• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Zat Besi

2.1.5. Besi Dan Pertumbuhan Anak

Besi (Fe) merupakan mikronutrien yang esensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, mengangkut elektron dalam sel, dan dalam mensintesis enzim yang mengandung besi yang dibutuhkan untuk menggunakan oksigen selama memproduksi energi selluler (Gillespie, 1998).

Keseimbangan besi ditentukan oleh simpanan besi di dalam tubuh, absorpsi besi, dan besi yang hilang. Sedikitnya 2/3 besi dalam tubuh merupakan besi yang bersifat fungsional, kebanyakan dalam bentuk hemoglobin. Selama masa sirkulasi sel darah merah, beberapa sebagai mioglobin di dalam sel otot dan sebagian ada di dalam enzim yang mengandung besi. Paling banyak sisa besi dalam tubuh disimpan dalam bentuk cadangan besi (bentuk ferritin dan

hemosiderin) yang berfungsi sebagai simpanan yang dapat digunakan bila dibutuhkan. Anak-anak mempunyai simpanan besi yang rendah yang disebabkan karena besi digunakan untuk pertumbuhan dan pertambahan volume darah (Gillespie, 1998).

Defisiensi besi merupakan kekurangan zat gizi yang biasa terjadi di negara berkembang dan industri. Apabila tubuh mengalami kekurangan besi, dapat menyebabkan anemi kurang besi. Anemia defisiensi besi adalah keadaan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sampai kadar di bawah 11 g/dl. Cut off point hemoglobin anak usia 6 bulan-6 tahun adalah 11 gr% (Hadisaputro,

1977).

Konsekuensi anemia defisiensi besi diakui memberi pengaruh terhadap metabolisme energi dan fungsi kekebalan yang akan berpengaruh pada fungsi kognitif dan perkembangan motorik (Lonnerdal, 1998). Defisiensi besi juga berhubungan dengan menurunnya fungsi kekebalan yang diukur dengan perubahan dalam beberapa komponen sistem kekebalan yang terjadi selama defisiensi besi. Konsekuensi dari perubahan fungsi kekebalan adalah resistensi terhadap penyakit infeksi. Pada anak-anak defisiensi besi berhubungan dengan kelesuan, daya tangkap rendah, lekas marah dan menurunnya kemampuan belajar (RDA, 1989).

Selama periode kehidupan di United State defisiensi besi diobservasi, yaitu: (1) Pada usia 6 bulan-4 tahun, karena kandungan besi dalam susu rendah, adanya pertumbuhan tubuh yang cepat, dan cadangan besi dalam tubuh sering tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan di atas usia 6 bu1an. (2) Selama pertumbuhan cepat pada usia remaja karena kebutuhan perkembangan massa sel

darah merah dan kebutuhan simpanan besi dalam mioglobin. (3) Selama masa reproduksi pada wanita karena kehilangan besi pada saat menstruas. (4) Selama hamil, karena perkembangan volume darah ibu, kebutuhan dari janin dan plasenta, dan kehilangan darah pada saat melahirkan (RDA, 1989).

Pada 3 bulan pertama kehidupan kebutuhan bayi terhadap besi dapat dipenuhi dari air susu ibu (ASI). Pada bayi yang dari lahir sampai usia 3 tahun tidak diberi ASI membutuhkan besi kira-kira 1 mg/kg per hari. Kebutuhan sehari-hari yang dianjurkan untuk usia 6 bulan-3 tahun adalah 10 mg/sehari-hari yang rnerupakan suatu kadar yang telah dipertimbangkan dapat memenuhi kebutuhan anak pada saat itu (RDA, 1989).

Defisiensi besi umumnya terjadi pada usia 6–12 .bulan atau 1-2 tahun, yaitu 70% kebutuhan besi pada usia 6-12 bu1an dan 50% kebutuhan besi pada usia 1-2 tahun terjadi saat pertumbuhan jaringan yang cepat. Pada tahun pertama kehidupan, kebutuhan seorang bayi untuk mengabsorpsi besi sama besarnya dengan kebutuhan seorang laki-laki dewasa, yang mana hal ini sangat sulit untuk dipenuhi.

Gillespie, 1998 juga menegaskan bahwa jika terjadi defisiensi besi pada usia 6-24 bulan yaitu, pada saat terjadi pertumbuhan yang pesat, dengan konsekuensi dapat mengganggu penggunaan energi dan pertumbuhan fisik.

Prevalensi tertinggi defisiensi besi terjadi bersamaan dengan saat terakhir pertumbuhan otak anak (6-24 bulan), yaitu pada saat terbentuknya kemampuan kognitif dan motorik. Kandungan besi dalam otak pada saat lahir hanya 10% dan 50% pada usia 10 tahun. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang

menderita defisiensi besi hasil tes psikomotornya kurang baik dibandingkan anak-anak yang tidak anemia (Gillespie, 1998).

2.2. Seng

Salah satu fungsi seng yaitu berperan sebagai kofaktor yang penting untuk lebih dari 70 enzim. Dalam fungsi ini, seng mengikat residu histin dan sistein dan dalam waktu yang sama menstabilkan serta membuka tempat/sisi aktif dari enzim-enzim ini sedemikian rupa sehingga katalis dari reaksi dapat berjalan (Berdanier, 1998).

Kadar seng normal dalam serum 80–110 mikrogram/dl, dalam darah

mengandung20 kali lipat karena adanya enzim karbonik anhidrase dalam eritorsit,

rambutmengandung 125–250 mikrogram/dl, muskulus 50 mikrogram/dl. Sumber

seng dalammakanan biasanya yang berhubungan dengan protein, kadar seng yang

tinggi terdapat dalam telur, daging unggas, daging sapi, tiram, kepiting, dan kacang-kacangan (Bakri, 2003).

Seng juga terlibat pada keadaan–keadaan sebagai berikut : proses

pembelahan sel, metabolisme asam nukleat, sintesa protein, kofaktor atau

metaloenzim, transportasi dan regulasi beberapa hormon kelenjar hipofise, tiroid, timus, adrenal, ovarium, dan testis, antioksidan kuat sehingga seng melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif danberfungsi menstabilkan struktur dinding sel, stimulator proliferasi dan migrasi keratinositdidaerah luka (Heidelise, 1997).

Kebutuhan tubuh akan seng tergantung pada pengaturan diet yang adekuat agar dapat menyediakan seng bagi keperluan berbagai proses metabolisme dalam tubuh. Berbagai bahan makanan yang merupakan sumber seng dapat di lihat pada tabel 2.2 di bawah ini :

Tabel 2.2. Daftar Bahan Makanan Sumber Seng

Jenis Makanan Kadar Seng (mg/kilogram Basah

Daging sapi 10-43

Daging ayam 7-16

Ikan laut (cod) 4

Susu 3,5

Keju 40

Beras 13

Kelapa 5

Kentang 3

Sumber : Sandström, Dietary pattern and zinc supply. Dalam Zinc in human

biology, CF Mills (ed). London : Springer Verlag, 1989.

Jenis dan cara pengolahan makanan dapat mempengaruhi total masukan seng dan bioavailability-nya. Susu dan produknya merupakan sumber seng yang

penting bagi bayi dan anak-anak. Air susu ibu mengandung seng lebih sedikit dibandingkan susu sapi, tetapi bioavailabilitynya lebih baik. Hal ini disebabkan

air susu ibu mengandung protein ligand yang spesifik untuk seng, disamping asam sitrat, asam palmitat, dan asam picolinic yang dapat meningkatkan absorpsi seng.

Bahan pangan nabati banyak mengandung asam fitat dan serat (selulosa) yang dapat menghambat absorpsi seng.

Dokumen terkait