• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH

2. Berperan aktif untuk mencegah

Setiap orang yang mengetahui baik perorangan atau lembaga harus melaporkan kasus kepada pihak yang berwajib.

Selain itu agar kasus Incest ini tidak berulang lagi dalam keluarga maka dapat dilakukan langkah-langkah seperti:90

89

Hasil wawancara dengan Safri, SH,M.H, hakim Pengadilan Negeri Binjai pada tanggal 1 Juni 2015 jam 10.00

90

Hasil wawancara dengan Azmiati Zuliah,SH,MH pada tanggal 29 mei 2015 jam 12.09 di Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak Jl. Abdul Hakim No. 5A Pasar I Setia Budi, Medan-Sumut

a. Memberi pengetahuan bahwa anak bukan aset yang dapat diperlakukan seenaknya oleh orang dewasa atau orangtua.

b. Memberikan pemahaman tentang hak-hak anak atas perlindungan, pendidikan dan kasih sayang

c. Mendorong peran dan fungsi orangtua dan keluarga yang baik bagi anak. d. Peningkatan pemahaman agama sejak dini kepada anak juga keluarga.

e. Meningkatkan peran dan fungsi orangtua dan mewujdukan keluarga yang sakinah,mawaddah dan warohmah.

f. Menumbuhkan keharmonisan rumah tangga dan saling hormat menghormati sesama orangtua dan anak.

Yayasan Pusat Kajian dan perlindungan Anak (PKPA) sebagai salah satu lembaga yang berkontribusi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1996 atas inisiasi seorang tokoh hukum (Alm) Hj. Aminah Aziz dan digerakan oleh para aktivis muda yang dipimpin Ahmad Sofian dan Fadly Nurzal. Alasan utama didirikannya lembaga ini adalah karena masih sangat buruknya situasi anak-anak di Sumatera Utara, program perlindungan anak belum juga dijadikan prioritas dalam pembangunan, minimnya lembaga yang menangani dan punya perhatian terhadap anak.

Sehingga Komitmen PKPA untuk menjaga anak-anak Indonesia dari berbagai tindakan kekerasan serta mendorong pemenuhan hak-hak anak akan terus dilakukan melalui berbagai kajian dan perlindungan.

Menurut Azmiati Zuliah,SH,MH kasus Incest dapat ditanggulangi dengan upaya:91

a. Pendidikan kesehatan reproduksi (sex education) sejak dini sesuai dengan tingkat usianya

b. Menghindari segala bentuk kekerasan dalam mendidik anak, (untuk alasan apapun kekerasan seksual tidak dibenarkan)

c. Memahami setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi pada anak-anak mengawasi bukan mengekang

d. Melakukan sosialisasi melalui berbagai bentuk kegiatan misalnya melalui media teather, melalui leaflet, brosur , media cetak dan elektronik tentang dampak incest pada anak.

e. Melakukan pendampingan kasus mulai dari proses di kepolisian,kejaksaan sampai ke pengadilan

f. Mendorong kebijakan yang lebih baik dalam penanganan dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.

g. Membuka lapangan pekerjaan yang luas oleh pemerintah agar keluarga menjadi keluarga yang utuh dan tidak terpisah satu dengan yang lainnya. h. Memperkuat keimanan dengan menjalankan ajaran agama secara benar.

Bukan hanya mengutamakan ritual, tetapi terutama menghayati nilai-nilai

91

Hasil wawancara dengan Azmiati Zuliah,SH,MH pada tanggal 29 mei 2015 jam 12.09 di Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak Jl. Abdul Hakim No. 5A Pasar I Setia Budi, Medan-Sumut

yang diajarkan sehingga menjadi bagian integral dari diri sendiri. Hal ini dapat dicapai dengan penghayatan akan Tuhan.

i. Memperkuat rasa empati, sehingga lebih sensitif terhadap penderitaan orang lain, sekaligus tidak sampai hati membuat orang lain sebagai korban.

j. Mengisi waktu luang dengan kegiatan kreatif-positif.

k. Menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang dapat membangkitkan syahwat

l. Memberikan pengawasan dan bimbingan terhadap anggota keluarga, sehingga dapat terkontrol.

m. Memberikan pendidikan seks sejak dini, sesuai dengan usia anak.

Upaya lain yang dilakukan apabila terdakwa kembali ketengah-tengah keluarga agar tidak memberikan efek trauma terhadap anak PKPA mengusahakan:

a. Penguatan kepada anak agar mampu mengahadapi kehidupan kedepan b. Melakukan konseling untuk mengilangkan traumatik terhadap korban

c. Mencari solusi alternatif agar anak dan ibunya dapat diamankan oleh keluarga dan juga kepala lingkungan dimana mereka tinggal

d. Meminta perlindungan hukum kepada pihak kepolisian jika terjadi ancaman dari pelaku.

Kebijakan non-penal ini lebih bersifat pencegahan atau preventif sebelum terjadinya kejahatan dimana sasaran utamanya adalah dengan menangani faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Sebagai sarana yang memiliki posisi kunci dan strategis dari upaya politik kriminal sudah sepatutnya sarana non-penal ini

lebih diefektifkan. Tindakan hukum yang efektif maksudnya adalah ketika perilaku bergerak kearah yang lebih baik atau dikehendaki dan ketika subjek hukum patuh pada setiap aturan yang ada.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni :

1) Pengaturan Hukum di Indonesia yang mengatur tentang Percabulan dalam hal ini Incest terhadap anak dibawah umur, selain peraturan pidana yang terkumpul dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang terdapat dalam Pasal 294 KUHP, selanjutnya diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Selanjutnya pengaturan yang lebih khusus yaitu tentang Incest dengan diberlakukannya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82. 2) Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak hubungan seksual sedarah dapat

dilihat dari dua faktor yaitu Pertama, Faktor Internal, yaitu faktor yang terdapat pada individu pelak meliputi faktor faktor keluarga, ekonomi keluarga, pendidikan, dan faktor agama/moral. Kedua, Faktor Eksternal, yaitu faktor yang terdapat di luar diri pelaku meliputi faktor lingkungan sosial, faktor perkembangan IPTEK, lemahnya penegakan hukum dan faktor media massa.

3) Konsep kebijakan hukum pidana mencakup kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non-pidana (non-penal policy). Kebijakan hukum pidana adalah upaya penanggulangan kejahatan yang menggunakan sarana pidana. Contohnya dapat dilihat dari penjatuhan pidana dalam Putusan No. 334/Pid.B/2014/PN.Bnj dimana terdakwa diputus secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 82 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 9 (Sembilan) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang mana putusan ini berdampak positif maupun negatif. Sisi positif penjatuhan pidana tersebut dapat memberikan efek jera pada pelaku. Sedangkan sisi negatif dari penjatuhan pidana tersebut berdampak kepada siapa si anak korban tersebut akan bergantung hidup selama terdakwa (ayah kandung korban) dipenjara. Sedangkan kebijakan non pidana adalah merupakan bagian dari kebijakan kriminal dan kebijakan kriminal itu sendiri merupakan bagian kebijakan penegakan hukum yang mempunyai tujuan akhir perlindungan mayarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

B. Saran

1. Kejahatan seksual terhadap anak khususnya yang dilakukan oleh keluarga (Incest) semakin lama semakin meningkat sehingga diperlukan adanya pengawasan dan kesadaran serta peningkatan fungsi orangtua dalam keluarga. Selain itu, pemerintah atau pun lembaga sosial juga diharapkan untuk

memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak dari tindakan-tindakan kekerasan seksual khususnya Incest.

2. Perangkat hukum yang ada seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU RI No. 23 tahun 2002 Jo. UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya terjadi kasus hubungan seksual sedarah terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan memberikan perhatian dan perlindungan khusus terhadap anak. Dan diharapkan juga agar pemerintah dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perkembangan teknologi dan internet, yang pada saat ini semakin tidak terkontrol dan dapat digunakan secara leluasa untuk membuka akses melihat adegan-adegan pornografi yang tidak patut untuk ditonton oleh umum.

3. Penjatuhan pidana melalui sarana penal nyatanya sudah tepat namun sebaiknya penjatuhan pidananya juga melihat kedudukan pelaku dan korban. Sementara untuk pidana berupa denda ada baiknya jika terdakwa mampu membayar denda yang dijatuhkan oleh hakim sebaiknya denda berupa uang tersebut dapat diberikan kepada anak korban untuk menjamin kelangsungan hidup si anak ke depannya. Selain itu, penulis juga mengharapkan adanya partisipasi dari masyarakat untuk menghindari semakin bertambahnya kasus

Incest dengan cara melakukan pengawasan dan melaporkan kepada pihak yang berwajib jika terjadi tindakan persetubuhan terhadap anak.