• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN UTAMA AWAS, INTOLERANSI MENGINTAI PELAJAR YOGYAKARTA WAWANCARA FKUB PUNYA PERAN SENTRAL DALAM MENANGANI KONFLIK AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN UTAMA AWAS, INTOLERANSI MENGINTAI PELAJAR YOGYAKARTA WAWANCARA FKUB PUNYA PERAN SENTRAL DALAM MENANGANI KONFLIK AGAMA"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

4

EDITORIAL PENDIDIKAN AGAMA YANG MENGHARGAI MANUSIA

6

LAPORAN UTAMA MENOLAK TAKLUK ATAS NAMA KONSTITUSI

17

LAPORAN UTAMA INTOLERANSI DAN KEKERASAN BERNUANSA IDENTITAS DI YOGYAKARTA LAPORAN UTAMA

EKSKLUSIFISME

PENDIDIKAN

AGAMA

23

LAPORAN UTAMA AWAS, INTOLERANSI MENGINTAI PELAJAR YOGYAKARTA

24

WAWANCARA FKUB PUNYA PERAN SENTRAL DALAM MENANGANI KONFLIK AGAMA

38

WAWANCARA PEMAHAMAN POLISI PERLU DIPERKUAT UNTUK URUSAN KEBEBASAN BERAGAM

41

PERSPEKTIF

AGAMA PARA IDOLA: ANTARA TEROR DAN JALAN KETIGA

46

RESENSI

MEREKA YANG HIDUP DI BALIK BAYANGBAYANG IDEOLOGI

43

ESAI

AGAMA TAK BOLEH JADI ALASAN DISKRIMINASI

(4)

EDITORIAL

Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta

Penaggung Jawab Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi M. Syafi’ie | Reporter Kamil Alfi Arifin,

M. Yasin, Kelik Sugiarto | Kontributor Ardhie Raditya, Tommy Satriadi Nur Arifin, Eko Riyadi

Fotografer Gibbran Prathisara | Artistik Aziz Dharma

Alamat Redaksi/Tata Usaha Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A,

Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telepon 0274-452032 | Fax 0274-452158 |

Website www.pusham.uii.ac.id Email pushamuii@yahoo.com

4 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

K

ita terkejut dengan informasi

bah wa ada seorang anak yang meng ka fir kan temannya gara -gara berbe da aga ma dan meng-ang gap nya sebagai ormeng-ang ymeng-ang berbeda. In formasi itu berkem bang luas ka rena di utarakan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta setelah mendapat peng adu an dari sa lah satu wali murid ter-ka it potret in toleransi pe la jar yang terjadi di sekolah.

Pengkafiran pelajar ternyata di to-pang oleh ragam informasi terkait me-ngu atnya ca ra pandang eksklusif. Di beberapa se ko lah, lewat kegiatan-ke-gi atan OSIS terlihat ke kegiatan-ke-gi at an yang semakin men ja uh kan dari se ma ngat

ke ber samaan antar lintas ke ya kinan dan bah kan mendiskreditkan terhadap ke ya ki n an yang berbeda. Ke ya kin an agama di ka lang an pelajar sema kin di buat tertutup dan di ja uh kan untuk da pat berdialog de ngan ragam ke per-caya an, ke ya kinan, dan bah kan dengan ra gam pi lih an madzhab. Di alog lintas agama di ce gah, dialog lintas madz hab dan pemikir an ti dak di bangun.

Cara pendang ekslusif di kalangan pe la jar ter nya ta berhubungan kuat dengan prak tek in to le ran si yang ter ja-di ja-di banyak tem pat ja-di Indonesia. Ada ragam peristiwa intoleransi yang ter li-hat: mulai pem bu bar an diskusi ka re na ter ka it per be da an pe mikiran agama, pe

-Pendidikan Agama

yang Menghargai

Manusia

Pendidikan adalah proses pembebasan

dan pendidikan adalah proses pembangkitan kesadaran kritis ~Paulo Freire

Oleh M. Syafi’ie

(5)

EDITORIAL

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |5

nu tup an dan peru sak an tempat iba dah, pe nye rang an ke lom pok yang di tu duh syiah dan ahmadiyah, sam pai de ngan pembakaran to koh aga ma di Aceh mi-sal nya ka re na diduga yang ber sang kut-an me la ku kkut-an prak tek peng obatkut-an al-ter na tif yang di nilai me nyim pang dari aki dah.

Apa yang terjadi pada pe la jar yang

se makin eksklusif da lam beragama

di Indonesia mem per li hat kan tentang

wa jah wacana pu blik keagamaan di

Indonesia yang semakin mengalami kri sis. Aga ma seperti kehilangan pe-ran nya un tuk menghidupkan pe san ke-ma nu si aan, keadaban, dan ke da ke-mai an di muka bumi. Agama seperti peng hi-dup api pembedaan dan per mu suh an di antara orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan. In di ka si nya ada lah penganut agama yang ti dak lagi mau untuk hidup ber dam ping an dengan orang -orang yang di ni lai ti dak satu keyakinan agama dan kepercayaan. Bah kan, orang dan ke lom pok yang ber-be da dianggap se ba gai mu suh.

Di tengah situasi yang serba eks-klu sif, kita berharap pada sistem pen-di dik an agama yang lebih mengga li nilai-nilai emansipatif yang terda pat di jantung agama. Sistem pendidikan aga ma yang emansipatif sejalan de ngan ha ke kat pen di dik an itu sen di ri, yaitu se bu ah proses untuk me ma nusiakan ma nusia (humanizing human being).

Sistem pendidikan aga ma yang

me-ma nu siakan tentu ti dak mudah.

Di-bu tuh kan guru yang me nger ti ten tang hakekat agama, ku ri kulum yang mem -per temukan di alog antar agama, ke-percayaan dan madz hab, sarana pra sa-ra na yang men du kung dan pelajar yang di per ku at untuk menjadi pribadi yang da pat menghargai setiap manusia de-ngan ke ra gam annya.

Buya Syafi’i Ma’arif mengatakan bah -wa pendidikan Islam bukanlah se ka-dar proses penanaman nilai-ni lai mo-ral untuk membentengi diri da ri ek ses negatif globalisasi. Tetapi yang pa ling ur gen –menurut beliau—ada lah ba gai-m ana nilai gai-moral yang ditelah di ta nagai-m- nam-kan pendidinam-kan Islam mampu berperan se ba gai ke ku at an pembebas (liberating

force) da ri himpitan kemiskinan, ke

bo-doh an dan keterbelakangan.

Pernyataan Buya Syafi’i secara ti dak lang sung juga mengkritik ten tang sis-tem pen di dik an agama se la ma ini yang ma sih belum menjadi me dia pem bebas pe nga nut nya un tuk lebih terbuka, lebih me ma hami per be daan sebagai fitrah, le bih me ma hami ajaran agama untuk sa ling me ngu atkan nilai solidaritas un-tuk mem be bas kan negara Indonesia da ri lu bang kemiskinan yang tidak kun -jung ter se le sai kan. Ajaran agama yang ekslusif se ca ra tidak langsung se be nar-nya me ma sung penganutnar-nya be r a da di garis ke ter be la kang an dan ke bo dohan.

Di tengah suasana ekslusifisme ber -aga ma, kita terus berharap ada ru ang pem be bas an dari praktek bo doh yang ter ja di. n

(6)
(7)

PENOLAKAN TERHADAP CAMAT NON-MUSLIM, JULIUS SUHARTA, DI PAJANGAN, BANTUL, SAMPAI SAAT INI, BELUM SEPENUHNYA BERHENTI. BUPATI BANTUL, SUHARSONO, TETAP BERSIKERAS MENGANGGAP KEPUTUSANNYA SUDAH BENAR BERDASARKAN KONSTITUSI.

LAPORAN UTAMA

FOTO OLEH GIBBRAN PRATHISARA/PRANALA

Menolak

Takluk

Atas Nama

Konstitusi

(8)

LAPORAN UTAMA

8 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

J

am digital di ponsel saya

me-nun juk kan angka dua be-las lebih lima puluh menit se tiba nya kami di kantor Kecamatan Pajangan. Di siang yang te rik itu, kami berempat bermaksud me nemui Julius Suharta, camat baru di Pajangan—sebuah wilayah yang me mang tergolong beriklim panas di Kabupaten Bantul.

Namun, Julius tak ada di tempat. Ru angannya tampak sepi dan kosong.

Me nurut keterangan salah seorang pe-gawai setempat, Julius belum kem bali karena masih ada rapat di kantor pe-me rintah daerah, sejak tadi pagi. Pa-da hal, hari sebelumnya, kami suPa-dah meng anggit janji bertemu untuk ke-pen tingan wawancara. “Saya bisa di-wa di-wan cara besok setelah jam dua be-las,” kata Julius.

Salah seorang dari kami kemudian berinisiatif mengirim pesan pen-dek, sanpen-dek, ke ponsel Julius un tuk

(9)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |9

mengingatkan kalau ada janji wa wan-cara dan mengabarkan bahwa kami su dah berada di kantor Kecamatan Pajangan. Beruntung, Julius meres-pon sandek kami dengan cepat. Ia me nya takan sudah dalam perjalanan pu lang dari kantor pemerintah

da-e rah menuju ke kantor Kecamatan

Pajangan.

Setelah tiga puluh menit berlalu,

aju dan camat menghampiri kami

yang sedang duduk menunggu di

au-la pertemuan kantor Kecamatan Pajangan. “Sudah ditunggu Pak Camat di ruangannya, mari ikut sa ya,” ujar-nya pelan.

Di ruangannya yang tertata rapi, Julius menemui kami dengan sikap ra mah dan bersahaja. Kepada kami, ia mulai bercerita seputar kisah peng ang katannya sebagai camat di Pajangan yang menuai kontroversi ka-re na mendapatkan penolakan dari ma-sya ra kat Pajangan atas alasan agama. Julius kebetulan beragama Katolik sejak kecil. Sedangkan, masyarakat di Pajangan mayoritas muslim.

“Sama sekali tidak ada (pikiran akan ditolak karena alasan agama),” pung kas Julius sambil tersenyum ti-pis, saat ditanya apakah sejak awal di-ri nya punya dugaan atau firasat akan di to lak karena alasan agama.

Tidak bisa dilepaskan pengangkat-an Julius sebagai camat di Pajpengangkat-angpengangkat-an tak berselang lama dengan momen-tum pro tes dari sejumlah masyarakat Pajangan terhadap peresmian pa tung

berukuran besar Yesus yang di

na-ma kan Patung Wajah Kerahina-man di Gereja Yakubus Alfeus. Sebuah ge-re ja, yang kebetulan berada tepat di sam ping kantor Kecamatan Pajangan. Se per ti luas dikabarkan media, pada bu lan Oktober tahun lalu, sekelompok ma sya rakat memprotes peresmian pa tung Yesus tersebut, sementara pa-z Kantor Kecamatan Pajangan, Bantul.

(10)

LAPORAN UTAMA

10 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

me dia. Sehari setelah proses serah-terima dari camat lama ke camat ba-ru Pajangan yang dilakukan pada ha ri Jum’at, tanggal 6 Januari, di pendo po Pemeritah Daerah Kabupaten Bantul, mun cul sekelompok masyarakat yang mem bawa dan menyuarakan aspirasi pe no lakan terhadap Julius ke Komisi A DPRD Bantul. Inti dari aspirasi ter-se but, masyarakat Pajangan tak meng-hen daki wilayahnya dipimpin oleh pe-mim pin non-muslim.

“Aspirasi (penolakan) disampai kan hari Sabtu, cuma kan hari libur, pem-da lima hari kerja. Sehingga Komisi A baru menyampaikannya ke bupati pa-da hari Senin, 9 Januari,” terang lelaki yang menamatkan S2-nya di Jurusan Psikologi itu.

Meski mendapatkan penolakan, Julius mengaku tak akan terlalu mem-per so alkan dan mencari tahu si apa masyarakat yang berusaha me no lak-nya sebagai camat di Pajangan ka re-na alasan agama. Sejauh mandat da-ri bupati belum dicabut, Julius ha nya akan fokus berusaha melayani ma-sya ra kat Pajangan dengan baik dan op ti mal, agar masyarakat Pajangan bi sa mengevaluasi dengan objektif ki-ner ja nya ke depan. Sehingga hal itu bisa dijadikan parameter oleh ma sya-ra kat Pajangan untuk menilai layak atau tidak dirinya sebagai camat di Pajangan.

Memang pengangkatan sebagai ca mat merupakan pe nga lam an yang se pe nuh nya baru bagi Julius. Meski da bulan Desember, Julius dilantik

oleh bupati sebagai Camat Pajangan. Artinya, pengangkatan Julius sebagai Ca mat Pajangan, berada dalam situa si ke ba tinan masyarakat Pajangan yang di ang gap masih terluka dan kecewa ka rena kasus patung Yesus itu.

“Tidak ada (pikiran akan ditolak karena alasan agama). Jangankan pu-nya pikiran seperti itu, pupu-nya pikiran akan diangkat jadi camat saja tidak,” ka ta Julius kembali menegaskan.

Menurut Julius, pengangkatan ca-mat termasuk juga pejabat-pejabat la in yang berada di Satuan Kerja Pe-rang kat Daerah (SKPD) atau saat ini disebut Organisasi Perangkat Daerah (OPD), itu sama sekali bersifat ra-ha sia dan menjadi wewenang penuh bu pati saat melakukan dan membuat kebijakan terkait penataan kembali SDM di tingkat kabupaten. Pada tang-gal 30 Desember tahun lalu, dalam rang ka penataan kembali SDM, tiba-ti-ba dilakukan pelantikan secara se ren-tak pejabat-pejabat di daerah Bantul de ngan jabatan-jabatan barunya ma-sing -mama-sing.

“Sehingga memang tidak tahu. Paginya mendapat undangan, si ang-nya pelantikan. Baru setelahang-nya saya tahu bahwa ditugaskan sebagai camat di Kecamatan Pajangan,” ujar Julius men je las kan kronologi pengangkatan di ri nya.

Kabar mengenai penolakan dari ma sya rakat Pajangan diakui Julius ba ru didengarnya dari pemberitaan

(11)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |11

demikian, Julius menegaskan, akan menerima pengangkatan itu sebagai amanah yang harus diemban dengan sungguh-sungguh. Apalagi, Julius sudah terbiasa mengemban amanah pekerjaan yang berbeda-beda sejak pertama kali menjadi PNS pada tahun 1995. Sejak pertama kali jadi PNS dengan status tenaga pusat yang dipekerjakan di daerah, Julius ditempatkan di kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Dua ta-hun kemudian, ia dipindah dan di tu-gaskan di Bappeda. Julius juga per-nah mendapatkan penempatan se-ba gai pejase-bat struktural eselon IV di Kecamatan Pandak, yakni sebagai ke pa la seksi selama tujuh tahun la ma-nya. Pasca di Pandak, Julius juga sem-pat menjadi bagian pengembangan di rumah sakit pemerintah daerah Bantul. Tiga tahun bekerja menjadi ba gi an pengembangan di rumah sakit, Julius mendapatkan promosi menjadi wakil direktur Keuangan RSUD

Panembahan Senopati, sampai ke-mu di an ia diangkat menjadi camat di Pajangan.

“Penugasan di kecamatan se

ba-gai camat memang merupa kan peng-alaman yang baru, karena se be lum-nya di rumah sakit. Sebatas ru ang lingkup pelayanan yang ada di in ter-nal rumah sakit. Kalau sekarang, le bih menyeluruh pelayanannya ke se lu ruh masyarakat Pajangan,” tutur Julius optimis mampu menjalankan tu gas-nya dengan baik.

Bupati Bantul, Suharsono, me mi-liki alasan tersendiri me nga pa me-nem patkan Julius sebagai ca mat di Pajangan. Menurutnya, dasar per tim-bang an pengangkatan Julius tersebut di la ku kan semata-mata karena fak tor kemampuan, kompetensi dan pro fe-si onal itas, setelah dilakukan proses

assessment oleh pihaknya. Julius

me-ru pa kan seorang PNS senior yang ber-pres ta si. Prestasi Julius dapat dilihat dari rekam jejak panjang Julius se ba-gai PNS yang kerap mendapatkan pro-mo si dan membuat karirnya terus me-nan jak dari waktu ke waktu.

Selain itu kata Suharsono, pi hak-nya juga sengaja menempatkan Julius sebagai camat di Pajangan yang

ma-yor itas masyarakatnya muslim, tak

la in adalah sebagai uji coba untuk mem ba ngun masyarakat yang mul ti-kul tur al di Bantul. “Ini baru uji co ba, saya lakukan di Kecamatan Pajangan. Saya tidak ingin negara kita jadi dikotak-kotakkan berdasarkan

ber-Meski mendapatkan

penolakan, Julius

mengaku tak akan

terlalu mem per so alkan

dan mencari tahu si­

apa masyarakat yang

berusaha me no lak­

nya sebagai camat di

Pajangan ka re na alasan

agama.

(12)

LAPORAN UTAMA

12 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

ba gai perbedaan,” pungkasnya seperti dilansir Rappler.

Terkait adanya penolakan dari

se-ba gian masyarakat Pajangan atas

Julius, Suharsono menampik. Dalam pengamatan dirinya, yang menolak Julius sebagai camat di Pajangan, ha-nya segelintir masyarakat Pajangan, bu kan seluruh masyarakat Pajangan yang berjumlah sekitar tiga puluh ribu le bih. Di Pajangan, terdapat tiga desa atau kelurahan, yakni Sendangsari, Guwosari, dan Triwidadi. Suharsono

me nga ku sudah melakukan survei

man di ri yang dilakukan secara diam-di am diam-di satu kelurahan diam-di wilayah Pajangan. Masyarakat menurutnya jus tru banyak tak tahu ada kasus ca-mat non-muslim. Bahkan, kepala de-sa nya mendukung sepenuhnya ke bi-jak an Suharsono. Suharsono ber jan ji akan melakukan survei lagi di dua kelurahan lainnya untuk mem buk ti-kan bahwa penolati-kan terhadap Julius itu lemah.

Akan tetapi, yang sangat penting bagi Suharsono, seperti dikutip BBC, keputusan pengangkatan Julius se ba-gai camat di Pajangan, su dah benar karena sesuai dan tak ber ten tang-an dengtang-an semtang-angat UUD 1945 dtang-an konstitusi. Negara Indonesia bukan

ne ga ra agama. Melainkan negara

yang berdasarkan Pancasila. Semua

rak yat Indonesia sebagai warga

negara memiliki hak yang sama, yang dijamin oleh undang-undang dasar— apapun latar belakang suku, ras, dan

agamanya. Termasuk hak untuk men-ja di pemimpin.

“Saya tidak mau diatur orang lain. Saya ingin menetapkan sesuai de ngan peraturan, menegakkan UUD 1945, dan Kebhinnekaan Tunggal Ika,” tegas Suharsono tanpa tedeng aling-aling.

Meskipun di tengah-tengah ke-ras nya desakan penolakan terhadap Julius, sempat ada penilaian sikap Suharsono mulai goyah. Suharsono di ang gap mulai melunak karena di ka-bar kan akan memutasi Julius ke wi la-yah yang lain di Bantul, wilala-yah yang ma yor itasnya juga non-muslim. Tapi, ang gap an tersebut tak terbukti sampai be ri ta ini ditulis. Mutasi tak pernah ter ja di. Julius tetap masuk kerja se-ba gai camat di Pajangan. Sudah lima bu lan Julius menjabat, terhitung sejak tang gal 6 Januari sampai sekarang.

Saat dikonfirmasi benar-tidaknya so al kabar mutasi ini, Julius menjawab, “Sa ya enggak tahu persis (soal muta si). Tapi secara langsung (dari pertemu an rapat-rapat dengan bupati), saya tidak mendengar pak bupati menginginkan itu,” tepisnya.

MENGUATNYA SIKAP intoleransi dan kekerasan terhadap miitas di Yogyakarta tahun ini, terutama

me-nyang kut kasus penolakan terhadap

camat non-muslim di Pajangan, da pat dipahami dengan melihat dua kon teks dinamika yang mengitarinya se ka li gus, yakni dinamika nasional dan lokalnya.

(13)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |13

“Masalah intoleransi ini masalah yang krusial. Ini tren nasional, bahkan glo bal,” ujar Direktur Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Prof Noorhaidi Hasan, saat ditemui di kantornya, di Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Dalam tilikan Noorhaidi, ber da-sar kan potret hasil penelitian lem ba-ga nya, menguatnya intoleransi sanba-gat ber ka itan dengan dua hal: pertama, men tal itas kecemasan. Orang-orang

ma sih merasa cemas dan takut

(heterofobia) dalam memandang

li-yan. Orang muslim merasa terancam me li hat orang kristen dan orang

non-mus lim yang lainnya. Sebaliknya,

orang kristen dan non-muslim juga me ra sa cemas melihat orang muslim. Li yan di sini, kata Noorhaidi, bukan ter ba tas pada agama, melainkan ras, su ku dan kelompok sosial yang lain.

Men tal itas kecemasan ini bertemu dan ber ke lin dan dengan hal yang kedua, ya itu semakin meluasnya kepercayaan yang berlebihan terhadap teori kons pi-ra si. Opi-rang muslim, misalnya, sangat

per ca ya bahwa sedang ada musuh

be sar yang tersembunyi, yang ingin meng han curkan Islam di luar sana.

“Apa yang terjadi di Yogyakarta, di-men si itu pasti ada saya kira. Kedua dimensi itu tadi. Dan dimensi ini be re-so nan si lebih kuat karena ada konteks po litik, ekonomi, sosial dan yang la in-nya di tingkat nasional, termasuk juga per ubahan politik di tingkat lokal,”

te rang guru besar lulusan Utrech

Belanda tersebut.

Dinamika nasional, yang dimaksud oleh Noorhaidi adalah fenomena is-lam isa si yang semakin mengais-lami pe-ne bal an di Indope-nesia pasca reformasi, di tam bah adanya kasus penistaan aga-z Direktur Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, Prof Noorhaidi Hasan, saat ditemui di kantornya, di Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. GIBBRAN PRATHISARA/PRANALA

(14)

LAPORAN UTAMA

14 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

LAPORAN UTAMA

ma yang menimpa Ahok, dan Pilkada Jakarta yang memainkan sentimen etnis dan agama. Sehingga semakin

mem bu at masyarakat terbelah dan

ter po lar isasi menurut garis agama dan etnis.

“Kalau ada penolakan (pemimpin non-muslim), lagi-lagi ini karena po li-tik tadi. Orang-orang cemas, lalu ada momentum di Jakarta, mereka man faatkan momentum itu untuk me-no lak (pemimpin muslim di Pajangan, Bantul),” jelas Noorhaidi.

Masyarakat Pajangan, langsung mau pun tak langsung, dinilainya be-la jar dari kasus penobe-lakan terhadap Ahok di Jakarta yang dianggap pemim-pin kafir karena non-muslim. Sebuah

sur vei yang dilakukan oleh Pusat

Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah me-nun juk kan bahwa 87%, 80%, 89% res-pon den yang terdiri dari tiga ratusan

gu ru pendidikan agama Islam di lima pro vin si, mengaku tak setuju dengan non-muslim menjadi kepala seko lah, kepala dinas, dan kepala daerah.

Meski demikian, Noorhaidi

mem-ban tah islamisasi yang dianggap

meng alami penebalan tersebut su dah meng arah ke hal yang meng kha wa-tir kan dan serius, seperti keinginan me ru bah dasar negara, sebagaimana di ri sau kan banyak orang belakangan ini. Menurutnya, memang belakangan ini ada gejala Islam naik daun dan me-ngu at. Tapi kata dia, hal itu tak serta-mer ta dapat dibaca sebagai sesuatu yang sepenuhnya ideologis.

“Saat ini simbol-simbol Islam me-mang menguat, tapi simbol-simbol itu diapropriasi, telah disesuaikan de ngan

kepentingan masing-masing ak tor.

Anda melihat sekarang mesjid pe nuh, tapi orang yang ke mesjid itu ti dak

kemudian hanya bermakna men

ja-lan kan komitmen beragama, ada yang sekedar rame-rame saja untuk me nya-ta kan snya-tatus sosialnya. Orang um roh itu bukan karena menjalankan ko mit-men agamanya, tetapi bisa karena wi-sa ta dan gaya hidup,” nilainya kritis.

Se lain itu, Noorhaidi mencontohkan con toh yang lain, gerakan bela Islam ber jilid-jilid di Jakarta. Banyak orang memandang gerakan tersebut se ba gai salah satu bukti menguatnya is lam isa-si, dalam hal ini Islam politik yang pa-da akhirnya akan menghenpa-daki per-ubah an dasar negara menjadi negara ber da sar Islam/khilafah. Sebaliknya,

(15)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |15

ba gi Noorhaidi, gerakan bela Islam tersebut merepresentasikan banyak hal, yang bukan semata-mata ke aga-ma an an sich. “Itu ekspresi ke las, ekspresi gaya hidup (life style) ke

ki-ni an terutama budaya selfie. Yang

banyak datang demo adalah ke las

menengah baru yang merasa be lum percaya diri dan aman secara eko no mi dalam berhadapan dengan kelas me ne-ngah atas yang mapan, yang di ang gap berada di balik Ahok. Tak ada ke ingin-an dari mereka untuk merubah da sar negara Indonesia,” tegas Noorhaidi. Bagi Noorhaidi, ekspresi ke ber islam-an yislam-ang menguat di Indonesia, tak bisa dibaca sepenuhnya sebagai se-su a tu yang melulu ideologis, tetapi ju ga sebagai gaya hidup (life style), kon sumsi (consumption), dan pasar

(market).

Noorhaidi malah melihat ba nyak kelompok Islam radikal dan kon ser-va tif di Indonesia saat ini, semakin ber ge rak ke tengah, seperti salafi yang sistem sekolahnya mau ikut pe-me rin tah. Kalau ada yang bilang sa-lafi menguat, kata Noorhaidi, justru se ka rang salafi berada pada titik pa-ling lemah. Seandainya Salafi pu nya kesempatan mengambil alih kon trol atas ruang politik Indonesia, se ha rus-nya pada tahun 2000-an awal, bukan saat ini. Noorhaidi membantah tesis

“conservative turn”.

“Saya enggak percaya negara Indonesia akan menjadi negara Islam. Kekuatan kelompok radikal

sudah lemah sekali, dibandingkan di tahun 2000-2010,” ujar penulis buku

“Laskar Jihad” itu.

Sependapat dengan Noorhaidi,

do sen dan sekaligus peneliti dari

Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRSC) UGM, Dr.

Mohammad Iqbal Ahnaf, ditemui di tempat dan kesempatan yang ter pi-sah, menyatakan hal yang serupa. Me-nu rut nya, menguatnya intoleransi di Yogyakarta harus dipahami dengan me li hat perubahan dinamika di ting-kat nasional dan lokalnya. Iqbal se pa-kat islamisasi merupakan salah satu

kon teks nasional yang mendukung

ba gi semakin menguatnya intoleransi di banyak daerah, di samping konteks-kon teks yang lain. “Proses islamisasi itu juga mendorong kecenderungan un tuk melihat sang liyan itu sebagai ri val, ancaman,” kata Iqbal.

Meski menganggap dinamika

na-si onal sedikit banyak menyumbang

ter hadap menguatnya intoleransi di daerah, Iqbal meyakini pasti ada di-na mi ka lokal yang sangat kuat dan spesifik, yang mendorong menguatnya intoleransi, yang harus dicermati di Yogyakarta.

“Kalau dinamika lokal, sebenar nya bukan sesuatu yang baru. Keberada-an kelompok-kelompok yKeberada-ang sering menggunakan kekerasan (vigilante)

un tuk menekan kelompok-kelompok

mi no ritas, bukan kelompok yang baru. Me lainkan kelompok yang sudah lama ada di Yogyakarta,” terang Iqbal.

(16)

LAPORAN UTAMA

16 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

Iqbal dengan rekannya, Hairus Salim, baru-baru ini menerbitkan bu-ku baru bertajuk “Krisis Ke is ti me

wa-an: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta”. Dalam buku ini,

Iqbal mengurai dinamika lokal di Yogyakarta untuk menjelaskan ma-sif nya kasus kekerasan terhadap

mi-nor itas dan intoleransi. Menurut

Iqbal, intoleransi di Yogyakarta, tak bi sa direduksi dengan dipahami se-ma ta-se-mata sebagai ekspresi dan se- mani fes ta si sederhana dari kon ser va tis -me beragama. Melainkan, imbas da ri dinamika sosial struktural yang kom-pleks di Yoyakarta, yang di se but nya sebagai “krisis-krisis ke is ti me wa an”.

Di permukaan, kata Iqbal, ba rang-ka li memang ada sentimen keagama-an, tapi di bawah permukakeagama-an, bisa ja di tindakan vigilantisme itu bagian da ri alat mobilisasi dari kelompok terten tu untuk mempertahankan basis le gi ti-ma si mereka sebagai kekuatan sosial, se hing ga kendali atas ruang dan sum-ber daya bisa diamankan.

“Kenapa minoritas menjadi sa sar-an? Karena mereka melihat sentimen mi nor itas itu sebagai sesuatu yang me ngun tungkan. Ada segmen publik yang cukup besar, yang akan simpati de ngan itu. Belum tentu mereka sen-di ri anti-minoritas, tetapi ada ke pen-ting an-kepenpen-tingan yang mem bu at itu (melakukan tindakan in to le ran) men-ja di pilihan,” jelas Iqbal.

Noorhaidi dan Iqbal sama-sama

meng apreasiasi Bupati Bantul yang

be ra ni tegas atas nama konstitusi

me nolak takluk di bawah desakan

ke lom pok-ke lom pok vigilan te dan in toleran yang menghendaki pen co-pot an dan pemutasian Julius sebagai camat Pajangan karena non-muslim. “Bupatinya sudah sangat bagus. Se mo-ga tidak goyang-goyang saja ke de pan,” kata Noorhaidi penuh harap.

Iqbal juga berharap tak ada muta-si camat non-muslim di Pajangan. Se-bab, mutasi tersebut, dalam penilaian Iqbal, akan menjadi kegagalan be sar dalam konteks perjuangan me ne gak -kan konstitusi, keberagaman dan per-lin dungan hak asasi manusia. “Sa ya ki ra, (mutasi) itu preseden yang buruk. Ka lau (mutasi) itu sampai ter ja di, itu akan berpengaruh dan me nim bul kan ek ses ke wilayah lain, ka re na selama

ini di Yogyakarta, (pe mimpin

non-mus lim) itu tidak di per ma salahkan. Mi noritas menjadi pe mim pin di wi-la yah mayoritas, itu su dah jamak di Yogyakarta,” tegas dia.

Sikap yang ditunjukkan bupati Suharsono dianggap sebagai oase di tengah-tengah tandus keringnya pe ne-gak an konstitusi dan upaya merawat ke ber aga man di Indonesia. Suharsono telah memberikan dan mengajarkan se buah sikap keteladanan, yang be la-kang an menjadi sedemikian langka di tengah-tengah menguatnya intoleransi dan kekerasan terhadap minoritas di berbagai daerah di Indonesia, yang jus tru terkadang kerapkali difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat. n

(17)

1. Penyerangan acara “kerlap-kerlip” Warna Kedaton 2000 di Kaliurang.

2. Pembubaran kegiatan interfaith, Pelatihan Nasional Forum Bersama.

3. Penyerangan Sanggar Candi Busana Parengkembang, tempat ibadah Sapta Darma di desa Balecatur, Gamping, Sleman, Jogja.

4. Pembacokan warga waktu konvoi kampanye PPP.

5. Massa FPI mendatangi diskotek di Jalan Magelang ‘memaksa’ pengunjung untuk bubar.

Intoleransi dan

Kekerasan

Bernuansa

Identitas di Yogyakarta

6. Penghentian paksa kegiatan festival film Q atas tuduhan mempromosikan LGBT. 7. Pemberhentian paksa doa keliling lintas

iman (Katolik) di Bantul atas tuduhan mempromosikan pluralisme.

8. Intimidasi terhadap kegiatan diskusi memperingati International Day against Homophobia (IDAHO) atas tuduhan mempromosikan LGBT.

9. Penutupan paksa Gereja Pentakosta di Gunungkidul.

10. Pengusiran pendeta GpdI Semanu dan penutupan gereja.

2000

-2010

2011

>>>

>>>

Dikutip dari Mohammad Iqbal Ahnaf dan Hairus Salim dalam buku “Krisis Keistimewaan: Kekerasan Terhadap Minoritas di Yogyakarta”, CRCS UGM, Yogyakarta, 2017.

(18)

11. Penghentian paksa acara diskusi buku dengan aktivis lesbian (Irshad Manji) di LKiS dan UGM

12. Pemberhentian paksa kegiatan kajian Islam di SMA PIRI karena dituduh mempromosikan ajaran Ahmadiyah. 13. Intimidasi terhadap Goa Maria Gedangsari,

Gunungkidul.

14. Kekerasan terhadap seniman dan aktivis HAM Bramantyo Prijosusilo yang melakukan aksi tunggal melawan radikalisme di depan kantor Majelis Mujahidin Indonesia.

15. Tragedi Cebongan: kekerasan antar kelompok ‘geng’ dengan sentimen kedaerahan.

16. Sekelompok massa bercadar merusak makam cucu sultan Hamengkubuwono VI atas tuduhan praktik syirik.

17. Penyerangan ke komunitas yang dianggap Syiah di Sleman

18. Penutupan paksa diskusi komunisme di Sleman

19. FJI membubarkan kegiatan perkemahan remaja gereja Adven di Cangkringan, Sleman.

20. Penutupan Gereja Isa Al-Masih, Godean, Sleman.

21. Ditentang FUI, seminar tentang LGBT di Universitas Sanata Dharma dibatalkan. 22. Aktivis lintas iman Gunungkidul,

Aminuddin Azis, dikeroyok massa FJI. 23. Penutupan Gereja Pentakosta di Playen,

Gunungkidul.

24. Percobaan pembakaran Gereja Baptis Indonesia di Saman, Bantul.

2012

2013

2014

>>>

>>>

>

(19)

25. Aksi FJI menolak pendirian gereja Kristen Saksi Yehuwa, di Baciro, Kota Yogyakarta. 26. Pemberhentian paksa kegiatan umat

dalam perayaan Hari Paskah Adiyuswana di Gunungkidul.

27. Perusakan Gereja Pentakosta Indonesia di Pangukan, Tridadi, Sleman.

28. Penyerangan kegiatan ibadah umat Katolik yang digelar di rumah direktur penerbit buku Galangpress, Julius Felacianus di Ngaglik, Sleman.

29. Merobohkan patung manusia yang terletak di pusat kota, karena dianggap sesat atau berhala.

30. Penutupan paksa Gereja Kristen Injili di Gunungkidul.

31. Penutupan paksa kegiatan Rausyan Fikr karena dianggap Syiah.

32. Penyerangan ke Jurnalis yang meliput isu HAM.

33. Penyerangan aktivis transgender.

34. Massa FUI menyisir di Gunungkidul karena informasi ada kegiatan “Rave Party”. 35. Pemberhentian paksa training literasi

media karena dianggap kampanye anti Islam.

36. FUI dan sejumlah ormas berupaya

menggagalkan perayaan Paskah di stadion Kridosono, tetapi berhasil digagalkan oleh aparat.

37. Penutupan Pos Gereja Kristen Indonesia (GKI) Palagan, pada 2 Oktober 2015. 38. Ancaman penyerangan Lembaga Kajian

Filsafat Islam Rausyan Fikr pada 22 November 2013 dan 2015.

39. FJI mendatangi Rausyan Fikr, berusaha menutup kegiatan tetapi berakhir dengan dialog antara pimpinan FJI dengan

pimpinan Rausyan Fikr Safwan serta pihak RT.

2014

2015

>>>

(20)

40. Pengungsi Afghanistan di Bantul diusir massa karena dituduh Syiah.

41. Pembatalan kemah Gereja Adventis oleh FJI.

42. Upaya penutupan Gereja Baptis Indonesia (GPI), Saman, tetapi digagalkan aparat. 43. Pembakaran pintu Gereja Baptis Saman. 44. Pemukulan warga oleh massa konvoi PPP. 45. Kekerasan terhadap pendukung partai

oleh massa GPK.

46. Bentrok massa PDIP-PPP pada waktu kampanye Pilkada Bantul.

47. Intimidasi dan pembatalan pemutaran film Senyap.

48. Intimidasi rencana diskusi International Tribunal soal kasus ‘65. Acara ini sebelumnya ditawarkan ke beberapa kampus, akan tetapi kampus-kampus tersebut mundur (termasuk filsafat UGM), sampai akhirnya dilaksanakan di UIN tanpa publisitas.

49. Upaya penutupan pesantren waria. 50. Bentrok warga dengan MTA di Wonosari. 51. Pembubaran pemutaran film Senyap di

AJI.

52. Pembubaran film Pulau Buru Tanah Air Beta.

53. Penurunan baliho mahasiswi berjilbab di UKDW.

54. Perusakan kaki patung Gua Maria di Bantul.

55. Klitih di Gunungkidul menyasar

rombongan siswa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.

56. Pembunuhan anggota GPK, Anoraga Elang. GPK melakukan aksi menyisir perkampungan untuk mencari pelaku. GPK menyerbu kampung Cuwiri.

2015

2016

>>>

(21)

57. Sebelumnya, anggota GPK yang lain Didin Bolewan meninggal karena diserang bom molotov waktu konvoi.

58. Massa FUI menutup peternakan babi di Godean.

59. Pembubaran festival Lady First atas tuduhan mempromosikan LGBT. 60. Aparat bersama ormas mengepung

asrama Papua.

61. Upaya membongkar Patung Kerahiman Gereja Santo Yakubus, Pajangan, Bantul. 62. Klitih menyasar siswa SMA

Muhammadiyah di Gamping, Sleman. 63. Intimidasi untuk menghentikan

pembangunan Gua Maria di Giriwening, Gunungkidul.

64. Patung Bunda Maria di Gua Maria, di Prambanan dirusak.

65. Penolakan pembangunan gedung Klasis Gereja Kristen Jawa, Wonosari, Gunungkidul.

66. Penghentian paksa kegiatan ibadah di Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI), Pangukan, Tridadi, Sleman.

67. Ancaman dan intimidasi dalam diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta di Fakultas Hukum UGM.

68. Ancaman terhadap pembubaran diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta, di Fisipol UGM pada 23 Mei 2016.

69. Ancaman pembubaran diskusi dan peluncuran buku berjudul “Aidit, Marxisme-Leninisme dan Revolusi Indonesia”, yang diselenggarakan Indie Book Corner (IBC).

70. Pengepungan asrama Papua pada saat rencana kegiatan pentas budaya dalam rangka memperingati budayawan Papua.

(22)

2017

Januari

Penolakan camat non-muslim di Pajangan, Bantul.

Mei

Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Yogya mendapatkan pengaduan dari wali murid mengenai adanya intoleransi berupa pengkafiran siswa di sekolah.

Mei

Sekelompok orang merusak dan hendak menggagalkan aksi damai terkait vonis 2 tahun Ahok yang diselenggarakan di Tugu Yogya. Situasi yang mencekam membuat polisi melepaskan empat peluru peringatan.

Mei

Acara pameran lukisan tentang Wiji Thukul di kantor Pusham UII dibubarkan ormas Pemuda Pancasila

(23)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |23

S

ore itu, selepas berbuka

pu-asa, saya langsung tancap gas dari kontrakan menuju ru mah salah seorang teman yang saat itu tinggal di Samirono, Yogyakarta. Rencananya kami akan

terawihan bersama disalah sa tu

masjid dekat kediamannya. Ka re na janji sudah diikrarkan akan be ra sa kecewa jika janji tersebut tak di

te-pati. Di tengah perjalanan saya me ma-cu motor dengan kecepatan stan dar saja. Tak berselang lama gang me nu-ju kediaman teman itu sudah ter li-hat. Saya pun terbayang akan se nyum sambutannya. Belum sempat ba yang-an itu menghilyang-ang dari kepala saya di-ka get di-kan dengan teriadi-kan seseorang

te man yang suaranya sudah tidak

asing di telinga.

Awas, Intoleransi

Mengintai Pelajar

Yogyakarta

Oleh M. Yasin

LAPORAN UTAMA

DOK. CNN INDONESIA

(24)

LAPORAN UTAMA

24 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

“Mau kemana?,” tanyanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat. “Eh mas Jef (panggilan gaulnya), ini mau ke tempatnya mas Saleh,” jawab saya sekenanya. Ia mendorong motor yang saya kendarai kedekat pelataran teras sebuah toko sambil berucap “nan-ti aja mas kesananya ada yang mau aku ceritakan sama mas,” bilangnya de-ngan muka penuh keseriusan. Akhir-nya, perjalanan ke kediaman teman pun menjadi tertunda.

Tak berselang lama sesudah kami ber dua duduk ia mulai menceritakan ke gun dahan yang selama ini ia pen-dam. Ia menceritakan perubahan anak keduanya yang ba ru tahun

ajar-an kemarin memasuki sa lah satu

Sekolah Menengah Pertama Islam Ter pa du (SMP-IT) yang ada di ko ta Yogyakarta. Sang bapak yang bi asa kesehariannya disapa Jef ini bi ngung dari waktu ke waktu melihat per-ubahan prilaku anaknya. Mulai da ri cara berpakainnya yang selalu me-ma kai celana di bawah lutut

(cung-kring), bicaranya yang sedikit-dikit

ini salah, ini tidak sesuai syariat hing-ga perubahan perilakunya yang ti-dak mau bergaul dengan teman yang bukan dari sekolahnya. “Malah per-nah Mas, cara sholatku diibilang salah sa ma anakku,” terangnya.

Lebih jauh ia berkisah, ketika ia bertanya pada anaknya perihal ke na-pa ia tidak mau bergaul dengan te man sebayanya di Samirono ini. Me nu rut pengakuannya jawaban yang ter

lon-tar dari mulut anaknya sungguh di lu ar dugaan dan membuatnya kaget “gi mana gak kaget mas masak, teman se ba ya nya yang beda agama di bilang ka fir,” tuturnya.

Mendengar curahan hati mas Jef di pelataran teras toko tersebut, saya men ja di teringat pada kasus intoleransi yang terjadi di Yogyakarta baru-baru ini. Tepatnya di bulan mei lalu prilaku in to le ran si menimpa seorang siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Yogyakarta. Ia mendapat per ka ta an kafir dari temannya sendiri. Bahkan kasus ini sudah banyak di-beri takan dan beredar di media.

Sungguh miris memang belum lagi kita melihat apa yang terjadi di sebuah Sekolah Menengah Umum Kejuruan Negeri (SMKN) di kota ini terdapat sebuah realitas menarik. Sekolah yang hampir 99% siswa didiknya ber je nis kelamin perempuan tersebut me

wa-jib kan siswi Muslimnya untuk

me-nge na kan jilbab dan rok panjang di lingkungan sekolah dan hanya ter da-pat sedikit perempuan yang tidak me-nge nakan jilbab. Kebijakan ini ten tu memudahkan siapapun yang ber tan-dang ke sekolah itu mengetahui mana sis wi Muslim dan non-Muslim.

Ihwal yang sama juga tampak di

se bu ah Sekolah Menengah Umum

Negeri (SMUN) lain di wilayah Yogyakarta. Kebanyakan siswinya tam pak mengenakan jilbab besar de-ngan paduan rok panjang sampai ke mata kaki. Di samping itu, pem

(25)

bi-EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |25

asa an praktik Islamis yang mencolok ter ja di dalam kegiatan-kegiatan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan eks trakurikuler (ekskul) lainnya, se-per ti pemisahan laki-laki dan pe rem-pu an dalam pertemuan-per te mu an OSIS dan ekskul, razia pe ma kai an jil-bab, dan adanya orientasi keislaman (mabit) bagi anggota baru eks kul ter-ten tu. Semuanya itu tampak te lah men jadi sebuah tradisi dalam be be ra-pa tahun terakhir di beberara-pa se ko lah yang ada di kota pelajar ini.

Beberapa rentetan realitas di atas

me nunjukkan bagaimana praktik

in to le ran si telah menjamur di se ko-lah-sekolah di Yogyakarta dan se ka l i gus mengindikasikan bahwa prak -tik intoleransi telah meluas ma suk ke

sekolah-sekolah. Menurut Widiyantoro dalam buku Politik Ru ang Publik

Se-ko lah (2011) jika se be lum nya sasaran

dan wilayah prilaku ini lebih pada

mahasiswa perguruan ting gi, kini

mereka juga telah masuk ke kalangan siswa di sekolah-sekolah umum. Lebih khusus lagi, yang men ja di subjeknya adalah siswa sekolah-se kolah terkenal dan favorit.

Senada dengan Widiyantoro, Listia seorang Pegiat Paguyuban Penggerak Pendidikan Interrelegius (PaPPIRus) da lam makalah yang di sam pai kan pa-da seminar pa-dan work shop “Meng ge -lar Kebinekaan, Merajut Ke ber sa ma-an” di Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII 6 Juni 2017 la lu me-nye but kan bahwa ada ba nyak fak tor

DOK

. RA

(26)

LAPORAN UTAMA

26 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

yang sesungguhnya sangat ber

pe-nga ruh dalam membentuk ca ra pikir, pendapat dan sikap yang in to le ran itu. Kemampuan seseorang atau su-atu kelompok untuk toleran, tidak

se lalu semata-mata terkait dengan

ajaran suatu agama atau situasi so si-al ekonomi masyarakat yang ber sang-kutan, karena pertumbuhan ke sa dar-an moral terkait dengdar-an bdar-anyak segi.

Sebagai pembanding lanjutnya, ba-nyak orang dalam masyarakat yang se ku ler seperti di Eropa misalnya, sang gup bertoleransi dan berempati pada masyarakat yang berbeda. Se ba-lik nya pada umat beragama, dengan sumber ajaran dan kitab-kitab yang sama, sebagian ada yang unggul da-lam bertoleransi, namun sebagian lain

gagal untuk hal ini. Banyak orang kaya, berpendidikan dan hidup nya man juga banyak yang seenaknya meng umbar kebencian terhadap kelompok yang berbeda. Namun tidak sedikit orang sederhana, miskin dan tidak ber pen-di pen-dikan formal justru mampu ber em-pati dan mampu bertoleransi dengan kalangan yang berbeda.

Melacak Akar Intoleransi di Dunia Pendidikan

Sudah banyak lembaga yang me la-kukan survei terhadap perilaku in to le-ran si di dunia pendidikan mulai dari Ma’arif Institute (Maret 2016), Setara Institute (Mei 2016), The Wahid Foundation (Agustus 2016). Sebelum itu Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) tahun 2011 juga sudah mengadakan penelitian yang cukup intrensif terkait persoalan-per so al an intoleransi sekolah-sekolah di Yogyakarta. Penelitian ini sejauh mem per lihatkan perilaku intoleransi me nyusup melalui kegiatan-kegiatan OSIS dan ekstrakulikuler.

Mengenai persoalan menguatnya pe ri laku intoleransi di sekolah-sekolah di Yogyakarta melalui kegiatan-ke-gi at an OSIS dan ekstrakulikuler ter-se but dibenarkan oleh doter-sen dan

pe-ne liti CRCS UGM M. Iqbal Ahnaf.

“Saya kira, itu biasanya dilakukan oleh organ kesiswaan keagamaan atau organ ekstrakurikuler yang lain yang kebetulan didominasi kelompok in to-le ran di sekolah itu,” ungkapnya. z M. Iqbal Ahnaf, dosen dan pe ne liti CRCS UGM

(27)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |27

Lebih jauh Iqbal menjelaskan bah wa maraknya tindakan intoleransi yang ter jadi di Yogyakarta akhir-akhir ini di se bab kan oleh banyak fak tor. Namun se ca ra ringkas, Iqbal me nge ru cut kan-nya ke dalam ti ga fak tor yang saling ter ka it dan berinteraksi satu sama lain, ya itu (1) krisis keistimewaan; (2) in dus-tri al isa si; dan (3) penebalan identitas. Wa lau pun masih berupa hipotesis, nu rut Iqbal, namun gejala yang me-nun juk kan ke arah tersebut cukup jelas ada nya.

Sejauh ini, berkembangnya pahan intoleran di lingkungan lembaga-lem-ba ga pendidikan menurut Listia bila di te lu su ri memiliki akar yang tidak tung gal. Intoleransi tidak lain adalah me ngu at nya kepentingan ego pribadi

mau pun kelompok, sehingga yang

ber sang kut an tidak mampu melihat sudut pandang pihak lain. Maka se ca-ra umum intoleca-ransi ini terkait proses pem ben tukan kepribadian dan dengan de mi ki an ada banyak hal yang perlu di-te la ah dalam proses pendidikan yang mes ti nya mampu menyelamatkan pe-ma tang an kepribadian.

Lebih jauh bila ditelisik lewat ma-ka lah yang disampaima-kan pada seminar PUSHAM UII beberapa waktu la lu. lapisan persoalan yang saling ter ka-it ini adalah sebagai berikut:

per-tama, kultur sekolah atau lembaga

pen di dik an yang masih timpang.

Kedua, terjadinya kesenjangan

an-ta ra pengetahuan dan perilaku

pa-ra pelaku pendidikan. Ketiga, ma sih

banyaknya pengelola lembaga

pen-di dik an yang pengelolanya belum

mam pu membedakan mana kegiatan yang mengususng ajaran keagamaan dan yang mengusung paham politik yang menggunakan agama. Keempat, pe la jar an agaagama umum ma-sih minim dengan keterbukaan pa da adanya perubahan sosial yang me-nam bah jumlah keragaman. Kelima, ba nyak nya guru yang merasa mapan de ngan profesi sebagai pelaksana ku-ri ku lum menyebabkan penyebaran pe ma ham an akan pentingnya to le ran-si menjadi terhambat. Keenam, pe ne-gak kan hukum yang lemah atas pe ri-la ku intoleran tersebut.

Hal itupun dibenarkan oleh

ke-pa la Pusat Studi Pancasila (PSP)

Universitas Gajah Mada (UGM) Dr. Heri Santoso menurutnya, generasi re for ma si dan pendidikan pasca re-for ma si ditengarai menjadi cikal ba-kal munculnya sikap intoleransi di ka lang an siswa. Tentu saja ini cukup dan sangat mengkhawatirkan apabila ben tuk sikap dan perilaku intoleransi

“Saya kira, itu

biasanya dilakukan

oleh organ kesiswaan

keagamaan atau organ

ekstrakurikuler yang

lain yang kebetulan

didominasi kelompok

in to le ran di sekolah itu,”

(28)

LAPORAN UTAMA

28 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

di bi ar kan di dunia pendidikan. Pen di-dik an sendiri menurutnya merupakan sa ra na untuk mendidik manusia yang me mi liki kepribadian yang luhur dan

dapat memaknai pentingnya ke

hi-dup an bersama. Maka pendidikan

Pancasila penting diperkuat karena di dalam Pancasila telah mengajarkan ar ti suatu hidup bersama.

Mengenai kasus intoleransi atau tin dak an intoleransi di sekolah

(mi-sal nya, mayoritas memojokkan

mi-nor itas, atau menghina dalam bentuk verbal maupaun non verbal) ba gi nya ini sebagai indikasi kegagalan pen di-dik an di sekolah. Budaya sekolah yang kurang bagus dan baik untuk ber kem-bangnya anak lahir dari proses pen-di pen-dik an yang pen-ditanamkan oleh para pendidik dan lingkungan. Tentu ha rus diperhatikan ialah lingkungan se

ko-lah, lingkungan masyarakat di

ma-na ama-nak tinggal, dan lingkungan ke-luarga. Jika ketiga hal ini tidak sa ling mendukung bentuk pendidikan apa-pun akan gagal di tengah jalan.

Ia menyebutkan ada tiga aspek men dasar dalam pendidikan yang ha-rus ditanamkan yaitu: pertama, me-na me-nam kan nilai, artinya di dalam pen-di pen-dik an ada nilai yang pen-ditanamkan ke-pa da peserta didik, nilai ini akan ber-pe ngaruh dan berdampak pada si kap dan perilaku peserta didik ji ka nilai ini salah diberikan (contoh ni lai yang ditanamkan ya kejujuran, ke ba ikan, kebenaran, gotong-royong, meng har-gai, menghormati satu dengan yang

lain). Kedua,. menanamkan pe

nge-tahuan, artinya peserta didik men da-patkan pengetahuan sesuai dengan apa yang menjadi bidangnya. Pe nge-ta hu an dalam bentuk kognitif supaya pe ser ta didik memiliki kapasitas dan ke mam pu an untuk memecahkan ma-sa lah hidup dan mama-salah yang ada secara lebih baik dan bijaksana. Ke

ti-ga, menanamkan budaya yang luhur,

ar ti nya peserta didik mendapatkan bu da ya yang baik dan bersinergi, bu-kan budaya kekerasan, bubu-kan bu da-ya intoleransi ataupun budada-ya da-yang membawa kerusakan moral dan men-tal itas.

“Kasus yang muncul di dunia pen-di pen-dik an ketika ada siswa pen-dikatakan “ka fir”, ini ada persoalan pendidikan aga ma yang salah kaprah karena is-ti lah “kafir” itu sendiri muncul dari pen di dikan agama, dalam konteks ter-ten tu,” imbuhnya.

Jika itu yang terjadi lanjutnya ma-ka perlu ada evaluasi di dalam pen-di pen-dikan kita pen-di sekolah, mulai da ri kurikulum, ajaran, buku ajar, pen-di pen-dik, jangan-jangan ada yang salah de ngan pendidikan yang selama ini perlu diteliti secara cermat dan aku-rat kenapa anak bisa berkata seperti itu. Oleh karena itu, penguatan pen-di pen-dik an agama menjapen-di penting,

ya-itu pendidikan agama yang ber

ke-pri ba dian dalam kebudayaan bang sa Indonesia. Bukan pendidikan aga ma yang melahirkan generasi fun da men-tal is-radikalisme.

(29)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |29

Ruang Publik Sekolah yang Terdominasi

Sebagaimana paparan M. Iqbal Ahnaf yang menyebutkan kurikulum bu kan elemen satu-satunya pemben-tuk ni lai toleransi di sekolah. Salah sa-tu ele men lain yang sangat menensa-tu- menentu-kan ada lah ruang publik sekolah yang ter bu ka. Ruang publik sekolah (school

public space), sederhananya, adalah

ru ang sosial di dalam lingkungan

se-kolah yang menjadi tempat ber

in-teraksinya warga sekolah secara ter-bu ka. Ruang ini ter-bukan semata tempat fisik, tapi lebih-lebih tempat bertemu dan berkreasinya siswa.

Sebab, terjadinya perilaku in to le-ran si di dunia pendidikan kita me nu-rut nya diakibatkan dari kontrol atas

du nia pendidikan kita yang lemah. Na-mun, ini tentu tidak bisa dipukul rata, wa lau pun di Yogyakarta sendiri ada se kolah-sekolah yang menjadi basis

da ri kelompok-kelompok tertentu

yang berusaha untuk mengendalikan ruang publik berdasarkan setandar yang mereka pakai.

“Saya tidak tahu persisnya sekolah ma na, kasus bully yang menggunakan ka ta kafir itu Mas. Tapi, saya kira itu ti dak mengagetkan kalau kita melihat apa yang terjadi di sejumlah sekolah di Yogyakarta ini,” tegasnya.

Bahwa lanjutnya ada upaya untuk mengontrol ruang publik sekolah se-ba gai cara untuk mengamankan do-mi na si kelompok ideologi tertentu. Itu tidak mungkin terjadi tanpa

(30)

LAPORAN UTAMA

30 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

kung an dari kepala sekolah. “Kepala se ko lah mendukung atau paling tidak mem bi ar kan,” ucapnya.

Lebih-lebih lagi di sekolah yang ber-la bel Isber-lam hal itu menurutnya sudah la ma terjadi dan malah itu saya kira se la in sebagai doktrin juga sebagai jar-gon. Sepertinya kita tidak baru men-de ngar anak-anak yang masih ke las satu pulang sekolah mengajari orang tua mana yang kafir dan mana yang bukan kafir, mana yang haram dan yang tidak haram. Itu semua men ja di bukti bahwa ada yang lepas dari sis-tem pendidikan kita.

Hal itu, tentunya bisa terjadi ka-re na adanya kontrol yang begitu ku at oleh kelompok kesiswaan yang do mi-nan yang mengakibatkan tidak ada-nya kontestasi dan keragamanpun di-te kan. “Bagi saya, intoleransi itu bisa di te kan ketika ada kontestasi yang ter-ja di,” tuturnya.

Ia menegaskan, prilaku intoleransi di dunia pendidikan kita bisa diredam de ngan cara adanya sikap netral dari oto ri tas yang berwenang dengan tidak men du kung hegemoni satu kelompok ter ten tu atas kelompok yang lain. Ha-rus nya yang penting dilakukan adalah bu kan mengusir kelompok-kelompok yang intoleran itu tapi bagaimana men cip takan ruang publik yang lebih ter bu ka. Sayangnya selama ini ruang yang lebih terbuka itu tidak tersedia di ling kung an pendidikan kita.

“Mak sud saya, ruang yang terbuka itu adalah tempat diskusi, kajian dan yang sejenisnya itu sudah tertutup,”

te gas nya. Ketika ruang itu sudah di-ku asai oleh kelompok tertentu maka akan sulit terjadi kontestasi bahkan tema-tema tertentu dilarang untuk ba has. “Inilah maksud saya contoh di-ma na radikalisme atau prilaku in to le-ran si didukung oleh otoritas lembaga pen di dikan yang tidak berpihak pada ke ra gam an,” katanya.

Akan tetapi, kadang-kadang yang ki ta hadapi saat ini adalah sekolah ber-lom ba-ber-lomba membangun citra bahwa se ko lah itu sekolah yang religius (sa-leh). Tapi religius yang dimaknai se-ca ra sempit dengan memakai jilbab, ta da rus, sholat duha, dan bahkan de-ngan melakukan segregasi.

Pendidikan Interreligius Menjadi Sebuah Tawaran Alternatif

Hampir semua orang tua meng-ingin kan anak-anaknya menjadi ma-nu sia yang pintar. Tidak sedikit bagi orang tua yang mempunyai dana le-bih, menyekolahkan anaknya ke luar ne ge ri, ke sekolah internasional, atau sekolah biasa. Belum lagi anak di ikut-kan kursus ini atau pun kursus itu. Fa si litas yang lebih kadang menjadi per ha ti an para orang tua, dalam me-nen tu kan sekolah anaknya. Karena ke leng kap an fasilitas itulah, dianggap se mua nya akan bagus. Ternyata, fa-si li tas bukanlah jaminan anak akan men da pat kan pendidikan yang bagus.

Se ba gaimana yang dijelaskan oleh Dr. Heri Santoso, tidak ada yang bi sa menjamin, pergaulan di sekolah ter

(31)

na-EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |31

ma, akan melahirkan pergaulan yang kita harapkan. Saat ini, paham ra di-kal isme telah masuk ke lembaga pen-di pen-dik an. Karena rapen-dikalisme ini lah, membuat banyak siswa mudah meng-ka fir kan temannya sendiri, mudah mem ben ci temannya sendiri. Itulah fak ta yang terjadi di sebagian sekolah sa at ini. Memang jumlahnya belum se be ra pa, tapi bibit radikalisme itu be gi tu nyata terasa. Jika hal ini terus di bi ar kan, bukan mustahil, lembaga pen di dik an akan banyak disusupi oleh pa ham radikalisme.

Karena itulah, kiranya perlu pen-di pen-dik an yang interreligius se ba gai ma-na solusi yang ditawarkan oleh Listia pegiat PaPPIRus. Pendidikan in ter re-ligius yang dimaksud adalah mo del pengkajian agama yang di kem

bang-kan dengan optimisme dalam me man-dang perbedaan agama-agama dan

perubahan masyarakat yang ma kin

cepat. Optimisme dalam hal ini be ru-pa ru-pandangan positif disertai pe ne-ri maan dan kepercayaan bahwa ber-ba gai peruber-bahan yang terjadi dalam ma syarakat dengan ragam perbedaan yang makin berkembang adalah se-su atu yang tak terhindarkan, bahkan me ru pa kan kehendak Tuhan. Ragam per be daan dalam kehidupan manusia da lam pandangan yang optimistik ini di si kapi sebagai hal yang berguna bagi ber tum buhan potensi dan martabat ma nu sia sendiri.

“Proses pendidikan interrelegius ti-dak memisahkan peserta didik yang ber beda agama. Semua peserta belajar (apa pun latar belakang agamanya) di-ban tu untuk menggali pemahaman se-ca ra bersama-sama tentang berbagai te ma,” tulisnya dalam makalah yang

di sam paikan pada acara seminar

PUSHAM UII.

Karena itu, sudah saatnya per-be da an tidak lagi dianggap sebagai sum ber persoalan. Perbedaan justru

ha rus dimaknai sebagai anugerah

yang diberikan Tuhan kepada umat ma nu sia. Perlu diingat, di dunia ini tidak ada satu pun agama yang me-nga jarkan kekerasan. Semua aga ma mengajarkan kebaikan, me nge de pan-kan perdamaian dan toleransi. Un-tuk bisa mencapai itu, kalau bo leh meminjam pernyataan Poulo Freire diperlukan pendidikan yang me ma nu-si akan manunu-sia. n

z Dr. Heri Santoso, M.Hum.,

dosen Fakultas Filsafat UGM

(32)

WAWANCARA

32 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

Berdasarkan pemetaan FKUB, bagaimana situasi kerukunan baik antar agama maupun intra agama di Bantul?

Kami dari FKUB melihat ke ru kun-an umat beragama di Bkun-antul masih kon dusif meskipun kami rasa tidak mung kin juga suatu daerah itu tidak ada masalah. Seperti sewaktu kami ber temu dengan Kapolda di Kantor PCNU, menurut beliau kota Bantul ter ma suk wilayah yang kondusif. Wa-lau pun tentu ada sedikit riak-riak

masalah kerukunan tersebut. Ta pi

kalau kita mengikuti media, Bantul seakan menjadi wilayah yang mem pu-nyai gejolak yang cukup tinggi terkait

ke ru kunan antar umat beragama. Pa-da hal yang aPa-da di masyarakat se be-nar nya tidak seperti itu. Kalau pun ada ke ja dian akan cepat kita atasi sehingga tidak meluas dan bisa normal kembali.

Bisa diceritakan konflik apa yang pernah terjadi ?

Konflik tentang pembangunan ru mah ibadah yang sebenarnya su-dah lama berdiri namun belum pu-nya idzin, kemudian ada sebagian orang yang mempermasalahkan ru-mah ibadah itu. Seperti gereja di Kasihan, kemudian ada lagi gereja di Pajangan. Tetapi dapat kita selesaikan de ngan baik bersama FORKOMINDA

(33)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |33

WAWANCARA

(Forum Komunikasi Pimpinan Dae-rah), dengan Camat dan Lurah

se-tem pat, dengan mengumpulkan

to-koh -toto-koh agama setempat dan ki ta berikan pemahaman khususnya

ter-ka it mekanisme pendirian rumah

iba dah. Bahkan saat ini sudah terbit Per atur an Bupati yang menyatakan ru mah ibadah didirikan sebelum ta-hun 2006 bisa mengajukan izin

pe-mu tih an. Kemudian rumah ibadah

yang didirikan setelah tahun 2006 ha rus memenuhi syarat-syarat se per-ti yang ditentukan dalam Peraturan Ber sama Menteri tahun 2006. Con-toh lain adalah peresmian sebuah

ba ngun an patung Yesus di gereja

Pajangan. Saat itu kontroversial ka-re na saat peka-resmian mengundang ju-ga ibu-ibu yang beraju-gama Islam me-la ku kan tradisi gejog lesung (tradisi me num buk padi). Kemudian setelah acara selesai ibu-ibu muslimah ter-se but berfoto di depan patung Yesus yang cukup besar yang kemudian men ja di heboh di media sosial. Na-mun sudah kita koordinasikan dan sudah kita selesaikan. Salah satu pe-nye le sai annya pembengunan gereja itu sendiri dihentikan sementara sam pai ijin resmi diterbitkan. Dari pi hak gereja sendiri juga sudah me-min ta maaf kepada warga sehingga permasalahannya sudah se le sai.

H. Yasmuri, M.Pd.I.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama

Kabupaten Bantul

FKUB Punya

pERAN SENTRAL

DALAM

MENANGANI

KONFLIK AGAMA

Pewawancara Kelik Sugiarto

(34)

WAWANCARA

34 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

Dalam beberapa tahun ini eksklusifisme agama cukup menguat di masyarakat.

Apa yang menjadi penyebabnya?

Pasca reformasi setiap orang be-bas membuat organisasi-organisasi yang tidak harus berdasarkan Pan ca-si la. Situaca-si seperti itu yang ke mu di-an dimdi-anfaatkdi-an oleh kelompok-ke-lom pok tertentu untuk meng gu na kan gagasan-gagasan yang eksklusif ta di. Menurut saya organisasi Islam ter-ten tu yang ingin menegakkan Islam ha rus menyertakan pula nilai-nilai Pan casila di dalamnya. Artinya Islam itu ditegakkan tidak harus seperti di Arab Saudi. Istilahnya syariat dan ajar an Islam itu tidak harus di for-mal kan. Islam tetap berjalan se per-ti halnya hukum yang lain dan ha rus meng hargai negara yang disitu ada Pancasila dan ada umat beragama lain yang hidup di da lam nya.

Apakah semakin tinggi dan semakin dalam tingkat spiritualitas seseorang bisa menimbulkan pandangan dan sikap yang eksklusif ?

Saya rasa tidak seperti itu. Dan sebenarnya sebagai contoh orang yang memakai gamis dan ber ce la na cing krang itu belum tentu spi rit ual-itasnya tinggi. Para pengusung pa ham eksklusif itulah sebenarnya yang tidak

mengerti pelaksanaan Islam se cara

kaffah. Meskipun ada ju ga eks klu

sif-isme itu timbul karena se ma ngat dan spiritualitas keagamaan yang tinggi. Tetapi hal itu hanya kecil ke

mung-kinannya. Karena sejatinya ada nya

perbedaan itu sendiri adalah sun nat-ullah. Jadi orang yang memiliki pan-dangan eksklusif sesungguhnya dia tidak memahami sunnatullah itu sen-di ri.

Lalu upaya apa yang bisa dilakukan untuk mencegah munculnya sikap eksklusif ini?

Kami dari FKUB punya program, salah satunya pertemuan dengan to-koh masyarakat dan toto-koh agama di ting kat Kecamatan dan mengundang ju ga tokoh-tokoh di tingkat desa. Da-lam pertemuan-pertemuan tersebut ki ta sosialisasikan peraturan-per atur-an terkait kerukunatur-an atur-antar umat ber-aga ma sekaligus kita mendorong me-nya dar kan kepada tokoh masyarakat un tuk selalu membangun kerukunan itu bersama-sama tanpa harus ber-si kap ekskluber-sif. Dan saya rasa to koh-tokoh agama itulah yang se ha rus-nya memberikan pencerahan ke pa da umatnya dengan bimbingan, pen

di-dik an, ceramah-ceramah yang

me-nye juk kan, tidak provokatif. Adanya pe ma ham an yang berbeda dari pihak la in itu sebenarnya perlu didiskusikan ju ga dengan pihak lain tersebut. Ja di ada proses saling ketemu dan men-dis ku si kan : masalah seperti apa sih? Ba gai ma na sebaiknya? Kita boleh

(35)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |35

mempunyai pandangan yang berbeda, tetapi harus didiskusikan juga dengan orang lain yang juga mempunyai

pan-dang an yang berbeda dengan kita.

Pada intinya harus ada komunikasi an tartokoh agama, tokoh masyarakat agar bisa didapatkan jalan terbaik ke-ti ka muncul gejolak di masyarakat.

Ada pendapat yang mengatakan eksklusifisme muncul karena tidak adanya usaha seseorang untuk mencoba memahami ajaran agama lain. Bagaimana pendapat Anda ?

Saya sepakat soal itu. Artinya di sam ping kita meyakini apa yang sudah men ja di aqidah kita, sebenarnya kita per lu tahu keyakinan atau pemahaman orang lain itu seperti apa supaya kita bi sa membandingkan dengan apa yang ki ta yakini. Kemudian yang terpenting ada lah setelah kita mengetahui ajaran aga ma lain kita harus menghormati

aga ma orang lain itu. Tidak harus

orang lain itu sama seperti kita, karena me re ka punya pemahaman dan ke

ya-kin an yang berbeda juga dengan ki-ta. Toh tidak harus memahami ajar an agama lain pun kalau memiliki ke s-adaran untuk menghormati orang la-in sebenarnya tidak masalah. Hanya yang sering terjadi dan menjadikan ma sa lah adalah ketika kita sudah me-ya kini sesuatu kemudian orang lain ha rus sama dengan kita. Itulah yang me nye bab kan sikap dan tindakan in-to le ran si yang bisa saja mengarah pada radikalisme. Kembali lagi bahwa mengerti atau memahami agama orang lain itu baik sekali. Kalau di UIN itu ada mata kuliah perbandingan aga ma. Di situ kita bisa melihat agama dan keyakinan orang lain itu seperti apa. Bukan untuk mempersalahkan aga ma lain tetapi justru akan se ma-kin menguatkan keyama-kinan kita, te ta pi dengan catatan tetap harus meng hor-mati agama lain.

Dari pemetaan FKUB adakah wilayah-wilayah di Bantul yang memiliki potensi terjadi konflik terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan?

Ya, kami dari FKUB bekerjasama de ngan Polres Bantul membuat peta wi la yah yang kemungkinan berpotensi

un tuk konflik. Ada lima wilayah

Kecamatan yang dapat kami petakan. Per tama Kecamatan Banguntapan. Dae rah ini kan menjadi penyangga ko-ta. Kemungkinan terjadinya konflik cu kup besar. Kemudian ada di daerah

Karena sejatinya ada nya

perbedaan itu sendiri

adalah sun nat ullah. Jadi

orang yang memiliki

pan dangan eksklusif

sesungguhnya dia tidak

memahami sunnatullah

itu sen di ri.

(36)

WAWANCARA

36 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

Sedayu, juga daerah yang perbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo. Ketiga Kecamatan Kasihan, disana ada bangunan gereja yang cukup besar yang berada di tengah masyarakat yang mayoritas muslim. Kemudian di Kecamatan Jetis. Disana dulu ada orang-orang dari luar Bantul yang

ting gal di Jetis yang menyebarkan

ajar an-ajaran yang membuat resah

ma sya rakat disana. Kemudian di Ke-ca matan Bambanglipuro. Disana juga ada gereja yang cukup besar. Sem-pat terjadi ketegangan pasca erupsi gunung merapi 2010. Ada pengungsi yang ditampung di gereja tersebut.

Ke mu dian diprotes oleh beberapa

or mas keagamaan karena khawatir

ter ja di pemurtadan. Namun saat itu bisa diselesaikan dengan baik tan-pa terjadi aksi kekerasan. Di dae rah yang muslimnya cukup kuat ke mu di-an disdi-ana terdapat non muslim ydi-ang mem punyai aktifitas dan bangunan ge re ja yang cukup besar akan kita

was pa dai. Karena daerah seperti

itu mempunyai potensi konflik yang cukup besar. Namun bukan ber ar ti wilayah yang lain tidak kita per ha ti-kan. Semua wilayah kita petakan ha-nya memang lima wilayah tadi yang po ten si konfliknya lebih besar di ban-ding wilayah yang lain.

Bagaimana dengan organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, apakah

mempunyai peran aktif dalam menciptakan iklim beragama yang kondusif di Bantul?

Di Bantul, NU dan Muhammadiyah

cukup besar dan an ta ra keduanya

mem pu nyai hubungan yang

cu-kup akrab. Kami dari NU dan Muhammadiyah selalu mengadakan per te mu an baik secara resmi maupun ti dak resmi. Pertemuan ini dilakukan da lam rangka bagaimana organisasi be sar ini menjalin komunikasi dan ru kun dari tingkatan pimpinan sam-pai anggota di bawah. Di samping itu pertemuan ini juga bertujuan mem bu-at formula bersama untuk menangkal dan mencegah munculnya sikapin to-le ran si dan radikalisme. Dari kegiatan ini diharapkan organisasi yang la-in juga bisa mengambil langkah se-ru pa. Kami dari FKUB mempunyai ini si atif dalam setiap penyelesaian kon flik yang terjadi, kami selalu me-li bat kan dua organisasi besar ini dan tokoh-tokoh dari semua agama dan FORKOMINDO. Tidak kalah pen-ting nya juga peran dari FKUB di pen- ting-kat Kecamatan. Di PBM 2006, FKUB memang dibentuk di tingkat Pro vin si dan Kabupaten. Namun kami FKUB Kabupaten Bantul berpendapat di-ben tuk FKUB Kecamatan pun ti dak

menyalahi PBM itu sendiri. Ka mi

melihat manfaat dari FKUB Ke

ca-mat an ini cukup besar. Karena yang langsung melihat kondisi di ma sya-ra kat ya tingkat Kecamatan dan desa.

(37)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |37

Se hing ga bila terjadi masalah akan le bih cepat kita melokalisirnya. Tidak sam pai meluas.

Terkait penolakan beberapa warga terhadap Camat Pajangan karena non muslim, apa yang sudah dilakukan FKUB?

Penolakan Camat di Pajangan itu sebenarnya tidak terkait dengan ma-sa lah kerukunan agama. Atau kalau pun terkait itu hanya sedikit. Maksud sa ya itu menjadi wilayah pemerintah dae rah untuk menyelesaikannya. Pe-ran kami hanya sedikit dalam pe-nye le sai an masalah itu. Warga yang me no lak merasa kenapa daerah yang

ma yor itasnya muslim, Camatnya

dipilih yang non muslim. Kan tidak bisa seperti itu. Artinya non muslim pun kalau memiliki kapasitas dan kompetensi dalam pemerintahan kan tidak ada masalah. Saya rasa penolakan itu tidak begitu signifikan dan sudah bisa diatasi oleh Pemda. Namun lebih penting juga memberikan pemahaman kepada warga yang menolak tadi bahwa masalah ini harus dibedakan. Antara masalah agama dengan pemerintahan. Artinya pejabat yang non muslim itu belum tentu dia akan mengembangkan agamanya di lingkungan kerjanya. Dia hanya bertugas dalam wilayah pemerintahan saja. Saat ini situasi di pajangan juga sudah kondusif. n

(38)

WAWANCARA

38 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017

AKP Handiko Widiyanto, SH, MH

Kasat Binmas Polres Bantul

Pemahaman Polisi

Perlu Diperkuat Untuk

Urusan Kebebasan

Beragama

Pewawancara Kelik Sugiarto

z Kasat Binmas Polres Bantul AKP Handiko Widiyanto, SH, MH bersama

stafnya melakukan safari kamtibmas pada acara dzikir Tahlil.

(39)

EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |39

Dalam 10 tahun terakhir ini peristiwa intoleransi dan konflik terkait hak kebebasan beragama dan berkeyakinan eskalasinya meningkat. Dari sudut pandang Polisi apa yang menjadi penyebabnya?

Saya rasa situasi ini terjadi karena generasi muda kita mengalami pen-dang kal an dalam memaknai ideologi Negara kita, Pancasila. Selain itu ada kelompok-kelompok tertentu yang dalam hal ini kelompok dari aga ma

Islam yang keliru memaknai ayat

-ayat dalam Al-Qur’an. Sebagai con toh siapa yang tidak berhukum de ngan hukum Allah maka dia adalah tha gut. Kelompok ini menafsirkan apa yang terkandung dalam kitab suci se ca ra sangat tekstual. Menganggap ke lom-pok merekalah yang paling benar. Se-men tara kelompok lain yang tidak se-pa ham dengan mereka adalah salah, di ni lai keluar dari Islam dan bahkan sam pai pada taraf pengkafiran.

Dalam penyelesaian konflik Polisi seringkali terlihat gamang dan tidak percaya diri untuk melakukan tindakan represif kepada kelompok intoleran yang jelas-jelas sudah melakukan kekerasan. Kenapa demikian?

Pengetahuan anggota polisi dari

ting kat pimpinan, dan khususnya

yang berada di lapangan dalam ka-it an nya dalam penanganan konflik harus ditingkatkan. Terutama sekali

Polisi harus bisa melakukan tindakan se ca ra terukur. Harus mempunyai ke-mam puan untuk mendeteksi apakah

se buah tindakan-tindakan tertentu

bisa berubah mengarah pada eskalasi yang lebih tinggi. Penting juga dalam pe na nganan konflik polisi harus ber-sinergi dengan masyarakat yang lain. Tokoh agama, tokoh masyarakat, or-mas-ormas keagamaan harus menjadi mi tra utama.

Kendala apa yang dihadapi polisi dalam menangani konflik kebebasan beragama dan

berkeyakinan ini ?

Seperti yang saya utarakan tadi, pe-nge ta huan dan pemahaman polisi da-lam manajemen konflik memang ma-sih lemah. Situasi ini ditambah dengan ke ga gal an polisi khususnya yang ada di lapangan dalam mengambil po-si po-si. Dalam beberapa peristiwa kon-flik, polisi ada yang masih terbawa sen ti men keagamaan. Hal ini akan meng aki batkan polisi sulit untuk ber-si kap netral. Kemudian dari faktor ke ji wa an massa juga berpengaruh. Mak sud saya kalau mereka bertemu de ngan kita sendiri-sendiri tampak bi asa saja. Tetapi ketika mereka

ber-kum pul dalam komunitas massa

yang cukup besar, psikologi mereka akan berubah dengan sangat cepat. Dalam sebuah kerumunan massa sa-tu orang berteriak memprovokasi ma ka kejadian berikutnya tidak akan bi sa kita prediksi sebelumnya. Massa

Gambar

FOTO OLEH GIBBRAN PRATHISARA/PRANALA

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan pupuk organik cair ampas tebu pada kedelai menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar kedelai, tinggi batang kedelai umur 21 HST, tinggi

Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) adalah kumpulan dari standar akuntansi yang dikembangkan oleh Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang menjadi

Populasi dalam penelitian ini adalah repeater tamu bisnis pada Marbella Suites Bandung yang aktif melakukan kegiatan bisnis sekaligus menginap selama tahun 2012,

Berdasarkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas tentang peningkatan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam siswa kelas II SDN Keper Krembung melalui model

Sehingga persamaan (6) akan kembali ke solusi lubang hitam Reissner Nordstrom yang statik. Sedangkan untuk kasus kosmologi de Sitter,

Upaya perawatan yang dilakukan oleh keluarga sesuai dengan pengalaman namun pada pemberian nutrisi beberapa partisipan hanya memberikan makanan dan minuman tanpa melakukan

Jumlah Keseluruhan unit kediaman yang terdapat di Daerah Labok adalah sebanyak 1,250 unit iaitu 38.9% daripada jumlah keseluruhan unit skim perumahan yang

Kemungkinan besar Auditor akan memberikan opini audit going concern kembali jika melihat perusahaan telah menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya