Jacobson (1953) menyatakan bahwa “Bilingualism is for me the fundamental problem of linguistics”. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan fenomena kebahasaan yang terjadi di dunia saat ini. Dengan semakin terbukanya system komunikasi dan informasi semakin membuka peluang terjadinya kontak bahasa sehingga kedwibahasaan atau kemultibahasaan menjadi hal yang lazim. Grosjean (1982:vii) memperkirakan bhwa kurang lebih separuh dari populasi dunia adalah masyarakat dwibahasa.
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1992:12, Fishman 1997:73).Sedangkan edwibahasaan menurut Bloomfield (1933:56) adalah “native-like control of two languages, yang diartikan bahwa penguasaan dua bahasa seperti penutur asli.Semntara menurut Haugen (1953:7)
kedwibahasaan adalah, keadaan dimana seorang penutur mampu memproduksi ujaran dalam bahasa yang lainnya.
Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif. Kerelatifitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan.
Perluasan pengertian kedwibahasaan diberikan oleh Mackey (1962) yang menggambarkan adanya tingkat-tingkat kedwibahasaan yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan ini dapat dilihat dari penguasaannya dalam hal grammatikal, leksikal, semantik, dan style yang tercermin dalam empat ketrampilan dasar yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai seseorang, makin tinggi tingkat kedwibahasaan orang tersebut. Makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur tersebut, makin rendah kemampuan kedwibahasaannya.
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposiun tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological
Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3. Diglosia yang dijelaskan oleh Ferguson ini mengetengahkan sembilan topik, yaitu:
a. Fungsi, merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalm masyarakan diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
b. Prestise, dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
c. Warisan Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.
d. Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
e. Standardisasi, karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi formal.
f. Stabilitas, kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
g. Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
h. Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
i. Fonologi, dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat diglosia bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan itu antara lain,
(1) meningkatnya kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosia itu menyatu dengan masyarakat lain.
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:
a. Bilingual dan Diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
b. Bilingual tanpa Diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.
c. Diglosia tanpa bilingual
Di dalam masyarakat yang beriri diglosia tapi tanpa bilingualismre terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih keil, merupakan kelompok ruling group yang hanya biara dalam bahasa T. sedangkan kelompom kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbiara bahasa R. siatasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.
d. Tidak bilingual dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan.Keadaan in hanya mugnkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.
Hubungan antara bilingualism dan diglosia dapat disimpulkan dalam bentuk table sebagai berikut:
Tabel 2.6
Hubungan Bilingualism dan Diglosia Diglosia Bilingual
+
-
+
Diglosia dan Bilingual Bilingual tanpa Diglosia-
Diglosia tanpa BilingualTidak Diglosia dan Tidal Bilingual