BAB 3 EVALUASI CAPAIAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN BIDANG KKDT
3.5. Bidang Penanggulangan Bencana
gan Bencana
Arahan kebijakan penanggulangan bencana
diarahkan pada peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana nasional
serta mewujudkan ketangguhan bangsa dalam
menghadapi bencana, melalui: (1) Pengintegrasian kebijakan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah; (2) Penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat dan daerah; (3) Penanganan darurat bencana yang efektif dan pemberian bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial; (4) Peningkatan sumber daya penanganan kedaruratan dan bantuan kemanusiaan yang dilengkapi dengan peralatan dan logistik yang memadai; dan (5) Percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana.
Dalam RPJMN 2010-2014, penanggulangan bencana nasional masuk sebagai prioritas nasional 9 yaitu Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam RPJMN 2010-2014 juga mencantumkan aspek mitigasi bencana alam dalam kaitannya dengan perubahan iklim sebagai prioritas bidang. Secara umum sasaran pembangunan dalam prioritas ini telah tercapai. Dari 10 indikator pencapaian Prioritas Nasional 9 yang disusun, tiga diantaranya terkait pengelolaan bencana yaitu: 1) kesinambungan sistem analisa data di bidang gempabumi dan tsunami; 2) terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (Provinsi/Kabupaten/Kota); dan 3) terbentuknya satuan reaksi cepat/SRC-PB (Satuan Reaksi Cepat-Penanggulangan Bencana). Kemajuan pencapaian berdasarkan ketiga indikator terkait penanggulangan bencana ini ditunjukkan pada tabel berikut.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
49
Tabel 3.11
Capaian Program/Kegiatan Program Penanggulangan Bencana Dalam RPJMN 2010-2014 Program/ Kegiatan Indikator Output Capaian Target Akhir 2014 (RPJMN) Ket 2010 2011 2012 2013 2014
Substansi Inti : Penanggulangan Bencana
Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Kesinambungan sistem analisa data di bidang gempabumi dan tsunami Waktu yang diperlukan untuk menentukan parameter gempabumi dan tsunami. 90 100 100 100 160 90 Terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (Prov/Kota) Terlaksananya Pemenuhan kebutuhan logistik kebencanaan (Provinsi & kab/Kota) 16 265 160 160 160 77 Terbentuknya satuan reaksi cepat (SRC-PB) Terbentuknya satuan reaksi cepat (SRC-PB) yang terbentuk 2 2 2 2 2 2
*) Sumber: Midterm Review Bappenas (2013) dan Masukan Direktorat Sektor Bappenas (2014) *Target tahunan (tercapai) *Target tahunan (tercapai) *Target tahunan (tercapai)
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
50 Berdasarkan tabel di atas pula, sebagian besar pencapaian untuk pengelolaan bencana sudah melebihi target yang seharusnya dicapai pada 2014. Hal ini menandakan bahwa usaha untuk penanggulangan bencana di Indonesia sudah dilaksanakan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Namun, indikator untuk penanggulangan bencana masih terfokus pada pemenuhan sarana dan prasarana, sistem informasi dan usaha kesiapsiagaan. Namun, pengembangan kapasitas masih bukan prioritas dalam penanggulangan bencana, padahal untuk mengurangi risiko bencana, masyarakat harus mampu untuk melakukan adaptasi dan mitigasi bencana. Dari sisi kelembagaan, perangkat regulasi maupun kapasitas kelembagaan BNPB dan BPBD (SDM maupun implementasi dari tugas/fungsi sebagai Koordinator, Komando, dan Pelaksana) belum efektif.
Permasalahan dan Kendala
Dalam pelaksanaan Substansi Inti : Penanggulangan Bencana Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, terdapat beberapa hal
mendasar yang menjadi permasalahan dan Kendala
pelaksanaannya dalam periode 2010-2014.
Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana yang telah mengalami perubahan yang semula lebih berorientasi pada penanganan darurat, menjadi upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana, diharapkan dapat menyikapi permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti: (1) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia; (2) keterbatasan sumber daya rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan terhambatnya proses pemulihan wilayah pasca bencana; dan (3) besarnya ketergantungan pendanaan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat dalam pendanaan penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014), yang dihadiri para pakar dan stakeholder terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemen ESDM,
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
51 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG, LIPI, Kementerian PU, Kementerian Kehutanan, Mabes TNI, Kementerian PDT, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh peserta satu FGD yaitu:
Pelaksanaan penanganan darurat bencana dan pemulihan pascabencana telah mengalami peningkatan, sedangkan tingkat kerentanan tinggi yang disebabkan masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat .
Lebih jauh, bahwa ada isu utama terkait bidang penanggulangan bencana yang diangkat dalam FGD tersebut yaitu Integrasi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya mendukung pembangunanberkelanjutan .
Sementara untuk penilaian kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilakukan, dapat diketahui kinerja pembangunan BNPB seperti dibawah ini:
Tabel 3.12
Ringkasan Penilaian Kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
No Evaluasi Kelemba gaan
Indikator Kesimpulan Hasil Evaluasi Penilaian Kinerja 2012 Penilaian Kinerja 2013 1 BNPB Pencapaian Target Sebagian besar pencapaian untuk pengelolaan bencana sudah melebihi target yang seharusnya dicapai pada 2014.
Tercapai Tercapai
Kualitas Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
Belum Baik Baik
Koordinasi BNPB dalam mengkoordinasikan seluruh pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana belum berjalan maksimal, termasuk koordinasi internal Belum Terkoordinir Belum Terkoordinir
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
52
Sinkronisasi RKP-RKAKL
Sinkron
Kesesuaian Kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan dari program dan kegiatan BNPB
Belum Sesuai
Sesuai
Efektivitas Efektivitas pelaksanaan Program
Penanggulangan Bencana
Tidak Efektif Tidak Efektif
Kesimpulan Kinerja BNPB Belum/Kurang Berhasil
Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi Kebijakan, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)
Berdasarkan data dalam ringkasan penilaian kinerja diatas dapat
diketahui bahwa kinerja dari pembangunan kawasan
bencana/BNPB menunjukkan kinerja yang tidak berhasil. Faktor penyebab utama dari ketidakberhasilan kinerja BNPB dikarenakan kualitas perencanaan pembangunan BNPB yang kurang baik dan tidak efektifnya perencanaan yang dilakukan dalam menjawab sasaran yang ditetapkan dalam RKP.
Dalam perspektif sistem perencanaan pembangunan nasional, RPJMN yang diturunkan menjadi RKP dan diacu menjadi Renstra BNPB, serta diturunkan menjadi Renja dan RKAKL setiap tahunnya oleh BNPB tidak berjalan dengan semestinya sehingga dalam implementasi dari perencanaan yang disusun BNPB yang menjadi tidak efektif.
Dari hasil analisis per bidang pembangunan kawasan khusus, dapat disusun rangkuman kinerja per bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal seperti dalam tabel dibawah ini
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
53
Tabel 3.13
Rangkuman Hasil Penilaian Kinerja Perencanaan Pembangunan Kawasan Tertinggal dan Khusus
No Pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Kinerja Perencanaan 1 Pembangunan Daerah Tertinggal/KPDT Belum Berhasil 2 Pembangunan Kawasan Perbatasan/BNPP Belum Berhasil 3 KPBPB Berhasil/dengan catatan 4 Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK)/Dewan Nasional KEK
Terindikasi Berhasil/ Tahap Penyiapan 5 Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua & Provinsi Papua Barat (P4B)/UP4B
Belum Berhasil
6 KAPET/Bapeng KAPET Belum Berhasil 7 KawasanBencana/BNPB Belum Berhasil
Sumber: Hasil analisis Tim Evaluasi Kebijakan (2014)
Dari hasil analisis yang sudah dilakukan dapat diketahui bahwa dalam periode 2010-2014 pada perencanaan pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang merupakan amanah UU nomor 25 tahun 2004 belum berjalan dengan baik dan menghasilkan kinerja yang berhasil. Hanya KPBPB yang mengindikasikan kinerja yang berhasil, dan itupun lebih
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
54 banyak dipengaruhi hasil program pendahunya/Badan Otorita Batam. Banyak faktor yang membuat kinerja perencanaan pembangunan nasional mencapai kinerja seperti saat ini, diantaranya:
1. Isi Kebijakan:
Sistem perencanaan pembangunan nasional (UU nomor 25 tahun 2004)
Keuangan Negara (UU nomor 17 tahun 2003) 2. Kapasitas implementing agency (Lembaga & SDM)
Sistem dan mekanisme kontroling RPJMN – RKP
Sistem dan mekanisme kontroling RKP-Renja K/L yang tidak efektif
Sistem dan mekanisme kontroling Renja K/L – RKAKL yang tidak efektif
3. Lingkungan yang kurang kondusif (Politik Anggaran DPR, Politik Birokrasi, keberpihakan terhadap kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan Papua).
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
55
EVALUASI UMUM TARGET DAN CAPAIAN RPJMN 2010-2014 BIDANG PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL
Berdasarkan hasil evaluasi target dan capaian RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, pada dasarnya secara agregat telah tercapai, seperti pengentasan Daerah Tertinggal dari target 50 Kabupaten Terentaskan (tercapai 70 Kabupaten Terentaskan), pelaksanaan kerjasama dan diplomasi batas wilayah negara dan kawasan perbatasan, target terbentuknya 5 (lima) Kawasan Ekonomi Khusus (telah terbentuk 8 (delapan) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) hingga 2014), kesinambungan sistem analisa data di bidang gempabumi dan tsunami, terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan, hingga terbentuknya tim reaksi cepat bencana.
Namun, jika dilihat dari kualitas pencapaian, terdapat beberapa hal yang belum tercapai seutuhnya. Seperti Substansi Inti Pembangunan Daerah Tertinggal,indikator target Angka Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak tercapai (hanya pertumbuhan ekonomi yang tercapai).Untuk penegasan batas wilayah negara, hampir seluruh batas maritim belum terselesaikan (clear) dengan negara tetangga. Aktivitas illegal di perairan/laut maupun di darat masih tinggi. Sementara KEK belum berjalan secara optimal, masih terhambat dengan infrastruktur wilayah maupun kelembagaan. Dalam konteks kebencanaan, saat ini belum menjadi mainstream dalam pembangunan oleh seluruh stakeholder.
Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
56