• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkesenian di Era Global

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 178-183)

PeYe barangkali sudah tidak asing di kalangan seniman tradisi. Istilah ini sudah populer sejak keberadaan seni tradisi masih jauh dari persaingan dengan seni lain. Dengan dua suku kata itulah semangat berkesenian seniman menjadi lebih, motivasi berkesenian pun kian kuat.

Sungguhpun demikian tidak semua seniman tradisi memiliki orientasi ke sana, namun ada yang lebih didasari rasa senang terhadap dunia seni, dengan tetap berpegang pada idealisme berkesenian tanpa memandang segi untung dan rugi, sedikit atau banyaknya imbalan yang akan diterimanya.

Dua pendapat inilah yang mewarnai alam berkesenian kita saat ini khususnya dalam duania seni pertunjukan tradisional, yang hingga saat ini masih terasakan belum mendapat ‘penghargaan’ cukup memadai sebanding dengan bidang seni lainnya. Mengapa hal tersebut terjadi tanpa adanya tanda-tanda untuk mendapatkan solusinya, sehingga seni tradisi belum mampu mendekatkan diri dari jarak dengan seni lain.

catatan pertunjukan

Ada dua hal yang esensial dalam upaya mengangkat seni tradisi sehingga seni tradisi tidak selamanya menjadi

underdog dalam khasanah seni pertunjukan. Dua hal itu adalah bagaimana orang berkesenian dan bagaimana orang mempertahankan nilai seni dalam berkesenian. Kalau kita melihat orang berkesenian jelas dapat kita pandang bagaimana pekerja seni itu aktif sebagai seniman (pelaku). Namun yang lebih penting tidak hanya sekedar berkesenian saja, namun bagaimana orang itu ikut mesikapi fenomena kultural yang melingkupi kehidupan kesenian yang digeluti sekaligus ikut mempertahankan nilai seni dalam berkesenian. Artuinya orang tidak hanya mengandalkan kemampuan berkesenian tanpa memperhatikan unsur lain yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang seniman. Sikap profesional inilah yang belum secara utuh dilakukan oleh seniman, khususnya seniman muda saat ini. Tanggung jawab itu adalah bagaimana memegang teguh nilai-nilai seni tradisi sesuai norma yang ada. Norma di sini berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teknis maupun non teknis. Secara teknis terkait dengan pertunjukan itu sendiri. Bagaimana seorang seniman mempertahankan nilai estetis melalui idealismenya dalam berkwesenaian. Idealisme dalam berksenian inilah nampaknya cenderung mulai mengalami kemerosotan di tengah situasi budaya yang makin global. Orang cenderung mengatakan asal laku dari pada mempertahankan mutu. Dengan prinsip ini kita tidak akan dapat menyaksikan karya seni yang ‘hadiluhung’ dapat bertahan lebih lama lagi.

pariwisata saat ini mampu menghadrikan beberapa bentuk sajian dengan kualitas yang bervariasi. Hadirnya beberapa bentuk sajian itu diikuti beberapa problematika yang sangat kompleks terhadap intensitas dan eksistensi kesenian itu sendiri. Kompleksitas permasalahan dalam dunia seni pertunjukan tidak dapat lepas dari unsur lain yang terkait, yaitu seniman, penguasa pertunjukan, serta penonton atau apresian secara luas.

Seniman di sini akan menentukan arah serta upaya pelestarian seni itu sendiri. Kemudian penguasa pertunjukan, adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk mementaskan kesenian dengan segala hal yang mereka inginkan atau lebih tepat dikatakan sebagai pemesan order pertunjukan. Dan terakhir adalah apresian, yang akan berperan aktif dalam megevaluasi hasil yang ditampilkan seniman.

Ketiga aspek tersebut sangat menentukan arah dan tujuan serta upaya untuk ikut melestarikan nilai seni tradisi. Fenomena yang muncul saat ini memang akan mengancam eksistensi seni itu sendiri, kalau tidak kita antisipasi sejak dini. Dari segi seniman berkaitan dengan idealismenya dalam menghadapi berbagai event yang menghadangnya. Idealisme berkesenian inilah yang akhir-akhir ini cenderung mengalami kemerosotan. Hal itu ditandai dengan munculnya semangat peye yang menjadi motivasi utama, namun mengenyampingkan unsur lain yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Motivasi ini memunculkan sikap tidak pedulinya lagi orang pada upaya untuk meningkatkan diri untuk mencapai kualitas tertentu dengan latihan. Inilah

catatan pertunjukan

penangkapan makna profesionalitas secara partial belum menyeluruh.

Berbicara mengenai idealime Bagong K berpendapat, untuk mencapai kualitas pertunjukan yang baik tentunya harus diikuti dengan latihan. Karena prinsipnya dari latihan itulah hasil akhir akan dicapai dalam pementasan. Penanaman sikap demikin nampaknya perlu disosialisasikan kepada seniman muda sebagai kader dan penerus generasi tua.

Latihan juga merupakan proses tranformasi budaya dan mengantisipasi kesenjangan antara seniman muda dan tua. Hal ini penting karena tantangan dalam persaingan budaya yang semakin global menuntut peningkatan kualitas pribadi secara total. Di samping itu, seniman saat ini disadari atau tidak mengemban misi yang lebih penting yaitu sebagai pilar utama untuk mewujudkan jaring pengaman nilai-nilai seni tradisional.

Fungsi tersebut harus kita realisasikan mengingat saat ini terjadi kesenjangan estetis antara seniman tua dan muda. Selain itu fenomena hilangnya Empu atau pakar seni, nampaknya perlu kita sikapi secara lebih serius. Mengingat empu bagaimana pun juga merupakan patron yang dapat kita jadikan referensi untuk pengembangan, penggalian kesenian dengan berdasarkan pengalaman berkesenian yang dimiliki para empu di masa lalu.

Dengan memanfaatkan empu dan pakar seni yang masih ada saat ini dalam sebuah forum dialog, maka sebenarnya kita sudah melakukan upaya preventif untuk ikut serta menjaga dan melestarikan seni budaya tradisional di

tengah perkembangan budaya yang makin heterogen. Langkah konkret inilah merupakan awal untuk mewujudkan jaring pengaman nilai seni tradisional dari ancaman pengaruh budaya luar. Dengan tekad yang bulat dan didasari akan tanggung jawab untuk ikut melestarikan dan menjaga eksistensi seni budaya tradisional dari pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma budaya kita, maka peran dan fungsi seniman akan lebih bermakna dalam kiprahnya di dunia seni yang digelutinya.

Di Balik Pergelaran Tari :

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 178-183)