kemerosotan yang sama
karena me re ka berubah
menjadi para pe mu ja
ke lompoknya
EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |43
bar (simbol kapitalisme global) di Amerika itu aksi terorisme mencuat ke permukaan. Yakni, bom bali di ta-hun 2002 dan bom Mariot pada tata-hun 2003. Deretan terorisme yang di du ga bernafaskan jihad kelompok ra di kal-is me global ini menjadikan Indonesia ke rap disebut-sebut ‘barisan kedua’ (‘second front’) jaringan terorisme glo-bal. Karena, Indonesia merupakan ne-ga ra berpenduduk mayoritas muslim ter be sar di dunia.
Padahal, hasil penelitian Flinders University menujukkan bahwa se pan-jang tahun 1981-2006, secara global Indonesia tergolong rendah angka ka-sus bom bunuh diri. Dari empat pe ris-ti wa bom bunuh diri, korbannya ha-nya berjumlah 349 jiwa. Indonesia ja-uh lebih baik dibandingkan Irak yang bom bunuh dirinya sejumlah 651 ka-sus dengan jumlah korban sebanyak 6.714 jiwa. Masih di atas Israel atau-pun Palestina yang kasus bom bunuh di ri nya sebanyak 217 dengan jumlah kor ban nya 1.143 jiwa. Indonesia lebih he bat daripada Rusia yang bom bunuh di ri nya berjumlah 28 kasus dan
kor-ban nya sebanyak 798 jiwa. Dilihat
dari angka korbannya, Indonesia
ter-bi lang lebih unggul dibandingkan
bom bunuh diri di Amerika yang me-ma kan 2.988 korban jiwa (Hassan, 2011. “Suicide Bombing”)
Selain itu, indeks perdamaian global (GPI) yang dirilis IEP (Institute for
Economic and Peace) tahun lalu
me-nem pat kan Indonesia di posisi ke-43 dari 163 negara di dunia. Peringkat ini le bih baik daripada tahun sebelumnya yang berada di posisi ke-47. Namun, Indonesia masih perlu mengejar ke-ter ting gal an nya dengan Malaysia (peringkat ke-30) dan Singapura (po si si ke-20). Meskipun, posisi GPI Indonesia masih di atas Timor Leste (56), Vietnam (59), Kamboja (104), dan Filipina (139).
Atas dasar itu barangkali ge rak an kontra terorisme global yang di pro kla-mir kan Amerika terus mendapatkan re sis ten si wacananya. Wacana “sesat” itu dibantah keras bangsa kita. Be be-ra pa waktu lalu, saat pertemuan KTT Arab-Islam-Amerika dihadapan para pe ser ta dan tamu undangan presiden Jokowi dalam pidatonya menegaskan
un tuk tidak mengaitkan terorisme
glo bal dengan Islam. Jauh sebelum itu, saat acara pertemuan para pakar ke aga ma an di Asia, Azzumardi Azra da lam tulisannya meneguhkan bahwa me nga it kan Islam dan terorisme tidak lebih dari mitos global dan mis kon sep-si negara barat. (“Bali and Southeast
Asian Islam: Debunking Myths”,
2004).
Saya kira Baudrillard (2002) da lam
The Spirit of Terrorism mengkritik
wa-ca na terorisme yang dikaitkan de ngan agama, terutama Islam. Me nu rut nya, kampanye perang melawan te ror is me
global hanyalah strategi mem
PERSPEKTIF
44 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017
tengah dilanda krisis multidimensi di banyak negara. Karena itu, wacana te-ror is me global melampaui kebaikan/ ke bu ruk an umat manusia di dunia agar mesin dikotomis antara negara ma ju dan berkembang terus berputar.
Sejatinya, keluarga memiliki ke-ku at an strategis mengantisipasi dan meminimalisir terjadinya per se te ru an ataupun kekerasan atas nama aga ma. Pada konteks ini, kita perlu me ne gas-kan kembali perbedaan makna antara
‘house’ dan ‘home’. Rachel Hurdley
(2013) menjelaskan bahwa kata ‘house’ me ru juk pada struktur fisik (lahiri ah), se perti rumah, tempat tinggal, atau hu ni an.
Sebaliknya, kata ‘home’ memiliki mak na lebih luas. Kata ‘home’ ber ka-it an dengan psikologis, relasi sosial, dan praktik kultural (batiniah). Kata ini bermakna ruang berlindung, di-men si kebatinan, keluarga juita atau idam an (beautiful families). Maka, is ti lah ‘home sweet home’ bermakna ke lu ar ga idaman adalah keluarga yang pe nuh cinta. Dengan begitu, keluarga ber mak na hidup bersama-sama untuk
mem ba ngun masa depan generasi
bang sa yang lebih baik (Living Apart
Together: LATs).
Namun, berdasarkan indeks ke-hi dup an yang baik (better life) justru
bang sa kita berada jauh dengan
bang sa maju pada umumnya. Jika di Indonesia rata-rata jam kerja perhari se ki tar 10-12 jam, maka di Prancis,
Belanda, Finlandia, Italia, dan Rusia jus tru rata-rata 5-6 jam perhari. Itu pun masih didukung cuti kerja yang pan jang plus aktifitas liburan. Bahkan, ada juga negara yang memberikan cu-ti bagi kepala keluarga yang hendak men dam pingi tumbuh kembang anak-anak nya.
Sayangnya, gelombang globalisasi
me ru bah tatanan keluarga kita.
Menurut Giddens (1992) globalisasi tu rut menjadikan dunia keluarga se-ba gai dunia tunggang-langgang (The
Runaway World). Tuntutan in dus
tri-al isa si menjadikan waktu kerja terasa
le bih panjang. Belum lagi, godaan
glo bal isa si yang menyebar di televisi mem bu at masyarakat kita berlomba-lom ba mengkonsumsi produk budaya yang sarat gengsi.
Kondisi demikian merubah tata nan keluarga tradisional yang penuh ke-ha ngat an, bersake-haja, dan sederke-hana. Ter ja di perseteruan kultural di antara ke lu ar ga dalam upaya memiliki sim-bol-simbol kemewahan dunia. Hal ini lambat laun membuat orang tua mu-dah frustasi tatkala harapan sosial di era global tak lagi tergapai. Di sisi lain, ser bu an produk global membuat anak mu da mengidap moral panik. Mereka mu dah latah mengimitasi hedonisme pa ra teman sebayanya mengkonsumsi pro duk berkelas masa kini. Anak mu-da sebagai generasi penerus bangsa men ja di krisis spirit pendidikannya. Itu bisa dilihat, misalnya, dari selera
EDISI 15, MEI-JUNI 2017 PRANALA |45
ma kan nya yang lebih suka jajan di resto ran cepat saji. Termasuk, urusan ber dan dan, gaya berpakaian, produk kos -me tik dan teknologi, hingga mo del fa-shion terkini. Kesemuanya men ja di alat penyokong identitas dan so li da ri tas sosial di antara anak muda masa kini.
Melihat kondisi demikian ma-ka tak berlebihan jima-ka bangsa ki-ta tengah memasuki abad teror. Te-ror diserap dari bahasa latin, yak ni,
terrere. Artinya, membuat si tu a si
men ce kam, mencemaskan, me ri sau-kan, mencerai-berai, dan me na kut-kan. Terminologi teror dalam ko-sakata Inggris digunakan pasca re-vo lu si Prancis antara tahun 1793 dan 1798. Istilah teror kala itu ada lah palabelan terhadap gerakan re vo lu si-oner yang melawan rezim Louis XVI yang represif, elitis, dan hedonis. Ka-re na itulah, teror tidak lebih dari da lil politik supaya aparat keamanan mam-pu mengamankan kekuasaan rezim ber ku asa. Maka, menurut Wilkinson (1974) terminologi teror tidaklah sa-ma dengan terorisme. Teror sinonim dengan kekerasan. Sedangkan, te ror-is me tidak terpror-isah dari unsur politik. Agar, praktik teror dan terorisme tidak menjadi praktik keseharian di ne geri ini, maka Amitai Etzioni (2000) me re ko men dasikan jalan ketiga (The Third Way). Yakni, pentingnya menciptakan dan melestarikan ma-sya ra kat bernilai kebaikan (good so
ci-e ty). Sci-elama ini, kci-elangsungan hidup
ber bang sa cenderung ditopang dua ke ku at an besar utama: negara dan pa-sar. Tetapi, melupakan kekuatan jalan ke ti ga: komunitas.
Komunitas terbentuk karena ikat an persaudaraan dan rasa cinta. Se hing-ga, kebaikan dalam komunitas ada lah tujuan utama (I-Thou). Hal ini berbeda
halnya dalam pasar yang ha nya
menjadikan kebaikan sebagai ins tru-men (I-it) meraup laba. Berbeda pula de ngan negara yang cenderung elitis dan rentan menyelewengkan amanah rak yat. Maka, saat krisis moneter dan de ka den si politik 1998 melanda justru pe ran komunitas menjadi benteng ter-akhir ketahanan sosial warganya. Tak
he ran, Muhammad Yunus berhasil
me ra ih nobel perdamaian. Atas usa-ha nya memberdayakan kredit mikro ko mu ni tas perempuan di India.
Pendidikan hadap masalah se-jatinya memberikan jalan keluar mem ber da ya kan komunitas di negeri kita. Entah itu komunitas berbasis gen der, keluarga, anak muda, umat ber aga ma, lingkungan, maupun ko-mu ni tas budaya. Tetapi, komunitas se ma cam ini tidak mungkin tumbuh ji ka pendidikan berselingkuh dengan ke ku asa an dan pasar. Kalau itu yang ter ja di, maka kritik WS Rendra se ba-ik nya harus terus disuarakan kembali: apa kah pendidikan kita selama ini se-ba gai alat pembese-basan ataukah alat pe nin das an? Tanyalah pada hatimu, ka wan. n
RESENSI
46 | PRANALA EDISI 15, MEI-JUNI 2017