• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KEBIJAKAN, KINERJA PELAKSANAAN,DAN STUDI KASUS

Dalam dokumen Kajian (Halaman 60-96)

EVALUASI KEBIJAKAN, KINERJA PELAKSANAAN, DAN STUDI KASUS

PENGEMBANGAN BIDANG PEMBANGUNAN KAWASAN KHUSUS DAN

DAERAH TERTINGGAL

4.1Evaluasi Kebijakan Percepatan Pembangunan

Regionalisasi dalam pengembangan wilayah nasional dalam RPJMN

2010-2014 mengacu pada keserasian dan keseimbangan

pembangunan ekonomi wilayah dengan kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan kelestarian lingkungan, sehingga

terwujud pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development). Dalam konteks pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal (KKDT), maka tujuan utama pembangunan yaitu untuk mengurangi ketimpangan wilayah antar Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), Daerah Tertinggal dengan Daerah Non Tertinggal, Kawasan Perbatasan Negara dengan wilayah negara tetangga. Kawasan rawan bencana maupun tata ruang seyogyanya menjadi landasan utama dalam konteks keterpaduan pembangunan mengurangi potensi resiko bencana, konflik kepentingan, pembangunan lintas wilayah dan lintas sektoral, yang pada akhirnya akan memperkuat Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Tantangan untuk mengurangi ketimpangan wilayah di Indonesia, bukan suatu hal yang mudah. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, pembangunan cenderung mengarah di wilayah Jawa maupun Sumatera. Sementara wilayah Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, Papua tetap tertinggal dalam pembangunan, sebagaimana data sebagai berikut.

Tabel 4.1 Peran Wilayah Pulau Dalam Pembentukan PDB Nasional Dalam Kurun Waktu Tahun 1978- 2013

PULAU 1978 1983 1988 1993 1998 2003 2008 2013

Sumatera 27,6 28,7 24,9 22,8 22,0 22,4 22,9 23,8

Jawa 50,6 53,8 57,4 58,6 58,0 60,0 57,9 58,0

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

57 Sulawesi 5,5 4,2 4,1 4,1 4,6 4,0 4,3 4,8 Bali dan Nusa Tenggara 3,1 2,8 3,0 3,3 2,9 2,8 2,5 2,5 Maluku dan Papua 2,9 1,8 1,7 2,0 2,5 1,8 2,0 2,2 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Sumber: BPS, diolah dari berbagai tahun

Tantangan untuk mewujudkan pemerataan dan keterpaduan pembangunan dalam suatu wilayah juga berkaitan dengan perlunya

koordinasi kebijakan pembangunan nasional maupun

kekuatan/kemauan politik (political will) yang terstruktur. Seperti

diketahui bahwa, ketimpangan wilayah seringkali memberikan

kerugian yang lebih besar bagi negara. Pembelajaran kasus di

kawasan perbatasan negara (di klaimnya Sipadan-Ligitan) oleh negara lain (Malaysia), serta konflik horisontal, merupakan beberapa contoh mengapa pemerataan pembangunan wilayah menjadi tujuan pembangunan. Pemerataan pembangunan juga merupakan bagian dari kewajiban negara dan hak dasar masyarakat sebagaimana amanat undang-undang dasar 1945.

Dengan memperhatikan tujuan pembangunan nasional dan berbagai tantangan tersebut, pembangunan berdimensi spasial atau wilayah

menjadi penting, relevan dan mendesak dalam menjamin

pembangunan secara merata ke seluruh wilayah. Pendekatan wilayah menegaskan perlunya pengembangan suatu kebijakan yang spesifik (affirmative policy) untuk membangun daerah tertinggal dan perbatasan, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, serta kawasan rawan bencana sebagai landasan utama dalam pengembangan

wilayah, maupun bencana sebagai pengarusutamaan (mainstream)

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

58 .

Boks 4.1

Pentingnya Menyinergikan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Kawasan Ekonomi dan Kawasan Khusus sebagai Percepatan Terciptanya Kesetaraan Kehidupan Ekonomi serta Kawasan Rawan Bencana

Sebagai Landasan Utama

Hubungan yang terbuka antar negara dan antar bangsa membawa perubahan struktur kelembagaan yang mendasar, termasuk lembaga negara. Namun perubahan tersebut belum diikuti dengan kesiapan negara untuk menjadi pengelola yang luwes dalam menjalankan fungsinya (Evans, 1997). Terbukanya komunikasi dan hubungan antar negara yang dipermudah dengan adanya kemajuan infrastruktur transportasi, terutama terasa di wilayah perbatasan (Pongsawat, 2007; Blair, 2007; Wu, 2001). Untuk mengatasi berbagai kesenjangan kehidupan sosial dan ekonomi antar wilayah yang berada di dua atau lebih negara, diperlukan pendekatan dan metode yang mengutamakan kerjasama bilateral atau multilateral di antara para pemegang kekuasaan. Kerjasama dan pengembangan kebijakan bersama dapat dilakukan pada berbagai tingkatan aras wilayah administrasi (Li & Sculiion, 2006). Aras wilayah administrasi juga mempengaruhi bentuk perencanaan spatialnya (Blair, 2007), bentuk kerjasama yang akan dibangun (Lana-Valencia, 2002), dan dampak pembangunan yang akan dicapai (Sihaloho & Muna, tanpa tahun)

Perlunya kesiapan negara dalam mengantisipasi perubahan kebutuhan juga terjadi pada perencanaan pembangunan wilayah ekonomi khusus maupun wilayah yang sensitif terhadap bencana. Wilayah dengan kerentanan bencana yang tinggi diharapkan menempatkan isu bencana dan dampak perubahan iklim sebagai pengarus utamaannya. Kebutuhan akan data dan teknologi merupakan salah satu kebutuhan dalam menghadapi bencana. Keberadaan data yang tepat dan dukungan teknologi GIS mampu menyediakan menyediakan informasi awal guna melakukan pengelolaan wilayah pantai guna mempersiapkan mitigasi bencana dan proses evakuasi dan strategi manajemen dalam menghadapi bencana (Sambah dan Miura, 2014).

Peta Indeks Rawan Bencana Tsunami (Contoh Peta Tematik Kebencanaan Menggunakan Sistem Informasi Geografis)

Contoh Kerjasama China-India Dalam Menyelesaikan Permasalahan Perbatasan

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

59

Boks 4.1 (Lanjutan)

Pentingnya Menyinergikan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Kawasan Ekonomi dan Kawasan Khusus sebagai Percepatan Terciptanya Kesetaraan Kehidupan Ekonomi serta Kawasan Rawan Bencana

Sebagai Landasan Utama

Perencanaan pembangunan yang dapat diimplementasikan dengan baik dan memberikan hasil kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhannya, seharusnya memasukkan faktor bentang alam dan karakter sosial budaya msyarakat sebagai bagian dari masukan perencanaan (Li & Scullion, 2006). Penelitian yang mereka lakukan di Cina menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan hasil pembangunan pada wilayah perbatasan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan bentang alam antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan yang tidak menjadi pertimbangan dalam menyusun perencanaan menyebabkan

melebarnya perbedaan hasil pembangunan. Pada wilayah yang mudah dibangun dan kaya

akan sumber daya alam, hasil pembangunan dapat dimaksimalkan. Sementara wilayah yang

sulit dan terbatas sumber daya alamnya membutuhkan pengetahuan dari pemerintah maupun pemangku kepentingan yang lain, untuk lebih aktif meningkatkan kapasitas institusinya dan mengelola pengetahuan akan wilayahnya, dengan lebih baik. Hal lain yang menjadi temuan dari Li & Scullion (2006) adalah dibutuhkannya beberapa lapis platform pengetahuan untuk mengelola wilayah perbatasan. Pemerintah maupun para pelaku kegiatan ekonomi (terutama) di wilayah perbatasan juga harus menguasai konsep wilayah perbatasan. Keterbatasan pengetahuan akan konsep ini akan menjadi salah satu faktor yang dapat menyurutkan kualitas pembangunan di wilayah tersebut.

Selain Li dan Scullion, pengetahuan tentang kondisi geografis juga menjadi temuan dari Goodall & Roberts (2003). Mereka menyatakan bahwa faktor geografis dan potensi fisiknya merupakan hal yang harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan wilayah perbatasan. Wilayah perbatasan yang dikuasai negara yang berbeda dan memiliki potensi yang berbeda mendorong terjadinya kesenjangan. Karena itu penguasaan akan potensi dan kondisi geografis menajdi kunci kesetaraan dalam pembangunan wilayah perbatasan. Kondisi fisik ruang muka bumi juga menjadi perhatian dari Johanson & Vahne (1977). Namun dalam penelitian mereka berdua, jarak juga menjadi kunci keberhasilan. Jarak pusat permukiman yang terbentang jauh antar dua negara, berbeda dampaknya dengan permukiman yang berjarak dekat. Kedekatan jarak menjadi pendorong munculnya berbagai kegiatan ekonomi dan berjalannya kegiatan perdagangan. Hal ini memunculkan bias kewarganegaraan karena sesungguhnya para pemukim tersebut dapat berasal dari satu suku bangsa, bahkan dapat juga mereka bersaudara.

Kondisi Geografis Wilayah Tertinggal dan Perbatasan yang Membutuhkan

Penanganan Khusus

Kesenjangan Ekonomi Antara Masyarakat Perbatasan Indonesia dengan

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

60 Berdasarkan sasaran pembangunan RPJMN 2010-2014, studi literatur, rangkaian diskusi, pengamatan lapang, dibawah ini merupakan evaluasi umum kebijakan bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal sebagai berikut:

Tabel 4.2 Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang Pembangunan Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

No Kebijakan RPJMN 2010-2014 Terkait Bidang KKDT

Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT

1 Pelaksanaan Kebijakan Khusus

dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong

Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik

Kebijakan affirmative untuk daerah tertinggal, terpencil, dan kawasan perbatasan negara, harus tetap

dilanjutkan. Namun, dari hasil evaluasi, didapati bahwa masih perlu perbaikan terhadap kebijakan affirmative sektoral maupun keuangan negara mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga mekanisme evaluasi. 2 Pembentukan kerjasama dengan

negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan

sumber daya kelautan

Kebijakan terkait kerjasama dengan negara tetangga terkait pengamanan wilayah dan sumber daya kelautan perlu dilanjutkan pada periode RPJMN 2015-2019 mengingat kondisi

geografis Indonesia yang luas. Namun, selain kerjasama pertahanan dan pengamanan, di wilayah perbatasan ke depan perlu didorong kerjasama lainnya, yaitu ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan.

Dalam konteks kebijakan kerjasama pertahanan dan keamanan negara juga perlu penguatan sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, termasuk sarpras pengamanan perbatasan laut maupun keterlibatan masyarakat menjaga kedaulatan.

Kerjasama di wilayah perbatasan hendaknya juga memperhatikan unsur ke-sukubangasa-an dan hubungan keluarga (kinship). Sebagai keluarga yang dipisahkan oleh batas negara, bentuk kesenjangan apapun akan memicu rasa ketidak adilan.

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

61 No Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT

Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT

3 Penyelesaian pemetaan wilayah

perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010-2014

Dalam konteks menjaga keutuhan wilayah, pemetaan wilayah pada periode RPJMN 2010-2014 hampir sebagian besar tercapai. Ke depan, kebijakan pemetaan tersebut harus tetap didorong untuk kepentingan diplomasi batas yang masih (overlapping claim areas) maupun pemetaan tematik terkait sumber daya alam/kelautan maupun keperluan sosialisasi batas wilayah negara untuk masyarakat perbatasan.

Dalam sasaran keutuhan wilayah, pada masa yang akan datang upaya

diplomasi penetapan/penegasan batas wilayah negara maupun status

kewarganegaraan di wilayah perbatasan harus menjadi prioritas. 4 Pengentasan Daerah Tertinggal

sedikitnya 50 Kabupaten paling

lambat Tahun

Target Pengentasan daerah tertinggal 2010-2014, pada dasarnya telah tercapai secara agregat (70 Daerah Tertinggal dari target 50 Dearah Tertinggal)

Berdasarkan hasil evaluasi, ditemukan beberapa hal terkait pengentasan daerah tertinggal, selain keberpihakan pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi lokal, hal penting lain yaitu: faktor kelembagaan, khususnya pengetahuan dari

pemerintah maupun pemangku

kepentingan yang lain, untuk lebih aktif meningkatkan kapasitas institusinya dan mengelola pengetahuan akan wilayahnya sehingga lepas dari ketertinggalan.

5 Peningkatan kemampuan

penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi,

Peningkatan kemampuan

penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah pada dasarnya telah membaik dengan hadirnya lembaga BNPB maupun BPBD. Namun, kebijakan ke depan, hal besar yang perlu ditangani yaitu menempatkan isu

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

62 No Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT

Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT dan 2) pembentukan tim gerak

cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

kebencanaan sebagai

pengarusutamaan dalam pembangunan nasional. Kebutuhan akan data,

teknologi, pengetahuan kebencanaan merupakan salah satu kebutuhan dalam antisipasi ancaman bencana.

Untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan, perlu adanya sistem yang meningkatkan fungsi koordinasi antara lembaga di daerah, dan dengan

pemangku kepentingan lain seperti lembaga keagamaan atau LSM/NGO. Selama ini sistem koordinasi belum berjalan dengan baik sehingga ada pemangku kepentingan yang tidak termonitor aktifitasnya

Dalam menghadapi bencana, BPBD perlu memiliki kapasitas yang lebih besar. Peran BPBD bukan hanya sebagai koordinator tetapi leader dalam situasi kebencanaan

6 Pembentukan dan

Pengembangan termasuk peningkatan pembinaan, pengawasan,dan pengusahaan Kelembagaan pengelola KAPET, KPBPB, KEK dan kawasan strategis cepat tumbuh lainnya

Target/sasaran terbentuknya

pengembangan 5 KEK di RPJMN 2010-2014 telah tercapai (saat ini ada 8 KEK). Namun, dalam

pengoperasionalisasinya masih terkendala beberapa hal seperti regulasi, infrastruktur, kelembagaan, dan sebagainya.

Dalam konteks pengembangan KAPET, telah didorong Raperpres perubahan atas Kepres 150 tahun 2000 Namun, posisinya hingga kini masih belum selesai.

Dalam konteks pengembangan KPBPB Sabang dan Batam-Bintan-Karimun, terdapat permasalahan antara masing-masing kawasan. KPBPB Sabang ingin mereorientasi menjadi kawasan wisata, sementara Batam mengalami berbagai kendala salah satunya terkait masalah kawasan hutan.

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

63 No Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT

Evaluasi Umum Kebijakan RPJMN 2010-2014

Terkait Bidang KKDT pengembangan pusat-pusat

pertumbuhan (kawasan-kawasan yang telah dibentuk untuk pengembangan ekonomi) Bappenas bersama

Kementerian Perekonomian menjadi leading untuk melakukan fasilitasi, pembinaan dan pengawasan maupun evaluasi terhadap kawasan yang telah ada. Hal ini untuk mengurangi ego sektor (kawasan-kawasan yang dibentuk sektor/K/L) maupun hambatan/permasalahan pembangunan kawasan. Sumber: Hasil Analisis, 2014

4.2Evaluasi dan Implementasi Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kawasan Perbatasan Negara

Pelaksanaan Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan lainnya yang dapat Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik

Dalam konteks pelaksanaan kebijakan khusus

pengembangan infrastruktur di daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik terdapat beberapa hal utama yang dievaluasi, antara lain: (1) masih minimnya akses masyarakat terhadap infrastruktur

dasar wilayah (transportasi, energi/listrik,

telekomunikasi-informasi, air bersih) serta pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, dan perumahan),

belum optimalnya affirmatif kebijakan sektor dan

keuangan negara terhadap pengembangan daerah tertinggal dan perbatasan.

Infrastruktur Transportasi

Dalam perspektif global, daya saing infrastruktur Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di kawasan regional. Berdasarkan hasil survei Logistics Performance Index (2012), di Negara ASEAN, kondisi logistik Indonesia di bawah Singapura,

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

64 Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Rendahnya daya saing infrastruktur serta belum memadainya sistem logistik nasional memberikan kontribusi pada kurang lancarnya arus distribusi barang dalam menjangkau ke

seluruh pelosok wilayah nusantara (national

connectivity).

Lebih jauh, berdasarkan data BPS (2011), kondisi jalan beraspal di daerah tertinggal juga masih minim, di Kabupaten Tertinggal Pulau Papua hanya 16,32% yang jalannya beraspal, sementara Pulau Kalimantan hanya 36,63% dari seluruh jalan di daerah tertinggal yang beraspal, berurutan ada Pulau Maluku (38,29%), Pulau Sulawesi (64,26%), Pulau Nusa Tenggara (67,75%), Pulau Sumatera (67,97%), dan Pulau Jawa (83,91%). Untuk kawasan perbatasan negara, berdasarkan data BPS (2011), 737 desa di kecamatan perbatasan masih

mengalami keterisolasian (tidak dapat dilalui

sepanjang tahun dan akses berupa jalan tanah).

Sementara untuk transportasi laut, masih terdapat wilayah-wilayah kepulauan terpencil termasuk pulau-pulau kecil terluar (PPKT) berpenduduk yang masih mengalami keterisolasian. Di wilayah studi, yaitu Kabupaten Rote Ndao, masyarakat besar bergantung

dengan transportasi laut, yaitu kapal feri

penyeberangan dari Kupang (Ibukota Provinsi) yang hanya melayani 1 (satu) hari sekali. Sama halnya dengan wilayah-wilayah tertinggal (pulau terpencil) dan perbatasan di wilayah Sangihe-Talaud (termasuk Pulau Miangas dan Marore), Kepulauan Riau

(Natuna-Anambas), Kepulauan Maluku (Maluku Barat

Daya,Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru), serta wilayah terpencil lainnya mengalami hal yang serupa,

kualitas dan intensitas pelayanan transportasi

keperintisan masih minim. Minimnya kondisi

infrastruktur transportasi memicu terjadinya

disparitas harga dan kesenjangan antarwilayah serta menghambat terjadinya akselerasi pembangunan

infrastruktur untuk mendapatkan peningkatan

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

65 Gambar 4.1 Kapal Penumpang Express Bahari

(Tranportasi Kupang-Rote Ndao)

Hal ini yang perlu didorong menjadi prioritas RPJMN 2015-2019 kedepan, bahwa identitas negara maritim bukan hanya sebuah label ataupun jargon , tetapi

mewujudkan negara maritim dengan sistem

transportasi laut yang yang tangguh, pengamanan laut,

maupun pengelolaan potensi maritim yang

berkelanjutan.

Infrastruktur Energi, Telekomunikasi/Informasi, dan Air Bersih

Keberadan energi, telekomunikasi/informasi, dan air bersih sangat menunjang aktivitas masyarakat baik untuk pemenuhan pelayanan dasar maupun keperluan Berdasarkan hasil evaluasi, minimnya infrastruktur transportasi ini ditenggarai beberapa hal, yaitu belum efektifnya pengelolaan affirmative terhadap daerah tertinggal dan perbatasan, seperti adanya regulasi pembagian kewenangan Jalan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten. Sementara, kondisi jalan di kabupaten Daerah Tertinggal, banyak yang mengalami kerusakan, sedangkan celah fiskal (kemampuan keuangan daerah tertinggal/perbatasan) membangun infrastruktur transportasi rendah. Sebagian besar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) habis untuk belanja pegawai (lebih dari 50%). Telah ada bentuk affirmative melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal maupun Sarana Prasarana Kawasan Perbatasan rata-rata untuk 1 (satu) kabupaten tertinggal/perbatasan tidak lebih dari 10 Milyar (Kemenkeu, diolah dari berbagai tahun 2010-2014). Sementara kebutuhan membangun daerah tertinggal dan perbatasan yang kondisi geografisnya relatif sulit membutuhkan dana yang lebih besar dibandingkan dana yang telah dialokasikan melalui dana DAK.

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

66

dalam menunjang perekonomian. Dalam hal

ketersedian energi, khususnya kelistrikan, ukuran ketersediaan tenaga listrik disuatu daerah dikenal dengan rasio elektrifikasi. Rata-rata rasio elektrifikasi daerah tertinggal yaitu sebesar 69.45%, sedangkan target Nasional yaitu 80% (Periode RPJMN 2010-2014). Berdasarkan capaian rasio elektrifikasi tersebut, terdapat setidaknya 34 Kabupaten di daerah tertinggal yang rasio elektrifikasinya kurang dari 50% atau tergolong kategori rendah.

Gambar 4.2 Rasio Elektrifikasi Daerah Tertinggal (Sumber BPS 2011, diolah)

Sama halnya dengan infrastruktur telekomunikasi dan informasi. Berdasarkan data BPS (2011), kondisi telekomunikasi di daerah tertinggal sebesar 6.351 desa (27,7%) yang tidak mempunyai sinyal seluler di daerahnya, terutama di wilayah Papua kurang lebih 16 kabupaten dengan 1.777 desa (90%) tidak ada sinyal

seluler. Di wilayah perbatasan negara, sinyal

telekomunikasi kondisinya lebih memprihatinkan. Sinyal di beberapa wilayah perbatasan negara, seperti di wilayah perbatasan Kalimantan dengan Malaysia, Kepulauan-Riau dengan Singapura, bahkan NTT

dengan RDTL, mengalami roaming sinyal. Padahal

secara wilayah, masih merupakan wilayah negara Indonesia. Sementara untuk air bersih, beberapa wilayah tertinggal maupun perbatasan kesulitan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pertanian, seperti di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, maupun pulau-pulau terpencil dan terluar (perbatasan

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

67 negara). Di wilayah studi, yaitu Kabupaten Rote Ndao,

hampir setiap tahun mengalami kekeringan

(kekurangan sumberdaya air).

Gambar 4.3 Mobil Aparat Keamanan yang Memobilisasi Air Bersih Ke Warga dan Sumur Sumber Mata Air (Sumber: Hasil Survei, 2014)

Pelayanan Sosial Dasar

Dalam hal peningkatan akses sosial dasar, kondisi daerah tertinggal dan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2010-2014 masih memprihatinkan. Rata-rata tenaga kesehatan yang ada di suatu daerah tertinggal hanya setengah dari daerah maju. Sementara jumlah dokter dalam suatu daerah tertinggal perbandingannya 1:5 dibanding daerah maju (kabupaten non tertinggal).

Perbandingan antara jumlah poskesdes di daerah tertinggal dengan daerah maju (non tertinggal) yaitu 1:2, sementara untuk jumlah puskesmas relatif sama kondisi antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Namun, lebih jauh, jika dilihat dari akses ke puskesmas, terdapat 77 Kabupaten dengan 30% (persen) desanya mengalami kesulitan untuk menempuh akses ke puskesmas.

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

68

Gambar 4.4 Rasio Jumlah Tenaga Kesehatan Nasional dengan Daerah Tertinggal ( Sumber: BPS, 2011)

Telah ada berbagai intervensi pembangunan terkait pengembangan Sumber Daya Manusia (Bidang Pendidikan dan Kesehatan) di daerah tertinggal dan perbatasan. Namun, intervensi tersebut belum berjalan efektif. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan Bappenas (2014), disampaikan oleh peserta dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal bahwa

ada kegagalan dalam proyek kesehatan terutama pada daerah tertinggal. Perlu ditegaskan kembali bahwa KPDT diberikan mandat untuk melakukan percepatan dan penajaman kebijakan

Lebih jauh Kementerian Kesehatan, dalam FGD Bappenas (2014) juga menyampaikan telah banyak memberikan kontribusi kepada Infrastruktur Daerah Tertinggal, Perbatasan, Kepulauan (IDTPK) sebagaimana diungkapkan

upaya peningkatan status puskesmas di daerah terpencil dan sangat terpencil, pelayanan kesehatan bergerak. Untuk peningkatan status puskesmas menjadi puskesmas perawatan. Di daerah tertinggal diusulkan PUSTU . Di Papua-Papbar ada pengadaan puskesmas keliling, dokter kontrak, dan pelayanan kesehatan bergerak belum dicantumkan. Pada katas, ada pengadaan puskesmas keliling dengan mobil double garden

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

69 Daerah Tertinggal, untuk mencapai capaian-capaian indikator terkait Indeks Pembangunan Manusia,

khususnya indikator kesehatan, Kementerian

Kesehatan tidak lagi berdiri sendiri, namun dibentuk suatu Pokja untuk bersama-sama secara terintegrasi untuk memenuhi indikator sasaran yang telah ditetapkan. Kedepan yang perlu diefektifkan adalah membentuk Pokja yang kuat dalam mengidentifikasi kebutuhan daerah tertinggal dan perbatasan yang sesuai dengan kondisi wilayah.

Sama halnya dengan Pendidikan, dalam FGD yang dilakukan Bappenas (2014) dikemukakan bahwa, Kementerian Pendidikan berupaya untuk

memberikan affirmative policy sebagaimana berikut:

Pengembangan SDM di dating, katas, dan Pap-Papbar kami sudah jelas berpihak dan mendukung, dapat dilihat dari anggaran untuk tersebut sebesar 8 M dalam tahun 2014. Ada program sarjana masuk daerah tertinggal untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di daerah tertinggal. Di samping itu ada program sekolah satu atap. Untuk 2015-2019, belum dapat disampaikan secara riil, hanya disampaikan berkisar 15 Triliun anggaran yang diperlukan. Ada program khusus untuk kawasan perbatasan yaitu ada pembangunan laboratorium IPA di sekolah perbatasan yang masih mencapai 50%, dan perpustakaan masih mencapai 60%, kekurangannya itu yang akan kami upayakan untuk terpenuhi hingga 100%. Untuk kejuruan akan disiapkan di kawasan perbatasan, termasuk juga Politeknik yang sudah mulai beroperasi dalam rangka menyiapkan SDM di kawasan perbatasan

Fakta didaerah studi, yaitu Kabupaten Rote Ndao mengalami kesulitan dalam pengembangan SDM.

Berdasarkan hasil survei lapang (2014)

dikemukakan oleh Narasumber bahwa pada

dasarnya

Terbatasnya sumber daya manusia yang bersedia

di tempatkan di daerah tertinggal dan wilayah perbatasan, seperti di Rote Ndao

Kajian Evaluasi RPJMN 2010-2014 Bidang Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal

70 tersebut, walaupun terjadi peningkatan, namun dibandingkan wilayah-wilayah lainnya, Kabupaten Rote Ndao masih dibawah rata-rata provinsi maupun rata-rata nasional sebagaimana berikut.

Gambar 4.5 Perbandingan Laju IPM Rote Ndao dengan Provinsi NTT (Sumber: Rancangan RPJMD Rote Ndao, 2014)

Persoalan distribusi tenaga kesehatan dan

Dalam dokumen Kajian (Halaman 60-96)

Dokumen terkait