• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisional Menghadapi Tantangan Global

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 122-131)

Ketidakberdayaan kesenian tradisional untuk bertahan sesungguhnya berawal dari terjadinya perubahan pola pikir dan pola hidup masyarakat kita menuju ke arah pola pikir dan pola hidup modernis. Keinginan untuk menjadi masyarakat modern seperti bangsa-bangsa lain itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa masyarakat kita sekarang ini kurang peduli terhadap keberadaan kesenian tradisional. Bahkan ada sinyalemen yang mengatakan bahwa kesenian tradisional saat ini dianggap tidak lagi relevan dengan zaman atau dianggap kuno, ketinggalan zaman. Situasi ini diperparah lagi dengan tidak masuknya mata pelajaran kesenian tradisional secara eksplisit di dalam kurikulum pendidikan sekolah (umum) secara intrakurikuler. Bagaimanapun juga kesenian tradisional itu adalah asset bangsa yang secara nasional harus diupayakan kelangsungan hidupnya.

Dalam situasi bangsa yang terpojok seperti saat ini dibutuhkan sikap arif dalam mengantisipasi keadaan tanpa harus menuduh siapa salah. Salah satu upaya itu adalah

bidang seni dan budaya

mengoptimalisasikan ketahanan budaya melalui kantong-kantong budaya yang ada. Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan aspek budaya secara umum dan masalah kesenian secara khusus.

Hilangnya kesadaran sebagian masyarakat untuk mewarisi nilai-nilai seni budaya para penadahulu itu merupakan salah satu indikasi makin rentannya pemahaman nilai-nilai seni budaya tradisional masyarakat secara umum. Makin tipisnya pemahaman budaya lokal itu akibat intervensi budaya “asing” yang makin memberi pengaruh luar biasa bagi sebagian kalangan masyarakat. Akibatnya budaya lokal yang sebenarnya merupakan citra atau bagian dari wajah masyarakat kita menjadi berubah dan nyaris hilang oleh pengaruh budaya baru yang dianggap lebih modern.

Kekuatan budaya daerah memang harus senantiansa ditumbuhkmbangkan. Hal ini sebagai langkah antisipasi makin maraknya budaya luar yang masuk merambah ke relung-relung budaya tradisional bangsa Indonesia. Masalah adat, bahasa, hingga masalah kesenian tradisional di berbagai daerah hampir semua mengalami gangguan yang secara eksternal berpengaruh luar biasa.

Multi kulturalism bangsa Indonesia saat ini sedang dipertaruhkan dalam menghadapi tantangan global. Sebagai bagian dari kebudayaan kesenian memiliki andil cukup besar dalam upaya ikut memperkuat identitas warna budaya suatu daerah, dan lebih besar adalah mempertaruhkan citra bangsa di mata dunia.

bangsa kita justru dipelajari bangsa mancanegara. Gamelan kini sudah go internasional. Menurut data terakhir di jepang saat ini sudah ada lebih dari 200 perangkat gamelan (Prof. Nakagawa). Belum lagi yang berada di Amerka Serikat lebih dari itu. Selain itu seni tembang macapat hingga sindenan pun kini dicari bangsa asing untuk dipelajari. Belum lagi seni tari tradisional yang bersumber dari budaya klasik kratonan, tiap tahun digali mahasiswa dari mancanegara. Disisi lain mahasiswa Indonesia dan generasi muda umumnya mulai acuh dengan seni tradisional miliknya sendiri.

Fakta tersebut bisa dikatakan membanggakan tetapi juga sekaligus memprihatinkan. Membanggakan karena kesenian tradisional kita dipelajari bangsa asing. Memperihatinkan, karena bangsa kita sendiri saat ini tak peduli lagi dengan kesenian tradisional miliknya sendiri.

Indikasi ini sangat berbahaya. Kita dapat memprediksi sepuluh tahun kedepan akan kehilangan satu atau dua generasi yang akan mampu meneruskan warisan seni budaya tradisional bangsa yang hadiluhung itu. Bisa jadi bangsa Indonesia ke depan akan belajar gamelan, tembang, atau tari klasik justru harus ke Jepang atau ke Amerika Serikat. Ini sebuah ironi yang kalau tidak kita sikapi akan menjadi sebuah kenyataan yang sangat pahit.

Dalam menyikapi kondisi seperti di atas tentunya kita perlu memberi penyadaran kepada masyarakat luas tentang pentingnya seni budaya dalam kehidupan masyarakat ditumbuhkembangkan. Kekayaan seni budaya yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini adalah asset nasional bangsa Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi

bidang seni dan budaya

merupakan asset wisata internasional yang sudah diakui dunia.

Persamalahan tersebut di atas sesungguhnya merupakan permasalahan bersama seniman, masyarakat, budayawan. Jika kita dapat bersatu membangun tekad untuk melakukan preservasi kesenian tradisioanl, niscaya nasib kesenian tradisional tidak akan separah sekarang ini. Kita boleh saja berwawasan modern dalam menggeluti dunia kesenian, tetapi bukan berarti hal itu menjadi alasan untuk menyingkirkan kesenian tradisional. Justrun dengan sikap dan wawasan yang modern itulah yang harus dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional. Dengan kepedulian itulah maka kita telah melakukan satu amalan untuk mempertahankan jatidiri yang merupakan cermin budaya bangsa kita.

Berbicara soal patronase kesenian kraton, secara langsung akan berkaitan dengan sistem kelembagaan yang bersumber dari kelembagaan bertipe primordial. Dalam kelembagaan yang bermode produksi upeti, tempat puncak hirarkis status akan sangat menentukan jaminan status sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pada lapangan kebudayaan dalam arti khusus kesenian, maka jaminan itu seperti yang ada dalam penggambaran Arnold Hauser. Dikatakan bahwa sifat eksklusivisme puncak hirarki status (raja) akan mudah menentukan karakter stilistik dari kegiatan-kegiatan artistik, tempat seniman seniman terlindungi dalam melakukan proses kesenian sambil berharap diperolehnya simbol status sebagai jaminan yang diberikan raja (Hauser, 1982)

Oleh sebab itu tidak mengherankan bila kehidupan kesenian kraton pada masa lalu sangat terjaga kualitasnya. Sejarah patronase kesenian kraton masa lampau telah melahirkan maecenas-maecenas (pelindung, pecinta dan pelaku kesenian) kelas wahid. Meskipun maecenas itu pada

bidang seni dan budaya

mulanya adalah nama orang , tetapi ia telah melengkapi sebuah terminologi bahasa dalam lapangan kesenian. Zaman kesenian ditempatkan sebagai sebuah kultus kemegahan, maka raja merupakan maecenas kesenian istana (kraton)

Keadaan tersebut kini mulai terkikis karena situasi dan kondisi perubahan zaman, sehingga melahirkan sebuah keprihatinan sebagai akibat hilangnya patronase dalam kesenian kraton. Indikasi yang muncul adalah makin menurunnya kualitas atau kemampuan penari dalam penguasaan bentuk-bentuk gerak tari dengan intesitas penghayatannya (rasa), sehingga kecenderungan saat ini penari hanya trampil dari aspek fisik. Sedangkan aspek penguasaan rasa tidak atau belum sama sekali tersentuh. Hal tersebut terjadi seiring dengan makin sedikitnya pakar seni yang merupakan patron kesenian di kraton karena telah “termakan” usia.

Keberhasilan misi pelestarian tari klasik tidak bisa dipungkiri lagi adalah peran sang patron. Pertanyaannya kini bagaimana jika sang patron itu tak ada lagi ? Oleh karena itu kita perlu merumuskan sistem kelembagaan patronase kesenian di tengah era globalisasi. Apakah kehadiran maecenas-maecenas baru sudah merupakan suatu jawaban dari kebutuhan ? Ataukah seperti mimpi indah di siang hari ? Bila diingat bahwa sejak kita meninggalkan zaman kerajaan menuju zaman republik, maka kedudukan dan fungsi lembaga patronase juga turut beralih ke tangan pemerintah. Kenyataan menunjukkan bahwa perimbangan kebutuhan antara setiap jenis kesenian yang hidup dan berkembang belum dapat seluruhnya disentuh tangan-tangan maecenas

baru. Tangan maecenas dewasa ini memang lebih dekat meraih wilayah kota besar seperti Jakarta.

Secara khusus apakah yang hendak dirumuskan sebagai sistem kelembagaan patronase di tengah-tengah kegamangan pemikiran kesenian tradisi istana (kraton). Sifat gamang di sini sudah tidak mungkin lagi dikatakan sebagai kalimat puitis karena suatu alasan bahwa aspek-aspek kegamangan juga sangat mungkin dipakai sebagai acuan sifat eksklusif kedudukan patronase (pemerintah) saat ini. Dari anggapan ini sebenarnya patronase pemerintah melalui lembaga pendidikan seni diharapkan akan menyediakan basis kesenian klasik (tradisi istana). Namun demikian kenyataan yang terjadi tidak demikian adanya.

Kalau kita lihat dari sistem patronase kesenian tari klasik gaya Yogyakarta di kraton, di lembaga kesenian formal seperti ISI, SMKI atau UNY, tersedianya basis kesenian tari gaya Yogyakarta tidak cukup untuk mewadahi kapasitas fungsi patronase seperti yang pernah ditunjukkan para maecenas kesenian di zaman sebelum republik. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwana IX atau sebelumnya terasa sekali peran dan fungsi patronase itu mampu menghasilkan kualitas seniman, yang pada akhirnya diakui oleh masyarakat sebagai pakar seni. Hasil didikan dan pengarahan sang patron mampu memberikan pengaruh positif terhadap sistem kerja dalam sebuah lembaga kesenian yang diakui tidak hanya di lingkungan kraton.

Fenomena hilangnya pakar seni tari klasik adalah salah satu bukti bahwa patron itu kini tak ada lagi. Terlebih lagi kraton sebagai lembaga patronase yang waktu itu sangat

bidang seni dan budaya

diandalkan keberadannya, namun kini nampaknya tinggal kenangan. Aktifitas kehidupan kesenian di kraton pun “nyaris” tidak ada. Kegiatan seni tari klasik itu kini telah bergeser ke luar tembok kraton.

Peran lembaga kesenian formal dan organisasi kesenian di sini menjadi sangat vital untuk mengangkat peran dan fungsi sang patron. Terlebih lagi lembaga pendidikan kesenian di kraton saat ini sangat sulit diandalkan dalam mencipta penari handal seperti pada masa Hamengku Buwana IX, VIII atau sebelumnya. Untuk mencipta penari handal kini di Yogyakarta tinggal menyisakan dua oraganisasi yang masih aktif mendidik siswa-siswanya yaitu Yayasan Siswa Among Beksa dan Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa Yogyakarta.

Dengan kenyataan itu kraton sendiri saat ini kesulitan untuk mendapatkan penari hasil didikannya sendiri yang berkualitas. Hal ini bisa kita amati ketika kraton mengadakan even pementasan atau pementasan untuk tamu, kontribusi paling banyak adalah penari dari luar kraton.

Sungguh ini merupakan ironi seandainya kraton tidak segera bisa mengatasi krisis regenerasi penari. Selanjutnya bagaimana peran lembaga pendidikan kesenian formal seperti ISI, SMKI dan UNY yang didalamnya ikut membina dan melatih siswa-siswa dalam belajar tari klasik yang berbasis pada seni kraton dapat berfungsi secara optimal.

Dari lembaga pendidikan formal serta dukungan organisasi kesenian itulah status kepakaran akan terwadahi untuk bersama-sama mencipta, melatih dan membina penari yang berkualitas yang selanjutnya akan mampu memberikan

kontribusi pada kraton agar tetap menyandang predikat sebagai pusat kegiatan sosial budaya.

Patronase dalam Upaya Preservasi

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 122-131)