RELEVAN,DANKERANGKA BERPIKIR
Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada beberapa teori untuk dijadikan acuan dasar melakukan penelitian ini, dan juga beberapa konsep yang dianggapperlu sebagai referensi baik pada awal penelitian maupun pelaksanaannya.. Teori inti dari penelitian ini adalah teori-teori pengukuran Vitalitas Bahasa (Language Vitality), teori Ranah (Domain), teori Sikap Bahasa (Language Attitude) dan teori Kemampuan Bahasa (Language Ability). Selanjutnya dipaparkan juga beberapa teori dan konsep penunjang dalam melakukan penelitian ini, diantaranya adalah teoriSubjectiveEthnolinguistic Vitality (SEV), teori Analisis Sosiolinguistik Mikro dan Makro, dan teori Ethnografi Komunikasi. Selanjutnya beberapa konsep juga digunakan utnuk mendukung arah penelitian ini, diantaranya adalahkonsepMayarakat Tutur (Verbal Repertoire), yang menjadi konsep dasar penelitian gejala-gejala bahasa di masyarakat tutur sebuah bahasa; kemudian konsep bilingualism dan diglosia; konsep pemertahanan, pergeseran, dan kepunahan bahasa; serta konsep Campur kode (Code Mixing) dan Ganti Kode (Code Switching). Pada bab ini juga akan ditinjau beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Dan peneliti juga merancang sebuah kerangka berpikir pelaksanaan penelitian ini.
2.1 Landasan Teori dan Konsep
pemerhati bahasa seperti Unesco, Ethnologue, dan SIL Internasional. Selain itu juga dijabarkan mengenai teori Domain (Ranah) dan teori sikap bahasa serta teori Kemampuan Bahasa.Selanjutnya juga akan dibahas konsep-konsep yang mendukung penelitian ini seperti yang sudah dituliskan dalam pendahuluan bab ini.
2.1.1 Teori Vitalitas Bahasa
Vitalitas bahasa merujuk pada kemampuan suatu bahasa menampung dan melakukan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi.Bahasa tertentu memiliki vitalitas tinggi, sedang atau rendah.Umumnya bahasa daerah memiliki vitalitas yang rendah karena ketidakmampuannya dalam memasuki berbagai ranah pengetahuan.Vitalitas suatu bahasa terlihat dari keunggulan eksternal (jumlah penutur bahasa) dan internalnya (jumlah word entry yang dimilikinya). Sebagai contoh, tahun 1983 bahasa Inggris diperkirakan memiliki 450 ribu kata, bahasa Perancis 150 ribu kata dan bahasa Rusia 130 ribu kata. Menjadi sebuah tantangan besar bagi bahasa daerah untuk menuju ke arah vitalitas tersebut.
penelitian vitalitas bahasa adalah penting karena dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan sebuah bahasa akan berlanjut (sustainable) di masa depan, dan juga karena bisa digunakan untuk melihat kemungkinan usaha-usaha pengembangan bahasa yang berkelanjutan.
Fishman (1991) dengan konsep pengukuran 8 level keterancaman bahasa yang kemudian dikalibrasi sedemikian rupa oleh Lewis dan Simon (2009) dan diberi nama Fishman‟s Graded Intergenerational Disruption Scale (GID Scale).
Kemudian Landweer (1998) juga mengajukan konsep pengukuran keterancaman dan vitalitas bahasa, dan pada tahun 2000 katalog Ethnologue dalam terbitan edisi ke 14, meluncurkan konsep vitalitas bahasa berdasarkan 5skala vitalitas bahasa. Dan pada tahun 2003 Unesco dalam pertemuan Unesco Expert Meeting on Safeguarding Endangered Languages meluncurkan sebuah framework yang di ajukan oleh Brenzinger dkk yang menggunakan 9 faktor untuk mengukur vitalitas dan keterancaman bahasa-bahasa di dunia.Berikut beberapa teori pengukuran vitalitas bahasa yang di jadikan rujukan dalam dalam penelitian ini.
2.1.1.1 Fishman’s Graded Intergenerational Scale (GIDS)
Fishman (1991) menyatakan bahwa vitalitas adalah pemakainan sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi, sehingga unsur vitalitas ini mempersoalkan apakah sistem linguistik tersebut masih memiliki penutur asli atau tidak. Fishman mengemukakan 8 level untuk mengukur kepunahan bahasa yang kemudian dikalibrasi oleh Lewis dan Simon (2009) menjadi Fishman‟s Graded Intergenerational Scale (GIDS). Tabel 2.1 dibawah ini
Tabel 2.1
Fishman’s Graded Intergenerational Scale (GIDS)
SKALA
GIDS DESKRIPSI
1
The language is used in education, work, massmedia, government at the nation wide level.
Bahasa digunakan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, media masa, dan pemerintahan pada skala nasional.
2
The language is used for local and regional massmedia and Governmental services.
Bahasa digunakan dalam mass media dan pemerintahan pada skala lokal dan regional.
3
The language is used for local and regional work by both insiders and outsiders.
Bahasa digunakan dalam dunia kerja oleh penduduk setempat maupun pendatang, pada skala lokal dan regional.
4 Literacy in the language is transmitted through education. Melek bahasa dilakukan melalui pendidikan.
5
The language isused orally by all generations and is effectively used in written form throughout the community.
Bahasa digunakan secara lisan oleh seluruh generasi dan digunakan secara efektif di seluruh komunitas.
6 The languageis used orally by all generations and is being learned by children as their first language.
Bahasa digunakan secara lisan oleh seluruh generasi dan diajarkan kepada anak-anak sebagai bahasa pertama.
7 The child-bearing generation knows the language well enough to use it with their elders but is not transmitting it to their children.
Generasi orang tua memahami bahasa dengan baik dan
mengkomunikasikannya dengan generasi yang lebih tua, tetapi tidak mengajarkannya kepada anak-anak mereka.
8 The only remaining speakers of the language are members of the grandparent Generation.
Penutur bahasa yang tersisa adalah kelompok generasi kakek. Sumber :Nordic Journal of African Studies
tersebut berada, missal berada pada level 5, maka usaha yang dilakukan pertama kali adalah mengacu kepada indikator level 6.
proses belajar mengajar di tingkat universitas, dan juga dalam publikasi, dan presentasi-presentasi.
Walaupun ke delapan level tersebut tidak bisa mengukur realitas vitalitas bahasa secara akurat, model GIDS ini telah banyak di adopsi sampai hari ini. Mungkin dikarenakan skala ini sangat jelas menggambarkan faktor-faktor yang mengindikasikan vitalitas atau kepunahan sebuah bahasa.
2.1.1.2 Indikator Ethnolinguistik Vitality dari Landweer. (Landweer’s Indicators of Ethnolinguistic Vitality)
Landweer juga mengemukakan indikator berjumlah 8 seperti skala Fishman. Namun menurut Obiero (2010) skala ini terkesan statis, dan hanya bisa memberikan laporan level vitalitas sebuah bahasa. Bahkan pada beberapa faktor menghadapi masalah dalam pengukuranya dikarenakan kekurang jelasan pengukuran pada faktor tersebut dikarenakan indikator-indikator yang digunakan terlalu luas cakupannya dan kurang jelas batasan-batasan cakupannya. Indikator-indikator tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Indikator Vitalitas Bahasa Landweer
Sumber :Nordic Journal of African Studies
The extent to which it can resist influence by a dominant urban culture. Bahasa mampu bertahan dari pengaruh budaya urban yang dominan
The number of domains in which it is used; Jumlah ranah penggunaan bahasa
The frequency and type of code switching; Frekuensidan jenis penggunaan alih bahasa
The distribution of speakers across social networks; Distribusi penutur dalam jaringan sosial
The internal and external recognition of the group as a unique community; Jati diri internal dan eksternal kelompok tutur dalam jaringan sosial
Its relative prestige, compares with surrounding languages;
Bahasa cukup mempunyai prestise disandingkan dengan bahasa-bahasa disekitar
Its access to a stable economic base; Bahasa merupakan akses kestabilan ekonomi
Hal terpenting dari indikator Landweer ini adalah bahwa laporan penelitian menggunakan indikator ini bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai vitalitas suatu bahasa karena indikator-indikator yang dipresentasikan terfokus kepada tingkat vitalitas bahasa. Namun dalam pengoperasiannya indikator-indikator tersebut menemui beberapa masalah, misalnya data tentang domain penggunaan bahasa, code switching, dan distribusi penutur lintas jaringan sosial sepertinya diukur pada situasi yang sama pada indikator relative prestige dan economic base. Disamping itu, beberapa indikator kurang jelas definisinya, misalnya, apa yang dimaksud dengan critical mass of speakers? Jadi kesimpulannya, indikatornya masih belum spesifik, atau masih bersifat umum.
2.1.1.3 Ethnologue Language Vitality
Pada edisi catalogEthnologue (2000) tersebut juga diluncurkan kategori vitalitas bahasa yang berdasarkan pada 5 skala. Berikut ini skala Ethnologue yang
Tabel 2.3
Skala Vitalitas Bahasa Menurut Ethnologue
Sumber :Nordic Journal of African Studies
Menurut Obiero (2010) skala di atasmasih bias karena lebih mengukur kepunahan bahasa daripada vitalitas bahasa. Level 1 menggambarkan keadaan “living”, sedang level 2 sampai 5 menggambarkan “non-living” , dikhawatirkan
dapat mengaburkan arah hasil penelitian, artinya jika hanya mencari bahasa yang punah akan menyulitkan langkah tahap revitalisasi. Dan pada setiap klasifikasi hanya disebut “speakers” tanpa membedakan pola penggunaan bahasanya.
1. Living: These are cases featuring a significant population of first-language speakers.
Hidup : Adanya populasi penutur yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pertama.
2. Second Language Only: Are cases in which a language is used as second-language only. No first-second-language users (emerging users could be included)
Hanya Bahasa Kedua: Bahasa digunakan sebagai bahasa kedua saja. Tidak ada pengguna bahasa pertama.
3. Nearly Extinct: Characterizes cases with fewer than 50 speakers or a very small ad decreasing fraction of an ethnic population.
Hampir punah: Kasus dengan penutur kurang dari 50 orang atau populasi etnik penutur bahasa tersebut sangat kecil.
4. Dormant: Cases where there are no known remaining speakers, but a population links its ethnic identity to the language.
Dorman: Kasus dimana tidak ada lagi penutur yang tersisa, namun masih ada identitas etnis tersebut yang ada hubungannya dengan bahasa.
5. Extinct: Where there are no remaining speakers and where no population links its ethnic identity to the language.
Dalam hal ini peneliti sepakat dengan Obiero dan tidak mendaptasi pengukuran ini karena ranah penelitian menginvestigasi vitalitas bahasa bukan kepunahan bahasa.
2.1.1.4 Skala Vitalitas Bahasa dan Kepunahan Bahasa dari UNESCO
Skala ini di ajukan oleh Brenzinger et.al pada pertemuan UNESCO Expert Meeting on Safeguarding Endangered Languages. Terdapat 9 faktor sebagai berikut:
Table 2.4 Skala UNESCO
Sumber: UNESCO AD. Hoc. Committee (2003)
Untuk mengoperasikan faktor-faktor tersebut, pada setiap faktor akan di skor menggunakan matrik dengan skor 1 sampe 5 poin kecuali faktor no 2. Penerapan kerangka teori ini pernah di tes ileh SIL (Lewis:2005) dengan menyelekso 100 bahasa di seluruh dunia dan di analisa menggunakan kerangka penskoran tersebut. Dan temuannya adalah: Skala ini sangat jelas mengukur dan
1. Intergenerational language transmission;
4. Loss of existing language domains;
Punahmya beberapa ranah bahasa
5. Response to new domains and media;
Respon terhadap ranah baru dan media
6. Materials for language education and literacy;
Materi untuk pendidikan dan literasi bahasa
7. Governmental and institutional language attitudes and policies;
Sikap dan kebijakan pemerintah dan lembaga terkait
8. Community members’ attitudes towards their own language; and
Sikap komunitas terhadap bahasa mereka sendiri
9. Amount and quality of documentation.
sangat bermanfaat bagi para peneliti yang menginvestigasi pemertahanan dan pergeseran bahasa.
Namun Lewis (2005) memberikan beberapa kritikan terutama dalam penskoran tiap faktor.Untuk faktor no 2, sangatlah sulit mendapatkan informasi yang akurat jumlah penutur, disamping itu sangat sulit di interprestasikan. Kemudian istilah speakers pada faktor ke 3 juga ambigu, apakah yang dimaksud dengan speakers adalah penutur L1, atau penutur monolingual, ataukah penutur yang menggunakan bahasa tersebut sebagai L2? Untuk faktor ke 4 Lewis berargument:
“Certainly, the synchronic descriptions are indicative of language
endangerment if the core domains (home, friends, neighbourhood) are no longer associated with the language in question, but the fact that languages are assigned different functions does not necessarily
indicate that language shift is underway.” (Lewis, 2005:26)
Faktor no 6 sangatlah kompleks karena data yang manakah yang dipakai, apakah data yang ditemukan pada penggunaan bahasa sebagai media instruksi pada lembaga pendidikan, atau pada material pengajaran. Dan bagaimanakah jika ditemukan ada lebih dari satu orthography?
Faktor no 8 juga mengalami kesulitan dalam penskoran karena sikap bahasa (language attitude) sangat sulit diakses dalam pola yang seragam karena sikap bahasa yang terdapat dalam populasi amatlah beragam, jadi tidak dapat diambil satu pola mewakili pola sikap keseluruhan populasi.
Namun secara umum, framework ini cukup bermanfaat bagi para linguis, organisasi, dan masyarakat yang peduli pada kepunahan bahasa dan revitalisasinya.Grenoble dan Whaley (2006) telah mengaplikasikan dalam penelitian vitalitas bahasa dan berpendapat bahwa ini adalah pengukuran yang paling mudah diterapkan untuk menginvestigasi usaha-usaha yang harus dilakukan pada bahasa yang terancam.
2.1.1.5 Skala EGIDS (Ethnologue’s Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale)
Framework teori ini dikemukakan oleh Lewis dan Simons (2009), setelah menganalisa permasalahan pada skala pengukuran vitalitas bahasa versi UNESCO, skala GIDS, serta skala Ethnologue, kemudian menggabungkan ketiganya menjadi satu model skala denganklasifikasi 13 level yang kemudian diberi nama EGIDS (Ethnologue‟s Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale). Berikut kerangka kerja EGIDS:
Tabel 2.5
Skala EGIDS (Ethnologue’s Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale)
LEVEL LABEL DESCRIPTION UNESCO
0 International
Internasional
The language is used internationally for a broadrange of functions.
The language is used in education, work, massmedia, and government at the nation wide level.
3 Trade
Perdagangan
The language is used for local and Regional work by both insiders and outsiders.
Bahasa digunakan dalam komunikasi lokal dan regional baik oleh penduduk setempat maupun pendatang.
Safe
Aman
4 Educational
Pendidikan
Literacy in the language is being Transmitted through a system of public education.
The language is used orally by all Generations and is effectively used in written form in parts of the community.
Bahasa digunakan sebagai bahasa lisan oleh semua generasi dan digunakan secara efektif dalam bentuk tulisan oleh masyarakat tutur.
Safe
Aman
6a Vigorous
Kuat
The language is used orally by all Generations and is being learned by children as their first language.
The language is used orally by all Generations but only some of the child-bearing generation are transmitting it to their children.
Bahasa digunakan sebagai bahasa lisan oleh semua generasi tetapi hanya beberapa orang tua yang mentransmisikan bahasa The language well enough to use it among themselves but none are transmitting it to their children.
Generasi orang tua mengetahui bahasa dengan cukup baik dan menggunakannya dikalangan mereka tetapi tidak ada yang mentransmisikan bahasa tersebut kepada
8b Nearly Extinct
Hampir Punah
The only remaining speakers of the language are members of the
grandparent generation or older who have little opportunity to use the language.
The language serves as a reminder of Heritage identity for an ethnic community. No one has more than Symbolic proficiency.
Bahasa hanya sebagai pengingat identitas warisan sebuah kelompok etnis. Tak ada seorangpun yang memiliki kemampuan
No one retains a sense of ethnic Identity associated with the language, even for symbolic purposes.
Tak ada seorangpun yang memelihara bahasa baik sebagai identitas maupun simbol etnis.
Extinct
Punah
Sumber :Lewis and Simons (SIL International:2013; http://www.ethnologue.com; accessed pada tanggal 12 September 2014)
Meskipun penomoran pada table di atas sampai dengan level no 10, namun menunjukan kategori sebanyak 13, karena terdapat Level 6a dan level 6b yang merujuk pada GIDS level 6, serta Level 8a dan level 8b yang merujuk pada GIDS level 0, 9, dan 10. Kemudian penambahan kolom ke 4 yaitu kolom UNESCO menunjukkan rujukan pada skala pengukuran Unesco‟s Endangerment
and Vitality Scale.
tergolong “safe” mampu meliputii diversitas situasi bahasa, kedua, kategori bahasa dibawah “safe” terdefinisi dengan baik sehingga bisa menjadi perhatian
pada program revitalisasi, ketiga, mempunyai rentang grid yang fleksibel sehingga bisa untuk mengukur seluruh bahasa yang ada di dunia.
Untuk mengadaptasikan skala ini dalam penelitian, disediakan 5 pertanyaan kunci yang dapat memandu diagnose pada proses evaluasi sebuah bahasa. Ke 5 pertanyaan kunci tersebut adalah sebagai berikut:
1. What is the curret identity function of the language? (Apakah fungsi bahasa pada saat ini?)
Untuk menjawab pertanyaan ini ada 4 kemungkinan jawaban yaitu Historical, Heritage, Home, Vehicular.Pemilihan jawaban akan menentukan kemana focus pertanyaan selanjutnya.
2. What is the level of official use?(Pada level apakah penggunaan bahasa pada ranah resmi?)
Pertanyaan ini membantu membedakan antara level-level EGIDS yang mungkin ketika bahasa berfungsi sebagai vehicular. Ada 4 kemungkinan jawaban yang berkorespondensi dengan skala EGIDS level 0 sampai dengan 3, yaitu International, National, Regional, dan Not-Official.
3. Are all parents transmitting the language to the children (Apakah semua orangtua mentransmisikan bahasa kepada anak-anak mereka?)
kunci no 5 harus dijawab untuk menentukan level vitalitas bahasa pada level EGIDS 6B, 7, dan 8a.
4. What is the literacy status?(Bagaimana status literasi?)
Jika jawaban pada pertanyaan kunci ke-3 adalah Yes maka status dari literacy pendidikan dalam masyarakat tutur bahasa tersebut harus di identifikasi. Dan jawaban juga ada 3 kemungkinan, yaitu institutional, incipient (written), dan None.
5. What is the youngest generation of proficient speakers? (Kelompok generasi termuda manakah yang merupakan penutur fasih?)
Jawaban pertanyaan kunci ke-5 mengacu pada jawaban pertanyaan kunci ke-3, jika jawabannya adalah No maka perlu diinvestigasi dengan pertanyaan selanjutnya untuk mengetahui seberapa jauh pergeseran bahasa telah terjadi untuk bisa mengakses level EGIDS pada kelompok greatgrandparents, grandparents, Parents, atau Children.
Sebagai kesimpulan terhadap teori-teori yang sudah didalilkan di atas sangatlah penting untuk bisa mengambil kekuatan dari semua teori yang sudah diajukan mulai dari model Fishman sampai EGIDS.Karena semua model tersebut berdasarkan pada prinsip untuk menemukan teori revitalisasi bahasa.
Dalam penelitian ini diadaptasikan model EGIDS dengan pertimbangan dari penjabaran diatas yang memberikan kejelasan yang lebih dalam pengukuran vitalitas bahasa dari segi indikator dan kriteria di tiap levelnya.
2.1.2 Teori Domain (Ranah)
sosiolinguistik seperti perilaku pemilihan bahasa harus dimulai dari konstruksi yang tinggi dan menurun secara bertahap ke konstruksi yang rendah.
Konsep ranah tersebut dikemukakan untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat bilingual atau multilingual.Dia memerikan perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur melalui pengelompokkan ranah bahasa. Istilah ranah diartikan sebagai susunan situasi atau medan interaksi yang pada umumnya di dalamnya digunakan satu bahasa.Satu ranah di kaitkan dengan ragam bahasa tertentu.Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah adalah abstraksi dari persilangan antara status dan hubungan –peran, lingkungan, dan pokok bahasan tertentu.
Sementara itu, Siregar (1987:21) mencoba mengaitkan penggunaan bahasa dengan sikap bahasa tertentu yang mendasari penggunaan bahasa tersebut.Selanjutnya menekankan bahwa sikap bahasa pada umumnya dianggap sebagai beberapa perilaku terhadap bahasa dan hubungan antara sikap bahasa dan pemertahanan bahasa maupun pergeseran bahasa.Hal itu dijelaskan dengan memahami pola perilaku atau mengenali yang mana diantaranya yang memiliki pengaruh langsung ataupun tidak langsung bagi pemertahanan bahasa.
Dengan kata lain disimpulkan bahwa salah satu cara untuk menguji penggunaan bahasa pada komunitas tutur diperlukan teori ranah (domain), sebuah istilah yang dipopulerkan oleh sosiolinguis Amerika, yaitu Joshua Fishman. Fishman (1972:442) mendefenisikan “ranah” sebagai gambaran abstrak sosial
fungsi dan topik pembicaraan– ternyata sangat penting dalam pertimbangan untuk memilih bahasa dalam berbagai jenis komunitas tutur yang berbeda.
Menurut Crystal (1980) Konsep ranah yang dikembangkan dalam bidang sosiolinguistik mengacu pada sekelompok situasi sosial yang terlembaga yang biasanya dibatasi oleh serangkaian peraturan perilaku bersama. Dalam komunitas-komunitas multilingual, variasi topik dan pilihan bahasa yang digunakan oleh partisipan merupakan variabel terikat dari berbagai ranah dalam masyarakat yang akan diteliti. Ranah-ranah yang sering kali disebutkan adalah rumah, sekolah, tempat kerja, serta peristiwa budaya dan peristiwa sosial.Terlebih lagi, telah ditunjukkan bahwa pilihan bahasa merupakan suatu tanda solidaritas dan jati diri kelompok.Dengan demikian, penjelasan terhadap masalah pilihan bahasa daerah, menurut jumlah ranah yang di dalamnya pilihan itu ditemukan, dianggap sebagai suatu indikator yang kuat terhadap daya hidup bahasa.
2.1.3 Teori Sikap Bahasa
Sikap bahasa pada dasarnya berhubungan dengan sikap pada umumnya. Sikap bahasa merupakan dorongan dari dalam individu yang berhubungan dengan proses motif, emosi, dan kognisi yang mendasari seseorang bertingkah, khususnya dalam berbahasa.
Lambert (1967: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari 3 komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif mengacu atau berhubungan dengan pengetahuan atau suatu kategori yang disebut proses berpikir. Komponen afektif menyangkut penilaian seperti baik, buruk, suka, jika seseorang mempunyai sikap baik maka dikatakan orang tersebut mempunyai sikap positif, jika sebaliknya maka dia mempunyai sikap negatif.Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir terhadap suatu keadaan.
M. Gagne (1989:287) sependapat dengan Lambert bahwa sikap pada umumnya mengandung 3 segi yang dapat diselidiki secara terpisah atau bersama. Tiga segi tersebut adalah: (1) segi kognitif mengenai gagasan yang menyatakan hubungan antara situasi dan object sikap; (2) segi afektif mengenai emosi atau perasan yang muncul bersamaan dengan gagasan; dan (3) segi perilaku mengenai kesiapan untuk bertindak. Melalui ketiga komponen inilah seseorang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan.
lambang identitas pribadinya, dan kemauan menggunakan bahasa secara cermat. Dengan istilah lain seseorang mempunyai sikap kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa.
Penelitian sikap bahasa amatlah penting bagi kajian sosiolinguistik karena dengan melakukan penelitian terhadap sikap bahasa kita dapat memprediksi perilaku bahasa: termasuk didalamnya pilihan bahasa dalam masyarakat tutur, kesetiaan bahasa, dan juga prestige sebuah bahasa (Obiols:2002). Suzanne Romaine mengatakan bahwa dasar pengukuran sikap bahasa sangatlah bervariasi.Meskipun begitu dia menjelaskan bahwa menerjemahkan sikap dari ranah subyektif ke dalam pengukuran yang obyektif adalah permasalahan yang umum dihadapi dalam penelitian tetang sikap bahasa, yang melibatkan kelas sosial dan atau penilaian dalam bentuk persepsi. (Romaine:1980).
Pengukuran skala sikap pada hakikatnya diperlukan untuk memudahkan langkah analisis data kuantitatif. Idealnya sikap ini dilakukan dengan cara observasi perilaku, pertanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap, dan pengukuran terselubung.
2.1.3.1 Ciri-Ciri Sikap Bahasa
ketiganya, maka dikatakan seseorang atau kelompok tutur tersebut mempunyai sikap negatif.
(1) Sikap Setia Terhadap Bahasa (Language Loyalty)
Sikap setia terhadap bahasa adalah sikap mental untuk merefleksikan kesadaran dalam bertingka laku yang berpola sikap setia terhadap abahasa (Weinreich:1970). Sikap ini mendorong masyarakat tutur untuk terus menggunakan dan mempertahankan bahasanya.
(2) Sikap Bangga Terhadap Bahasa (Language Pride)
Weinreich (1970) mengemukakan bahwa sikap bangga ini merupakan motivasi terhadap seseorang atau kelompok tutur intuk menjadikan bahasanya sebagai identitas yang perlu dibanggakan. Identitas sebagai anggota dari etnisnya yang perlu dibanggakan. Jika seseorang atau kelompok tutur bangga terhadap bahasanya tentu tidak akan menggantinya dengan bahasa yang lain.
(3) Kesadaran Norma bahasa (Awareness of Language Norms)
Kesadaran akan norma bahasa akan membuat seseorang berbahasa dengan baik dan benar. Kembali Weinreich (1970) berpendapat bahwa dorongan internal pada diri seseorang atau kelompok tutur itu untuk menggunakan bahasa nya sesuai dengan norma-norma bahasanya sehingga tercermin dalam perilaku bahasanya yaitu pada pilihan bahasa untuk digunakan (language use).
2.1.3.2 Teknik “Matched Guise”
subyek pebelitian tidak tahu bahwa sikap bahasanya sedang diselidiki peneliti.Metode tidak landsung disebut dengan teknik “Matched Guise”.
Teknik ini dikenalkan oleh Lambert, Hodgson, Garner, dan Fillenbaum (1960) sebagai salah satu teknik untuk mengukur sikap bahasa. Dalam kegiatan pengukuran diperlukan (1) suara penutur yang biasanya direkam, (2) Juri (dalam hal ini adalah responden yang diminta menilai apa yang mereka dengar melalui persepsi terhadap bahasa maupun penuturnya. Prosedur pengukuran dilakukan dengan 2 langkah. Pertama, responden bertindak sebagai juri yang akan menilai penutur yang diperdengarkan melalui rekaman, dan kedua mengisi kuesioner penilaian terhadap suara yang dipedengarkan. Komponen yang relevan dilibatkan dalam teknik “matched guise” (dikutip dari Obiols:2002) adalah sebagai berikut:
a. variabel jenis kelamin, umur, dan bahasa pertama responden. b. Jenis kelamin, umur, dan variasi bahasa penutir dalam rekaman;
c. Responden tidak diberitahu informasi apapun tentang penutur dalam rekaman.
d. Durasi rekaman antara 1 sampai 2 menit.
2.1.4 Konsep Kemampuan Lingual
kemampuan berbahasa, kemampuan berbicara, dan kemampuan berkomunikasi (Gleason, 1998).
2.1.4.1 Kemampuan berbahasa
Bahasa mempunyai karakteristik sendiri dan mempunyai suatu struktur hierarki dan pesan/bahasa dapat dibagi menjadi unit terkecil dari analisis.Bahasa anak-anak terdiri dari kalimat yang terdiri dari elemen terkecil seperti kata dan suara, kedua hal tersebut bisa dikombinasikan menjadi suatu ucapan.Bahasa yang baik yaitu bahasa yang diproduksi dan dapat dimengerti menjadi suatu kesatuan kalimat yang utuh.Jadi, kemampuan berbahasa adalah kemampuan seorang individu untuk membuat kata-kata atau suara-suara yang dikombinasikan menjadi suatu ucapan/suatu kesatuan kalimat utuh yang dapat dimengerti oleh dirinya sendiri dan oleh individu lain disekitarnya.
2.1.4.2 Kemampuan berbicara
2.1.4.3 Kemampuan Berkomunikasi
Komunikasi itu memegang peranan yang penting, hampir setiap menit kita berkomunikasi. Sebagai contoh ketika dirumah kita berkomunikasi dengan orang tua, saudara, pembantu. Juga termasuk komunikasi dengan teman dan guru di lingkungan sekolah serta di lingkungan masyarakat/dalam berorganisasi individu juga melakukan proses berkomunikasi. Melalui berkomunikasi individu dapat menyatakan pendapat, mengajukan permohonan, meminta pertolongan, menawarkan solusi, menyampaikan instruksi, dan memberikan informasi kepada orang lain.
Yang dimaksud kemampuan lingual dalam penelitian ini adalah unsur kemampuan berbahasa yang akan diteliti. Sejauh mana penguasaan penutur bahasa Devayan saat ini menguasai ketrampilan memproduksi dan menerima (memahami) bahasa Devayan.
2.1.5 Konsep Subjective Ethnolinguistic Vitality (SEV) Bourhis
Bourhis (1981) memformulakan bahwa faktor-faktor subyektif (SEV) dapat digunakan untuk memprediksi vitalitas sebuah bahasa.Untuk menemukan vitalitas etnolinguistik secara subyektif dilakukan dengan kuesioner utnuk mengukur vitalitas bahasanya melalui persepsi masyarakat tutur. Dengan konsep dari teori tersebut, kita dapat mengacu 3 faktor yang di propose dalam teori ini yang dapat mempengaruhi vitalitas sebuah bahasa, yaitu faktor (1) status bahasa, (2) letak geografis, dan (3) dukungan institusi dalam masyarakat. Untuk mendapatkan level EV mereka membuat serangkaian kuesioner untuk mendapatkan data vitalitas bahasa tersebut.Konsep tersebut adalah untuk mengetahui apakah ketiga faktor tersebut dapat mempengaruhi vitalitas bahasa.
2.1.6 Konsep Subjective Ethnolinguistic Vitality (SEV) Allard dan Landry
Unlingual Dominant Balanced Dominant Unlingual L1 Bilingual L1 Bilingual Bilingual L2 L2
Gambar 2.1 Model makroskopik terbentuknya Dwibahasa jenis Additivedan (Landry dan Allard 1987b)
Pada gambar 2.1 adalah model yang menggambarkan terbentuknya jenis kedwibahasaan (bilingualism) yang digolongkan menjadi 2, yaitu additive dan
subtractive. Dwibahasa jenis additive terjadi ketika kondisi terbentuk sangat mendukung pengembangan dan pemeliharaan bahasa lokal dan membolehkan pembelajaran dan penggunaan bahasa kedua.Sedangkan jenis subtractive adalah dimana kondisi mendukung perkembangan bahasa kedua dan rusaknya bahasa ibu.
Teori mereka didasarkan pada teori “cognitive orientation”.Dari perilaku bahasa kemudian dibuat suatu rancangan untuk mengeksplorasi persepsi vitalitas bahasa.Teori ini mengidentifikasi 4 tipe persepsi (beliefs) yaitu persepsi umum (general beliefs), persepsi normatif (normative beliefs), persepsi perseorangan (personal beliefs), dan persepsi tujuan (goal beliefs).
Empat tipe persepsi tersebut menghasilkan konsep Ethnolinguistic Vitality (EV), yaitu vitalitas masa kini (present vitality), vitalitas masa datang (future vitality), vitalitas legitimet (legitimate vitality), model sosial, belongingness, valorization, efficacy, dan goal and desire.Gambar 2.2 dapat menjelaskan secara ringkas definisi dan contoh dari ke delapan persepsi EV.
OBJECT
FACTUAL DESIRED
General Beliefs Nonnative Beliefs
Present vality Legitimate vitality NON-SELF Future vitality
SUBJECT Social models
Personal Beliefs Goal Beliefs
Valorization Goals or desires
SELF Belongingness Personal efficacy
Berikut pada gambar 2.3 dideskripsikan dengan jelas variable lingkungan keluarga, sekolah, dan Institusi dalam masyarakat Usia Sekolah terhadap Vitalitas bahasa dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh Vitalitas Bahasa dalam masyarakat (Landry and Allard: 1985).
Gambar 2.3 Hubungan variable lingkungan keluarga, sekolah, dan Institusi dalam masyarakat Usia Sekolah terhadap Vitalitas bahasa
2.1.7 Analisis Sosiolinguistik Mikro dan Makro
Secara teoritis dapat diasumsikan bahwa jika masyarakat bahasa yang diteliti mempertahankan jenis hubungan seimbang diantara komponen situasi sosial dengan variasi bahasa, maka pemilihan bahasa dapat dikatakan mudah diduga jika dikaitkan dengan situasi bahasa. Artinya pada situasi tertentu akan mudah diduga bahasa apa yang akan dipakai. Situasi mungkin akan mencakup hubungan-peran, tempat, dan pokok bahasan. Pada interaksi interface redefinisi komponen yang sebelumnya sudah mapan biasanya menunjukkan pengalihan satu bahasa ke bahasa lainnya. Namun, seluruh faktor situasi sosial ini tidak berdiri sendiri namun disertai oleh faktor-faktor lainnya seperti sikap dan kesetiaan kelompok.Dengan demikian, penyelidikan sikap bahasa dapat memberikan penjelasan yang relatif tepat terhadap pemertahanan bahasa.
dasarnya kategori sosial dipandang sebagai variabel terikat (Labov, 1966).Bagi para peneliti panganut ancangan korelasional, premis empirisnya adalah bahwa perubahan sistematis dengan menghubungkan dua perangkat variabel yang telah diukur secara terpisah.
Sedangkan kajian sosiolinguistik interaksional bertumpu pada karya-karya Goffmann (1961) yang telah mendasari penelitian-penelitian Gumperz (1967). Gumperz (1967, 1972) menyatakan bahwa ancangan interaksional dapat mengatasi masalah kelemahan pengukuran korelasional yang tidak mampu menyediakan penjelasan untuk norma-norma sosial yang berbeda maupun kaidah-kaidah yang mendasari perilaku bahasa yang sebenarnya. Dalam pengumpulan data, ancangan interaksional menganggap bahwa hubungan sosial merupakan penentu perilaku bahasa yang paling penting.Bagi para peneliti yang menggunakan ancangan interaksional penggunaan pengamatan langsung sangat penting untuk meneliti pemakaian bahasa.
Kedua ancangan diatas yaitu ancangan korelasional dan interaksional nampaknya sejalan dengan kajian yang bersifat mikro dan makro. Teori sosiolinguistik mikro menekankan pada bagaimana individu tidak mengikuti beberapa norma sosiologi tertentu. Sedangkan Teori sosiolinguistik makro berusaha menguraikan penyebaran perbedaan bahasa di tengah-tengah masyarakat dari segi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan kelompok etnik penutur yang menjadi subyek kajian (Labov:1966).
dianggap dapat saling melengkapi dan dapat menjelaskan gejala-gejala yang diteliti.
2.1.8 Konsep Verbal Repertoire (Masyarakat Tutur)
Menurut Chaer dan Agustina (2010) verbal repertoire itu ada 2 macam, yaitu verbal repertoire individu dan masyarakat. Kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal diantara penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro. Sedangkan kajian penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri linguistic dalam masyarakat disebut linguistik korelasional atau sosiolinguistik makro.Penelitian ini mengkaji karakteristik penggunaan bahasa dalam masyarakat.Lebih lanjut akan dibahas lebih rinci pada landasan teori.
2.1.9 Bilingualisme/Multilingualisme dan Diglosia
Jacobson (1953) menyatakan bahwa “Bilingualism is for me the
fundamental problem of linguistics”. Pernyataan tersebut sangat relevan dengan
fenomena kebahasaan yang terjadi di dunia saat ini. Dengan semakin terbukanya system komunikasi dan informasi semakin membuka peluang terjadinya kontak bahasa sehingga kedwibahasaan atau kemultibahasaan menjadi hal yang lazim. Grosjean (1982:vii) memperkirakan bhwa kurang lebih separuh dari populasi dunia adalah masyarakat dwibahasa.
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1992:12, Fishman 1997:73).Sedangkan edwibahasaan menurut Bloomfield (1933:56) adalah “native-like control of two languages, yang diartikan bahwa
kedwibahasaan adalah, keadaan dimana seorang penutur mampu memproduksi ujaran dalam bahasa yang lainnya.
Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif. Kerelatifitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan.
Perluasan pengertian kedwibahasaan diberikan oleh Mackey (1962) yang menggambarkan adanya tingkat-tingkat kedwibahasaan yang dimaksudkan untuk membedakan tingkat kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa kedua. Tingkat-tingkat kemampuan ini dapat dilihat dari penguasaannya dalam hal grammatikal, leksikal, semantik, dan style yang tercermin dalam empat ketrampilan dasar yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Makin banyak unsur-unsur tersebut dikuasai seseorang, makin tinggi tingkat kedwibahasaan orang tersebut. Makin sedikit penguasaan terhadap unsur-unsur tersebut, makin rendah kemampuan kedwibahasaannya.
Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam
majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3. Diglosia yang dijelaskan oleh Ferguson ini mengetengahkan sembilan topik, yaitu:
a. Fungsi, merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalm masyarakan diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
c. Warisan Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.
d. Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
e. Standardisasi, karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi formal.
f. Stabilitas, kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
g. Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
h. Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
i. Fonologi, dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
(1) meningkatnya kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosia itu menyatu dengan masyarakat lain.
Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut:
a. Bilingual dan Diglosia
Di dalam masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan.
b. Bilingual tanpa Diglosia
c. Diglosia tanpa bilingual
Di dalam masyarakat yang beriri diglosia tapi tanpa bilingualismre terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih keil, merupakan kelompok ruling group yang hanya biara dalam bahasa T. sedangkan kelompom kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbiara bahasa R. siatasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama.
d. Tidak bilingual dan tidak diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan.Keadaan in hanya mugnkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain.
Hubungan antara bilingualism dan diglosia dapat disimpulkan dalam bentuk table sebagai berikut:
Tabel 2.6
Hubungan Bilingualism dan Diglosia Diglosia
Bilingual
+
-+
Diglosia danBilingual
Bilingual tanpa Diglosia
-
Diglosia tanpaBilingual
2.1.10 Pemertahanan, Pergeseran, dan Kepunahan Bahasa
Pembicaraan tentang permertahanan bahasa tidak terlepas dari konteks pembicaraan kekhawatiran pergeseran bahasa (language shift), dan kematian kepunahan bahasa (language death).Kematian bahasa terjadi kalau bahasa tersebut tidak ada lagi penuturnya.Ini bisa karena penuturnya sudah mati semua, mungkin karena bencana alam (seperti bahasa Tambora di Sumbawa), atau secara alamiah penutur terakhir mati. Di Australia sudah banyak bahasa asli aborigin yang mati, atau akan segera mati karena penuturnya sekarang bisa dihitung dengan jari dan sudah tua-tua. Dalam kebanyakan hal, istilah kematian bahasa sering dipergunakan dalam konteks hilangnya bahasa (language loss) atau beralihnya penutur bahasa ke bahasa lain (language shift).
Untuk bahasa minoritas, terpinggirkan, dan terancam punah, masalah pemertahanan bahasa menjadi isu dan mesti dilakukan penuh kesadaran dan dengan berbagai upaya. Karenanya, definisi pemertahanan bahasa yang ada biasanya dikaitkan dengan pemertahanan bahasa untuk bahasa terdesak/minoritas, yang didalamnya terkandung usaha terencana dan sadar untuk mencegah merosotnya penggunaan bahasa dalam kaitan berbagai kondisi tertentu, yang bisa mengarah ke perpindahan bahasa (language shift) atau ke kematian bahasa (language death), (Marshall 1994).
Menurut Fasold (1984:213), pemertahanan dan pergeseran bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ia merupakan hasil kolektif dari pilihan bahasa (language choice). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa adalah :
“language shift simply means that a community gives up a language completely
in favourof another one. The members of the community, when the shift has taken plece, have collectivelly chosen a new language where and old one used to be used. In language maintenance, the community collectivelly decides to continue using the language in domains formely shift in progress. If the members of speech community are monolingual and are not collectively acquiring another language, then they are obvisiously maintaining theirlanguage use pattern…(Fasold 1984:213).
Faktor yang menentukan terjadinya pemertahanan bahasa: (1)karena mikro sosial keluarga sebagai agen spontan penyebaran bahasa antargenerasi; dan (2) karena makro sosial perkampungan kelompok dalam teritori. Kekuatan mutlak demografi dari suatu keompok mempunyai arti sedikit jika anggotanya terpencar luas, menyediakan hanya sedikit pengaturan sosial untuk menggunakan bahasanya diluar keluarga.Dan jika bahasa berhenti disalurkan secara domestik, dasar dari keberlanjutan tradisi menjadi rusak.Faktor sosial makro dan mikro yang diinteraksikan dalam keluarga dipengaruhi dalam penggunaan bahasa mereka oleh komunitas sekitar.Keluarga dan area perumahan minoritas yang terpusat adalah domain dan teritori bahasa.
Dibawah kondisi normal satu pendatang baru tidak dapat membuat penutur asal mengubah menjadi bahasa mereka karena penutur asal dapat berkomunikasi lebih mudah diantara mereka dengan menggunakan bahasa asal mereka.Pendatang baru, meskipun begitu, mempunyai kecenderungan jika tidak untuk mengasimilasi setidaknya untuk mengadopsi bahasa komunitas pribumi.Bagaimanapun, dalam pengaturan sosial yang dikarakterisasikan oleh kekuatan ekstrim yang berbeda seperti karakteristik situasi penjajahan, minoritas kecil dapat mnginvasi teritori bahasa karena anggota tertentu dari pribumi, tunduk kepada penjajah dengan menggunakan bahasa mereka.Prinsip cuius region, euis lingua„siapa yang berkuasa, siapa yang berbicara‟ dapat dilihat disini.
dimana individu memodifikasi sikap cara berbicara mereka dalam hubungannya dengan teman berbicara (Fasold:P.139). Partisipan konferensi Belanda yang memilih bahasa Inggris dapat dijelaskan dalam hal pemilihan lingua franca untuk domain sains internasional dalam cara akomodasi. Bagaimanapun, pada saat yang sama iini merupakan contoh invasi domain jika domain referensinya adalah academia Belanda. Dalam kasus tertentu ini, invasi domain difasilitasi oleh kenyataan bahwa wacana ilmiah merupakan satu dari domain yang paling rentan terhadap serangan globalisasi.
Kejadian seperti tersebut di atas pernah terjadi pada Kongres bahasa Aceh yang pernah diadakan pada tahun 2010 yang lalu. Beberapa makalah ditulis dalam bahasa Aceh dan disajikan dengan bahasa pengantar bahasa Aceh , padahal tidak semua utusan kabupaten bisa berbahasa Aceh, diantaranya masyarakat Gayo, Singkil, Simeulue, dan juga Tamiang. Secara tidak langsung kongres itu “memaksakan” bahasa Aceh sebagai bahasa yang dominan untuk bisa
mendominasi bahasa-bahasa daerah lain yang ada di Aceh.
normal seperti gejala bahasa lainnya dengan pertimbangan bahwa interferensi pasti mengikuti pola yang teratur dan dilakukan karena faktor-faktor tertentu.
Pemikiran dan pendapat Siregar (1987) mengenai pola yang timbul pada pemertahanan bahasa diterapkan pada penelitian ini.Pemikiran bahwa pola yang mungkin timbul adalah pola pemertahanan bahasa aktif dan pemertahanan bahasa pasif. Dalam masyarakat yang mempunyai pola pemertahanan bahasa yang aktif akan muncul sikap membeda-bedakan bahasa untuk melambangkan beberapa jenis nilai, sikap, dan perilaku bahasa yang tidak tumpang tindih. Sehingga pada pemertahanan bahasa yang aktif akan terbentuk hubungan bahasa yang diglosik.
Sementara pemertahanan yang pasif mempunyai ciri bahasa dalam masyarakat yang tidak bertumpang tindih baik dalam penggunaan maupun kaidah-kaidah kebahasaan. Sehingga terjadilah apa yang dikatakan pergeseran bahasa (language Shift) atau bisa juga perubahan bahasa (language change) bahkan jika lebih serius akan terjadi kehilangan bahasa (language loss). Hal tersebut bisa terjadi meskipun anggota masyarakatnya beranggapan bahwa bahasa daerahnya merupakan jati diri dari etnik mereka, namun sikap bahasa ini tidak sejalan dengan perilaku bahasa di dalam kegiatan berbahasa.Artinya masyarakat tersebut tidak mempunyai kebiasaan menggunakan bahasa daerahnya sesuai dengan fungsinya sebagai lambang daerah mereka.
satuan bahasa yang dipertahankan.Bagian ketiga memfokuskan penelitian pada kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung pada suatu masyarakat bahasa yang sedang mempertahankan bahasanya.
Pemertahanan bahasa lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa
yang lain. Ada tiga faktor utama yang berhubungan dengan keberhasilan pemertahanan bahasa.Pertama, jumlah orang yang mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa ibu mereka.Kedua, jumlah media yang mendukung bahasa tersebut dalam masyarakat, (sekolah, publikasi, radio, dan lain-lain). Ketiga, indeks yang berhubungan dengan jumlah orang yang mengakui dengan perbandingan total dari media-media pedukung.
Klasifikasi situasi bahasa menurt Miller yang hidup lestari, sakit-sakitan, atau bahkan mati dan punah bergantung pada apakah anak-anak mempelajari bahasa ibunya, apakah penutur orang dewasanya berbicara dengan sesamanya dalam seting yang beragam menggunakan bahasa ibu tersebut, dan berapa jumlah penutur asli bahasa ibu yang masih ada.
2.1.11 Alih Kode, Campur Kode, Interferensi, dan Integrasi
Alih kode sering kali terjadi pada batas-batas komunikasi utama ketika ada perubahan-perubahan peserta, topik, atau apabila situasi komunikasi didefinisikan ulang.Alih kode sering kali merupakan indikator-indikator keformalan dari konteks komunikasi.Campur kode adalah perubahan pilihan kode dalam satu ujaran.Campur kode terjadi pada tingkat bawah sadar antarpara komunikator tanpa pendefinisian ulang terhadap situasi komunikasi.Menurut Chaer dan Agustina (1995: 151), dalam komunitas-komunitas muttitingual, fenomena alih kode dan campur kode mltibatkan suatu perubahan pemilihan bahasa dan juga laras-laras yang tersedia dltam perbendaharaan bahasa yang bersangkutan.Namun, dalam alih kode, setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan memiliki fungsi otonomi masing-masing serta dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu.Pada peristiwa campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat datam peristiwa tutur hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Untuk membedakan peristiwa campur kode dan alih kode, Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika. Jika dalam suatu peristiwa tutur terjadi penggunaan satu kata atau satu frasa dari bahasa lain, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa campur kode, tetapi jika dalam peristiwa tutur tersebut terjadi penggunaan satu klausa yang memiliki struktur gramatikal dari bahasa lain, maka peristiwa tersebut adatah peristiwa alih kode. Perbedaan alih kode dan campur kode dapat juga dilihat pada tingkat tataran bahasa dan fungsi bahasa.
in the speak bilinguals as a result of their familiarity with more than one
language, i.e, as a result of language contact. Selanjutnya Weinreich (1953:39) mengidentifikasi 4 jenis interferensi yakni:
1. Pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa lain
2. Perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan
3. Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua kedalam bahasa pertama
4. Pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama.
2.2Kajian Pustaka Penelitian Sebelumnya Yang Relevan
Pada sub babini, peneliti memaparkan kesimpulan dan menganalisa temuan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Selain penelitian yang berkenaan dengan Vitalitas Bahasa dan Sikap Bahasa, yang di rangkum dari beberapa penelitian baik di dalam maupun luar negeri, sub-bab ini juga akan memaparkan penelitian-penelitian lain yang berkenaan dengan Bahasa Devayan.Berikut ini pemaparan penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, untuk menjadi bahan kajian dan rujukan yang dapat memperkaya penelitian ini.
2.2.1 Penelitian tentang Bahasa Devayan
Sebagian besar penelitian yang sudah dilakukan pada bahasa Devayan adalah penelitian pada linguistic mikro dan penelitian pada sastra dan budaya Simeulue.Penelitian tentang Vitalitas Bahasa dan Sikap Bahasa pada bahasa Devayan atau bahasa-bahasa lain di pulau Simeulue, sepengetahuan penulis, dengan mencari referensi di Balai Bahasa Propinsi Aceh, belum pernah dilakukan. Sejauh pengetahuan peneliti belum ada penelitian pada linguistic makro mengenai bahasa ini, namun peneliti pernah melakukan penelitian pemertahanan bahasa ibu pada mahasiswa asal pulau Simeulue di kota Banda Aceh (Candrasari:2013).
dan nyanyian. Namun sejauh ini peneliti belumberhasil mendapatkan sumber aslinya.
2.2.1.1 Morfologi dan Sintaksis Bahasa Simeulue (Faridan dkk:1983)
Penelitian ini dibawah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikandan Kebudayaan Indonesia. Ruang lingkup masalah ini meliputi jenis morfem, proses morfologi, proses morfofonologi, pengelompokan jenis kata, serta fungsi dan makna imbuhan. Data penelitian di ambil hanya di kecamatan Simeulue Timur, jadi yang dimaksud dengan bahasa Simeulue adalah bahasa Devayan (sebutan yang dipakai oleh Balai Bahasa Propinsi Aceh). Kesimpulan penelitian adalah bahwa bahasa Simeulu (Devayan) memiliki system morfologi dengan bahasa Indonesia, yaitu mengikuti proses afiksasi. Pola kalimatnya pada umumnya juga sama dengan bahasa Indonesia. Namun pada pola tutur terdapat pola kalimat P+S+O yang tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Seperti tersebut di atas bahwa Bahasa Devayan seperti juga bahasa Indonesia mempunyai imbuhan dalam pembentukan katanya. Pembentukan dilakukan dengan mengimbuhkan afiks pada bentuk dasar, mengulang, dan juga menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar sehingga terbentuk satu kesatuan makna. Bahasa Devayan terbentuk dari morfem bebas dan terikat. Morfem bebas dalam bahasa Devayan kebanyakan bersuku dua, namun ada juga beberapa yang bersuku satu, tiga, atau empat, misalnya
/mot/ setan bersuku satu
/tek/ dari bersuku satu
/afala/ merah bersuku tiga /malafek/ pergi bersuku tiga /mansifalal/ kemarin bersuku empat /afisilan/ hamil bersuku empat
Morfem terikat dalam bahasa Devayan melekat pada morfem bebas sehingga terbentuk pembagian jenis pembentukan, yaitu:
a. Prefiks : ma-, ni-, mansi-, mamba, mangeba-b. Infiks : -um-
c. Suffiks : -an, -ne, -i
d. Gabungan prefix dan suffiks: ma-…..-an, ma- … -i, ni- … -an, ni- … -i
Jenis morfem terikat diatas masih dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsi pembentukannya. Ada yang berfungsi membentuk kata kerja, ada yang bertugas membentuk kata benda, dan ada pula yang dipakai untuk membentuk kata sifat.
Selain jenis awalan dan akhiran yang dijelaskan di atas, dijumpai pula jenis awalan dan akhiran yang berasal dari kata ganti. Sebenarnya itu bukan bentuk awalan dan akhiran, melainkan kata ganti.
Contoh:
Kata ganti awalan akhiran
Deo saya u- -o
Dio kamu mu- -mo
Dise dia ni- -ne
Dita kita ta- - ta
Diama i kami mai- -mi
Penelitian diatas sangat membantu penelitian ini untuk merancang tes yang akan di berikan kepada responden untuk mengukur proficiency responden pada bahasa Devayan. Peneliti menggunakan pola frasa dan kalimat dalam penelitian di atas untuk menjadi rujukan dalam menyusun instrument penelitan yang berupa tes.
Penelitian ini juga dilakukan dibawah koordinasi dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikandan Kebudayaan Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa dalam bahasa ini dikenal istilah kekerabatan yang mengacu pada urutan kelahiran sampau urutan anak ke tujuh.Dalam hubungan peran vertical dan horizontal juga mempunyai sapaan yang berbeda. Hubungan vertical ada sapaan 3 lapis ke atas.Pemilihan sapaan dalam bahasa ini dipengaruhi oleh faktor umur, jabatan/pekerjaan, situasi, status sosial, keakraban, dan tujuan pembicaraan.
Sistem sapaan intra keluarga ini diangkat karena dijadikan bagian indikator pada tes kepada responden untuk mengukur language proficiency responden.
2.2.1.3 Pengelompokan Variasi Bahasa di Pulau Simeulue (Toha, M:2010) Penelitian ini dilakukan oleh Balai Bahasa Propinsi Aceh.Kajian ini berupa kajian dialektologi terhadap 200 kata Swadesh antara bahasa Leukon, Sigulai, Salang, dan Devayan. Melalui analisa dialektometri antara bahasa Leukon dan Sigulai menunjukkan perbedaan 65,5%, Leukon dan salang 65,0%, dan Leukon dan Devayan 25%. Dan dari analisis bunyi pada tataran fonologi menunjukkan adanya korespondensi bunyi sebanyak 27 kaidah. Perbedaan bunyi antara ketiganya menghasilkan perbedaan 5,5%-57%. Antara Sigulai-Salang dan Leukon Devayan hanya menunjukkan tingkat beda wicara.
Penelitian di atas bermanfaat bagi penelitian ini dalam memilih area populasi penelitian yang menggunakan bahasa Devayan. Sehingga dapat di tetapkan 7 kecamatan yang menjadi daerah penelitian.
Penelitian ini diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengumpulkan sastra lisan Simeulue yang berbentuk prosa untuk didokumentasikan dalam bentuk teks dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada pendahuluan dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa masyarakat Simeulue memiliki bentuk sastra lisan dalam bentuk prosa maupun puisi yang pernah hidup dan berkembang di masa lalu dan sekarang tidak berlaku lagi, disebabkan salah satunya karena ketidakpedulian masyarakat khususnya generasi muda dalam hal penggunaan sastra lisan tersebut. Kemungkinan penyebabnya adalah belum adanya sastra lisan yang dibukukan.
Penelitian ini memberikan wawasan kepada peneliti, bahwa bahasa Devayan sampai saat ini masih sebagai bahasa lisan, dikarenakan masih sangat minimnya bahasa tul;is dalam masyarakat tutur ini.
2.2.1.5 Pemertahanan Bahasa Ibu di Asrama Mahasiswa Simeulue di Kota Banda Aceh. (Candrasari:2013)
mahasiswa berbahasa ibu Sigulai yaitu 72,20%. Berkomunikasi dengan sesama suku di luar asrama tanpa pihak lain sebesar 72,45%. Namun pada ranah keakraban di luar asrama ketika berada di publik menunjukkan rata-rata yang rendah yaitu 48,49%.
Penelitian ini memberikan gambaran singkat terhadap pentingnya mengetahui tingkat vitalitas bahasa Devayan di parantauan, sehingga bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dalam melakukan penelitian ini.
2.2.1.6 Finding Local Wisdoms in Indigenous Tradition of Marriage in Simeulue Island. (Candrasari:2014)
Tulisan ini telah dipublikasikan melalui proceeding pada Konferensi Internasional dengan tema Empowering Local Wisdom in Support of Nation Identities. Tulisan ini mengidentifikasi kearifan lokal dalam bentuk nilai-nilai budya yang luhur pada proses pernikahan adat di Simeulue dan juga pada ornamen-ornamen pada hiasan di pelaminan pernikahan. Proses perkawinan yang melibatkan 4 tahap, yaitu Lak O si Falu-falu, Manaek En Tando, dan Baralek mengandung nilai luhur tentang kesopanan, selalu bersyukur, kejujuran, sikap harmonis, dan kerjasama sosial dalam bentuk gotong royong. Begitu juga pada ornament yang diantaranya adalah kubah, mata berambang, mata lolak, mata empat, mata Sembilan, mata kaok alian, mata tapak itik, mata lidah-lidah mengandungi nilai bermatabat, berpikir positip, semangat melawan bencana dan musibah, kemakmuran, dan perdamaian.
sikap bahasa. Dengan memasukkan unsur adat ke dalam pertanyaan sikap bahasa, diharapkan dapat mencerminkan sikap penutur terhadap perlunya menjaga bahasa lewat adat dan budaya.
2.2.1.7 Inilah Bahasa-Bahasa di Aceh (Balai Bahasa Banda Aceh)
Buku ini diangkat dari penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Aceh (2011) yang bertujuan untuk menentukan jumlah bahasa dan variannya, serta sebaran geografis yang terdapat di propinsi Aceh, serta hubungan kekerabatan antar bahasa-bahasa tersebut. Penelitian ini menggunakan metode dialektrometri dan lekostatistik.
Penelitian ini mendukung peneliti untuk mengetahui bahwa bahasa Devayan memang sebuah bahasa tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa Aceh.Keduanya merupakan bahasa serumpun, yaitu rumpun Austronesia.Sehingga penelitian terhadap bahasa Devayan yang kurang terkenal di propinsi Aceh dapat diyakinkan bahwa Devayan bukan hanya sekedar varian dialek bahasa Aceh, namun memang sebuah bahasa.
2.2.2 Penelitian Tentang Vitalitas Bahasa dan Sikap Bahasa.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa penelitian tentang Vitalitas Bahasa dan Sikap Bahasa pada bahasa Devayan belum pernah dilakukan, maka peneliti menjadikan beberapa penelitian pada bahasa nusantara yang lain yang pernah dilakukan baik oleh peneliti Indonesia maupun luar.
Penelitian ini menganalisa kriteria vitalitas bahasa Seget, di propinsi Papua Barat, berdasarkan hubungan subindeks mobilitas, kedwibahasaan, ranah pemakaian bahasa, dan sikap bahasa dengan karakteristik responden. Penentuan sampel menggunakan random sampling pada penutur bahasa Seget dan data primer dikumpulkan dengan kuesioner secara tertutup. Hasil uji statistic Kruskal Walls dan Median Test menunjukkan criteria vitalitas bahasa Seget tergolong (1) stabil mantap, tetapi berpotensi mengalami kemunduran karena rentang nilai rata-rata pada ke tujuh sub-indeks 0,61 – 0,80, (ii) aman karena rentang nilai rata-rata lima subindeks 0.81-1, dan (iii) stabil, mantap, tetapi berpotensi mengalami kemunduran secara total indeks karena rentang nilai ratarata total indeks 0,61 -0,80. Sementara criteria vitalitas bahasa Seget berdasarkan hubungan sub-index dengan karakteristik responden tergolong (i) stabil, mantap tetapi berpotensi mengalami kemunduran, dan (i) aman. Dengan uji Chi-Square dan Kruskal Walls, criteria vitalitas bahasa Seget antarkategori jenis kelamin dan kelompok usia berbeda, sedangkan antar kategori jenis pekerjaan sama.
Kriteria Vitalitas yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah criteria vitalitas bahasa menurut Grimes (2000) dan penginterpretasian angka tersebut berdasarkan konvensi pada konferensi “Konsinyasi Bahasa Terancam Punah”
(2011) di Ciawi, Jawabarat.
Tabel 2.7
Kriteria Vitalitas Bahasa NO Kriteria Vitalitas Bahasa
(Grimes, 2001)
Angka Indeks
1. Sangat kritis dan terancam 0,0 - 0,20
2. Terancam 0,21 - 040
3. Mengalami kemunduran 0,41 – 0,60
4. Stabil, dan mantap, tetapi terancam punah 0,61 – 0,80
Penelitian di atas murni menggunakan kuesioner tertutup dengan kata lain penelitian ini murni berdasarkan persepsi subyektif responden yang kemudian diolah melalui statistic nonparametric. Dan pada penelitian ini vitalitas bahasa Devayan diukur menggunakan subyektif “belief” melalui kuesioner, namun juga
menggunakan pengukuran yang obyektif melalui tes kemampuan berbahasa. Penentuan skala indeks pada penelitian di atas menjadi acuan dalam penelitian ini ketika mengukur indeks vitalitas bahasa Devayan. Peneliti tidak menentukan rentang skala indeks melalui penghitungan statistik namun mengacu kepada rentang skala indeks yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, ketika menentukan kriteria indeks vitalitas bahasa Devayan terhadap beberapa variabel sosial seperti kelompok umur, jenis kelamin, dan jarak wilayah tutur dengan pusat kota.
2.2.2.2 Language Vitality: A case on Sundanese Language as a surviving Indigenous Language (Indrayani:2011)
Penelitian ini di paparkan dalam Seminar Internasional “LanguageMaintenance and Shift” di Universitas Diponegoro pada tanggal 2 Juli
bahasa dan juga sikap-sikap penutur terhadap bahasanya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa marjinalisasi bahasa Sunda merupakan ancaman terhadap vitalitas bahasa.Kemampuan bertahan sangat tergantung pada sikap terhadap bahasanya, Penelitian ini mengamati sikap penutur bahasa Sunda terhadap bahasanya.
2.2.2.3 Language Vitality and Language Attitude Among Yong People in Lamphun province: A sociolinguistic study. (Maliwan:2005)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji vitalitas bahasa dan sikap bahasa masyarakat Yong di propinsi Lamphun. Responden berjumlah 48 orang dari 4 desa yaitu desa Rai, desa Pasang, desa Tong, dan desa Muang. Variabel sosial dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, dan wilayah tutur.Data sosiolinguistik diperoleh melalui kuesioner dan observasi.
Penelitian Vitalitas pada masyarakat tutur Yong mengacu pada teori vitalitas bahasa (ethnolinguistic vitality=EV) yang di peroleh dengan metode tidak langsung (subyektif)seperti yang diajukan oleh Borhuir et al (1981) bahwa faktor-faktor subyektif (SEV) dapat digunakan untuk memprediksi vitalitas sebuah bahasa.Untuk menemukan vitalitas etnolinguistik secara subyektif dilakukan dengan kuesioner utnuk mengukur vitalitas bahasanya melelui persepsi masyarakat tutur. Dengan konsep dari teori tersebut, kitadapat mengacu 3 faktor yang di propose dalam teori ini yang dapat mempengaruhi vitalitas sebuah bahasa, yaitu faktor status bahasa, letak geografis, dan dukungan institusi dalam masyarakat.Untuk mendapatkan level EV mereka membuat serangkaian kuesioner untuk mendapatkan data vitalitas bahasa tersebut.
2.2.2.4 Language Endangerment in Indonesia. (Ewing:2014)