• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

KAJIAN EVALUASI PROGRAM PEMBANGUNAN DAN

PENGEMBANGAN KAWASAN KHUSUS DAN

DAERAH TERTINGGAL

DIREKTORAT KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL, KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

(2)

LAPORAN AKHIR

KAJIAN EVALUASI PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN KHUSUS DAN

DAERAH TERTINGGAL RPJMN 2010-2014

PENANGGUNG JAWAB:

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, M.Si, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

TIM PENGARAH:

Ir. Rohmad Supriyadi, MSi; Drs. Samsul Widodo, MA; Ir. Kuswiyanto, MSi; Diah Lenggogeni, ST, MSc

TIM PENULIS:

Dra. Widyawati, MSP, Arifin Bakti Nur, Osmar Shalih

TIM PENDUKUNG:

(3)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

i

KATA PENGANTAR

Laporan Akhir Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal disusun dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban atas pelaksanaan Program/Kegiatan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 04/M.PPN/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kegiatan dan Anggaran di Lingkungan Kantor Kementerian PPN/Bappenas.

Pelaksanaan Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus ini tujuannya adalah untuk menilai kualitas hasil-hasil yang telah dicapai dalam penerapan proses perencanaan, koordinasi dan pelaksanaan program di lapangan untuk kemudian diidentifikasi permasalahan apa saja yang dihadapi, serta berupaya memberikan saran dan alternatif rekomendasi untuk perbaikan proses perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan pada tahun berikutnya.

Laporan Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus tahun 2014 ini masih ada beberapa kekurangan, oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritiknya sebagai upaya penyempurnaan dalam pelaksanaan Kajian Evaluasi Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Khusus pada tahun yang akan datang.

Jakarta, Desember 2014 Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas

(4)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Maksud dan Tujuan ... 3

1.3 Sistematika Penulisan... 3

BAB 2 METODOLOGI 2.1. Metode Pelaksanaan ... 4

2.2. Tahap Analisis dan Evaluasi ... 5

2.3. Jenis dan Sumber Data ... 6

2.4. Metode dan Lokasi FGD ... 7

BAB 3 EVALUASI CAPAIAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN BIDANG KKDT 3.1. Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal ... 8

3.2. Bidang Pembangunan Kawasan Perbatasan ... 17

3.3. Bidang Pembangunan Kawasan Strategis ... 30

3.4. Bidang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat... 44

3.5. Bidang Penanggulangan Bencana ... 48

BAB 4 EVALUASI KEBIJAKAN, KINERJA PELAKSANAAN,DAN STUDI KASUS 4.1. Evaluasi Kebijakan Percepatan Pembangunan Kawasan Khusus...56

4.2. Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan ... 63

4.3. Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Kawasan Strategis ... 77

4.4. Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Penanggulangan Bencana ... 83

BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan...92

5.2. Rekomendasi...96

(5)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tahapan perencanaan pembangunan di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari 4 (empat) tahapan, yakni: (1) penyusunan rencana; (2) penetapan rencana; (3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian-bagian dari fungsi manajemen, yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keempatnya saling melengkapi dan masing-masing memberi umpan balik serta masukan kepada yang lainnya.

Evaluasi adalah langkah strategis agar implementasi pelaksanaan program dan kegiatan sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Sejalan dengan itu, evaluasi juga berfungsi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas alokasi sumberdaya, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan maka Kementerian PPN/Bappenas melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana kerja Kementerian/Lembaga dan Rencana Kerja Pemerintah berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam RPJMN 2010 – 2014. Hal ini diperjelas dengan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor: PER 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas, bahwa Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal memiliki tugas melaksanakan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional terkait rencana dan strategi pengembangan kawasan khusus dan perbatasan, daerah tertinggal, dan kawasan rawan bencana serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.

(6)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

2 kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan kawasan rawan bencana. Selain itu, koordinasi yang masih lemah antar stakeholders baik pusat dan daerah. Bappenas (2013) menyebutkan, permasalahan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal, terluar dan pascakonflik, antara lain: (1) belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal dan terluar/terdepan; (2) masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan, (3) terbatasnya sarana dan prasarana dasar wilayah; (4) belum optimalnya perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dan program khusus dan alokasi pendanaan yang belum sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik di lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan. 1 Sementara dalam konteks penanggulangan bencana, Bappenas (2013) mengemukakan, permasalahan yang masih dihadapi kurangnya media komunikasi serta sarana dan prasarana yang efektif dalam penyebarluasan informasi pengurangan risiko bencana, serta keterbatasan, kapasitas lembaga serta alokasi pendanaan di daerah.2

Berdasarkan tugas dan fungsi Bappenas, serta permasalahan yang ada dalam pembangunan kawasan selama periode RPJMN tahun 2010 – 2014, khususnya di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, kawasan khusus (KAPET, KEK & KPBPB). Evaluasi RPJMN 2010 – 2014 diperlukan untuk melihat keberhasilan dan efektivitas penyusunan perencanaan dan perumusan serta implementasi program atau kegiatan yang telah disusun. Bahan evaluasi RPJMN 2010-2014 ini menjadi bahan masukan ke dalam Rancangan RPJMN 2015-2019, bersamaan dengan proses rancangan teknokratik menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

1

Permasalahan dan kendala pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal, terluar dan pascakonflik yang masuk ke dalam Prioritas Nasional 10. Permasasalah tersebut, khususnya meliputi bidang pembangunan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan negara. Evaluasi tersebut dilakukan pada Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014 Kementerian PPN/Bappenas tahun 2013.

2

(7)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

3 1.2Maksud dan

Tujuan

Hasil dari evaluasi RPJMN 2010-2014 program pembangunan dan pengembangan kawasan khusus ini akan menjadi umpan balik dalam penyusunan rencana pembangunan 5 (lima) tahun berikutnya. Selain itu, bahan ini menjadi alternatif rekomendasi untuk meminimalisir permasalahan dan perbaikan program pembangunan kawasan pada masa yang akan datang.

Tujuan dari kegiatan evaluasi kebijakan RPJMN 2010-2014 ini adalah:

1. Identifikasi permasalahan yang dihadapi, pengumpulan data dan informasi dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan kawasan.

2. Identifikasi konsistensi perencanaan pembangunan yang terdapat dalam Renja K/L, RKP, dan RPJMN 2010 – 2014. 3. Menilai kualitas hasil perencanaan dengan pelaksanaan

program/kegiatan pembangunan kementerian/lembaga dalam mendukung pembangunan kawasan di lapangan; 4. Melaksanakan rapat koordinasi, diskusi, dan melakukan

analisis terhadap penyusunan perencanaan dan pelaksanaan program pengembangan kawasan.

5. Merumuskan alternatif rekomendasi dan saran perbaikan untuk penyusunan rencana program pembangunan dan pengembangan kawasan sebagai bahan masukan dalam penyusunan perencanaan tahun berikutnya.

1.3Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan kajian evaluasi RPJMN 2010-2014 terdiri dari 5 (lima) bab, yang meliputi:

Bab I Pendahuluan

Bab II Metodologi

Bab III Evaluasi Capaian dan Kinerja Kelembagaan RPJMN 2010-2014 Bidang Pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

Bab IV Evaluasi Kebijakan, Kinerja Pelaksanaan, dan Studi Kasus Pengembangan Bidang Pembangunan Kawasan Khusus Dan Daerah Tertinggal

(8)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

4

BAB 2

METODOLOGI

2.1Metode

Pelaksanaan Berdasarkan latar belakang, maksud, dan tujuan kajian evaluasi RPJMN 2010-2014 yang diuraikan pada bab sebelumnya, maka metode pelaksanaan penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan tiga metode pengumpulan data, yaitu: Desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan kuesioner atau panduan wawancara.

Desk study dilakukan pada tahap awal untuk mempelajari data, informasi, dan dokumen terkait dengan evaluasi pelaksanaan pembangunan bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT). Desk study terdiri dari:

 Review pelaksanaan RPJMN 2010-2014 melalui berbagai laporan Midterm Review RPJMN 2010-2014, Lampiran Pidato (Lampid) Presiden, Evaluasi Kinerja Pembangunan.

 Berbagai kajian terkait pembangunan bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal, yang dilakukan Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT), kajian internal direktorat sektor di Bappenas maupun Mitra K/L seperti KPDT, BNPP, BNPB, BP-Batam, BP-Sabang.

(9)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

5

3

Metode ROCCIPI acapkali digunakan sebagai metode dalam kerangka penyusunan peraturan-perundangan. Namun, dalam konteks ini ROCCIPI digunakan sebagai alat bantu (guidance) untuk mengidentifikasi permasalahan dalam bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal. Metode ROCCIPI dikombinasikan dengan SWOT untuk merumuskan pemecahan masalah.

2.2 Tahap Analisis dan Evaluasi

Data dan informasi, baik bersumber dari desk study, Focus Group Discussions (FGD), dan kuesioner atau panduan wawancara dianalisa secara deskriptif untuk mendapatkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJMN bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal (KKDT) yaitu meliputi: (1) Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal; (2) Bidang Pembangunan Kawasan Perbatasan; (3) Bidang Pembangunan Kawasan Strategis; (4) Bidang Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana.

Dalam menganalisis evaluasi hasil pembangunan bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, kerangka berpikir analisis yang digunakan adalah kerangka teoritikal ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Procces dan Ideology) dengan perpaduan analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats). Kerangka berpikir ROCCIPI digunakan untuk sebuah pemecahan masalah, meliputi hal: (1) mengenali suatu permasalahan; (2) mencari penyebab perilaku bermasalah; (3) menyusun solusi; (4) pemantauan dalam pelaksanaan. Sementara SWOT dititikberatkan pada peluang (opportunities) and tantangan (threats), untuk melihat peluang dan tantangan atas solusi dan permasalahan yang ada.3

Dengan kerangka berpikir analisa tersebut, beberapa hal yang hendak dituju antara lain yaitu: (1) Teridentifikasinya sinkronisasi substansi kebijakan perencanaan bidang kawasan khusus dan daerah tertinggal; (2) Hasil evaluasi kinerja pelaksanaan program bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal; serta (3) rekomendasi bentuk-bentuk affirmative action terhadap pembagunan kawasan khusus dan daerah tertinggal.

(10)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

6

Sumber: Analisa Tim Evaluasi Kebijakan (2014)

2.3 Jenis dan

Sumber Data Data yang digunakan dalam pelaksanaan kajian evaluasi RPJMN 2010-2014 ini mencakup data primer dan data sekunder. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut:

 Data primer: yaitu data atau informasi yang diperoleh dari bahan Focus Group Discussions (FGD) di Pusat dan Daerah maupun in-depth interview dengan beberapa stakeholders terpilih. Data dan informasi didapatkan berupa informasi yang mendalam, hasil wawancara, maupun jawaban responden terhadap kuesioner (panduan wawancara). Data atau informasi diperoleh melalui kunjungan lapangan dan digali dalam diskusi intensif dengan pengambil keputusan dan stakeholders terkait dengan penerapan pelaksanaan bidang pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal (KKDT).

(11)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

7 2.4Metode dan

Lokasi FGD

Proses pengumpulan data primer dimulai dengan melakukan proses pemilihan lokasi sampel yang akan dikunjungi untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara mendalam (in-depth interview). Lokasi sampel yang akan ditetapkan berdasarkan kriteria, sebagai berikut:

 Merupakan daerah yang termasuk 183 Daerah tertinggal periode RPJMN 2010-2014.

 Merupakan kawasan perbatasan, yaitu daerah yang berbatasan dengan negara lain.

 Merupakan daerah rawan bencana, yaitu memiliki indeks risiko bencana tinggi berdasarkan data IRBI tahun 2013.

 Merupakan bagian dari kawasan strategis ekonomi (KAPET atau KEK) maupun wilayah hinterlandnya.

Berdasarkan kategori tersebut, maka lokasi sampel yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) kabupaten dan 2 (tiga) provinsi. Adapun lokasi Focus Group Discussion (FGD), terpilih adalah:

1) Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. 2) Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara.

(12)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

8

BAB 3

EVALUASI CAPAIAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN MITRA DALAM

RPJMN 2010-2014 BIDANG PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS DAN

DAERAH TERTINGGAL

3.1Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal

Arah kebijakan pembangunan daerah tertinggal adalah untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar. Kebijakan tersebut diharapkan agar daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengatasi ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Arah kebijakan ini selanjutnya ditempuh melalui strategi pembangunan yang disesuaikan dengan karakteristik ketertinggalan suatu daerah. Percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan melalui strategi sebagai berikut:

a. Pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal;

b. Penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal;

c. Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal;

d. Peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal;

e. Peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan.

Pembangunan daerah tertinggal ini sesuai dengan substansi inti dari Prioritas Nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan pasca Konflik, yaitu:

Substansi Inti 1

Kebijakan: Pelaksanaan kebijakan khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya yang dapat mendorong pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik selambat‐lambatnya dimulai pada 2011;

Substansi Inti 4

(13)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

9

kabupaten paling lambat 2014

Diharapkan dengan fokus pada tujuan dari pembangunan Prioritas Nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan pasca konflik ini, dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antara daerah maju dengan daerah tertinggal.

Capaian pembangunan daerah tertinggal selama periode RPJMN 2010-2014 dapat dilihat dari outcome pembangunan di bawah ini:

Tabel 3.1

Indikator Capaian RPJMN 2010-2014 Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal

Indikator Satuan

*) Berdasarkan Keputusan Menteri PDT bahwa daerah tertinggal yang telah terentaskan periode RPJMN 2010-2014 sejumlah 70 kabupaten, angka bersifat baseline (Rancangan Awal RPJMN 2015-2019). Secara agregat, pengentasan Daerah Tertinggal dari target 50 Kabupaten terentaskan terlah tercapai (70 Terentaskan berdasarkan Permen KPDT). Namun, berdasarkan indikator capaian, hanya rata-rata pertumbuhan ekonomi (7,1 %) yang tercapai. Namun, angka kemiskinan (16,64 %) tidak tercapai dari target (14,2 %) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (68,46) juga tidak tercapai dari target (72,2).

(14)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

10

Tabel 3.2

Capaian Program/Kegiatan Pembangunan Daerah Tertinggal RPJMN 2010-2014

Substansi Inti I: Kebijakan

Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik

(15)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus

Substansi Inti IV: Daerah Tertinggal

Pengentasan Daerah Tertinggal sedikitnya 50 Kabupaten paling lambat Tahun 2014

(16)
(17)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus

*) Sumber: Midterm Review Bappenas (2013) dan Masukan Direktorat Sektor Bappenas (2014)

Permasalahan dan Kendala

Dalam pelaksanaan Substansi Inti (1): Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik (4) Pengentasan Daerah Tertinggal sedikitnya 50 Kabupaten paling lambat Tahun 2014, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi permasalahan dan kendala pelaksanaannya dalam periode 2010-2014.

Secara umum capaian sasaran Daerah Tertinggal masih belum sesuai dengan target yang ditetapkan. Hal ini dapat dilihat dari indikator utama prioritas ini, yaitu rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal, tingkat kemiskinan di daerah tertinggal dan indeks pembangunan manusia (IPM), yang belum mencapai target 2014. Namun demikian, target pengentasan daerah tertinggal yang sedikitnya mencapai 50 Kabupaten pada 2014 telah terpenuhi. Belum dapat dicapainya indikator utama prioritas (Angka Kemisikinan dan Indeks Pembangunan Manusia), (sementara Pertumbuhan Ekonomi Tercapai) dikarenakan beberapa kendala pembangunan daerah tertinggal, diantaranya:

1. Masih minimnya ketersediaan sarana prasarana dasar kewilayahan dan akses terhadap pelayanan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan (target IPM secara agregat belum tercapai);

2. Belum optimalnya pengelolaan potensi sumberdaya lokal, sehingga belum dapat mengangkat kemiskinan penduduk secara signifikan (target menurunnya angka kemiskinan

(18)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

14 secara agregat belum tercapai);

3. Belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal dan terluar/terdepan (target-target sektor, angka kemiskinan dan IPM belum tercapai);

4. Masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan (masih banyak program/kegiatan tidak bermanfaat, tidak sesuai spesifikasinya, maupun misalnya tidak memiliki sumber energi/listrik karena tidak ada (minim) integrasi antar K/L, ataupun masalah lintas sektor lain) ; dan

5. Belum optimalnya perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan dan program khusus dan alokasi pendanaan yang belum sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah tertinggal.

Berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014), yang dihadiri para pakar dan stakeholders terkait seperti Kementerian PDT, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kemen Perekonomian, Kemen ESDM, Kemen PU, Kemenhub, terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh salah peserta satu FGD yaitu:

Sejauh ini proses pembangunan Daerah Tertinggal, khususnya di Papua masih lebih banyak yang bersifat fisik padahal yang menjadi penting adalah bagaimana membangun manusianya, yaitu di bidang kesehatan dan pendidikan agar lebih intens mengadakan program pembangunan disana .

Dalam konteks evaluasi kelembagaan Pembangunan Daerah

(19)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

15

Tabel 3.3

Ringkasan Penilaian Kinerja Kelembagaan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal

Kesesuaian Banyak yang tidak sesuai karena satu

(20)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus

Sinergitas Perlu adanya peningkatan

Konsistensi Melakukan fungsi koordinasi/bukan

Kesimpulan Kinerja KPDT Belum/Kurang Berhasil

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014

(Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

Berdasarkan data dalam tabel ringkasan penilaian kinerja KPDT diatas, dapat diketahui bahwa kinerja KPDT menunjukkan kinerja yang belum/kurang berhasil, dimana diindikasikan dari penilaian kualitas perencanaan pada tahun 2012 dan tahun 2013 yang kurang baik, dari sisi efektivitas menunjukkan kinerja Kurang Efektif, dari sisi sinergitas menunjukkan kinerja yang Kurang Sinergi, dan dari sisi konsistensi menunjukkan kinerja yang kurang konsisten. Jadi meskipun dari sisi pencapaian target, KPDT mampu melewati target untuk mengangkat ketertinggalan daerah tertinggal menjadi daerah yang tidak tertinggal, tetapi beberapa indikator makro seperti IPM, Pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Kemiskinan target tidak tercapai.

Kinerja KPDT belum/kurang berhasil menjalankan peran dan fungsinya untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan program dan kegiatan K/L di daerah tertinggal, diindikasikan dengan:

(21)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

17 (STRANAS PDT) dan Strategi daerah PDT (STRADA PDT) yang memungkinkan K/L untuk mengarahkan program dan kegiatan di daerah tertinggal.

2) KPDT sebagai Kementerian Negara yang seharusnya lebih menekankan kepada fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, dalam prakteknya lebih cenderung mengarah menjalankan fungsi implementor kebijakan, atau menjadi kompetitor K/L sektoral yang semestinya menjalankan fungsi tersebut.

Dengan tidak adanya Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL, KPDT belum mampu menjalankan fungsi perencanaan yang semestinya menjadi bagian dari tugas dan fungsinya. Efek lanjut dari kondisi tersebut, KPDT dalam

menjalankan fungsi perencanaan dan sebagai

subsistem/bagian dari sistem pemerintahaan yang memiliki

tanggung jawab dalam mengimplementasikan sistim

perencanaan pembangunan nasional, membawa implikasi tidak berfungsinya sistim perencanaan pembangunan nasional seperti yang semestinya.

3.2Bidang Pembangunan Kawasan Perbatasan

Arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan adalah mempercepat pengembangan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara sekaligus pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.

Pada periode RPJMN 2010-2014, pembangunan kawasan perbatasan masuk kedalam prioritas nasional, Prioritas 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik. Pembangunan kawasan perbatasan tidak terlepas/saling terkait dengan pembangunan bidang daerah tertinggal (Sub Bab 3.1 Bidang Pembangunan Daerah Tertinggal).

(22)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

18 mendorong pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik selambat-lambatnya dimulai pada 2011; (2) Kerjasama internasional: Pembentukan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan; (3) Keutuhan wilayah: Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010; (4) Daerah tertinggal: Pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten paling lambat 2014.

Pembangunan kawasan perbatasan ini sesuai dengan substansi inti dari Prioritas Nasional 10: Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan pasca Konflik, yaitu:

Substansi Inti 2 Kerjasama Internasional

Pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan

Dalam konteks kerjasama internasional terdapat 4 (empat) sasaran: (1) Meningkatnya wilayah pengelolaan perikanan bebas IUU Fishing; (2) Terpenuhinya sarana dan prasarana pengawasan dengan rancang bangun dan sistem pemantauan yang terintegrasi dan tepat sasaran; (3) Meningkatnya sarana dan prasarana pertahanan di wilayah perbatasan; (4) Terselenggaranya operasi wilayah pertahanan.

Substansi Inti 3 Keutuhan Wilayah

Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010-2014

Dalam konteks keutuhan wilayah terdapat 3 (tiga) sasaran: (1) Terselenggaranya perundingan perbatasan RI-Malaysia, Singapura, Timor Leste, Filipina, Vietnam, dan Palau; (2) Tersusunnya kebijakan pemetaan batas wilayah dan meningkatnya cakupan peta batas wilayah; (3) Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (WP3WT).

Capaian pembangunan dalam konteks mewujudkan

(23)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

19 pemerintah telah memperkuat diplomasi perbatasan melalui perundingan terkait dengan pembuatan perjanjian bilateral dan trilateral antara RI-Malaysia, Filipina, Singapura, Timor Leste, Vietnam, dan Palau selama telah mengalami kemajuan

yang sangat signifikan. Pemerintah secara

berkesinambungan melaksanakan kebijakan Border

Diplomacy.

Permasalahan dan Kendala

Dalam pelaksanaan Substansi Inti (2) Kerjasama Internasional dan pelaksanaan substansi Inti (3) Keutuhan Wilayah, terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi permasalahan dan Kendala pelaksanaannya dalam periode 2010-2014.

Berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang dilakukan Bappenas (2014), yang dihadiri para pakar dan stakeholder terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Polri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh beberapa peserta FGD yaitu:

selain minimnya sarana prasarana, minimnya sumber daya manusia yang mau bertugas ke perbatasan juga merupakan isu

tersendiri yang perlu diangkat .

Lebih jauh, diperkuat pula pernyataan bahwa Insentif yang besar

untuk petugas perbatasan, tidak signifikan mendorong aparat mau

ditempatkan di daerah perbatasan .

Hal lain yang diangkat dalam FGD tersebut yaitu, masih ada

tumpang tindih antar sektor (ego sektor) dalam pengelolaan lintas

batas negara maupun ketidakjelasan SOP keamanan perbatasan

(24)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

20

Gambar 3.1 Ilegal Fishing di Indonesia tahun 2001-2013

Sumber: TEMPO.CO (8 Jan 2014), dalam Bappenas (2014) 100 Kapal Asing Curi Ikan di Indonesia Tiap Tahun.

Perubahan kebijakan oleh Menteri KKP yang menyebabkan melonjaknya pencurian ikan

Ditinjau dari jumlah lembaga yang menangani pengelolaan wilayah perbatasan laut, setidaknya ada 13 Kementerian/Lembaga (KL) penegak hukum di laut dengan kewenangannya yang berbeda-beda. Dari 13 K/L tersebut yang memiliki satuan tugas patroli di laut hanya TNI AL, Polri (Dit. Polo Air), Kementerian Perhubungan (Ditjen Hubla), Kementerian KKP (Ditjen PSDKP), Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai) dan Bakorkamla. Jumlah kapal yang beroperasi mencapai 923 Kapal. Namun, pelaksanaan pengamanan laut kita masih belum terkoordinasi dengan baik. Adanya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dinilai belum optimal, karena setiap sektor bekerja sendiri tanpa melakukan koordinasi dengan sektor lain (ego sektoral). Dalam beberapa kasus dan informasi, banyaknya armada kapal yang tersedia, namun tidak dapat beroperasional karena kendala bahan bakar, maupun mengalami kerusakan.

(25)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

21

Tabel 3.4

Capaian Program/Kegiatan Pembangunan Kawasan Perbatasan RPJMN 2010-2014

Program/

Kegiatan Indikator Output

Capaian Target

Substansi Inti II: Kebijakan

Pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan

Substansi Inti III: Keutuhan Wilayah

(26)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

22

dan RIRDTL skala

1:50.000 serta skala 1:25.000 Jumlah pemetaan pulau-pulau terluar

- - 74 10 114

Pengelolaan pertanahan provinsi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (WP3WT)

Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu (WP3WT) (SP)

200 394 578 154 885

*) Sumber: Midterm Review Bappenas (2013) dan Masukan Direktorat Sektor Bappenas (2014)

Dalam konteks penyelesaian batas maritim Indonesia dengan negara tetangga, belum ada satupun batas Indonesia yang jelas dan disepakati bersama (clear) sepenuhnya dengan negara lain. Hanya dengan Australia yang sudah selesai namun belum diratifikasi (lihat tabel 3.5).

Berdasarkan capaian pada periode RPJMN 2010-2014, telah banyak jumlah perundingan yang dilaksanakan (rata-rata minimal 10-60 perundingan dalam setahun) dan telah sesuai target RPJMN 2010-2014 (lihat tabel 3.4). Namun, hasil perundingan tersebut belum dapat menyelesaikan overlapping claim areas dengan negara tetangga. Akan tetapi, walau belum tentu memberikan dampak positif, kemajuan dari perundingan batas wilayah negara pada RPJMN 2010-2014, sudah mengalami banyak kemajuan yang signifikan sebagaimana tabel dibawah ini.

*Target kumulatif (tercapai)

(27)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

23

Tabel 3.5

Capaian Kemajuan Perundingan Batas Wilayah Negara Dalam RPJMN 2010-2014

No Negara

Status Penyelesaian Batas Wilayah Maritim Indonesia

(28)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

24

No Negara

Status Penyelesaian Batas Wilayah Maritim Indonesia

Selesai Belum Selesai

b. Laut Arafura Selesai Belum Selesai 9 Indonesia – Timor

Sumber: BNPP 2014, Asdep Batas Wilayah Laut dan Udara

Berdasarkan tabel di atas pula menunjukan bahwa jumlah perundingan yang dilaksanakan tidak selalu sejalan dengan

jumlah segmen batas yang terselesaikan

(penyelesaian/penegasan overlapping claim areas). Hal ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain keengganan negara tetangga yang memiliki overlapping claim areas untuk

melakukan perundingan (karena dianggap tidak

(29)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

25 kuat untuk memaksa tim perunding untuk menyelesaikan segmen batas wilayah negara (saat ini target perundingan adalah jumlah pelaksanaan diplomasi). Kedepan, perlu target-target yang bersifat outcomes seperti terselesaikan segmen batas wilayah (jumlah segmen yang terselesaikan). Tentunya target ini perlu dorongan politik yang kuat untuk penetapan targetnya dan impelentasinya di lapangan.

Dalam konteks evaluasi kelembagaan Pembangunan Kawasan Perbatasan, berikut ringkasan penilaian evaluasi kinerja Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Tabel 3.6

Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Perbatasan

No Evaluasi

Kualitas Sinkronisasi RKP-Renja,

Kesesuaian Kesesuaian antara perencanaan dan

(30)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus Konsistensi  Kegiatan tidak

terdapat

Koordinasi Koordinasi BNPP dengan mitra K/L

(31)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

27

No Evaluasi Kelemba

gaan

Indikator Kesimpulan Hasil Evaluasi

Penilaian Kinerja

2012

Penilaian Kinerja

2013

Masih ada tumpang tindih antar sektor

(ego sektor)

dalam pengelolaan lintas batas negara maupun ketidakjelasan SOP keamanan perbatasan

Kesimpulan Kinerja BNPP Belum/Kurang Berhasil

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014

(Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

Secara umum, kinerja pembangunan perbatasan yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Pembangunan Perbatasan (BNPP) menunjukkan kinerja yang Tidak Berhasil. Ketidakberhasilan pembangunan perbatasan di indikasikan dengan gagalnya BNPP untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara Republik Indonesia, kualitas perencanaan yang belum baik, dan efektivitas perencanaan yang tidak efektif dalam menjawab sasaran RPJMN, kegagalan BNPP dalam melakukan fungsi koordinasi perencanaan K/L dan SKPD, serta terjebak menjalankan fungsi implementing yang semestinya tidak dijalankan.

Ketidakberhasilan BNPP dalam melaksanakan fungsi koordinasi pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L cenderung banyak disebabkan oleh:

1. Ketiadaan instrumen koordinasi perencanaan

pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L. Rakortas yang dilakukan oleh BNPP tidak efektif karena baru bisa ditangani setelah 2 (dua) dilaksanakannya Rakortas (H-2) dan hasilnya tidak

dapat dipenuhi seluruhnya. Pada umumnya

(32)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

28

BPPD saat ini, cenderung sebagai lembaga

pengumpul/collecting program dan kegiatan

pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L dan SKPD.

2. Efek lanjutan dari ketidakfokusan dalam pelaksanaan pembangunan perbatasan yang dilakukan oleh K/L dan SKPD dalam mengatasi masalah utama yang dialami kawasan perbatasan, terjadi baik pada aspek fokus pembangunan maupun lokasi pembangunan. Lokasi pembangunan perbatasan lebih banyak yang dilakukan pada level kabupaten perbatasan dibandingkan dengan kecamatan terdepan/terluar (Lokpri) yang seharusnya

menjadi lokus sasaran utama pembangunan

perbatasan. Fokus pembangunan perbatasan juga mengalami kekurangtepatan, seperti misalnya pembangunan Base Transceiver Station (BTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) komunal yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

3. BNPP cenderung terjebak menjadi implementor dan BPPD terjebak menjadi layaknya SKPD pelaksana DAK Perbatasan, menyebabkan kurang berjalannya fungsi koordinasi perencanaan pembangunan perbatasan yang seharusnya dilakukan oleh BNPP/BPPD dalam

mengarahkan perencanaan pembangunan yang

dilakukan oleh K/L dan SKPD.

4. Kondisi ini mengakibatkan desain kelembagaan BNPP dan BPPD yang diharapkan sebagai koordinator pembangunan perbatasan tidak berjalan optimal.

Ketidakberhasilan BNPP dan BPPD dalam

melakukan fungsi koordinasi mengakibatkan terjadinya

ketidakefektifan program K/L dalam membantu

memecahkan masalah pembangunan perbatasan dan

kegagalan BNPP dalam menjadikan Kawasan Perbatasan

(33)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

29 Buruknya kualitas perencanaan BNPP diantaranya

diindikasikan dari adanya kegiatan yang tidak terdapat

didalam Renja BNPP dan RKP 2013. Meskipun Renja BNPP

dengan RKP 2014 sudah sesuai, namun penjabaran Renja

ke dalam RKAKL masih ditemukan ketidakkonsistenan,

membuktikan kapasitas perencanaan di BNPP sangat

mendesak untuk ditingkatkan.

Kualitas perencanaan BNPP kurang baik, sebagai

subsistem pemerintahan nasional dan sebagai

bagian/subsistem pemerintahan yang memiliki

tanggungjawab untuk memecahkan masalah nasional yaitu

masalah pembangunan perbatasan, membawa implikasi

terhadap kinerja pembangunan perbatasan nasional yang

tidak memuaskan.

Dalam konteks perencanaan pembangunan

nasional, kurang baiknya kualitas perencanaan BNPP yang

merupakan salah satu subsistem/bagian yang tidak

terlepas dari sistem perencanaan pembangunan nasional

memberikan kontribusi bagi kurang efektifnya

perencanaan pembangunan nasional yang dilakukan oleh

(34)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

30

3.3Bidang Pembangunan Kawasan Strategis

Dalam rangka implementasi Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi

Khusus (KEK), Pemerintah melalui RPJMN Tahun

2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP),

menargetkan penetapan 5 (lima) lokasi KEK dan

penyelesaian 95% Peraturan Pelaksana

Undang-Undang KEK ditargetkan selesai 95% pada tahun

2014.

Sebagai catatan awal capaian penetapan

sejumlah 6 (enam) KEK baru dilaksanakan pada

tahun 2014 dan kelembagaan KEK baru tersebut

belum ditetapkan sampai sekarang. Dengan

demikian 6 (enam) KEK baru tersebut belum

berfungsi dan tidak dievaluasi pada kajian ini.

Pada kajian ini, terdapat 2 (dua) KEK yang

akan dievaluasi, yaitu KEK Sei Mangkei dan KEK

Tanjung Lesung yang telah ditetapkan tahun 2012

dan telah ditetapkan lembaga pengelolanya. Saat ini,

KEK yang ada sampai pada tahapan persiapan, maka

analisis yang dilakukan sebatas pada tahap

persiapan (On-going Evaluation).

Berdasarkan penilaian kinerja pembangunan

KEK yang dilakukan, dapat diketahui kinerja

pembangunan KEK seperti pada (tabel 3.7) dibawah

(35)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

31

Tabel 3.7

Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Kesimpulan KEK Tanjung

(36)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

32 sudah bisa

menjawab sasaran output dari RKP

Kesimpulan KEK Sei

Mangkei Indikasi Berhasil

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

Dalam kaitan dengan evaluasi perencanaan

pembangunani kawasan khusus dan daerah

tertinggal, secara umum target RPJMN dan RKP

sampai dengan 2014 telah tercapai/terlampaui,

diantaranya:

Penetapan KEK, telah ditetapkan 8 (delapan)

KEK dari target 5 KEK, meliputi KEK Sei Mangkei,

Tanjung Lesung, Palu, Bitung, Morotai,

Mandalika, Tanjung Api-Api, dan Maloy Batuta

Trans Kalimantan (MBTK).

Penyelesaian Peraturan Pelaksana

Undang-Undang KEK, telah diselesaikan serangkaian peraturan meliputi pembentukan, kelembagaan,

pelimpahan kewenangan dan peraturan terkait

lainnya.

Sebagai sebuah program yang lebih

menekankan aktivitas kegiatan pada peran swasta,

sementara pemerintah hanya sebatas regulasi dan

penyediaan infrastruktur wilayah, maka beberapa

catatan perlu disampaikan terhadap implementasi

program KEK ini, diantaranya:

 KEK Sei Mangkei dan KEK Tanjung Langsung

(37)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

33 sepenuhnya efektif beroperasional. Hal ini, masih

dalam pentargetan RPJMN dan RKP 2010 -2014.

 Oleh karena sampai pada tahap persiapan,

evaluasi ini bersifat on going evaluation, maka

penilaian kinerja yang dilakukan diarahkan

untuk mengetahui indikasi kinerja /potensi

keberhasilan/kegagalan dari kedua KEK

tersebut.

 KEK Sei Mangkei memiliki kinerja yang

mengindikasikan potensi keberhasilan, karena

telah masuk investor global PT. Unilever

Oleochemical Indonesia (PT. UOI) dengan nilai

investasi sebesar Rp1,45 Triliun. Namun, hal ini

akan sangat rentan untuk mengalami kegagalan

jikalau hanya mengandalkan 1 (satu) investor

global.

 Kebutuhan dukungan infrastruktur wilayah

membutuhkan investasi pembangunan

pemerintah yang sangat besar, seperti

penanganan jalan, jalur kereta api, penyediaan

listrik dan gas, serta pelabuhan.

 KEK Tanjung Lesung memiliki kinerja yang

memiliki kinerja indikasi potensi kegagalan,

walaupun di kawasan tersebut telah beroperasi

beberapa pelaku usaha antara lain: Kalicaa Villa,

The Bay Villas, Beach Club, Sailing Club, Legon

Dadap, Blue Fish Hotel dan telah melakukan MoU

dengan Pelindo II dalam pengembangan marina

(38)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

34

kedepan kebijakan MP3EI (akan

tidakdilanjutkan), serta kebijakan RPJMN

2015-2019 mendorong pusat-pusat pertumbuhan di

luar Jawa (sementara Tanjung Lesung

merupakan wilayah Jawa).

 Tantangan besar untuk mewujudkan menjadi

sebuah potensi keberhasilan, pengembangan

kawasan ini membutuhkan dukungan

infrastruktur wilayah, diantaranya:

 Jalan Tol Serang Panimbang sepanjang 83 km.

 Peningkatan dan pelebaran ruas Jalan

Nasional Serang-Pandeglang-Saketi-Simpang

Labuan-Cibaliung sepanjang 116,41 km.

 Pembangunan Bandar Udara Panimbang,

Banten Selatan, Banten.

 Beberapa regulasi yang masih perlu dilakukan

pemerintah agar KEK yang sudah ditetapkan

bisa segera operasional, diantaranya.

 Percepatan penyelesaian Rancangan

Peraturan Pemerintah tentang fasilitas

Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai di KEK.

 Percepatan penyelesaian regulasi tentang

Fasilitas Keimigrasian, Pertanahan, dan

ketenagakerjaan di KEK, diantaranya:

 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang

Lembaga Kerjasama Tripartit melalui

perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 8

(39)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

35 Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit

 Rancangan Keputusan Presiden tentang

Dewan Pengupahan di KEK melalui

perubahan Keputusan Presiden No. 107

Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan

Nasional.

 Rancangan Peraturan Menteri Tenaga Kerja

tentang Forum Serikat Pekerja/Serikat Buruh

di Perusahaan pada Kawasan Ekonomi

Khusus.

 Penyediaan infrastruktur wilayah yang

terintegrasi, seperti pembangunan jalan

nasional, jalur kereta api, pelabuhan, bandara,

listrik, gas, dan air bersih.

 Percepatan pelimpahan kewenangan kepada

Administrator KEK dari Pemerintah,

Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

Kabupaten.

 Pemerintah cq. Dewan Nasional KEK dalam

menetapkan sebuah kawasan menjadi KEK

semestinya lebih mempertimbangkan potensi

dan ketersediaan infrastruktur wilayah

sehingga memiliki potensi keberhasilan yang

lebih tinggi dengan investasi pemerintah yang

tidak terlalu tinggi, mengingat keterbatasan

yang dimiliki pemerintah, seperti KEK

Mandalika dan KEK Bitung.

(40)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

36 skenario skema kemitraan dengan swasta

dalam pendanaan pembangunan infrastruktur

wilayah pendukung KEK, seperti untuk

pendanaan jalan toll, pengadaan pembangkit

listrik, pembangunan jaringan kereta api dan

pembangunan bandara internasional baru.

 Dalam konteks perencanaan pembangunan,

kebijakan penetapan kawasan Sei Mangkei

dan Tanjung Lesung sebagai KEK

menunjukkan secara kasat mata bahwa

penetapan tersebut tanpa didasari oleh

sebuah perencanaan yang matang dan kurang

mempertimbangkan potensi keberhasilan dan

tingkat kesulitan serta implikasi yang harus

ditanggung pemerintah.

Dalam konteks kebijakan publik, formulasi

kebijakan penetapan KEK merupakan hal yang

krusial dan harus dilakukan dengan rasional dan

professional. Dalam kasus penetapan KEK Sei

Mangkei dan KEK Tanjung Lesung menunjukkan

adanya lingkungan kebijakan kepentingan tertentu faktor politis yang kuat mempengaruhi penetapan kebijakan dan kurangnya kapasitas yang dimiliki

oleh perencana kebijakan tersebut.

Pada periode berikutnya kebijakan

penetapan kawasan menjadi KEK sudah

menunjukkan indikasi perbaikan, dengan adanya

formulir usulan, prasyarat dan skema alur

(41)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

37

Sementara untuk penilaian kinerja

pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas (KPBPB) yang dilakukan, dapat

diketahui kinerja pembangunan KPBPB seperti

dibawah ini:

Tabel 3.8

Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB)

(42)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus

Kesimpulan KPBPB

(43)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus

Kesimpulan BP Batam

Relatif Berhasil

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

(44)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

40 KPBPB diantaranya:

 Kepala Kawasan Pelabuhan Bebas (FTZ)

umumnya dikelola oleh pemerintahan lokal kecuali IRDA (Malaysia) dimana Perdana Menteri dan Kementerian Khusus memimpin bersama (Co-Chair), dengan anggota pejabat pemerintah pusat dan negara bagian Johor. Sementara Badan Pengelola diisi dengan kalangan pebisnis dan profesional.

 Di Vietnam dan China, pemerintahan lokal mendapatkan otoritas lebih dalam mengelola kawasan pelabuhan bebas, pemerintah pusat hanya menetapkan arahan umum. Pemerintah lokal sangat efektif dalam menyelesaikan persoalan teknis disebabkan sistem satu komondo kepartaian (sosialis).

 Permasalahan perizinan usaha dan insentif bagi industri berteknologi tinggi diselesaikan di badan pengelola kawasan.

 Pemerintah pusat berperan aktif dalam

memberikan promosi kawasan kepada

pengusaha lokal maupun luar negeri khususnya yang dilakukan di Malaysia.

 Terdapat permasalahan dalam pengembangan kawasan bebas pelabuhan Batam-Bintan-Karimun seperti status hutan lindung, impor list dan lain-lain. Permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan di level lokal dan level nasional belum memberikan perhatian yang diharapkan. Umumnya permasalahan tersebut melibatkan multi sektor dan lintas kementerian.

 Persoalan-persoalan Kelembagaan :

Ketidakpastian Hukum terkait pengembangan Batam-Bintan-Karimun, misalnya terkait dengan Konsistensi Aturan Beacukai dan BP Batam.

(45)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

41 serta kebutuhan Negara tetangga Singapura yang memiliki wilayah yang sempit akan tetapi memiliki potensi investasi warga Negara Singapura yang sangat besar.

Sebelum ditetapkan sebagai KPBPB, kawasan Batam dikembangkan oleh Badan Otorita Batam yang memiliki dukungan politik dan anggaran yang luar biasa sejak periode tahun 1980an. Dengan kondisi kepulauan Batam yang masih relative kosong pada waktu itu memudahkan pengelolanya

dalam proses pengembangannya. Badan

Pengusahaan Batam yang merupakan transformasi dari Badan Otorita Batam yang sebelumnya memiliki otoritas mengelola kawasan Batam sudah memiliki modal’ dengan capaian kawasan batam ketika dikelola oleh Badan Otorita Batam.

Sementara KPBPB Sabang yang relative lebih baru dikembangkan lebih mengandalkan sebagai jalur perlintasan kapal Internasional kurang terdukung oleh potensi investor luar yang relative sedikit karena potensi strategis wilayah dan kurang terdukung potensi sumber daya alamnya. Sementara badan pengusahaan KPBPB Batam tidak mewarisi’ kondisi wilayah seperti yang dialami Badan Pengusahaan Batam, yang terjadi bahkan BP KPBPB Sabang mewarisi sisa sisa bencana Tsunami yang melanda aceh, karena sabang merupakan wilayah yang terkena bencana tsunami. Kondisi ini sebenarnya kurang bisa dibandingkan dan tidak bisa diambil kesimpulan atas kinerja KPBPB

Dengan kinerja perencanaan KPBPB Batam

dan KPBPB Sabang yang merupakan

subsistem/bagian dari sistem perencanaan

pembangunan nasional tentunya memberikan

(46)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

42 nasional periode 2010-2014.

Sementara untuk penilaian kinerja

pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi

Terpadu (KAPET) yang dilakukan, dapat diketahui

kinerja pembangunan KPBPB seperti dibawah ini:

Tabel 3.9

Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

N o

Kawasan Indikator Kesimpulan

Hasil Evaluasi

(47)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

43

pelaksanaan sudah bisa menjawab sasaran output dari RKP

Efektivitas Efektivitas pelaksanaan Program KAPET dalam menjawab sasaran RKP.

Belum Efektif

Belum Efektif

Kesimpulan KAPET Belum Berhasil

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa kinerja pembangunan KAPET menunjukkan adanya kegagalan, hal ini ditunjukkan dengan ketidakefektifan kinerja program pembangunan KAPET dalam menjawab sasaran pembangunan yang tercantum dalam dokumen perencanaan pembangunan RPJMN dan RKP. Disamping itu pula KAPET gagal untuk menjadi mencapai targetnya sebagai prime over kawasan disekitar. Kegagalan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres 176 tahun 2014 yang mencabut berlakunya Perpres 150 tahun 2000.

Dalam perspektif perencanaan, KAPET yang dirancang dan ditetapkan sejak tahun 1996 sampai tahun 2014 ini, baru menunjukkan kinerja yang memuaskan di KAPET Bitung, sementara yang

lainnya tidak menunjukkan kinerja yang

memuaskan. Tentunya banyak faktor yang menjadi penyebab kegagalan KAPET selama 18-19 tahun ini. Salah satunya adalah dukungan politik, isi kebijakan, dan lingkungan yang melingkupi KAPET. Faktor-faktor tersebut berkontribusi terhadap terjadinya kinerja KAPET seperti yang terjadi selama ini.

(48)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

44 berkembang diindikasikan karena dukungan politik yang minim, hal ini terlihat dari minimnya alokasi anggaran yang tersedia untuk pengembangan

KAPET. Faktor lainnya, karena kerangka

kelembagaan yang disusun juga tidak berjalan efektif. Badan Pengembangan (BP) KAPET kurang berfungsi secara optimal dan hanya Kementerian PU yang memberikan dukungan anggaran untuk operasionalisasi Badan Pengelola KAPET di daerah. Sementara kementerian lain yang menjadi anggota badan pengembangan KAPET kurang memberikan dukungan secara optimal.

KAPET yang selalu menjadi bagian dari

dokumen perencanaan pembangunan jangka

menengah (Repelita/Propenas/RPMN, Renstra K/L)

merupakan bagian/subsistem pemerintah

khususnya pembangunan regional, secara otomatis memiliki kontribusi terhadap capaian dari pembangunan regional selama ini.

3.4Bidang Percepatan Pembangunang an Papua dan Papua Barat

Dalam konteks Percepatan Pembangunan

Papua dan Papua Barat, Direktorat Kawasan Khusus

dan Daerah Tertinggal (KKDT) diberikan tugas

khusus untuk mengawal percepatan pembangunan

wilayah tersebut. Berdasarkan penilaian kinerja

percepatan pembangunan Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat (P4B) yang dikoordinasikan

oleh Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua

dan Provinsi Papua Barat (UP4B), dapat diketahui

kinerja pembangunan P4B seperti pada tabel

(49)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

45

Tabel 3.10

Ringkasan Penilaian Kinerja Pembangunan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)

N o

Kawasan Indikator Kesimpulan

Hasil Evaluasi

Sinkronisasi Sinkronisasi – RKAKL &

Konsisten Sesuai Tupoksi/

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi, 2014

(Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

Berdasarkan data dalam tabel diatas, terlihat bahwa

kinerja P4B/UP4B menunjukkan kegagalan/tidak

berhasil, hanya yang perlu dijelaskan dari kegagalan

(50)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

46 1. Peraturan Presiden (Perpres) P4B dan UP4B

baru ditetapkan pada akhir tahun 2011. Pada saat ini, kebijakan perencanaan pembangunan secara nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) K/L telah ditetapkan terlebih dahulu. Artinya Rencana Aksi P4B yang merupakan lampiran dari Perpres P4B menjadi kurang dapat diakomodir oleh RPJMN dan Renstra K/L secara optimal.

2. Pada saat Perpres P4B dan UP4B ditetapkan, rencana kegiatan dan anggaran K/L tahun 2012 sudah selesai ditetapkan, sehingga UP4B hanya dapat mempengaruhi APBN-Perubahan K/L tahun 2012 agar lebih mengarahkan kegiatan dan anggaran tersebut ke provinsi Papua dan Papua Barat.

3. Durasi waktu yang tersedia bagi UP4B untuk melaksanakan isi Renaksi P4B hanya sekitar 2,5 tahun efektif, sementara Renaksi P4B berisikan rangkaian kegiatan multisektor, sehingga secara rasional tidak mungkin bisa diimplementasikan dalam durasi masa tugas yang sekitar 3 tahun (hingga akhir tahun 2014).

4. Perpres P4B dan UP4B ditetapkan dalam suasana ketidakpercayaan yang tinggi dari

masyarakat Papua terhadap pemerintah

(51)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

47 kinerja dari P4B/UP4B dengan perspektif normal.

Dalam perspektif perencanaan

pembangunan, langkah – langkah yang dilakukan UP4B telah mampu menciptakan kondisi yang kondusif sebagai prasyarat untuk pelaksanaan pembangunan, meskipun memiliki kelemahan karena tidak mampu melakukan koordinasi yang baik dengan pemerintah provinsi Papua dan provinsi Papua Barat. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa efek kehadiran UP4B telah mampu meningkatkan alokasi anggaran dari K/L untuk dialokasikan ke provinsi Papua dan provinsi Papua Barat secara signifikan.

UP4B sebagai bagian dari bagian/subsistem pemerintahan nasional yang juga bagian dari

system perencanaan pembangunan nasional

(52)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

48

3.5 Bidang Penanggulan gan Bencana

Arahan kebijakan penanggulangan bencana

diarahkan pada peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana nasional

serta mewujudkan ketangguhan bangsa dalam

menghadapi bencana, melalui: (1) Pengintegrasian kebijakan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah; (2) Penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat dan daerah; (3) Penanganan darurat bencana yang efektif dan pemberian bantuan kemanusiaan di wilayah yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial; (4) Peningkatan sumber daya penanganan kedaruratan dan bantuan kemanusiaan yang dilengkapi dengan peralatan dan logistik yang memadai; dan (5) Percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana.

Dalam RPJMN 2010-2014, penanggulangan bencana nasional masuk sebagai prioritas nasional 9 yaitu Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam RPJMN 2010-2014 juga mencantumkan aspek mitigasi bencana alam dalam kaitannya dengan perubahan iklim sebagai prioritas bidang. Secara umum sasaran pembangunan dalam prioritas ini telah tercapai. Dari 10 indikator pencapaian Prioritas Nasional 9 yang disusun, tiga diantaranya terkait pengelolaan bencana yaitu: 1) kesinambungan sistem analisa data di bidang gempabumi dan tsunami; 2) terlaksananya pemenuhan kebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan (Provinsi/Kabupaten/Kota); dan 3) terbentuknya satuan reaksi cepat/SRC-PB (Satuan Reaksi Cepat-Penanggulangan Bencana). Kemajuan pencapaian berdasarkan ketiga indikator terkait penanggulangan bencana ini ditunjukkan pada tabel berikut.

(53)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

49

Tabel 3.11

Capaian Program/Kegiatan Program Penanggulangan Bencana Dalam RPJMN 2010-2014

Program/

Substansi Inti : Penanggulangan Bencana

Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

(54)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

50 Berdasarkan tabel di atas pula, sebagian besar pencapaian untuk pengelolaan bencana sudah melebihi target yang seharusnya dicapai pada 2014. Hal ini menandakan bahwa usaha untuk penanggulangan bencana di Indonesia sudah dilaksanakan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Namun, indikator untuk penanggulangan bencana masih terfokus pada pemenuhan sarana dan prasarana, sistem informasi dan usaha kesiapsiagaan. Namun, pengembangan kapasitas masih bukan prioritas dalam penanggulangan bencana, padahal untuk mengurangi risiko bencana, masyarakat harus mampu untuk melakukan adaptasi dan mitigasi bencana. Dari sisi kelembagaan, perangkat regulasi maupun kapasitas kelembagaan BNPB dan BPBD (SDM maupun implementasi dari tugas/fungsi sebagai Koordinator, Komando, dan Pelaksana) belum efektif.

Permasalahan dan Kendala

Dalam pelaksanaan Substansi Inti : Penanggulangan Bencana Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi, dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, terdapat beberapa hal

mendasar yang menjadi permasalahan dan Kendala

pelaksanaannya dalam periode 2010-2014.

Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana yang telah mengalami perubahan yang semula lebih berorientasi pada penanganan darurat, menjadi upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana, diharapkan dapat menyikapi permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti: (1) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia; (2) keterbatasan sumber daya rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan terhambatnya proses pemulihan wilayah pasca bencana; dan (3) besarnya ketergantungan pendanaan pemerintah daerah kepada

pemerintah pusat dalam pendanaan penyelenggaraan

penanggulangan bencana.

(55)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

51 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG, LIPI, Kementerian PU, Kementerian Kehutanan, Mabes TNI, Kementerian PDT, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, terdapat permasalahan dalam konteks mewujudkan keutuhan wilayah, seperti dikemukakan oleh peserta satu FGD yaitu:

Pelaksanaan penanganan darurat bencana dan pemulihan pascabencana telah mengalami peningkatan, sedangkan tingkat kerentanan tinggi yang disebabkan masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat .

Lebih jauh, bahwa ada isu utama terkait bidang penanggulangan bencana yang diangkat dalam FGD tersebut yaitu Integrasi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya mendukung pembangunanberkelanjutan .

Sementara untuk penilaian kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilakukan, dapat diketahui kinerja pembangunan BNPB seperti dibawah ini:

Tabel 3.12

Ringkasan Penilaian Kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

No Evaluasi Kelemba gaan

Indikator Kesimpulan Hasil Evaluasi

Kualitas Sinkronisasi RKP-Renja, Sinkronisasi RKP-RKAKL dan Efektivitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan

Belum Baik Baik

Koordinasi BNPB dalam mengkoordinasikan

(56)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

52

Sinkronisasi RKP-RKAKL

Sinkron

Kesesuaian Kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan dari program dan kegiatan BNPB

Belum Sesuai

Sesuai

Efektivitas Efektivitas pelaksanaan Program

Penanggulangan Bencana

Tidak Efektif Tidak Efektif

Kesimpulan Kinerja BNPB Belum/Kurang Berhasil

Sumber: Hasil olah data dan analisis Tim Evaluasi Kebijakan, 2014 (Data Laporan Evaluasi Kualitas Perencanaan Bappenas, 2012, 2013)

Berdasarkan data dalam ringkasan penilaian kinerja diatas dapat

diketahui bahwa kinerja dari pembangunan kawasan

bencana/BNPB menunjukkan kinerja yang tidak berhasil. Faktor penyebab utama dari ketidakberhasilan kinerja BNPB

dikarenakan kualitas perencanaan pembangunan BNPB yang kurang baik dan tidak efektifnya perencanaan yang dilakukan dalam menjawab sasaran yang ditetapkan dalam RKP.

Dalam perspektif sistem perencanaan pembangunan nasional,

RPJMN yang diturunkan menjadi RKP dan diacu menjadi Renstra

BNPB, serta diturunkan menjadi Renja dan RKAKL setiap

tahunnya oleh BNPB tidak berjalan dengan semestinya sehingga

dalam implementasi dari perencanaan yang disusun BNPB yang

menjadi tidak efektif.

Dari hasil analisis per bidang pembangunan kawasan khusus,

dapat disusun rangkuman kinerja per bidang pembangunan

kawasan khusus dan daerah tertinggal seperti dalam tabel

(57)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

53

Tabel 3.13

Rangkuman Hasil Penilaian Kinerja Perencanaan Pembangunan Kawasan Tertinggal dan Khusus

No Pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

Kinerja Perencanaan

1 Pembangunan Daerah

Tertinggal/KPDT

Belum Berhasil

2 Pembangunan Kawasan

Perbatasan/BNPP

Belum Berhasil

3 KPBPB Berhasil/dengan

catatan

4 Kawasan Ekonomi Khusus

(KEK)/Dewan Nasional KEK

Terindikasi Berhasil/

Tahap Penyiapan

5 Percepatan Pembangunan Provinsi

Papua & Provinsi Papua Barat

(P4B)/UP4B

Belum Berhasil

6 KAPET/Bapeng KAPET Belum Berhasil

7 KawasanBencana/BNPB Belum Berhasil

Sumber: Hasil analisis Tim Evaluasi Kebijakan (2014)

Dari hasil analisis yang sudah dilakukan dapat diketahui

bahwa dalam periode 2010-2014 pada perencanaan

pembangunan kawasan khusus dan daerah tertinggal, Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional yang merupakan amanah

UU nomor 25 tahun 2004 belum berjalan dengan baik dan

menghasilkan kinerja yang berhasil. Hanya KPBPB yang

(58)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

54 banyak dipengaruhi hasil program pendahunya/Badan Otorita

Batam. Banyak faktor yang membuat kinerja perencanaan

pembangunan nasional mencapai kinerja seperti saat ini,

diantaranya:

1. Isi Kebijakan:

 Sistem perencanaan pembangunan nasional (UU nomor

25 tahun 2004)

 Keuangan Negara (UU nomor 17 tahun 2003)

2. Kapasitas implementing agency (Lembaga & SDM)  Sistem dan mekanisme kontroling RPJMN – RKP

 Sistem dan mekanisme kontroling RKP-Renja K/L yang

tidak efektif

 Sistem dan mekanisme kontroling Renja K/L – RKAKL

yang tidak efektif

3. Lingkungan yang kurang kondusif (Politik Anggaran DPR,

Politik Birokrasi, keberpihakan terhadap kawasan

Gambar

Tabel 3.2
Tabel 3.3 Ringkasan Penilaian Kinerja Kelembagaan Kementerian Pembangunan Daerah
Gambar 3.1 Ilegal Fishing di Indonesia tahun 2001-2013
Tabel 3.4 Capaian Program/Kegiatan Pembangunan Kawasan Perbatasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pertama kita tarik fibo dari X ke A untuk menentukan titik B dengan level fibo 38.2 atau 61.8, setelah mengetahui titik B dengan level fibo 38.2 atau 61.8, kita mencari mencari titik

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat kontribusi iklim organisasi sekolah dan semangat kerja terhadap kualitas kehidupan kerja pada guru sehingga

Pihak manajemen harus menghubungi salah satu pegawai yang ada di toko untuk menghitung jumlah persediaan produk jadi yang ada, sehingga ketika ada pesanan, pihak perusahaan

Konsep pembangunan yang dilakukan atas rumah susun yaitu dengan bangunan bertingkat, yang dapat dihuni bersama, dimana satuan-satuan dari unit dalam bangunan dimaksud

Prinsip kerja dari sistem monitoring gas hasil pengolahan sampah ini untuk mendeteksi kadar gas hasil pengolahan sampah, dimana sistem monitoring ini menggunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar debu, umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan merokok dan indeks massa tubuh dengan

memiliki jari-jari sebesar 24,26 m dengan kecepatan eksisting rata-rata 30 km/jam yang tidak memenuhi persyaratan karena jari-jari eksisting lebih kecil dari

Asumsi : Jenis Pesawat yang akan digunakan memiliki TC Validasi Indonesia (DSKU) Mengirimkan surat pengajuan ijin pemasukan - Surat Pengajuan Ijin Pemasukan - Checklist