HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.4.2.2 Beta Saham Pada Kondisi Pasar Bearish Tabel 4.10
Hasil Analisi Regresi Sederhana (Single index model) Pada Periode Bearish
No Saham Konstanta Beta
1 AALI -0,017 0,1** 2 ASII -0,4 0,124*** 3 BDMN -0,007 0,041** 4 BNGA 5,678 -4,95** 5 BRPT -0,083 0,171*** 6 BUMI -0,208 0,436** 7 CMNP 0,98 0,018 8 CTRA -0,061 0,193*** 9 ELTY -0,094 0,231*** 10 GGRM -0,022 0,079*** 11 GJTL -0,061 0,146*** 12 INDF -0,041 0,123*** 13 INKP -0,062 0,136*** 14 INTP -0,038 0,106*** 15 KIJA -0,304 0,166*** 16 LSIP -0,042 0,152*** 17 MEDC -0,043 0,074** 18 SMCB -0,051 0,133*** 19 SMRA -0,056 0,173*** 20 TINS -0,217 0,399** 21 TKIM -0,258 0,036
Sumber: data yang diolah, Lampiran 6. Keterangan :
*signifikan pada tingkat signifikansi 10% ** signifikan pada tingkat signifikansi 5% *** signifikan pada tingkat signifikansi 1%
Berdasarkan analisis regresi indeks model tunggal yang ditampilkan pada tabel 4.9 maka dapat diketahui bahwa pada periode bearish beta dari koefisien regresi return pasar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Ri= αi + βi . RM + ei
Berdasarkan hasil analisi regresi pada tabel 4.10, maka persamaan regresi untuk saham AALI sebagai berikut:
Ri = -0,017 + 0,1 (IHSG)
Beta dari saham AALI adalah sebesar 0,1 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1%.
Persamaan regresi untuk saham ASII sebagai berikut: Ri = -0,4 + 0,124 (IHSG)
Beta dari saham ASII adalah sebesar 0,124 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,24%.
Persamaan regresi untuk saham BDMN sebagai berikut: Ri = -0,007 + 0,041 (IHSG)
Beta dari saham BDMN adalah sebesar 0,041 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 0,41%.
Persamaan regresi untuk saham BNGA sebagai berikut: Ri = 5,678 - 4,95 (IHSG)
Beta dari saham BNGA adalah sebesar -4,95 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi penurunan return saham sebesar -49,5%.
Persamaan regresi untuk saham BRPT sebagai berikut: Ri = -0,083 + 0,171 (IHSG)
Beta dari saham BRPT adalah sebesar 0,171 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,71%.
Persamaan regresi untuk saham BUMI sebagai berikut: Ri = -0,208 + 0,436 (IHSG)
Beta dari saham BUMI adalah sebesar 0,436 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 4,36%.
Persamaan regresi untuk saham CMNP sebagai berikut: Ri = 0,98 + 0,018 (IHSG)
Beta dari saham CMNP adalah sebesar 0,018 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 0,18%.
Persamaan regresi untuk saham CTRA sebagai berikut: Ri = -0,061 + 0,193 (IHSG)
Beta dari saham CTRA adalah sebesar 0,193 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,93%.
Persamaan regresi untuk saham ELTY sebagai berikut: Ri = -0,094 + 0,231 (IHSG)
Beta dari saham ELTY adalah sebesar 0,231 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 2,31%.
Persamaan regresi untuk saham GGRM sebagai berikut: Ri = -0,022 + 0,079 (IHSG)
Beta dari saham GGRM adalah sebesar 0,079 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 0,79%.
Persamaan regresi untuk saham GJTL sebagai berikut: Ri = -0,061 + 0,146 (IHSG)
Beta dari saham GJTL adalah sebesar 0,146 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,46%.
Persamaan regresi untuk saham INDF sebagai berikut: Ri = -0,041 + 0,123 (IHSG)
Beta dari saham INDF adalah sebesar 0,123 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,23%.
Persamaan regresi untuk saham INKP sebagai berikut: Ri = -0,062 + 0,136 (IHSG)
Beta dari saham INKP adalah sebesar 0,136 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,36%.
Persamaan regresi untuk saham INTP sebagai berikut: Ri = -0,038 + 0,106 (IHSG)
Beta dari saham INTP adalah sebesar 0,106 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,06%.
Persamaan regresi untuk saham KIJA sebagai berikut: Ri = -0,304 + 0,166 (IHSG)
Beta dari saham KIJA adalah sebesar 0,166 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,66%.
Persamaan regresi untuk saham LSIP sebagai berikut: Ri = -0,042 + 0,152 (IHSG)
Beta dari saham LSIP adalah sebesar 0,152 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,52%.
Persamaan regresi untuk saham MEDC sebagai berikut: Ri = -0,043 + 0,074 (IHSG)
Beta dari saham MEDC adalah sebesar 0,074 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 0,74.
Persamaan regresi untuk saham SMCB sebagai berikut: Ri = -0,051 + 0,133 (IHSG)
Beta dari saham SMCB adalah sebesar 0,133 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,33%.
Persamaan regresi untuk saham SMCB sebagai berikut: Ri = -0,056 + 0,173 (IHSG)
Beta dari saham SMRA adalah sebesar 0,173 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 1,73%.
Persamaan regresi untuk saham TINS sebagai berikut: Ri = -0,217 + 0,399 (IHSG)
Beta dari saham TINS adalah sebesar 0,399 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 3,99%.
Persamaan regresi untuk saham TKIM sebagai berikut: Ri = -0,258 + 0,036 (IHSG)
Beta dari saham TKIM adalah sebesar 0,036 yang memiliki arti bahwa kalau terjadi kenaikan (penurunan) return pasar sebesar 10% maka akan terjadi kenaikan (penurunan) return saham sebesar 0,36%.
Tabel diatas juga menunjukkan setiap nilai beta saham periode bearish kurang dari 1 yang menggambarkan tingkat resiko saham yang lebih rendah. Hal
saham tersebut mempunyai fluktuasi return yang lebih kecil dari pasar secara keseluruhan. Saham dengan beta yang lebih kecil dari satu cenderung bergerak lebih lambat dari pergerakan pasar. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa
sebanyak 6 saham berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 5% (α = 5%).
Keenam saham tersebut adalah AALI, BDMN, BNGA, BUMI, MEDC dan TINS. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa beta saham-saham tersebut signifikan pada tingkat signifikansi kepercayaan 5%. Saham yang berada pada
tingkat signifikansi kepercayaan 1% (α = 1%) ada 13 saham, antara lain ASII,
BRPT, CTRA, ELTY, GGRM, GJTL, INDF, INKP, INTP, KIJA, LSIP, SMCB dan SMRA. Dua saham yang berada pada tingkat signifikansi lebih dari 10% yaitu CMNP dan TKIM. Pada tabel diatas terdapat hanya 2 saham yang memiliki konstanta yang bernilai positif, yang berarti bahwa pada kedua saham tersebut
return akrual lebih besar dari return ekspektasi. Sisanya sebanyak 19 saham
konstantanya bernilai negatif yang berarti bahwa pada kesembilanbelas saham tersebut pada periode bearish return aktual lebih kecil dari return ekspektasi. 4.4.3 Uji Beda Beta Bullish dan Beta Bearish
Tabel 4.11
Hasil Uji Independent sample T-test Beta Mean T hitung
Bullish 0,464790
1,391
Bearish -6,04348
Sumber: data yang diolah, Lampiran 7
Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa rata-rata beta untuk periode bullish adalah 0,36 dan rata-rata untuk periode bearish -0,09. Selisihnya adalah 6,50827 yang berarti bahwa beta pada periode bullish lebih besar daripada beta pada periode
bearish. Nilai t hitung adalah 1,391 dengan nilai t tabel dengan df 40 pada tingkat
signifikansi 10% senilai 1,303, maka berdasarkan hipotesis awal yang menyatakan jika:
• t-hitung > t-tabel = Berbeda secara signifikan (H0 diterima) • t-hitung < t-tabel = Tidak berbeda secara signifikan (H1 ditolak) dapat ditarik kesimpulan menerima H0 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan beta pada periode bullish dan periode bearish.
4.4.4 Pembahasan
Beta merupakan ukuran risiko yang berasal dari hubungan antara tingkat return saham dengan pasar. Risiko ini berasal dari beberapa faktor yang secara langsung mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut, faktor-faktor yang diidentifikasi mempengaruhi nilai beta menurut Suad Husnan (1994) adalah:
1. Cyclicality
Faktor ini menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan dipengaruhi oleh konjungtur perekonomian. Perusahaan yang sangat peka terhadap perubahan kondisi perekonomian merupakan perusahaan yang mempunyai beta tinggi, begitu sebaliknya.
2. Operating Leverage
Menunjukkan proporsi biaya perusahaan yang merupakan biaya tetap. Perusahaan yang mempunyai operating leverage yang tinggi akan cenderung mempunyai beta yang tinggi, begitu sebaliknya.
Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai financial leverage. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan oleh perusahaan, pemilik modal sendiri akan menanggung risiko yang semakin besar. Karena itu semakin tinggi financial leverage, semakin tinggi beta equity.
Dalam pasar finansial, beta adalah konsep yang sangat umum. Kegunaannya mulai dari menilai seberapa berisiko suatu saham, mengevaluasi apakah saham tersebut bagus atau tidak, sampai pada memprediksi berapa return yang akan dihasilkan oleh instrumen tersebut pada masa yang akan datang. Mempertimbangkan kondisi pasar adalah penting untuk mendapatkan hasil pengukuran beta yang lebih akurat. H.M Jogiyanto (1998a, 1998b) menyatakan bahwa pada pasar modal indonesia terjadi aktivitas perdagangan yang tidak sinkron sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap perhitungan nilai beta pada pasar yang ada. Kondisi pasar didalam pasar modal ada 2 yaitu, kondisi ketika pasar sedang naik (bullish) atau ketika pasar sedang turun (bearish). Salah satu indikator pasar yang sedang bullish adalah naiknya IHSG secara kontiniu, begitu sebaliknya dengan pasar yang sedang bearish.
Dalam pemilihan periode bullish dan periode bearish, penelitian ini menggunakan metode yang digunakan oleh Reza Ghazarma, dkk (2013) yaitu dengan menggunakan median dari return pasar yang dalam penelitian ini diwakili oleh IHSG. Dengan menggunakan data historis saham yang terdaftar di BEI dari tahun 2003 hingga 2012 dan termasuk dalam saham-saham yang likuid, penelitian ini menggunakan metode single index model untuk penghitungan beta dan uji beda independent sample t –test untuk menguji perbedaan beta di dua kondisi
pasar yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis uji beda independent sample t –test yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini adalah konsisten dengan penelitian Uung Kusneri (2002) dan Parvez Ahmed dan Larry J. Lockwood (1998), dalam penelitiannya menyatakan bahwa beta periode
bullish dan beta periode bearish adalah berbeda secara signifikan. Dan beta
periode bullish lebih besar daripada beta kondisi bearish. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata beta pada periode bullish yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata beta pada periode bearish.
Bila dibandingkan dengan penelitian Uung Kusneri (2002) menggunakan data saham dan IHSG bulanan yang diterbitkan oleh Bursa Efek Jakarta dari tahun 1994 hingga tahun 2000, nilai beta pada penelitian tersebut baik periode
bullish maupun periode bearish rata-rata lebih besar dari 1 (β>1). Pada periode
bullish dari 24 saham, hanya 7 saham yang nilai beta nya kurang dari 1 dan 7
saham nilai beta nya lebih besar dari 1, sisanya sebanyak 9 saham nilai beta nya lebih besar dari 2. Pada periode bearish dari 24 saham, 7 saham nilai beta nya kurang dari satu dan selebihnya nilai beta saham tersebut lebih dari 1. Jika kembali mengacu pada teori Husnan (1994) yang menyatakan bahwa saham dengan beta lebih besar dari 1 disebut sebagai saham yang agresif dan saham yang mempunyai beta kurang dari satu disebut sebagai saham yang defensif , maka dapat dikatakan bahwa saham-saham pada tahun 1994 hingga tahun 2000 pada penelitian Uung Kusneri (2002) adalah saham-saham yang agresif karena nilai beta nya rata-rata lebih besar dari 1 dan saham-saham yang menjadi objek pada penelitian ini dari tahun 2002 hingga tahun 2013 dalam penelitian ini adalah
saham yang defensif karena nilai beta nya rata-rata kurang dari 1. Karena beta pada setiap saham adalah kecil, maka tingkat risikonya juga rendah diikuti juga dengan return yang rendah.
Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi besar kecilnya nilai beta yang menentukan saham tersebut apakah defensif atau agresif, baik itu faktor makroekonomi yang mempengaruhi beta melalui harga saham dan stabilitas pemerintahan yang turut juga mempengaruhi beta melalui dampak kebijakannya terhadap pasar modal. Untuk faktor makroekonomi, dapat dilihat dari tingkat inflasi pada tahun penelitian. Berikut ditampilkan tingkat inflasi pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 dan tahun 2003 hingga tahun 2012 pada tabel 4.12.
Tabel 4.12 Tingkat Inflasi (%)
Berdasarkan IHK 1994-2000 dan 2003-2012 No Thn Inflasi Thn Inflasi 1 1994 9,24 2003 5,16 2 1995 8,6 2004 6,4 3 1996 6,5 2005 17,11 4 1997 11,1 2006 6,6 5 1998 77,6 2007 6,59 6 1999 2 2008 11,06 7 2000 9,4 2009 2,78 8 2010 4,8 9 2011 5,1 10 2012 5,4 Sumber: BPS, diolah.
Dari tabel 4.12 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata inflasi pada tahun 1994-2000 lebih tinggi dari tahun 2003-2012. Inflasi sebagai faktor makroekonomi juga memberikan dampak terhadap saham. Kenaikan inflasi akan
menyebabkan harga-harga secara keseluruhan naik menyebabkan kebutuhan sekunder (barang pelengkap) dan kebutuhan tersier (barang mewah) menurun, karena masyarakat akan mengutamakan memenuhi kebutuhan primer terlebih dahulu sehingga harga saham pada perusahaan properti dan real estate (CTRA, ELTY, KIJA dan SMRA), industri kayu (BRPT), ban kendaraan (GJTL), otomotif (ASII) dan semen dan bahan bangunan (INTP dan SMCB) akan lebih terkena dampaknya daripada harga saham perusahaan makanan dan minuman (INDF), pabrik kertas (TKIM dan INKP), perkebunan kelapa sawit (AALI dan LSIP), minyak gas dan bumi (MEDC), dan pertambangan (TINS dan BUMI).
Dapat dilihat bahwa pada tahun 1998 dan tahun 2008 merupakan periode tertinggi terjadinya inflasi. Hal ini disebabkan pada tahun 1998 terjadi krisis moneter dan krisis politik yang menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tenggelam hingga 600 persen dalam satu tahun atau merosot dari Rp 2.500 per dolar AS di 1997 menjadi Rp 17.000 per dolar AS pada Januari 1998, IHSG turun 292,12 poin pada tahun 1998 dari 467,339 pada semester satu tahun 1997. Ketidakstabilan pemerintahan pada saat krisis juga turut mempengaruhi kepercayaan para investor untuk menanamkan modalnya di pasar modal. Pada tahun 2008 terjadi krisis keuangan global yang telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711 per dolar AS pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048, IHSG mencapai posisi terendah hingga mencapai di level 1.111,390 pada 28 Oktober 2008. Dampak dari krisis ekonomi tersebut paling dirasakan oleh masyarakat menengah ke atas,
terlebih mereka yang bermain saham, valuta asing dan investasi emas. Dampak dari krisis tersebut dapat dilihat terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang semakin memburuk pada saat krisis. Hal ini menjadi berakibat fatal terutama bagi perusahaan yang meminjam di luar negeri, mereka harus membayar hutang lebih besar, sehingga kinerja perusahaan tersebut akan melemah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga saham.
Terdapat faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi beta. Penelitian Indriastuti (1999) dan Musliatun (2000) dengan memisahkan periode analisis normal dan krisis 1997 menemukan bahwa likuiditas, pertumbuhan, dan leverage keuangan mempengaruhi beta. Indriastuti (1999) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi beta saham dengan membandingkannya untuk dua periode yang berbeda yang meliputi likuiditas, leverage keuangan, pertumbuhan aset, ukuran perusahaan, dan leverage operasi. Indriastuti (1999) menemukan bahwa beta periode normal dan periode krisis tidak berbeda. Musliatun (2000) mengungkapkan hasil yang berbeda bahwa beta periode normal lebih tinggi dari beta periode krisis secara statistis.