• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1. Konsumsi Zat Besi

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pola konsumsi makanan pada anak sekolah di SDN 060813 dapat dilihat bahwa untuk sarapan pagi sebagian besar siswa SD mengkonsumsi roti tawar, roti bakar, nasi goreng dan telur mata sapi, mie goreng, nasi putih dan sambal telur, nasi putih dan ayam goreng dan minuman yang dikonsumsi sebagian besar adalah teh manis panas 1 gelas. Makan siang seperti nasi putih dan dengan lauk ayam goreng dan sayur asam, nasi putih dengan lauk ikan dencis, nasi putih dengan lauk sup daging, mie bakso. Makan malam seperti mie kuah, mie goreng, nasi goreng dengan lauk telur dadar/matasapi, nasi putih dengan lauk ikan sambal dan sayur kangkung, nasi putih dengan lauk telur sambal.

Selain mengkonsumsi makanan pokok siswa sekolah dasar juga mengkonsumsi jajanan yang sering dikonsumsi sehari-hari diluar makanan pokok tersebut seperti jajanan lokal yang sering disebut bakso kojek (cilo), mie goreng, mie kocok (mie instan tanpa dimasak), es warna warni, bakso goreng, roti bakar, tahu isi, snack dan aneka minuman. Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan masih banyak siswa sekolah dasar di SDN 060813 tidak makan dengan teratur siang dan makan malam dan kebanyakan mengkonsumsi jajanan seperti snack dan makanan ringan.

5.1. Konsumsi Zat Besi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi zat besi pada anak sekolah di SDN 060813 Kelurahan Pasar Merah Barat Kecamatan Medan Kota sebagian besar pada kategori kurang yaitu sebesar 56,5%. Penyebab kurangnya konsumsi zat besi pada anak sekolah dasar di SDN 060813 Kelurahan Pasar Merah Barat

Kecamatan Medan Kota dapat disebabkan karena asupan zat besi yang kurang dari makanan yang mereka makan setiap hari dan rendahnya absorbsi (penyerapan) zat besi oleh tubuh mereka masing-masing. Anak sekolah dasar kurang mengkonsumsi makanan dengan sumber zat besi baik heme dan non heme. Hasil penelitian Nurnia, dkk (2013) di Makassar menunjukkan bahwa konsumsi zat besi anak sekolah dasar baik dikarenakan sebagian besar responden sering mengkonsumsi makanan laut seperti ikan dan kerang. Dari hasil rekap frekuensi konsumsi makanan sumber zat besi heme anak sekolah dasar wilayah pesisir Makassar didapatkan jenis bahan makanan yang paling sering dikonsumsi adalah kerang 100% dan ikan segar 97,2%. Walaupun frekuensi kosumsi kerang responden lebih tinggi daripada ikan tetapi jumlah rata-rata konsumsi ikan per harinya lebih tinggi, sebanyak 130,01 gr/hr dibandingkan rata-rata konsumsi kerang hanya sebanyak 9,7 gr/hr. Sehingga dapat diketahui bahwa yang menjadi pola konsumsi responden adalah ikan segar. Tingginya konsumsi ikan dapat dikarenakan wilayah penelitian di daerah pesisir dan pekerjaan utama orang tua responden adalah sebagai nelayan, hal ini juga menyebabkan frekuensi konsumsi kerang tinggi.

Konsumsi zat besi yang kurang pada anak sekolah dasar di SDN 060813 Kelurahan Pasar Merah Barat Kecamatan Medan Kota juga disebabkan oleh responden jarang mengonsumsi sayuran dan buah. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2010) terhadap remaja putri di Mamuju Utara. Hal ini dikarenakan bahan makanan seperti tempe dan kangkung tergolong murah dan mudah di dapatkan untuk menu hidangan sehari-hari. Walaupun sering mengonsumsi tetapi porsi tiap kali konsumsi sedikit, dapat juga mempengaruhi

asupan zat besinya. Dapat juga diketahui bahwa anak usia sekolah dasar lebih sering mengonsumsi jajanan instan daripada mengonsumsi sayur dan buah.

Kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat besi adalah rendahnhya tingkat penyerapan zat besi di dalam tubuh, terutama sumber zat besi dari nabati yang hanya diserap 1-2%. Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengonsumsi bahan makanan yang kurang beragam. Selain itu, karena kurangnya penyediaan makanan, distribusi makanan yang kurang baik, kemiskinan dan ketidaktahuan, ditambah lagi dengan kebiasaan mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi (seperti kopi dan teh) secara bersamaan pada waktu makan sehingga menyebabkan serapan zat besi semakin rendah.

Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antasid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi.

Akibat kekurangan/defisiensi dari zat besi ini sangat berbahaya bagi tubuh yang menyebabkan terjadi anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ini akan menyebabkan gejala sebagaimana gejala dini yaitu wajah pucat, cepat letih, kurang nafsu makan, terjadinya komplikasi khas seperti kelainan kuku (koilorikia), atrofi papila lidah, disfagia, dan stomatitis angularis sampai dengan

komplikasi berat seperti ganguan pertumbuhan sel tubuh dan sel otak, produktivitas, daya tahan tubuh, dan kemampuan belajar yang menurun. Penelitian ini didukung oleh peneltian yang dilakukan oleh Putra (2011) untuk membuktikan fakta bahwa anak-anak di Indonesia banyak yang kekurangan zat besi, peneliti dan rekan rekan di Unit Pengelola Kegiatan Dinas (UPKD) Bidang Kesehatan Program P2DTK Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) bekerjasama dengan Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu telah melakukan survei tentang kekurangan zat besi pada 600 sampel murid perempuan dari 105 SD Se-Kabupaten Kepahiang pada kurun waktu tanggal 1 s/d 11 November 2010, dengan mengukur kadar hemoglobin (Hb) dalam darah. Kadar Hb < 11 g/dl sudah termasuk kategori anemia defisiensi besi, karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia di bandingkan dengan zat gizi lain seperti asam folat, vitamin B12, vitamin C dan trace element lainnya.

Kejadian anemia pada anak sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu diantaranya adalah rendahnya asupan makanan sumber zat besi dalam kehidupan sehari-hari yang dikonsumsi sehingga tidak mencukupi kebutuhan zat besinya. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor penyerapan zat besi dalam tubuh. Ada faktor penghambat yang ada dalam makanan misalnya, phytat dalam nasi dan tannin dalam teh dan kopi, ada pula yang melancarkan absorbsi besi misalnya vitamin C dan beberapa asam amino yang menyebabkan zat besi tersebut dalam keadaan larut sehingga dapat diserap (Pratiwi, 2010).

Hal ini mengindikasikan pentingnya peranan zat besi dalam proses pembentukkan sel darah merah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan

Cardoso dkk (2012) mengenai faktor-faktor yang terkait dengan anemia pada anak-anak di Amazonian, yang menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya anemia pada anak-anak yaitu kurangnya asupan zat besi yang dikonsumsi. Penelitian lain yang dilakukan Wijaya (2011) pada anak usia 6-23 bulan di Kabupaten Aceh Besar menyatakan bahwa subjek yang asupan zat besinya kurang berisiko 1,22 kali menderita anemia dibandingkan dengan subjek yang asupan zat besinya cukup.

Tindakan penanggulangan anemia pada anak sekolah yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan status zat besi dalam tubuh dengan mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat besi. Adapun bahan makanan yang merupakan sumber zat besi adalah makanan sereal, daging, ikan, dan sayur-sayuran (Guthrie,1995). Guthrie (1995) juga menyatakan bahwa bahan makanan yang kaya akan zat besi adalah hati. Selain hati, bahan makanan yang mengandung banyak zat besi dari segi sayur-sayuran adalah kentang, green stalks, daun-daunan, dan kacang-kacangan.

Roti hanya sedikit mengandung zat besi dan hanya sebesar 5% yang dapat diserap oleh tubuh. Buah-buahan dalam bentuk jus atau dikalengkan memiliki kandungan zat besi lebih sedikit daripada buah yang masih dalam keadaan asli. WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi) tahun 2004 menyatakan bahwa kecukupan anak umur 10-12 tahun akan zat besi adalah sebesar 13mg/hari.

Tidak semua zat besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat diserap. Zat besi dalam bahan makanan hewani merupakan jenis heme dan memiliki penyerapan yang cukup tingi, sedangkan bahan makanan nabati merupakan jenis non-heme dan memiliki penyerapan yang bervariasi diantara 1% hingga lebih dari

50%. Untuk mempermudah penyerapan dalam bahan makanan non-heme diperlukan zat peningkat absorbsi diantaranya adalah vitamin C. Penambahan

vitamin C sebesar 25 mg-30 mg pada waktu makan dapat

meningkatkanpenyerapan menjadi 85% (Guthrie, 1995). Seperti yang dikemukakan oleh Almatsier (2006) bahwa asam organik seperti vitamin C sangat membantu penyerapan besi non-heme dengan merubah bentuk feri menjadi bentuk fero (lebih mudah diserap). Vitamin C disamping itu membentuk gugus besi-askorbat yang tetap larut dalam pH lebih tinggi dalam duodenum. Oleh karena itu sangat dianjurkan memakan sumber vitamin C tiap kali makan.

Tindakan penanggulangan juga dapat dilakukan dengan melakukan intervensi dalam bentuk penyuluhan bagi orangtua, guru, dan murid tentang anemia. Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan Kementrian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan Kabupaten adalah dilakukannya tindakan penanggulangan dan pencegahan jangka pendek dan jangka panjang. Adapun tindakan jangka pendek adalah dengan dilakukannya suplementasi pemberian tablet Fe kepada semua anak sekolah dasar. Pemberian tablet besi dapat diberikan dalam seminggu sekali. Seperti yang dijelaskan oleh Parjo (2002) menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Saidin, dkk (1997) menyimpulkan bahwa pemberian suplementasi tablet besi seminggu sekali sama efektifnya dengan pemberian setiap hari dalam meningkatkan kadar Hb.

Sedangkan tindakan jangka panjangnya adalah dengan melakukan program fortifikasi. Fortifikasi adalah salah satu bentuk upaya penganggulangan masalah kurang gizi yang efektif dan murah (Parjo, 2002). Fortifikasi dilakukan dengan menambahkan zat besi ke dalam bahan makanan yang banyak dikonsumsi

masyarakat, terutama yang rawan terhadap kekurangan zat besi. Selain itu bahan makanan yang akan difortifikasi harus tahan lama (Guthrie, 1995). Fortifikasi zat besi dapat dilakukan pada bahan makanan seperti tepung terigu, tepung jagung, gula, dan air minum.

Dokumen terkait