• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.3 Bidang Kesehatan

Memberikan informasi tentang faktor sosiodemografi ibu yang mana saja yang memengaruhi dehidrasi dan gangguan elekrolit pada balita penderita diare di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIARE 2.1.1 Definisi

Diare adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi feses lebih cair dengan frekuensi >3 kali sehari (Riskesdas, 2019). Dapat pula dengan frekuensi BAB yang lebih sering dari biasanya (WHO, 2018). Feses dapat disertai dengan darah, mucus, lemak, dan partikel makanan yang tidak tercerna (Kemenkes RI, 2011). Berat feses lebih banyak dari biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam (Longo and Fauci, 2014).

2.1.2 Epidemiologi

Ada hampir 1,7 miliar kasus diare anak-anak setiap tahun yang akan membunuh sekitar 525.000 anak, terutama usia di bawah 5 tahun di dunia (WHO, 2018). Di Indonesia, Sekitar 70% kematian balita disebabkan oleh diare, pneumonia, malnutrisi, malaria, dan campak (Depkes RI, 2009). Berdasarkan hasil survei oleh Kementrian Kesehatan, angka insiden rate (IR) cenderung meningkat sejak tahun 2000 hingga tahun 2010. Pada tahun 2000 insiden diare yaitu 301/1000 penduduk, tahun 2003 insidens diare naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 insiden diare menjadi 423/1000 penduduk, dan tahun 2010 insiden diare menjadi 411/1000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).

2.1.3 Etiologi

Berdasarkan organisme penyebab terdapat 4 etiologi diare, yaitu:

1. Virus : Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-80%).

Beberapa jenis virus penyebab diare akut antara lain Rotavirus serotype 1, 2, 8, dan 9 pada manusia, Norwalk virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41), Small bowel structured virus, dan Cytomegalovirus.

Rotavirus adalah penyebab utama gastroenteritis berat dengan dehidrasi pada anak. Hampir semua anak baik di negara berkembang maupun maju pernah terinfeksi di usia antara 3 – 5 tahun. Infeksi neonatal sering ditemukan namun asimptomatik, dengan insiden terbanyak di usia antara 4 dan 23 bulan.

2. Bakteri : Enterotoxigenic E. coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC), Enteroaggregative E. coli (EAggEC), Enteroinvasive E. coli (EIEC), Enterohemorrhagic E. coli (EHEC), Shigella spp., Campylobacter jejuni (Helicobacter jejuni), Vibrio cholerae 01, dan V. choleare 0139, Salmonella (non-thypoid).

Di negara berkembang, Campylobacter adalah yang yang paling sering ditemukan pada feses bayi dan anak-anak di bawah 2 tahun. Infeksi Shigella juga sangat banyak, diperkirakan terdapat 160 juta kasus pada anak-anak dan balita.

3. Protozoa : Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium, Microsporidium spp., Isospora belli, dan Cyclospora cayatanensis.

Infeksi protozoa jarang terjadi di negara maju dan biasanya hanya terjadi pada pelancong. Infeksi pada anak biasanya menyebabkan diare akut, walaupun hanya sebagian kecil kasus diare anak yang terjadi di negara berkembang karena ini.

4. Helminths : Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria philippinensis, dan Trichuris trichuria (Amin, 2015 ; WGO, 2012).

2.1.4 Faktor Risiko

Karakteristik ibu akan mempengaruhi perilaku dan lingkungan yang merupakan faktor risiko terjadinya diare (Utami, 2016).

1. Faktor perilaku, antara lain:

a. Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan Makanan Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi kontak terhadap kuman.

b. Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu.

c. Tidak menerapkan kebiasaaan cuci tangan pakai sabun sebelum memberi ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan BAB anak.

d. Penyimpanan makanan yang tidak higienis.

2. Faktor lingkungan, antara lain:

a. Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan Mandi Cuci Kakus (MCK).

b. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk (Kemenkes RI, 2011).

2.1.5 Klasifikasi

Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:

1. Lama waktu diare a. Akut

Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Menurut World Gastroenterology Organisation, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari.

b. Kronik

Diare persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari dan merupakan kelanjutan dari diare akut.

2. Mekanisme patofisiologis a. Osmotik

Diare osmotik adalah diare yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang disebabkan obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi mukosa usus misal pada defisiensi disararidase, malabsorpsi glukosa/galaktosa.

b. Sekretorik

Diare sekretorik adalah diare yang diakibatkan oleh peningkatan sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi. Khas pada diare ini yaitu secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum. Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormon (VIPoma), dan reseksi ileum (gangguan absorpsi garam empedu).

3. Penyebab infeksi atau non-infeksi a. Infektif

Diare infektif adalah diare yang disebabkan oleh infeksi dari mikroorganisme.

b. Non-infektif

Diare non-infektif adalah diare yang tidak disebabkan oleh infeksi dari mikroorganisme.

4. Penyebab organik atau tidak a. Organik

Diare organik adalah diare yang disebabkan oleh penyebab anatomik, bakteriologik, hormonal atau toksikologik.

b. Fungsional

Diare fungsional adalah diare yang tidak disebabkan oleh penyebab organik (Setiati et al., 2014).

2.1.6 Patofisiologi

Berdasarkan gambar 2.1, menurut Hardhi (2013) proses terjadinya diare disebabkan oleh berbagai kemungkinan faktor diantaranya faktor infeksi. Proses ini diawali dengan adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam

absorbsi cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat. Kedua, faktor malabsorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare. Ketiga, faktor makanan yang juga dapat terjadi apabila toksik yang ada tidak mampu diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare. Keempat, faktor psikologi dapat mempengaruhi terjadinya penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare (Hardhi and Amin, 2013).

Gambar 2.1 Patofisiologi diare (Hardhi and Amin, 2013).

Infeksi (virus,

di usus Tekanan osmotik

Makanan tidak

Frekuensi BAB meningkat Distensi abdomen

Hilangnya cairan dan

Jika diare berkelanjutan, hal ini akan menyebabkan penderitanya mengalami gangguan elektrolit. Patofisiologi gangguan elektrolit pada diare dan kecepatan hilangnya elektrolit tergantung pada penyebab diare.

1. Pada diare osmotik, tekanan osmotik usus yang kuat akan mendorong air dan elektrolit dengan cepat sehingga absorbsi tidak terjadi.

2. Pada diare sekretorik yang disebabkan oleh kolera akut memperlihatkan konsentrasi Na+ dan K+ tidak jauh berbeda dengan konsentrasi plasma, namun bila berlangsung lama gangguan elektrolit akan menjadi berat.

3. Pada diare eksudatif dimana terjadi kerusakan barrier epitel dan banyak sel epitel intestinal yang hilang. Pada jenis diare ini, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah dan limfatik sehingga absorbsi air dan elektrolit tidak terjadi, sehingga air, elektrolit, mucus, protein, bahkan terkadang eritrosit dan leukosit akan terakumulasi dalam lumen usus (Wololi et al., 2016).

2.1.7 Manifestasi Klinis

Menurut World Gastroenterology Organisation (2012), gejala klinis diare dapat berupa:

1. Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.

2. Diare yang berlangsung beberapa saat tanpa penanggulangan medis adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan tubuh yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik lanjut.

3. Kehilangan cairan menyebabkan haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun, serta suara serak.

Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik.

4. Kehilangan bikarbonat akan menurunkan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas lebih cepat dan lebih dalam. Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonat agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak

dikompensasi, bikarbonat standar juga rendah, pCO2 normal, dan base excess sangat negatif.

5. Gangguan kardiovaskuler pada hipovolemia berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, wajah pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan kadang sianosis. Kehilangan kalium juga dapat menimbulkan aritmia jantung.

6. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria; bila tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi pemusatan sirkulasi paru-paru dan dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali (Amin, 2015 ; WGO, 2012).

2.1.8 Diagnosis 2.1.8.1 Anamnesis

Riwayat pemberian makan anak sangat penting dalam melakukan tatalaksana anak dengan diare. Anamnesis yang perlu ditanyakan, ialah:

1. Diare

a. Frekuensi buang air besar (BAB) anak b. Lamanya diare terjadi (berapa hari) c. Apakah ada darah dalam tinja d. Apakah ada muntah

2. Laporan setempat mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) kolera

3. Pengobatan antibiotik yang baru diminum anak atau pengobatan lainnya 4. Gejala invaginasi seperti tangisan keras dan kepucatan pada bayi (IDAI,

2009).

2.1.8.2 Pemeriksaan Fisik

1. Tanda-tanda dehidrasi ringan atau dehidrasi berat:

a. rewel atau gelisah

b. letargis/kesadaran berkurang c. mata cekung

d. cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat

e. haus/minum dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum 2. Darah dalam tinja

3. Tanda invaginasi (massa intra-abdominal, tinja hanya lendir dan darah) 4. Tanda-tanda gizi buruk

5. Perut kembung (IDAI, 2009).

2.1.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita diare yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut antara lain :

1. Pemeriksaan darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan hitung jenis leukosit).

Penderita dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis. Penderita dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri yang invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih muda. Neutropenia dapat timbul pada salmonellosis.

2. Kadar elektrolit serum, ureum dan kreatinin

Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh.

3. Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja yang menunjukkan adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan parasit dewasa.

Penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotik dalam 3 bulan

sebelumnya atau yang mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin Clostridium difficile.

4. Rektoskopi

Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada penderita yang toksik, penderita dengan diare berdarah, atau penderita dengan diare persisten.

5. Kolonoskopi

Pada penderita dengan AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma didaerah kolon kanan. Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat (Setiati et al., 2014).

2.1.9 Tatalaksana

Penatalaksanaan pada diare akut antara lain : 1. Rehidrasi

a. Bila penderita diare keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin.

b. Bila penderita diare kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula harus diberikan.

Cairan oral antara lain: pedialit dan oralit. Cairan infus antara lain:

ringer laktat. Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi.

Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam rumus pemberian cairan:

a. Berat Jenis plasma dengan rumus:

Kebutuhan cairan ( )

× Berat Badan× 4 ml (2, 1) b. Metode Pierce berdasarkan klinis

1. Dehidrasi ringan (2, 2) Kebutuhan cairan = 5% × Berat badan (kg)

2. Dehidrasi sedang (2, 3)

Kebutuhan cairan = 8% × Berat badan (kg)

3. Dehidrasi berat (2, 4)

Kebutuhan cairan= 10% × Berat badan (kg) c. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis

Kebutuhan cairan =

× 10 % × kgBB × 1 liter (2, 5) Untuk menentukan skor penilaian klinis dehidrasi lihat tabel 2.1

Tabel 2.1 Skor penilaian klinis dehidrasi (Setiati, 2014).

Klinis Skor

Rasa haus/muntah 1

Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1 Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2 Frekuensi nadi > 120 kali/menit 1

Kesadaran apatis 1

Kesadaran somnolen, sopor atau koma 2 Frekuensi napas > 30 kali/menit 1

Fades cholerica 2

Vox cholerica 2

Turgor kulit menurun 1

Washer woman's hand 1

Ekstremitas dingin 1

Sianosis 2

Usia 50 - 60 tahun -1

Usia > 60 tahun -2

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama dengan 3 disertai syok diberikan cairan per intravena.

Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena. Bila dehidrasi berat sebaiknya penderita diberikan cairan melalui infus pembuluh darah. Untuk dehidrasi sedang/ringan pada penderita masih dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai.

Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCI, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl setiap liter.

Contoh oralit generik, renalyte, dan pharolit.

Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas:

a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapati rehidrasi optimal secepat mungkin.

b. Satu jam berikut/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.

c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss (IWL).

2. Diet

Penderita diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat.

Penderita dianjurkan untuk minum-minuman sari buah, teh, minuman tidak bersoda, makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi, keripik dan sup. Susu sapi harus dihindari karena adanya defisiensi laktase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.

3. Obat antidiare

Loperamide paling disukai karena tidak adiktif dan memiliki efek samping paling kecil. Obat antimotilitas penggunaannya harus hati-hati pada penderita disentri yang panas (termasuk infeksi Shigella) bila tanpa disertai anti mikroba, karena dapat memperlama penyembuhan penyakit. Obat yang

mengeraskan tinja: atapulgite 4×2 tab/hari, smectite 3×1 saset diberikan tiap diare/BAB encer sampai diare berhenti. Obat anti sekretorik atau anti enkephalinase: Hidrasec 3 × 1 tab/hari.

4. Obat antimikroba

Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis (traveler's diarrhea) atau imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal siprofloksasin 500 mg 2

×/hari selama 5-7 hari). Obat ini baik terhadap bakteri patogen invasif termasuk Campylobacter, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Aeromonas species. Sebagai alternatif yaitu kotrimoksazol (trimetoprin/sulfametoksazol, 160/800 mg 2×/hari, atau eritromisin 250-500 mg 4×/hari). Metronidazol 250 mg 3×/hari selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigai giardiasis (Setiati, 2014).

5. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit a. Hipernatremia (Na >145 mEq/L)

Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian cairan dekstrosa 5% ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq per hari karena bisa menyebabkan edema otak.

b. Hiponatremia (Na <135 mEq/L)

Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apabila masih dijumpai hiponatremia dilakukan koreksi sebagai berikut:

Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum × 0,6 × BB;

diberikan dalam 24 jam.

c. Hiperkalemia (K >5 mEq/L)

Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5-1 ml/kgBB intravena secara perlahan-lahan dalam 5-10 menit sambil di monitor irama jantung dengan EKG.

d. Hipokalemia (K <3,5 mEq/L)

Koreksi dilakukan menurut kadar kalium.

(i) Kadar K 2,5-3,5 mEq/L, berikan KCl 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi 3 dosis.

(ii) Kadar K <2,5 mEq/L, berikan KCl melalui drip intravena dengan dosis:

- 3,5 – kadar K terukur × BB (kg) × 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam dalam 4 jam pertama.

- 3,5 – kadar K terukur × BB (kg) × 0,4 + 1/6 ×2 mEq × BB dalam 20 jam berikutnya (IDAI, 2009).

2.1.10 Komplikasi

Jika diare berkelanjutan, penyakit ini dapat menyebabkan penderitanya mengalami dehidrasi dan gangguan elektrolit. Secara normal, tubuh dapat mempertahankan diri dari ketidakseimbangan cairan dan elekrolit. Namun, ada kala tubuh tidak dapat mengatasinya. Ketika tubuh mengalami kehilangan cairan dalam jumlah yang banyak secara terus-menerus seperti pada diare maka tubuh sudah tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolitnya lagi (Subagyo and Santoso, 2012).

2.2 DEHIDRASI 2.2.1 Definisi

Dehidrasi adalah keadaan berkurangnya volume air saja atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel atau keluarnya cairan hipotonik berlebihan dari ekstrasel yang mengakibatkan peningkatan natrium di ekstrasel (hipernatremia). Defisit cairan tubuh ini dapat dihitung dengan rumus (Setiati et al., 2014) :

Defisit Cairan = 0,4 × Berat Badan (

– 1) (2, 6)

2.2.2 Derajat Dehidrasi

WHO mengeluarkan standar pengukuran derajat dehidrasi dengan penilaian pada keadaan umum, kondisi mata, mulut dan turgor kulit. Cara menilai derajat dehidrasi dapat dilihat pada tabel 2.2 dan 2.3 serta gejala klinis dehidrasi pada tabel 2.4.

Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan persentase kehilangan air dari berat badan (WHO, 2018).

Derajat Dehidrasi Dewasa Bayi & Anak Dehidrasi ringan 4% dari berat badan 5% dari berat badan Dehidrasi sedang 6% dari berat badan 10% dari berat badan Dehidrasi berat 8% dari berat badan 15% dari berat badan

Terdapat perbedaan derajat dehidrasi antara usia bayi dan anak jika dibandingkan usia dewasa. Bayi dan anak (terutama balita) lebih rentan mengalami dehidrasi karena komposisi air tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu penurunan berat badan juga relatif lebih besar. Pada anak yang lebih tua, tanda dehidrasi lebih cepat terlihat dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih rendah.

Tabel 2.3 Derajat dehidrasi berdasarkan skor WHO (WHO, 2018).

Yang Dinilai Skor

A B C

Keadaan umum Baik Lesu/haus Gelisah, cemas,

mengantuk, hingga syok

Mata Biasa Cekung Sangat cekung

Mulut Biasa Kering Sangat kering

Turgor kulit Baik Kurang Jelek

Catatan:

< 2 tanda dikolom B dan C : tanpa dehidrasi

> 2 tanda dikolom B : dehidrasi sedang/ringan

≥ 2 tanda dikolom C : dehidrasi berat

Derajat dehidrasi berdampak pada tanda klinis. Makin berat dehidrasi, gangguan hemodinamik makin nyata. Produksi urin dan kesadaran menjadi tolok ukur penilaian klinis dari dehidrasi.

Tabel 2.4 Gejala klinis dehidrasi (WHO, 2018).

Ringan Sedang Berat

Urin Pekat Jumlah turun Oliguria

Sistem Saraf Pusat Mengantuk Apatis Koma

Menurut Kementerian Kesehatan diare berdasarkan derajat dehidrasi diare dapat dibagi menjadi 3 yaitu: diare tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi sedang/ringan, dan diare dengan dehidrasi berat. Dapat dibedakan berdasarkan tabel 2.5.

Tabel 2.5 Diare berdasarkan derajat dehidrasi (Kemenkes, 2011). Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai atau

tidak sadar

Mata Tidak cekung Cekung Cekung

Keinginan

Turgor Kembali segera Kembali lambat Kembali sangat lambat

2.2.3 Tatalaksana

2.2.3.1 Tatalaksana Tanpa Dehidrasi 1. Anak dirawat jalan

2. Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:

a. Beri cairan tambahan b. Beri tablet Zinc

c. Lanjutkan pemberian makan d. Nasihati kapan harus kembali

Lihat gambar 2.2 untuk penanganan dengan lengkap.

Jelaskan kepada ibu tentang 4 aturan perawatan di rumah:

beri cairan tambahan, beri tablet Zinc, lanjutkan pemberian makan, dan kapan harus kembali

1. Beri cairan tambahan (sebanyak anak mau) a. Jelaskan kepada ibu:

Pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.

Jika anak memperoleh ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan.

Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang.

Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika:

Anak telah diobati dengan rencana terapi B atau C dalam kunjungan ini.

Anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.

b. Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit. Beri ibu 6 bungkus oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.

c. Tunjukkan kepada ibu berapa banyak cairan termasuk oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairannya sehari-hari :

Usia Kebutuhan Cairan / BAB

< 2 tahun 50 – 100 ml

≥ 2 tahun 100 – 200 ml

katakan kepada ibu:

Agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering dari mangkuk/cangkir/gelas.

Jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat.

Lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

2. Beri tablet Zinc

Pada anak berusia 2 bulan ke atas, beri tablet Zinc selama 10 hari dengan dosis:

a. Usia < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari.

b. Usia > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari.

3. Lanjutkan pemberian makan 4. Nasihati kapan harus kembali

Gambar 2.2 Rencana terapi A, penanganan di rumah (WHO, 2009).

2.2.3.2 Tatalaksana Dehidrasi Sedang/Ringan

1. Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai dengan berat badan anak (atau usia anak jika berat badan anak tidak diketahui). Namun demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum lebih banyak.

2. Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, satu sendok teh setiap 1 – 2 menit jika anak berusia di bawah 2 tahun dan pada anak yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan menggunakan cangkir.

3. Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah.

a. Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit, lalu beri larutan oralit lebih lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit).

b. Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri minum air matang atau ASI.

4. Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.

5. Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu cara menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa bungkus oralit secukupnya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi di rumah ditambah untuk rehidrasi dua hari berikutnya.

6. Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang

6. Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang

Dokumen terkait