• Tidak ada hasil yang ditemukan

keagamaan atau organ

ekstrakurikuler yang

lain yang kebetulan

didominasi kelompok

in to le ran di sekolah itu,”

LAPORAN UTAMA

28 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

di bi ar kan di dunia pendidikan. Pen di-dik an sendiri menurutnya merupakan sa ra na untuk mendidik manusia yang me mi liki kepribadian yang luhur dan

dapat memaknai pentingnya ke

hi-dup an bersama. Maka pendidikan

Pancasila penting diperkuat karena di dalam Pancasila telah mengajarkan ar ti suatu hidup bersama.

Mengenai kasus intoleransi atau tin dak an intoleransi di sekolah

(mi-sal nya, mayoritas memojokkan

mi-nor itas, atau menghina dalam bentuk verbal maupaun non verbal) ba gi nya ini sebagai indikasi kegagalan pen di-dik an di sekolah. Budaya sekolah yang kurang bagus dan baik untuk ber kem-bangnya anak lahir dari proses pen-di pen-dik an yang pen-ditanamkan oleh para pendidik dan lingkungan. Tentu ha rus diperhatikan ialah lingkungan se

ko-lah, lingkungan masyarakat di

ma-na ama-nak tinggal, dan lingkungan ke-luarga. Jika ketiga hal ini tidak sa ling mendukung bentuk pendidikan apa-pun akan gagal di tengah jalan.

Ia menyebutkan ada tiga aspek men dasar dalam pendidikan yang ha-rus ditanamkan yaitu: pertama, me-na me-nam kan nilai, artinya di dalam pen-di pen-dik an ada nilai yang pen-ditanamkan ke-pa da peserta didik, nilai ini akan ber-pe ngaruh dan berdampak pada si kap dan perilaku peserta didik ji ka nilai ini salah diberikan (contoh ni lai yang ditanamkan ya kejujuran, ke ba ikan, kebenaran, gotong-royong, meng har-gai, menghormati satu dengan yang

lain). Kedua,. menanamkan pe

nge-tahuan, artinya peserta didik men da-patkan pengetahuan sesuai dengan apa yang menjadi bidangnya. Pe nge-ta hu an dalam bentuk kognitif supaya pe ser ta didik memiliki kapasitas dan ke mam pu an untuk memecahkan ma-sa lah hidup dan mama-salah yang ada secara lebih baik dan bijaksana. Ke

ti-ga, menanamkan budaya yang luhur,

ar ti nya peserta didik mendapatkan bu da ya yang baik dan bersinergi, bu-kan budaya kekerasan, bubu-kan bu da-ya intoleransi ataupun budada-ya da-yang membawa kerusakan moral dan men-tal itas.

“Kasus yang muncul di dunia pen-di pen-dik an ketika ada siswa pen-dikatakan “ka fir”, ini ada persoalan pendidikan aga ma yang salah kaprah karena is-ti lah “kafir” itu sendiri muncul dari pen di dikan agama, dalam konteks ter-ten tu,” imbuhnya.

Jika itu yang terjadi lanjutnya ma-ka perlu ada evaluasi di dalam pen-di pen-dikan kita pen-di sekolah, mulai da ri kurikulum, ajaran, buku ajar, pen-di pen-dik, jangan-jangan ada yang salah de ngan pendidikan yang selama ini perlu diteliti secara cermat dan aku-rat kenapa anak bisa berkata seperti itu. Oleh karena itu, penguatan pen-di pen-dik an agama menjapen-di penting,

ya-itu pendidikan agama yang ber

ke-pri ba dian dalam kebudayaan bang sa Indonesia. Bukan pendidikan aga ma yang melahirkan generasi fun da men-tal is-radikalisme.

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |29

Ruang Publik Sekolah yang Terdominasi

Sebagaimana paparan M. Iqbal Ahnaf yang menyebutkan kurikulum bu kan elemen satu-satunya pemben-tuk ni lai toleransi di sekolah. Salah sa-tu ele men lain yang sangat menensa-tu- menentu-kan ada lah ruang publik sekolah yang ter bu ka. Ruang publik sekolah (school

public space), sederhananya, adalah

ru ang sosial di dalam lingkungan

se-kolah yang menjadi tempat ber

in-teraksinya warga sekolah secara ter-bu ka. Ruang ini ter-bukan semata tempat fisik, tapi lebih-lebih tempat bertemu dan berkreasinya siswa.

Sebab, terjadinya perilaku in to le-ran si di dunia pendidikan kita me nu-rut nya diakibatkan dari kontrol atas

du nia pendidikan kita yang lemah. Na-mun, ini tentu tidak bisa dipukul rata, wa lau pun di Yogyakarta sendiri ada se kolah-sekolah yang menjadi basis

da ri kelompok-kelompok tertentu

yang berusaha untuk mengendalikan ruang publik berdasarkan setandar yang mereka pakai.

“Saya tidak tahu persisnya sekolah ma na, kasus bully yang menggunakan ka ta kafir itu Mas. Tapi, saya kira itu ti dak mengagetkan kalau kita melihat apa yang terjadi di sejumlah sekolah di Yogyakarta ini,” tegasnya.

Bahwa lanjutnya ada upaya untuk mengontrol ruang publik sekolah se-ba gai cara untuk mengamankan do-mi na si kelompok ideologi tertentu. Itu tidak mungkin terjadi tanpa

LAPORAN UTAMA

30 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

kung an dari kepala sekolah. “Kepala se ko lah mendukung atau paling tidak mem bi ar kan,” ucapnya.

Lebih-lebih lagi di sekolah yang ber-la bel Isber-lam hal itu menurutnya sudah la ma terjadi dan malah itu saya kira se la in sebagai doktrin juga sebagai jar-gon. Sepertinya kita tidak baru men-de ngar anak-anak yang masih ke las satu pulang sekolah mengajari orang tua mana yang kafir dan mana yang bukan kafir, mana yang haram dan yang tidak haram. Itu semua men ja di bukti bahwa ada yang lepas dari sis-tem pendidikan kita.

Hal itu, tentunya bisa terjadi ka-re na adanya kontrol yang begitu ku at oleh kelompok kesiswaan yang do mi-nan yang mengakibatkan tidak ada-nya kontestasi dan keragamanpun di-te kan. “Bagi saya, intoleransi itu bisa di te kan ketika ada kontestasi yang ter-ja di,” tuturnya.

Ia menegaskan, prilaku intoleransi di dunia pendidikan kita bisa diredam de ngan cara adanya sikap netral dari oto ri tas yang berwenang dengan tidak men du kung hegemoni satu kelompok ter ten tu atas kelompok yang lain. Ha-rus nya yang penting dilakukan adalah bu kan mengusir kelompok-kelompok yang intoleran itu tapi bagaimana men cip takan ruang publik yang lebih ter bu ka. Sayangnya selama ini ruang yang lebih terbuka itu tidak tersedia di ling kung an pendidikan kita.

“Mak sud saya, ruang yang terbuka itu adalah tempat diskusi, kajian dan yang sejenisnya itu sudah tertutup,”

te gas nya. Ketika ruang itu sudah di-ku asai oleh kelompok tertentu maka akan sulit terjadi kontestasi bahkan tema-tema tertentu dilarang untuk ba has. “Inilah maksud saya contoh di-ma na radikalisme atau prilaku in to le-ran si didukung oleh otoritas lembaga pen di dikan yang tidak berpihak pada ke ra gam an,” katanya.

Akan tetapi, kadang-kadang yang ki ta hadapi saat ini adalah sekolah ber-lom ba-ber-lomba membangun citra bahwa se ko lah itu sekolah yang religius (sa-leh). Tapi religius yang dimaknai se-ca ra sempit dengan memakai jilbab, ta da rus, sholat duha, dan bahkan de-ngan melakukan segregasi.

Pendidikan Interreligius Menjadi Sebuah Tawaran Alternatif

Hampir semua orang tua meng-ingin kan anak-anaknya menjadi ma-nu sia yang pintar. Tidak sedikit bagi orang tua yang mempunyai dana le-bih, menyekolahkan anaknya ke luar ne ge ri, ke sekolah internasional, atau sekolah biasa. Belum lagi anak di ikut-kan kursus ini atau pun kursus itu. Fa si litas yang lebih kadang menjadi per ha ti an para orang tua, dalam me-nen tu kan sekolah anaknya. Karena ke leng kap an fasilitas itulah, dianggap se mua nya akan bagus. Ternyata, fa-si li tas bukanlah jaminan anak akan men da pat kan pendidikan yang bagus.

Se ba gaimana yang dijelaskan oleh Dr. Heri Santoso, tidak ada yang bi sa menjamin, pergaulan di sekolah ter

na-EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |31

ma, akan melahirkan pergaulan yang kita harapkan. Saat ini, paham ra di-kal isme telah masuk ke lembaga pen-di pen-dik an. Karena rapen-dikalisme ini lah, membuat banyak siswa mudah meng-ka fir kan temannya sendiri, mudah mem ben ci temannya sendiri. Itulah fak ta yang terjadi di sebagian sekolah sa at ini. Memang jumlahnya belum se be ra pa, tapi bibit radikalisme itu be gi tu nyata terasa. Jika hal ini terus di bi ar kan, bukan mustahil, lembaga pen di dik an akan banyak disusupi oleh pa ham radikalisme.

Karena itulah, kiranya perlu pen-di pen-dik an yang interreligius se ba gai ma-na solusi yang ditawarkan oleh Listia pegiat PaPPIRus. Pendidikan in ter re-ligius yang dimaksud adalah mo del pengkajian agama yang di kem

bang-kan dengan optimisme dalam me man-dang perbedaan agama-agama dan

perubahan masyarakat yang ma kin

cepat. Optimisme dalam hal ini be ru-pa ru-pandangan positif disertai pe ne-ri maan dan kepercayaan bahwa ber-ba gai peruber-bahan yang terjadi dalam ma syarakat dengan ragam perbedaan yang makin berkembang adalah se-su atu yang tak terhindarkan, bahkan me ru pa kan kehendak Tuhan. Ragam per be daan dalam kehidupan manusia da lam pandangan yang optimistik ini di si kapi sebagai hal yang berguna bagi ber tum buhan potensi dan martabat ma nu sia sendiri.

“Proses pendidikan interrelegius ti-dak memisahkan peserta didik yang ber beda agama. Semua peserta belajar (apa pun latar belakang agamanya) di-ban tu untuk menggali pemahaman se-ca ra bersama-sama tentang berbagai te ma,” tulisnya dalam makalah yang

di sam paikan pada acara seminar

PUSHAM UII.

Karena itu, sudah saatnya per-be da an tidak lagi dianggap sebagai sum ber persoalan. Perbedaan justru

ha rus dimaknai sebagai anugerah

yang diberikan Tuhan kepada umat ma nu sia. Perlu diingat, di dunia ini tidak ada satu pun agama yang me-nga jarkan kekerasan. Semua aga ma mengajarkan kebaikan, me nge de pan-kan perdamaian dan toleransi. Un-tuk bisa mencapai itu, kalau bo leh meminjam pernyataan Poulo Freire diperlukan pendidikan yang me ma nu-si akan manunu-sia. n

z Dr. Heri Santoso, M.Hum., dosen Fakultas Filsafat UGM

WAWANCARA

32 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

Berdasarkan pemetaan FKUB, bagaimana situasi kerukunan baik antar agama maupun intra agama di Bantul?

Kami dari FKUB melihat ke ru kun-an umat beragama di Bkun-antul masih kon dusif meskipun kami rasa tidak mung kin juga suatu daerah itu tidak ada masalah. Seperti sewaktu kami ber temu dengan Kapolda di Kantor PCNU, menurut beliau kota Bantul ter ma suk wilayah yang kondusif. Wa-lau pun tentu ada sedikit riak-riak

masalah kerukunan tersebut. Ta pi

kalau kita mengikuti media, Bantul seakan menjadi wilayah yang mem pu-nyai gejolak yang cukup tinggi terkait

ke ru kunan antar umat beragama. Pa-da hal yang aPa-da di masyarakat se be-nar nya tidak seperti itu. Kalau pun ada ke ja dian akan cepat kita atasi sehingga tidak meluas dan bisa normal kembali.

Bisa diceritakan konflik apa yang pernah terjadi ?

Konflik tentang pembangunan ru mah ibadah yang sebenarnya su-dah lama berdiri namun belum pu-nya idzin, kemudian ada sebagian orang yang mempermasalahkan ru-mah ibadah itu. Seperti gereja di Kasihan, kemudian ada lagi gereja di Pajangan. Tetapi dapat kita selesaikan de ngan baik bersama FORKOMINDA

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |33

WAWANCARA

(Forum Komunikasi Pimpinan Dae-rah), dengan Camat dan Lurah

se-tem pat, dengan mengumpulkan

to-koh -toto-koh agama setempat dan ki ta berikan pemahaman khususnya

ter-ka it mekanisme pendirian rumah

iba dah. Bahkan saat ini sudah terbit Per atur an Bupati yang menyatakan ru mah ibadah didirikan sebelum ta-hun 2006 bisa mengajukan izin

pe-mu tih an. Kemudian rumah ibadah

yang didirikan setelah tahun 2006 ha rus memenuhi syarat-syarat se per-ti yang ditentukan dalam Peraturan Ber sama Menteri tahun 2006. Con-toh lain adalah peresmian sebuah

ba ngun an patung Yesus di gereja

Pajangan. Saat itu kontroversial ka-re na saat peka-resmian mengundang ju-ga ibu-ibu yang beraju-gama Islam me-la ku kan tradisi gejog lesung (tradisi me num buk padi). Kemudian setelah acara selesai ibu-ibu muslimah ter-se but berfoto di depan patung Yesus yang cukup besar yang kemudian men ja di heboh di media sosial. Na-mun sudah kita koordinasikan dan sudah kita selesaikan. Salah satu pe-nye le sai annya pembengunan gereja itu sendiri dihentikan sementara sam pai ijin resmi diterbitkan. Dari pi hak gereja sendiri juga sudah me-min ta maaf kepada warga sehingga permasalahannya sudah se le sai.

H. Yasmuri, M.Pd.I.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama

Dokumen terkait