• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam topik ini akan dibahas beberapa hasil penelitian menyangkut biaya transaksi (transction cost) yang berkaitan dengan perilaku rumahtangga. Hal ini

mengingat, biaya transaksi adalah sangat penting dalam rumahtangga usahatani. Biaya transaksi dapat mempengaruhi proses produksi, pengalokasian tenaga kerja dan pengeluaran konsumsi. Secara empirik dan berdasarkan teori ekonomi rumahtangga, keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga usahatani adalah non separabel. Rumahtangga melakukan proses produksi untuk memaksimumkan keuntungan dengan pengalokasian tenaga kerja secara efisien dan efektif untuk memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk pengeluaran rumahtangga dalam rangka memenuhi kebutuhan rumahtangga dan keluarganya. Perilaku rumahtangga tersebut satu sama lainnya saling mempengaruhi sehingga dalam penelitian ini dilakukan analisis non separabel dengan pemecahan secara non rekursif.

Pada pasar kompetitif, informasi tentang harga yang berlaku tersedia. Dalam pasar beras menurut Lanzona and Everson (1997), terjadi incomplete information, adanya ketidakpastian dan biaya pemasaran lainnya. Terjadinya incomplete dalam persetujuan atau struktur penguasaan oleh rekan perdagangan terutama sebagai respon second best. Persetujuan dan struktur tersebut menyebabkan inefisien dalam produktivitas dan distribusi pendapatan tidak merata.

Lofgren and Robinson (1999) melakukan penelitian terhadap rumahtangga dikaitkan dengan biaya transaksi. Dalam penulisannya Robinson membuat pengembangan dua model yaitu : (1) model rumahtangga non separabel dengan biaya transaksi dan pilihan regim pasar (surplus, self-sufficiency atau defisit) sebagai endogenus untuk produksi dan konsumsi. Model yang dikembangkan adalah model optimasi; dan (2) model rumahtangga yang lebih luas dengan menggunakan model CGE (Computable General Equilibrium). Hasil penelitian Lofgren and Robinson

(1999) menunjukkan bahwa sangat penting menggunakan pendekatan spesifikasi non separabel untuk rumahtangga. Non separabilitas tersebut juga dapat digunakan sebagai implikasi kebijakan. Jaleta and Gardebroek (2007) juga melakukan penelitian tentang perilaku rumahtangga. Dalam modelnya Jaleta and Gardebroek menjelaskan keputusan alokasi tenaga kerja dan lahan rumahtangga antar aktivitas produksi tanaman pangan dengan memperhitungkan ketidaksempurnaan pasar. Ketidak- sempurnaan pasar ini disebabkan karena adanya biaya transaksi yang tinggi dalam pasar. Asumsi bahwa biaya transaksi untuk pembelian dan penjualan adalah berbeda untuk rumahtangga yang sama dan komoditas yang sama. Model rumahtangga usahatani non separabel disesuaikan untuk estimasi ekonometrika dalam keputusan alokasi tenaga kerja dan lahan pada regim partisipasi pasar yang berbeda.

Ketidaksempurnaan pasar yang terjadi pada rumahtangga, berdasarkan teori ekonomi dinyatakan sebagai suatu kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar juga terjadi bila terdapat biaya transaksi pada aktivitas rumahtangga. Adanya biaya transaksi melanggar salah satu asumsi separabel. Biaya transaksi digunakan sebagai salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian Dutilly-Diane, et al.(2003).

Penelitian Dutilly-Diane, et al., (2003) mempelajari kegagalan pasar pada rumahtangga petani peternak. Tulisan Dutilly-Diane, et al didasarkan pada adanya biaya transaksi yang tinggi untuk pasar pangan dan produktivitas produksi pangan melalui perbaikan teknik manajemen sumberdaya alami. Kondisi tersebut dapat mendorong ekspansi perekonomian peternakan dan menangkap keunggulan komparatif regional dalam aktivitas tersebut. Lebih lanjut menurut Dutilly-Diane, et al. (2003), dalam pengembangan model perilaku rumahtangga membuktikan aktivitas

pangan dan ternak saling melengkapi. Pada kondisi ini terdapat biaya transaksi yang tinggi pada pasar pangan dan strategi pasar pangan rumahtangga adalah endogen. Biaya transaksi dalam Dutilly-Diane, et al. (2003) adalah sebagai penentu harga. Hal ini dilakukan mengingat jenis data yang digunakan adalah data cross section sehingga harga input maupun harga output tidak bervariasi.

Penelitian Evenson, et al. (2000) tentang supervisi dan biaya transaksi pada usahatani padi di Bicol, Philipina. Hasil penelitiannya menunjukkan biaya transaksi dalam pasar tenaga kerja secara khas meningkat disebabkan karena dua tipe masalah informasi yaitu (1) moral hazard karena usaha kerja yang benar tidak mudah diuji dan dilaksanakan, dan (2) pemilihan yang merugikan karena informasi pada atribut pekerja heterogen tidak dengan mudah tersedia. Biaya transaksi yang tinggi sangat mempengaruhi pasar input dan pasar output (Matungul, et al. 2006). Hipotesis Matungul, et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan tingkat pendapatan dari penjualan tanaman pangan yang dihasilkan rumahtangga skala kecil di KwaZulu- Natal, Afrika Selatan dipengaruhi biaya transaksi dan karakteristik usahatani. Sedangkan Mathijs and Vranken (2006) memasukkan variabel skala usaha, lingkup usahatani, jangka waktu dan kecepatan usahatani dalam penelitiannya. Keempat variabel tersebut merupakan rancangan eksternal berkaitan dengan biaya transaksi, dinyatakan sebagai variabel dummy. Penelitian Collisson, et al., (2005) difokuskan pada analisis biaya pemasaran dan biaya transaksi sepanjang saluran pemasaran dari tingkat usahatani. Obyek penelitian pada tujuh kelompok komoditas strategis yaitu ketela, kopi, kapas, susu, ikan dan maizena. Birthal, et al. (2006) juga melakukan penelitian berkaitan dengan biaya transaksi dengan mencoba mengkuantitatifkan

biaya transaksi nyata pada tingkat produsen, yaitu biaya perjalanan, komunikasi, penyimpanan, penurunan kualitas dan kuantitas selama perjalanan, kredit, penyuluhan, biaya komisi dan waktu personel (untuk sendiri dan yang disewa).

Faktor struktural seperti infrastruktur transportasi secara umum diasumsikan dapat menggeser kurva suplai ke kanan. Hasil penelitian Minot menunjukkan bahwa kasus yang terjadi untuk pasar pangan di negara berkembang, dengan perbaikan infrastruktur transportasi tidak hanya menggeser suplai produk pertanian ke kanan tetapi juga meningkatkan elastisitas suplai produk pertanian. Misalkan rumahtangga memasukkan biaya transaksi (t) dalam menjual atau membeli suatu komoditas. Biaya transaksi disini digambarkan sebagai biaya transportasi dan biaya lain seperti biaya negosiasi. Asumsi biaya transaksi sama untuk penjual maupun pembeli. Besarnya secara proporsional terhadap volume penjualan dan pembelian. Biaya transaksi terjadi antara harga pasar eksogenus (misalnya, Hp) dan harga bayangan (shadow price) endogenus (misalnya, Hb). Biaya transaksi tergantung apakah rumahtangga sebagai pembeli atau penjual, dengan kata lain apakah rumahtangga defisit atau surplus.

Apabila rumahtangga defisit maka Hb = Hp + t; sedangkan bila surplus maka Hb = Hp - t. Pada saat yang sama, posisi net dari rumahtangga tergantung pada hubungan antara harga bayangan (Hb) dan autarki harga bayangan (AHB). Autarki harga bayangan ini terjadi pada kondisi rumahtangga self-sufficient. Rumahtangga net buyer jika Hb < AHB, sebaliknya rumahtangga net seller jika Hb > AHB. Kombinasi kedua hubungan tersebut di atas adalah untuk net buyer, Hb=Hp+t<AHB atau Hp<AHB-t, sebaliknya rumahtangga net seller jika Hb=Hp-t>AHB atau Hp>AHB+t.

Hasil penelitian Minot (1999), secara agregat suplai dan permintaan dibuat ilustrasi seperti Gambar 1.

Gambar 1. Suplai dan Permintaan Sebagai Fungsi dari Harga Pasar dan Biaya Transaksi (Minot, 1999)

Gambar 1 menunjukkan dengan adanya biaya transaksi menyebabkan penawaran dan permintaan lebih in elastis, tetapi pengaruhnya tidak seragam untuk setiap range harga berbeda. Rumahtangga baik net seller maupun net buying respon terhadap perubahan harga.

Biaya transaksi adalah biaya-biaya dalam pengaturan kontrak, atau persetujuan transaksi antara pembeli dan penjual, termasuk biaya penanganan dan biaya pengiriman. Apabila pedagang perantara atau pengecer berdekatan dengan pembeli berarti pedagang dan perantara tersebut dapat mengurangi biaya transaksi. Selain biaya-biaya tersebut, informasi juga merupakan biaya transaksi (Matungul et

Price Kuantitas D(t=0) D(t=a) S(t=a) S(t=0)

al., 2006). Informasi adalah penting sebagai fasilitas transaksi. Apabila dalam bertransaksi tidak tersedia informasi yang lengkap maka biaya transaksi lebih tinggi.

Biaya transaksi dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Lanzona and Everson (1997) mengukur pengaruh biaya transaksi penjualan beras terhadap partisipasi pasar tenaga kerja dan upah yang diperoleh. Asumsi Lanzona and Everson, harga pembelian dan harga penjualan berbeda untuk rumahtangga yang berbeda. Perbedaan harga ini digunakan untuk menghitung biaya transaksi di pedesaan yang dikaitkan dengan standar partisipasi pasar tenaga kerja dan persamaan upah. Biaya transaksi menyebabkan pendapatan yang diterima petani berbeda untuk petani yang punya lahan dan tanpa lahan, area pedesaan dan perkotaan serta pria dan wanita.

Dalam pasar tenaga kerja, masalah informasi mempunyai dua konsekuensi utama pada kualitas pekerja dan kontribusi mereka terhadap pasar output (Lanzona and Everson, 1997). Pertama, apabila pekerja telah membuat kontrak dan tidak memperhatikan produktivitas kerjanya, majikan tidak dapat mengukur secara penuh produktivitas dengan pembayaran yang ditetapkan. Kondisi demikian berarti majikan berhadapan dengan permasalahan moral hazard. Kedua, pekerja heterogen, produkivitas potensial mereka tidak diketahui oleh majikan. Disini, majikan juga berhadapan dengan permasalahan moral hazard. Konsekuensi tersebut dapat menyebabkan terjadinya biaya transaksi supervisi yang tinggi. Biaya supervisi ini merupakan salah satu komponen biaya transaksi.

Dalam model separabel, asumsi tenaga kerja adalah homogen, upah pasar dihitung untuk semua pekerja dalam rumahtangga, apakah net seler unit tenaga kerja atau tidak. Keputusan produksi tidak tergantung keputusan konsumsi dan leisure.

Namun dengan asumsi adanya biaya transaksi dan tenaga kerja rumahtangga tidak bersubstitusi sempurna maka model separabel tidak berlaku. Dalam kenyataan heterogenitas tenaga kerja dapat menyebabkan perbedaan tehnikal dalam marjinal produktivitas antara tipe tenaga kerja yang berbeda. Heterogenitas tenaga kerja dapat menyebabkan non separabilitas. Hal ini dapat terjadi apabila pasar tidak mampu menilai produktivitas pekerja, sehingga upah yang dibayar tidak sesuai. Permasalahan moral hazard dalam pasar tenaga kerja dapat menyebabkan substitusi tidak sempurna antara tenaga kerja rumahtangga dan tenaga kerja sewa. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa asumsi penting dalam non separabilitas adalah adanya ketidaksempurnaan pasar.

Lanzona and Everson (1997) mengemukakan bahwa jika pasar tidak menyewa tenaga kerja maka keseimbangan permintaan tenaga kerja rumahtangga adalah ditentukan oleh marginal revenue product (MRP) tenaga kerja dan marginal rate of substitution rumahtangga antara leisure dan pendapatan.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, perilaku ekonomi rumahtangga petani peternak di Sulawesi Utara dimodifikasi dengan menggunakan model analisis simultan non separable. Penelitian ini dengan pertimbangan bahwa terdapat biaya transaksi pada pasar pangan maupun pasar ternak, sehingga biaya transaksi dimasukkan sebagai variabel endogen dalam model. Harga tidak bervariasi sehingga dalam penelitian ini digunakan biaya transaksi sebagai pegukuran untuk menentukan perilaku rumahtangga petani peternak sapi. Biaya transaksi ini menggambarkan dampak wilayah dan perbedaan lokasi terdekat dengan kota sebagai pusat perekonomian.