• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media untuk Merajut Jaring Pengaman Nilai Seni Budaya

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 139-144)

Di tengah situasi krisis yang belum menentu, Festival Kesenian Indonesia yang melibatkan Perguruan Tinggi (PT) Seni se Indonesia digelar di Yogyakarta 6 - 10 Maret 1999 lalu. Seperti layaknya event berlebel Festival lainnya, ajang ini berupaya merespon fenomena kultural yang terjadi, lebih-lebih di tengah situasi yang makin sulit. Ajang dua tahunan ini juga dijadikan media interaksi antar insan seni dalam upaya meningkatkan wawasan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dalam berkesenian sesuai dinamika dan perubahan zaman.

Terlepas dari visi dan misi yang hendak dicapai, ada beberapa catatan tentang penyelenggaraan Festival ini. Festival ini mungkin lebih dekat dengan “Pesta Kesenian” nya seniman kampus. Karena Festival ini sekaligus dijadikan media legitimasi kemampuan seniman akademis yang dipresentasikan pada kalayak. Sehingga apapun hasilnya, kualitas penampilan dalam Festival ini merupakan barometer kemampuan seniman akademis. Sasaran ketiga yang paling penting forum ini dapat dijadikan tonggak untuk mewujudkan

jaring pengaman nilai-nilai seni budaya melalui berbagai ekspresinya.

Pola interaksi antar perguruan tinggi seni dalam wadah formal seperti ini memang kadang membelenggu sementara seniman yang tidak senang “dikekang” dengan aturan tertentu. Namun betapa terikatnya pertemuan itu, diharapkan dapat menghasilkan sesuatu yang dapat memberi kebebasan berkreasi bagi anggota seniman yang terwadahi dalam lembaga pendidikan kesenian formal. Upaya inilah yang harus diperjuangkan dan dipertanggung jawabkan kepada insan seni dan seluruh masyarakat dengan karya-karya yang berbobot, tidak asal beda dan berani pentas tetapi mengesampingkan kualitas.

Hadirnya Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni se Indonesia memberi angin segar bagi perkembangan dunia seni. Hanya saja permasalahan yang harus ditemukan solusinya adalah bagaimana wadah tersebut dapat ikut memperjuangkan posisi kesenian dan nasib seniman dalam menghadapi perkembangan dan perubahan sosial budaya yang begitu pesat. Inilah tantangan ke depan yang perlu dijadikan prioritas, sehingga lembaga kesenian tidak hanya terkesan memikirkan hal-hal teknis saja untuk kepentingan kampusnya, tetapi masalah lain yang melingkupi kehidupan seniman dan keseniannya untuk kepentingan yang lebih luas juga tergarap.

Berakhirnya sebuah Festival Kesenian idealnya ada

follow up yang harus segera diselesaikan dengan skala prioritas tertentu. Untuk itulah berakhirnya Festival Kesenian I diharapkan dapat dijadikan pijakan untuk berbuat sesuatu

bidang seni dan budaya

pada permasalahan yang dihadapi dunia seni kita. Berbagai tantangan dan kendala itu sebenarnya telah menghadang, hanya kadang kita sering lupa atau tidak tanggap, sehingga masalah-masalah itu menumpuk dan kita biarkan berlalu hingga menjelang Festival berikutnya digelar kembali.

Betapapun rapinya jalinan persahabatan di antara wadah lembaga kesenian ini, namun bila masyarakat tetap mengacuhkan kesenian di tengah budaya mereka sendiri, ini sungguh sesuatu yang ironis terjadi. Fenomena itu kini terasakan di tengah perubahasan sosial yang semakin kompleks. Betapa variatifnya bentuk sajian seni pertunjukan berkualitas, namun kalau masyarakat tidak dikondisikan untuk siap berapresiasi maka sebenarnya apa yang kita lakukan dalam Festival-festival itu ibarat melakukan hajat besar-besaran di tengah gurun pasir.

Kepedulian terhadap fenomena perubahan budaya yang terjadi pada komunitas tertentu nampaknya harus menjadi prioritas utama. Untuk itu melibatkan unsur masyarakat di luar peserta Festival dalam sebuah dialog menjadi lebih bermanfaat di samping juga dialog dengan wakil-wakil lembaga kesenian yang ada. Apapun wujudnya, informasi dari kalangan luar kampus kadang susah terdeteksi, sehingga referensi untuk pemecahan tidak terjangkau. Padahal permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan dari seniman alam sangat variatif dan kadang unik. Untuk itu insan seni harus pula mau mendengar aspirasi dari kalangan luar kampus yang selama ini peduli dengan pengembangan kesenian. Hanya karena kesempatan itu tidak diberi, kadang mereka yang berada di luar institusi merasa

terasing. Dan akhirnya mereka menganggap bahwa forum seper ti ini hanyalah titipan sponsor yang kadang mengandung “misi tertentu”.

Upaya melibatkan masyarakat awam, seniman alam dalam even seperti ini sebenarnya merupakan strategi budaya yang efektif untuk memberikan pengaruh pada upaya kepemilikan masyarakat pada kesenian itu sendiri. Mendekatkan diri kesenian dengan masyarakat pemiliknya merupakan langkah awal untuk membentuk jaring pengaman nilai-nilai seni budaya. Melalui forum festival seni inilah jaring pengaman nilai-nilai seni budaya itu sebenarnya sudah mulai dianyam. Hanya saja langkah awal pembuatan jaring pengaman itu masih dilakukan pada tataran formal belum kepada lapisan yang berada di bawah (masyarakat)

Untuk mensosialisasikan upaya tersebut, kendala klasik adalah publikasi yang tidak tercover oleh masyarakat luas. Sungguh pun Festvial itu adalah ajang “pesta” kesenian antar insan perguruan tinggi, namun apakah kesenian produk kampus ini tidak ingin dikonsumsi oleh masyarakat luas. Gaung Festival itu sendiri sebenarnya diharapkan oleh masyarakat luas. Pemilihan tempat pertunjukan di Pagelaran Kraton Yogyakarta sebenarnya sudah tepat dilakukan ISI Yogyakarta selaku tuan rumah, karena mendekatkan diri dengan publik (masyarakat). Namun kenyataan dinding pemisah itu masih terasakan, karena masyarakat yang tidak terundang atau tahu informasi tentang pesta kesenian itu enggan datang ke Pagelaran.

Keadaan itulah yang membuat informasi semakin jauh diketahui, sehingga masyarakat Yogyakarta yang peduli

bidang seni dan budaya

dengan kesenian pun tidak tahu bahwa di Yogyakarta sedang ada kegiatan kesenian antar Perguruan Tinggi seni. Komunikasi terbuka antara unsur akademis dengan lembaga organisasi non formal nampaknya harus dijalin untuk membantu dan membuka peluang bagi masyarakat luas untuk ikut serta mendukung event kesenian kalangan akademis. Meski event tersebut diprakarsai kalangan akademis, kenyataan apa yang disajikan tetap melibatkan kesenian milik masyarakat luas, sehingga melibatkan semua pihak di luar institusi yang merasa memiliki kesenian itu adalah wajib dilakukan.

Dengan jalinan kerjasama tersebut upaya untuk menyatukan komitmen terhadap upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya, dalam rangka mewujudkan jaring pengaman nilai-nilai seni budaya menghadapi tantangan budaya global akan semakin mudah untuk direalisasikan.

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 139-144)