• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Balik Pergelaran Tari : Mewarisi Semangat dan

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 183-190)

Perjuangan Empu Tari Gaya

Yogyakarta

Tak terasa Sang Maestro tari gaya Yogyakarta itu telah genap 1.000 hari meninggalkan kita. Tepatnya pada 19 Januari 1999 lalu peringatan 1.000 hari itu dilaksanakan. Meski Beliau sudah tidak ada di tengah-tengah kita, semangat dan tekad perjuangannya pantas kita teruskan. Untuk itulah, langkah Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa mengabadikan momentum tersebut sebagai upaya meneruskan semangat (spirit) dan tekadnya dalam berkesenian, dengan pergelaran tari gaya Yogyakarta tanggal 2 Maret 1999 lalu di Bangsal Kepatihan Yogyakarta adalah tepat.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan atas potret diri KRT Sasmintadipura (Rama Sas) dalam menggeluti dunia seni tari gaya Yogyakarta. Dengan tetap bersahaja dan sederhana Rama Sas di akhir hayatnya tidak pernah memiliki ambisi untuk memperkaya diri secara materi melalui keahliannya, walaupun peluang itu terbuka. Kecintaan Rama Sas untuk tetap mengabdi pada Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat sebagai abdi dalem adalah ikatan batin yang mendasari hal itu. Inilah implementasi kepedulian seorang seniman sejati yang mengabdi demi kesenian.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe, barangkali itulah pepatah yang paling tepat untuk memberi penilaian lebih terhadap kesenimanan Rama Sas. Di tengah situasi krisis yang belum menentu ini nampaknya dibutuhkan sikap konsisten seperti apa yang pernah dilakukan maestro tari gaya Yogyakar ta itu terhadap upaya pelestarian, pengembangan kesenian tradisional daerah sebagai aset kesenian nasional.

Rama Sas dalam kaitan ini selalu gelisah memikirkan nasib kesenian (tari). Itulah dasar pemikiran yang kemudian direalisasikan ke dalam pembentukan wadah pendidikan tari non for mal yang diberi nama Pamulangan Beksa Ngayogyakarta (PBN-1976). Hanya berbekal ketekunan dan dilandasi pada prinsip dan idealisme yang tinggi, cita-cita Rama Sas untuk memasyarakatkan tari klasik yang ada di istana ke luar tembok kraton akhirnya menjadi kenyataan. Buah dari tekad dan perjuangan panjang itu telah dibuktikan, Rama Sas telah berhasil menciptakan penari-penari handal yang kredibilitasnya diakui di dalam dan di luar negeri. Karya-karya tari hasil penggodokan pendidikan non formal yang ia buat pun, menjadi monumen hidup yang menghiasi sejarah perkembangan dan perjalanan kesenian tradisional. Dengan tidak bermaksud mengkultuskan tokoh yang sudah tidak ada, kesenimanan Rama Sas yang pernah dijadikan kiblat tari gaya Yogyakarta , nampaknya pantas dijadikan

catatan pertunjukan

Fenomena hilangnya pakar atau empu seni tradisional kini makin menguat dan siap menghadang, sebagai satu tantangan bagi generasi mendatang. Langkah apa yang harus dilakukan generasi penerus penegak panji-panji seni tradisi, khususnya tari gaya Yogyakarta harus segera dilakukan. Momentum pergelaran tari yang akan disajikan Yayasan Pamulangan beksa Sasminta Mardawa (YPBSM) ini diharapkan akan memberikan spirit baru dalam meneruskan cita-cita luhur Almarhum dalam ikut serta melestarikan dan mengembangkan seni tradisional warisan nenek moyang yang hadiluhung itu.

Upaya YPBSM menggabungkan seniman dari berbagai organisasi adalah langkah positif untuk mewujudkan cita-cita bersama : “ bersatu demi lestari dan berkembangnya tari gaya Yogyakarta”. Untuk mewujudkan tekad itu maka, pergelaran ini jangan hanya dijadikan sekedar forum kangen-kangenan yang kurang memberi kontribusi terhadap arti kehidupan seni tradisi. Namun demikian pertemuan ini diharapkan secara lahir maupun batin mampu menyentuh dasar pamikiran tentang prospek seni tari gaya Yogyakarta dalam menapak masa depan yang penuh tantangan.

Makna pergelaran tari yang dijadikan momentum kebangkitan semangat berkesenian dengan melibatkan gabungan seniman dari berbagai organisasi ini merupakan langkah awal untuk menyiapkan diri menerima tongkat estafet regenerasi dari para senior yang kini telah dimakan usia. Kesiapan secara fisik maupun mental mutlak diperlukan, kalau proses regenerasi itu tidak ingin terhambat. Hal ini perlu disadari karena krisis pakar yang terjadi adalah bukti bahwa

proses regenerasi seni tradisi terhambat. Untuk itulah tongkat estafet ini segera dapat kita terima dengan penuh rasa tanggung jawab.

Tegur Sapa Budaya:

Salah satu perwujudan untuk dapat mewariskan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki empu tari masa lalu salah satunya adalah dengan mengadakan “dialog” tentang apa, mengapa, bagaimana kesenian itu. Tradisi ini sebenarnya sudah turun temurun dilakukan, hanya saja namanya sering dibedakan, namun inti permasalahan tetap mengena. Forum latihan selama persiapan ini pun dapat dijadikan forum tegur sapa budaya yang akhirnya akan diketahui sejauh mana perkembangan atau ketertinggalan cabang seni yang kita geluti. Karena tanpa kepedulian dengan melibatkan diri dalam suatu dialog maka kita sebenarnya akan semakin tertinggal oleh fenomena-fenomena baru yang kini semakin variatif.

Upaya peningkatan frekuensi pergelaran semacam ini tentunya akan memberi “nafas’ segar bagi kelangsungan hidup kesenian itu sendiri, kalau forum itu ditindaklanjuti dengan kegiatan yang mendukung. Artinya tidak hanya sekedar pentas terus selesai. Namun kita kini harus memikirkan langkah apa selanjutnya setelah kita pentas ?. Ini yang belum terpikirkan !.

Bagaimana pun juga pergelaran tari dengan melibatkan gabungan seniman dari berbagai organisasi semacam ini merupakan wahana untuk membuka diri agar seni tari gaya Yogyakarta itu dapat dinikmati oleh masyarakat yang lebih

catatan pertunjukan

luas tidak terbatas pada “dinding pembatas budaya” yang sering kita hadapi.

Dengan keterbukaan sikap serta berbaurnya pendukung dari berbagai komponen merupakan “roh” bagi tumbuhnya semangat baru yang hendak kita tegakkan melalui pergelaran semacam ini. Hal inilah yang harus disadari semua pihak bahwa pengkotakan antar seniman dari organisasi ke organisasi sudah tidak perlu diper tentangkan. Kita memerlukan kesepakatan dalam mengadakan pembaharuan atau inovasi, dengan tetap mangacu pada tradisi apa yang akan kita kembangkan. Oleh sebab itu proses latihan sebuah pergelaran akan menjadi sangat ber manfaat untuk menumbuhkan iklim berkesenian, karena akan menjadi forum tegur sapa budaya antar pendukung dari berbagai komponen.

Fenomena hilangnya tokoh kharismatik di bidang seni yang dapat dijadikan patron dalam berkesenian adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Satu demi satu pakar seni itu meninggalkan kita. Krisis pakar pun mengancam. Lalu yang menjadi pertanyaan siapkah kita mengahadapi tantangan tersebut. Kehadiran tokoh kharismatik seperti Rama Sas memang masih dibutuhkan untuk penegakan idealisme dalam berkesenian. Tokoh kharismatik dalam seni tradisional ibaratnya “nafas” bagi kehidupan kesenian itu sendiri. Jadi bisa dibayangkan, bagaimanakah nasib kesenian tradisional, jika pakar atau empu itu tidak ada di sekitar kita?

Langkah Preventif.

yang tua harus segera diganti yang muda. Permasalahannya sekarang adalah untuk mengatasi krisis tersebut nampaknya harus dimulai dari pemikiran yang mendasar tentang hakekat atau esensi kepakaran seseorang hubungannya dengan masa depan kesenian yang akan dilestarikan.

Langkah awal kita harus menghapuskan “sentimen” pribadi yang sering mewarnai pribadi seseorang. Akibatnya terlalu subyektif menilai keahlian seseorang, meski sebenarnya orang itu kredibilitasnya telah diakui masyarakat. Kedua, kita harus melihat realitas ke depan sebagai prioritas untuk menentukan hidup dan berkembangnya seni tradisional, yaitu bahwa kesenian yang kita geluti bukanlah satu-satunya kesenian yang terbaik. Ketiga, mentradisikan iklim komunikasi diantara seniman, sebagai forum tegur sapa budaya. Dengan kesadaran inilah, cakrawala kita terhadap perkembangan seni di luar akan semakin terbuka.

Kita semua sadar bahwa kesenian itu adalah sesuatu yang harus berkembang sesuai dengan dinamika dan perubahan zaman. Rama Sas-pun pernah mengungkapkan bahwa belajar tari apapun itu sama baiknya. Yang menjadi masalah kalau belajar tari itu setengah-setengah, tidak ada satu pun yang matang. Ini tentu tidak akan baik. Toleransi dan totalitas pemikiran yang dimiliki Rama Sas inilah yang perlu menjadi catatan kita dalam berkreasi untuk pengembangan seni tradisional. Atau dalam perkataan lain, fanatik itu perlu, tetapi kalau terlalu fanatik ibarat katak dalam tempurung. Fanatik harus diambil sisi positifnya yaitu untuk membangkitkan spirit berkesenian sesuai dengan etnis tertentu. Tetapi kalau terlalu etnis centris, ini akan berbahaya

catatan pertunjukan

bagi upaya pengembangan kesenian itu pada komunitas yang lebih luas.

Untuk itulah kesadaran secara menyeluruh dari aspek kepakaran hingga masa depan kesenian menjadi prioritas utama yang segera direalisasikan dalam bentuk ungkapan yang dapat bervariasi. Kita sadar bahwa jika hanya mengacu pada masa lalu, tentunya kita akan semakin kehilangan kesempatan untuk berfikir tentang masa depan kesenian yang harus bersaing dengan dunia global.

Beksan Kuno, Upaya Preservasi

Dalam dokumen dialektika seni pertunjukan (Halaman 183-190)