2.2 Kajian Pustaka Penelitian Sebelumnya Yang Relevan
2.2.1 Penelitian tentang Bahasa Devayan
Sebagian besar penelitian yang sudah dilakukan pada bahasa Devayan adalah penelitian pada linguistic mikro dan penelitian pada sastra dan budaya Simeulue.Penelitian tentang Vitalitas Bahasa dan Sikap Bahasa pada bahasa Devayan atau bahasa-bahasa lain di pulau Simeulue, sepengetahuan penulis, dengan mencari referensi di Balai Bahasa Propinsi Aceh, belum pernah dilakukan. Sejauh pengetahuan peneliti belum ada penelitian pada linguistic makro mengenai bahasa ini, namun peneliti pernah melakukan penelitian pemertahanan bahasa ibu pada mahasiswa asal pulau Simeulue di kota Banda Aceh (Candrasari:2013).
Menurut Voorhoeve dalam Faridan (1983) penelitian terhadap bahasa Devayan juga pernah dilakukan pada jaman kolonialisme Belanda, berkisar pada kajian sosial budaya diantaranya oleh Van Langen yang menulis perbedaan dialek Bahasa Simeulue, dan Damste yang menulis tentang beberapa dongeng, kebiasaan masyarakat, sebuah cerita pinjaman dari sastra Aceh, serta beberapa buah pantun
dan nyanyian. Namun sejauh ini peneliti belumberhasil mendapatkan sumber aslinya.
2.2.1.1 Morfologi dan Sintaksis Bahasa Simeulue (Faridan dkk:1983)
Penelitian ini dibawah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikandan Kebudayaan Indonesia. Ruang lingkup masalah ini meliputi jenis morfem, proses morfologi, proses morfofonologi, pengelompokan jenis kata, serta fungsi dan makna imbuhan. Data penelitian di ambil hanya di kecamatan Simeulue Timur, jadi yang dimaksud dengan bahasa Simeulue adalah bahasa Devayan (sebutan yang dipakai oleh Balai Bahasa Propinsi Aceh). Kesimpulan penelitian adalah bahwa bahasa Simeulu (Devayan) memiliki system morfologi dengan bahasa Indonesia, yaitu mengikuti proses afiksasi. Pola kalimatnya pada umumnya juga sama dengan bahasa Indonesia. Namun pada pola tutur terdapat pola kalimat P+S+O yang tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Seperti tersebut di atas bahwa Bahasa Devayan seperti juga bahasa Indonesia mempunyai imbuhan dalam pembentukan katanya. Pembentukan dilakukan dengan mengimbuhkan afiks pada bentuk dasar, mengulang, dan juga menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar sehingga terbentuk satu kesatuan makna. Bahasa Devayan terbentuk dari morfem bebas dan terikat. Morfem bebas dalam bahasa Devayan kebanyakan bersuku dua, namun ada juga beberapa yang bersuku satu, tiga, atau empat, misalnya
/mot/ setan bersuku satu
/tek/ dari bersuku satu
/teen/ bukan bersuku dua /dita/ kita bersuku dua
/afala/ merah bersuku tiga /malafek/ pergi bersuku tiga /mansifalal/ kemarin bersuku empat /afisilan/ hamil bersuku empat
Morfem terikat dalam bahasa Devayan melekat pada morfem bebas sehingga terbentuk pembagian jenis pembentukan, yaitu:
a. Prefiks : ma-, ni-, mansi-, mamba, mangeba- b. Infiks : -um-
c. Suffiks : -an, -ne, -i
d. Gabungan prefix dan suffiks: ma-…..-an, ma- … -i, ni- … -an, ni- … -i
Jenis morfem terikat diatas masih dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsi pembentukannya. Ada yang berfungsi membentuk kata kerja, ada yang bertugas membentuk kata benda, dan ada pula yang dipakai untuk membentuk kata sifat.
Selain jenis awalan dan akhiran yang dijelaskan di atas, dijumpai pula jenis awalan dan akhiran yang berasal dari kata ganti. Sebenarnya itu bukan bentuk awalan dan akhiran, melainkan kata ganti.
Contoh:
Kata ganti awalan akhiran
Deo saya u- -o
Dio kamu mu- -mo
Dise dia ni- -ne
Dita kita ta- - ta
Diama i kami mai- -mi
Penelitian diatas sangat membantu penelitian ini untuk merancang tes yang akan di berikan kepada responden untuk mengukur proficiency responden pada bahasa Devayan. Peneliti menggunakan pola frasa dan kalimat dalam penelitian di atas untuk menjadi rujukan dalam menyusun instrument penelitan yang berupa tes.
Penelitian ini juga dilakukan dibawah koordinasi dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikandan Kebudayaan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa dalam bahasa ini dikenal istilah kekerabatan yang mengacu pada urutan kelahiran sampau urutan anak ke tujuh.Dalam hubungan peran vertical dan horizontal juga mempunyai sapaan yang berbeda. Hubungan vertical ada sapaan 3 lapis ke atas.Pemilihan sapaan dalam bahasa ini dipengaruhi oleh faktor umur, jabatan/pekerjaan, situasi, status sosial, keakraban, dan tujuan pembicaraan.
Sistem sapaan intra keluarga ini diangkat karena dijadikan bagian indikator pada tes kepada responden untuk mengukur language proficiency responden.
2.2.1.3 Pengelompokan Variasi Bahasa di Pulau Simeulue (Toha, M:2010) Penelitian ini dilakukan oleh Balai Bahasa Propinsi Aceh.Kajian ini berupa kajian dialektologi terhadap 200 kata Swadesh antara bahasa Leukon, Sigulai, Salang, dan Devayan. Melalui analisa dialektometri antara bahasa Leukon dan Sigulai menunjukkan perbedaan 65,5%, Leukon dan salang 65,0%, dan Leukon dan Devayan 25%. Dan dari analisis bunyi pada tataran fonologi menunjukkan adanya korespondensi bunyi sebanyak 27 kaidah. Perbedaan bunyi antara ketiganya menghasilkan perbedaan 5,5%-57%. Antara Sigulai-Salang dan Leukon Devayan hanya menunjukkan tingkat beda wicara.
Penelitian di atas bermanfaat bagi penelitian ini dalam memilih area populasi penelitian yang menggunakan bahasa Devayan. Sehingga dapat di tetapkan 7 kecamatan yang menjadi daerah penelitian.
Penelitian ini diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengumpulkan sastra lisan Simeulue yang berbentuk prosa untuk didokumentasikan dalam bentuk teks dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada pendahuluan dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa masyarakat Simeulue memiliki bentuk sastra lisan dalam bentuk prosa maupun puisi yang pernah hidup dan berkembang di masa lalu dan sekarang tidak berlaku lagi, disebabkan salah satunya karena ketidakpedulian masyarakat khususnya generasi muda dalam hal penggunaan sastra lisan tersebut. Kemungkinan penyebabnya adalah belum adanya sastra lisan yang dibukukan.
Penelitian ini memberikan wawasan kepada peneliti, bahwa bahasa Devayan sampai saat ini masih sebagai bahasa lisan, dikarenakan masih sangat minimnya bahasa tul;is dalam masyarakat tutur ini.
2.2.1.5 Pemertahanan Bahasa Ibu di Asrama Mahasiswa Simeulue di Kota Banda Aceh. (Candrasari:2013)
Diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Ilmu Bahasa, Universitas Sumatera UtaraMedan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa ibu di kalangan mahasiswa Simeulue yang merantau di banda Aceh dan tinggal di asrama Simeulue, masih cenderung kepada pemertahan bahasa ibu pada tiga situasi tutur, yaitu berkomunikasi dengan anggota asrama yang sebahasa, berkomunikasi dengan sesama suku dan bahasa di luar asrama dan bertelepon dengan keluarga. Rata-rata pemertahanan pada ranah keluarga, keluarga diinteprestasikan sebagai anggota asrama,adalah sebesar 92,45% dengan presentase terbesar pada
mahasiswa berbahasa ibu Sigulai yaitu 72,20%. Berkomunikasi dengan sesama suku di luar asrama tanpa pihak lain sebesar 72,45%. Namun pada ranah keakraban di luar asrama ketika berada di publik menunjukkan rata-rata yang rendah yaitu 48,49%.
Penelitian ini memberikan gambaran singkat terhadap pentingnya mengetahui tingkat vitalitas bahasa Devayan di parantauan, sehingga bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dalam melakukan penelitian ini.
2.2.1.6 Finding Local Wisdoms in Indigenous Tradition of Marriage in Simeulue Island. (Candrasari:2014)
Tulisan ini telah dipublikasikan melalui proceeding pada Konferensi Internasional dengan tema Empowering Local Wisdom in Support of Nation Identities. Tulisan ini mengidentifikasi kearifan lokal dalam bentuk nilai-nilai budya yang luhur pada proses pernikahan adat di Simeulue dan juga pada ornamen-ornamen pada hiasan di pelaminan pernikahan. Proses perkawinan yang melibatkan 4 tahap, yaitu Lak O si Falu-falu, Manaek En Tando, dan Baralek mengandung nilai luhur tentang kesopanan, selalu bersyukur, kejujuran, sikap harmonis, dan kerjasama sosial dalam bentuk gotong royong. Begitu juga pada ornament yang diantaranya adalah kubah, mata berambang, mata lolak, mata empat, mata Sembilan, mata kaok alian, mata tapak itik, mata lidah-lidah mengandungi nilai bermatabat, berpikir positip, semangat melawan bencana dan musibah, kemakmuran, dan perdamaian.
Pengetahuan mengenai budaya dan adat yang mengandung nilai-nilai luhur di masukkan ke dalam unsur tes yang ditujukan kepada responden pada tes
sikap bahasa. Dengan memasukkan unsur adat ke dalam pertanyaan sikap bahasa, diharapkan dapat mencerminkan sikap penutur terhadap perlunya menjaga bahasa lewat adat dan budaya.
2.2.1.7 Inilah Bahasa-Bahasa di Aceh (Balai Bahasa Banda Aceh)
Buku ini diangkat dari penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Aceh (2011) yang bertujuan untuk menentukan jumlah bahasa dan variannya, serta sebaran geografis yang terdapat di propinsi Aceh, serta hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa tersebut. Penelitian ini menggunakan metode dialektrometri dan lekostatistik.
Penelitian ini mendukung peneliti untuk mengetahui bahwa bahasa Devayan memang sebuah bahasa tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa Aceh.Keduanya merupakan bahasa serumpun, yaitu rumpun Austronesia.Sehingga penelitian terhadap bahasa Devayan yang kurang terkenal di propinsi Aceh dapat diyakinkan bahwa Devayan bukan hanya sekedar varian dialek bahasa Aceh, namun memang sebuah bahasa.