Itu sebabnya, segala bentuk tradisi di laut, tak punah mes- ki rumah mereka kini telah diperlengkapi dengan alat-alat elektronik simbol modernitas.
Perubahan lingkungan dan pola hidup ini bukan tanpa ba - yar untuk masyarakat Bajo, terlebih keika kawasan Waka- tobi dinyatakan sebagai kawasan nasional. Keputusan itu mem buat laut yang dulu seolah lahan tak bertuan, iba- iba menjadi kavling-kavling yang tak memberi mereka ruang. Urusan hajat pokok, seperi mandi, cuci, kakus tu- rut berubah. gelombang laut yang membersihkan segala tak lagi mampir ke permukiman dengan leluasa. Lahan di depan rumah kini adalah tanah kapur yang mereka tak paham akan diolah untuk apa. Seperi dituturkan hasriamin, "Kami tak paham bagaimana itu menanam ubi atau jagung. " hasrin kini sehari-hari memang menjadi pe- ga wai negeri sipil, namun di akhir pekan ia selalu me laut atau membantu membangun rumah panggung di bibir- bibir pantai Wangi-Wangi.
akibatnya bisa diperkirakan: pola hidup sehari-hari ber- ubah, demikian pula dengan masalah kesehatan. Ba gai- manapun, dalam masyarakat tradisional, kesehatan le bih condong berada pada wilayah misis daripada urusan- urus an kasat mata, seperi cuci tangan, buang sam pah, atau air bersih. tradisi duata untuk meminta ke sembuhan se seorang salah satu bukinya. Warga lebih con dong me- minta bantuan dukun daripada petugas ke sehatan.
Pilihan ini boleh jadi bukan karena sikap negaif masyarakat Bajo terhadap layanan kesehatan, seperi diperlihatkan da lam peneliian Barlin Adam, Darmawansyah, dan Masni, ke iganya mahasiswa Pasca-Sarjana Unhas. Menurut Barlin Adam yang menelii masyarakat Bajo di Kabupaten Kolaka (2008), “Pelayanan kesehatan dan indakan medis yang dilakukan di Puskesmas dan Pustu idak dianggap ber tentangan dengan adat kebiasaan suku Bajo. Dengan de mi kian idak ada hambatan dari segi budaya dalam pe- man faatan pelayanan kesehatan.”
Jika ini benar, pertanyaannya, mengapa beberapa ke sehat- an masyarakat kurang kinclong prestasinya? tahun lalu, 7 pasien rawat inap di ugD RsuD Wakatobi akibat diare ber asal dari wilayah ini. Seperi pengakuan Ka Pus kesmas Wangi-Wangi selatan kepada Kendari Pos, pasien dia re di wilayahnya cukup banyak. "hingga agustus, pasien diare sudah 121 orang."
Ke sadaran perilaku bersih dan sehat warga kurang, de- mi kian dugaan penyebab ingginya diare. Kembali lagi, ji- ka itu benar, bukankah itu bisa menjadi tantangan untuk
Wajah perkampungan "Bajo darat" di Desa Mola Selatan kala air laut surut di sore hari (atas dan bawah). Bila tak melaut untuk mencari ikan atau menambang pasir, ibu-ibu sibuk mencari kutu, sementara para lelaki berolah raga, memperbaiki jaring yang menjadi senjata andalan mencari ikan, atau membenahi kapal. Sementara itu, anak-anak tenggelam di dunianya sendiri.
Dari ki-ka: Puskesmas Wangi-Wangi, yang diperlengkapi dengan fasilitas rawat inap dengan 3 dokter PTT. Pelatihan pembekalan petugas TB, kusta, dan imunisasi yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi pada 8 Oktober 2011 di Wangi-wangi.
bila melihat staisik kinerja kesehatan di Wangi-Wangi Se- latan. Baik cakupan imunisasi, kunjungan ibu-ibu setelah me lahirkan, maupun prosentase kelahiran oleh tenaga ke sehatan, semua memperlihatkan angka di bawah rata- ra ta. semua ini memperlihatkan, betapa "demand" masih jauh di atas pemenuhan. Lalu, apa yang ditunggu? Sistem pelayanan kesehatan yang ada mesinya bisa me- nularkan pemahaman yang lebih baik mengenai pe nyakit, cara penularan, cara pencegahan, dan cara pengobatan. Sisi promoif ini yang nampak perlu digenjot dalam me- layani masyarakat Bajo. Pemahaman tentang sosial bu- daya dan pemilihan pendekatan yang tepat harus dipikir ma sak. Dari segi bahasa, para petugas kesehatan di Wakatobi seyogiayanya memiliki kekhasan keterampilan ber komunikasi dalam bahasa lokal.
Ka Dinkes Wakatobi mempunyai perhaian dan obsesi khu sus untuk mendekatkan petugas dengan masyarakat me lalui berbagai cara. Boa mengasah kemampuan ko- mu nikasi petugasnya secara serius seiap saat. Dalam se iap pertemuan, para petugas secara acak mendapat gi lir an dites berbicara tentang kesehatan dalam bahasa lo kal. “Jargon-jargon kesehatan seperi UCI, K-1, K-4, Jam-
masya rakat setempat,” Ka Dinkes yang ahli sastra ini tak bosan mengingatkan.
Dengan dana BoK yang tak kurang, juga komitmen Pemda terhadap penyediaan peralatan dan logisik sarana ke se- hatan, inggal kreaivitas para petugas yang diuji. Tentu akan lebih menjanjikan kalau kreaivitas petugas juga di- ba rengi dengan kreaivitas pada tataran kebijakan juga. Mi salnya bagaimana menciptakan sistem perencanaan pro gram yang betul-betul berbasis buki dan kebutuhan khas masyarakat seiap tempat. Juga peningkatan ke mam- puan petugas untuk memahami kondisi sosial budaya dan mengelolanya dalam membumikan kearifan ide hidup se hat. Sudah idak zamannya lagi petugas mencakung di pos nya dan menunggu keajaiban tercipta kesehatan prima di wilayahnya tanpa menjalin keakraban dan mengasah kreaivitas.
***
Nenek Rima melaju cepat dengan sampannya, tertawa- tawa. Menyibak dingin, melawan arus, wajah ceria dan ce lotehnya mengirimkan pesan hidup sehat di masa tua se orang manusia Bajo.
tapi berapa banyak petugas yang serius mengasah ke te- rampilan agar terhindar dari perangkap jargon? Jangan- jangan malah ada yang dengan sadar lebih suka meng- gunakan jargon. sudah tradisi, atau biar lebih keren. Kamus Merriem-Webster mengarikan jargon sebagai isilah teknis atau idiom (bahasa khusus) yang hanya di- me ngeri oleh kelompok tertentu. Bidang kesehatan ter- ma suk gudangnya jargon.
“apa itu Bta? tablet fe? uCI?” La ode Boa, Ka Dinkes Wakatobi mencontohkan beberapa isilah umum dalam program kesehatan masyarakat yang sangat tak mudah di pahami masyarakatnya. apalagi di kabupaten Wakatobi yang seiap etniknya mempunyai bahasa yang berbeda. “Tolong sederhanakan isilah-isilah keika Anda ber ha- da p an dengan masyarakat. Kalau bisa bahasa daerah, ba hasa daerah-kan. Kalau idak bisa, bahasa Indonesia- kan. Keguguran misalnya. Isilah teknisnya abortus. Ba- ha sa Indonesianya keguguran. Bahasa tomia? Wanci? Kaledupa?”
Para petugas yang sedang mengikui pelaihan kompak men jawab kata keguguran dalam bahasa iga pulau ter- sebut. Ternyata idak ada yang sama. “Kalau ibu-ibu kita kum pulkan dan kemudian kita sampaikan, hal-hal yang per lu diperhaikan dalam proses abortus ialah ini ini ini mungkin mereka akan pi- kir abortus itu makanan apa. Lebih bagus pakai ba- hasa daerah atau bahasa Indonesia.”
Di Wakatobi semua pe- tugas diharuskan belajar ba hasa daerah, khususnya me nerjemahkan jargon- jargon kesehatan. Ini