif, karena bukan menjadi kepeningan. Agar efekif, bangun persepsi bahwa olahraga itu pening. Seperi peningnya nilai uang bagi sebagian orang.§

Dalam dokumen Mediakom Edisi 31 Agustus 2011 - [MAJALAH] (Halaman 69-71)

Dokumen terkait