• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1. Berorientasi Pada Pemberdayaan Masyarakat

Azas pemberdayaan masyarakat mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi seluruh masyarakat perdesaan secara berkelanjutan agar mereka mampu mandiri di dalam mengelola kehidupannya baik sebagai individu-individu maupun sebagai komunitas sosial, sehingga pembangunan perdesaan tidak boleh mengorbankan suatu golongan demi kepentingan kelompok lain seperti yang terjadi di masa lalu. 2. Berorientasi Pada Partisipasi Masyarakat

Azas partisipasi masyarakat mengandung makna bahwa masyarakat perdesaan harus menjadi subjek dalam pembangunan perdesaan. Azas ini

9

merupakan kebalikan dari azas paradigma lama yang cenderung menempatkan masyarakat hanya sekedar objek pembangunan. Pada masa lalu, pemerintah mendominasi proses pembangunan, mulai dari pendanaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Seperti yang telah dikemukakan di atas, dominasi pemerintah ini tidak hanya membuat pembangunan gagal mencapai tujuannya, tetapi juga pendekatan pembangunan tersebut telah merusak kemandirian dan semangat kerjasama di masyarakat perdesaan.

Tata Pemerintahan (Good Governance)

Tata Pemerintahan atau good governance jika dilihat lebih lanjut, maka menurut UNDP arti good dalam good governance mengandung pengertian nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat, kemandirian, berdayaguna dan berhasilguna dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai suatu tujuan, serta aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien. Menurut Daniri (2006) secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan”. Adapun dalam konteks good governance, governance sering juga disebut “tata pamong”.

Menurut FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) (dalam Yunianto, 2011) good governance didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Menurut UNDP tentang definisi good governance adalah sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggung jawab serta visi stratejik. Good governance dimaknai sebagai praktek penerapan kewenangan, penerapan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Ada tiga pilar good governance

yang penting, yaitu:

a. Economic governance atau kesejahteraan rakyat

b. Political governance atau proses pengambilan keputusan

c. Administrative governance atau tata laksana pelaksanaan kebijakan

Jika dikaitkan dengan tata kelola pemerintahan maka good governance

adalah suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat sehingga terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan mandiri. Komite Nasional Kebijakan Governance (dalam Yunianto 2011) memaparkan prinsip- prinsip good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan.

Pengukuran variabel good governance menurut Istianto (2010) dilakukan dengan indikator partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi masyarakat disini adalah dimensi yang menggambarkan adanya media untuk turut sertanya secara aktif masyarakat dalam pembangunan. Indikator-indikator yang

terpenting adalah adanya media lokal dan program-program komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Dimensi transparansi yang dimaksud disini mencakup persepsi terhadap aspek kepedulian pemerintah dalam hal menyebarluaskan informasi-informasi penting bagi masyarakat dan adanya lembaga pengawas kinerja pemerintahan, sedangkan dimensi akuntabilitas yang dimaksud disini adalah mencakup persepsi terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan adanya akuntan publik yang mengawasi keuangan pemerintah daerah.

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Penyelenggaraan pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (Nurcholish 2005).

Menurut Nurcholish (2005), pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran.Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Otonomi Daerah dapat mendorong terjadinya pelayanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Dengan otonomi daerah diharapkan rantai birokrasi yang panjang dapat dipangkas untuk menghindari penundaan dan kualitas yang menurun dari pelayanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan otonomi daerah juga dilihat dari kualitas pelayanan pada masyarakat yang semakin baik. Pelayanan publik juga menjadi bagian yang krusial dalam praktik negara demokratis karena, demokrasi sebagai konsep hanya dapat dirasakan dalam kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan untuk dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks inilah pelayanan publik menjadi tolak ukur penting untuk melihat implementasi otonomi daerah di desa (Istianto 2010).

Dua perspektif yang penting diamati sebagai bagian proses transaksi politik dalam kaitannya dengan pelayanan publik menurut Fernandez et al. (2002) yaitu, dimensi service delivery agent (dinas atau unit kerja pemerintah) dan dimensi

customer atau user (masyarakat yang memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi pelayanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi

11

layanan yang adil (dimensi ruang dan kelas sosial), kesiapan petugas dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price), prosedur sederhana, dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sedangkan dari dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan atau layanan tak berkualitas yang muncul dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan yang ditetapkan, menurut Fernandez et al. (2002) menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar pelayanan publik yang berkualitas. Ada beberapa variabel yang dapat dijadikan indikator tingkat pemahaman masyarakat terhadap prosedur pemberian pelayanan publik yaitu:

1) Pemahaman masyarakat tentang prosedur untuk memperoleh layanan publik. 2) Penjelasan tentang prosedur untuk memperoleh layanan publik dari petugas. 3) Informasi yang transparan bagi masyarakat yang secara rinci menjelaskan

jangka waktu dan tarif yang harus dibayar untuk memperoleh layanan

4) Perilaku petugas yang diskriminatif terhadap masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik.

Sikap dan Persepsi Definisi Sikap

Sikap merupakan konsep yang paling penting dalam psikologi sosial, karena sikap adalah salah satu unsur kepribadian yang mempunyai pengaruh besar dalam diri seseorang. Sebagai suatu gejala psikologis, sikap memiliki berbagai definisi yang dikemukakan dengan berbagai tinjauan oleh para ahli. Menurut Rakhmat (1999), sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar, sedangkan Krech et al (dalam Harihanto 2001) menyatakan bahwa, sikap adalah kecenderungan seseorang untuk mengetahui, merasakan, dan bertindak terhadap obyek yang disikapi dan terorganisir di dalam suatu sistem yang berlangsung secara terus menerus. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap merupakan reaksi yang tertutup dan umumnya mencerminkan opini atau pendapat seseorang secara implisit, tetapi sebaliknya apa yang dinyatakan seseorang belum tentu menggambarkan sikap atau attitude

yang sebenarnya.

Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007). Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu

objek.

Rakhmat (1999) mengatakan bahwa sikap bukanlah tingkah laku tetapi merupakan kecenderungan untuk merasa, berpikir, berpersepsi, bertindak, dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap baik berupa benda, orang, kelompok, tempat, situasi ataupun gagasan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi menentukan apakah seseorang harus setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan serta mengesampingkan apa yang tidak diinginkan dan harus dihindari. Sikap relatif lebih menetap, timbul dari pengalaman dan mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, sikap berkenaan dengan keyakinan pikiran, perasaan dan kecenderungan untuk bertindak atau kecenderungan untuk bertingkah laku seseorang dalam merespons obyek sikap yang bersifat permanen dan dinyatakan dengan pernyataan setuju atau ketidak setujuan orang tersebut terhadap obyek sikap yang dihadapinya.

Komponen Sikap dan Kategori Sikap

Secara umum, menurut Krech (dalam Harihanto 2001) sikap memiliki 3 komponen yakni: kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Komponen Kognitif

Aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu.

2. Komponen Afektif

Aspek ini berkenaan dengan emosional dan faktor sosio psikologis, aspek ini menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki obyek tertentu

3. Komponen Kecenderungan Bertindak

Aspek ini berkenaan dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya.

Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subjek, selain itu, teori tradisional menjelaskan bahwa terdapat sikap netral yaitu sikap yang tidak berpihak akan dua sesuatu, menatap permasalahan secara berimbang. Teori tradisional memandang sikap netral merupakan sikap yang baik demi menjaga harmonisasi struktur-struktur sosial yang ada. Horkheimer (dalam Zulkifri 2010) memandang sikap netral sama saja membiarkan realitas sosial yang ada.

Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya. Komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan satu kesatuan sistem, sehingga

13

tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap dan ketiga komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak secara bersama-sama membentuk sikap. Tentunya ada faktor yang dapat mempengaruhi sikap, antara lain :

a) Adanya akumulasi pengalaman dari tanggapan-tanggapan tipe yang sama. b) Pengamatan terhadap sikap lain yang berbeda.

c) Pengalaman (baik / buruk) yang pernah di alami.

d) Hasil peniruan terhadap sikap pihak lain secara sadar / tidak sadar.

Penelitian ini berfokus pada komponen sikap afektif yaitu aspek yang menyangkut masalah emosional subyektif atau perasaan masyarakat Desa Ciaruteun Ilir terhadap objek pernyataan mengenai implementasi otonomi daerah dalam hal pembangunan desa, tata kelola dan pelayanan publik. Sikap masyarakat ini berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki masyarakat Desa Ciaruteun Ilir mengenai implemntasi otonomi daerah tersebut.

Untuk mengubah suatu sikap, kita harus ingat bagaimana sikap dengan pola- polanya terbentuk. Sikap bukanlah diperoleh dari keturunan, tetapi dari pengalaman, linkungan, orang lain, terutama dari pengalaman dramatis yang meninggalkan kesan yang sangat mendalam. Dikarenakan sikap sebagian besar berkaitan dengan emosi, kita lebih mudah mempengaruhinya dengan emosi pula, yaitu dengan pendekatan yang ramah tamah, penuh pengertian (empathy) dan kesabaran.

Definisi Persepsi

Persepsi didefinisikan oleh Rakhmat (1999) sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Persepsi sebagai proses menerima, menyeleksi, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persepsi adalah suatu proses aktif komunikasi, menyerap, mengatur, dan menafsirkan pengalamannya secara selektif. Beberapa orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat suatu objek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh faktor antara lain tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang, kombinasi penglihatan, penciuman, pendengaran serta pengalaman masa lalu. Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses pengorganisasian stimulus yang diterima oleh indra individu, kemudian diinterpretasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diterima oleh indera itu. Persepsi merupakan keadaan yang terpadu dari individu terhadap stimulus yang diterimanya, maka apa yang ada dalam diri individu, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif dalam persepsi individu.

Wiratno (dalam Subekti 2009) menyatakan persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungan baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi dinyatakan sebagai proses menafsir sensasi-sensasi dan memberikan arti kepada stimuli. Persepsi merupakan penafsiran realitas dan masing-masing orang memandang realitas dari sudut perspektif yang berbeda. Persepsi tidak hanya sekedar mendengar, melihat dan merasakan sesuatu yang didapatinya tetapi lebih jauh disepakati persepsi melibatkan rangsangan internal

dan eksternal. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungannya. Proses tersebut berkaitan dengan kemampuan interpretasi individu, sehingga masing-masing memberikan interpretasi yang bersifat subjektif terhadap objek yang sedang menjadi stimulus.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dijelaskan bahwa persepsi adalah suatu hal yang sangat memberikan pandangan pada seseorang individu atau masyarakat tentang keadaan yang sebenarnya terjadi dalam lingkungannya. Dalam memberikan tanggapan terhadap hal tersebut individu atau masyarakat tidak hanya memandang dengan indera penglihatan dan pikiran tetapi juga dengan perasaan sehingga individu atau masyarakat dapat mengenal dan tahu tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sekarang. Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Sumber: Subekti (2009)

Gambar 1 Proses persepsi

Faktor pihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan. Variabel lain yang ikut menetukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu. Kesamaan persepsi akan mendorong terbentuknya motivasi yang mendukung makna dari perubahan yang terjadi, dengan kata lain bahwa kesamaan persepsi akan mendorong terciptanya motivasi yang optimal bagi pelaksanaan pencapaian tujuan dan misi yang dihadapinya. Begitu juga dalam pembuatan keputusan dan kualitas dari keputusan akhirnya sangat ditentukan oleh persepsi mereka masing-masing (Mulyadi et al. 2012).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat terhadap implementasi otonomi daerah merupakan tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dalam hal pembangunan desa, tata pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Hubungan Persepsi dengan Sikap

Rakhmat (1999) mengemukakan lima pengertian sikap. Salah satu pengertian sikap ini adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap

Perhati an dan seleksi Pengor ganisasi an Penafsiran stimuli Persepsi Stimulus lingkungan

15

objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi. atau kelompok. Persepsi merupakan stimulus proses kepribadian seseorang dalam menilai sesuatu dan sikap tersebut merupakan keorganisasian pendapat sehingga dari hal tersebut membentuk sebuah prilaku. Sebuah persepsi bagi Individual bisa merupakan proses awal terbentuknya sikap dan prilaku, contohnya dapat dilihat ketika seseorang menonton televisi dan peran ditelevisi tersebut merupakan tokoh kegemaranya maka stimulus dalam otaknya bergerak sehingga memiliki persepsi penilaian dan cara pandang untuk mengikuti peran di televisi tersebut sehingga di dalam interaksi kehidupan sehari-hari pembawaan sikapnya terbawa – bawa dengan tokoh kegemarannya tersebut.

Teori persepsi (self-perception theory), telah menghasilkan beberapa penemuan dan membuktikan bahwa sikap digunakan, setelah melakukan sesuatu, untuk memahami suatu tindakan yang telah terjadi daripada sebagai alat yang mendahului dan memandu tindakan. Berlawanan dengan teori ketidaksesuaian kognitif, sikap hanyalah pernyataan verbal yang sederhana. Ketika individu ditanyai tentang sikap mereka dan mereka tidak mempunyai pendirian atau perasaan yang kuat, teori persepsi diri mengatakan bahwa mereka cenderung membuat jawaban yang masuk akal. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap memiliki hubungan dan keterkaitan dengan persepsi. Persepsi seseorang dapat menggambarkan sikap orang tersebut terhadap suatu objek.

Hubungan Sikap dengan Kepuasan

Keterkaitan antara sikap dengan kepuasan dapat dilihat pada penelitian mengenai sikap dan kepuasan kerja oleh Khairul (2002). Seseorang bisa memiliki ribuan sikap, sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki oleh karyawan tentang aspek-aspek lapangan kerja mereka, ada tiga sikap yaitu kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan negatif tentang pekerjaan tersebut.

Kepuasan Masyarakat

Kepuasan masyarakat dalam konteks penelitian ini disetarakan dengan kepuasan pelanggan dalam bidang konsumen dan pelayanan. Masyarakat dianggap sebagai konsumen atau penerima manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah. Pengertian kepuasan menurut Kotler (1999) adalah “Satisfaction is person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s perceived performance in relation to his or her expectation”. Jadi tingkat kepuasan merupakan persepsi terhadap suatu produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Penerima layanan (pelanggan) akan merasa puas, apabila persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan, karena kepuasan pelanggan sangat tergantung pada harapan pelanggan, maka diperlukan pengetahuan secara rinci dan akurat terhadap harapan pelanggan.

Menurut Tse dan Wilton (dalam Tjiptono 1996) disebutkan bahwa kepuasan atau ketidakpuassan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi

ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk setelah pemakaiannya. Kepuasan penerima layanan (pelanggan) merupakan fungsi dari harapan dan kinerja. Oliver (dalam Tjiptono 1996) memberikan pendapat bahwa kepuasan keseluruhan ditentukan oleh ketidaksesuaian harapan yang merupakan perbandingan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Kepuasan merupakan fungsi positif dari harapan pelanggan dan keyakinan diskonfirmasi. Dengan demikian kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat merupakan respon dari perbandingan antara harapan dan kenyataan.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Linder Pelz (dalam Tjiptono 1996) bahwa kepuasan merupakan respon afektif terhadap pengalaman melakukan konsumsi yang spesifik. Sementara Engel (1994), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purna beli terhadap alternatif yang dipilih yang memberikan hasil sama atau melampaui harapan pelanggan. Sedangkan kepuasan masyarakat adalah pendapat masyarakat dalam memperoleh pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan publik dengan membandingkan antara harapan dan kebutuhannya (Kepmen PAN nomor 25 tahun 2004). Definisi tersebut di atas dapat dijabarkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Apabila kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas, sebaliknya apabila kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas dan apabila kinerja melebihi harapan, pelanggan sangat puas.

Menurut Supraptono (dalam Tjiptono 1996), ukuran kepuasan masyarakat yang tinggi mencakup kecakapan petugas, keramahan pelayanan, suasana lingkungan yang nyaman, waktu tunggu yang singkat, dan aspek pelayanan lainnya. Menurut Endah (dalam Tjiptono 1996), kepuasan masyarakat mencakup tingkat kepuasan secara keseluruhan (overall satisfaction), kesesuaian pelayanan dengan harapan masyarakat (expectation), dan tingkat kepuasan masyarakat selama menjalin hubungan dengan instansi (experience). Selanjutnya, penilaian kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan mengambil salah satu dari tiga bentuk yang berbeda (Engel et al. 1994), yaitu:

a. Diskonfirmasi positif, yaitu apabila kinerja lebih baik dari yang diharapkan b. Konfirmasi sederhana, apabila kinerja sama dengan yang diharapkan c. Diskonfirmasi negatif, apabila kinerja lebih buruk dari yang diharapkan

Diskonfirmasi positif menghasilkan respon kepuasan dan yang berlawanan terjadi ketika diskonfirmasi negatif. Konfirmasi sederhana menyiratkan respon yang lebih netral yang tidak positif atau negatif. Kepuasan pelanggan keseluruhan pada akhirnya berpengaruh negatif pada komplain pelanggan dan berpengaruh positif pada kesetiaan pelanggan. Apabila dikaitkan dengan kepuasan masyarakat, maka kepuasan pelanggan dapat dianalogikan sebagai kepuasan masyarakat yang membutuhkan pelayanan instansi. Indikator yang dipergunakan untuk mengetahui kepuasan masyarakat antara lain:

a. Tanggapan masyarakat yang meliputi tingkat kinerja dan tingkat harapan dari kualitas pelayanan pemerintahan

Dokumen terkait