• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Devayan di Pulau Simeulue: Kajian Vitalitas Bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Devayan di Pulau Simeulue: Kajian Vitalitas Bahasa"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia menempati peringkat ke dua tertinggi sebagai negara yang

memiliki jumlah bahasa daerah setelah Papua Nugini (SIL International: 2014),

dengan jumlah 746 bahasa daerah dari total bahasa daerah sedunia sekitar 7100. 1

Keadaan tersebut tentu membuat suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa

Indonesia, bahkan dunia mulai memfokuskan perhatian terhadap kekayaan bahasa

di planet ini dengan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu oleh

UNESCO. Namun mampukah bangsa Indonesia mempertahankan citra sebagai

bangsa multilingual, ataukah akan beralih menuju masyarakat monolingual,

mengingat gencarnya usaha dan propaganda keberhasilan perencanaan bahasa

nasional, yaitu bahasa Indonesia? Berbagai penelitian terhadap bahasa-bahasa

daerah di Indonesia cenderung menunjukkan hasil yang seragam yang mengarah

kepada pergeseran bahasa, bahkan beberapa diantaranya menuju kepada

kepunahan bahasa.

Pertanyaan di atas perlu dikaji dan ditindaklanjuti dengan melakukan

berbagai tinjauan dan usaha penelitian. Jika menilik dari kebijakan pemerintah

yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 32 mengenai Pendidikan,

khususnya ayat 2 yang berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa

daerah sebagai kekayaan budaya nasional”, dan pasal 33 ayat 2 “Bahasa daerah

dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila

1

(2)

diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau ketrampilan tertentu”, serta

dalam pasal 42, ayat 1 yang berbunyi, “Pemerintah daerah wajib

mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap

memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat seseuai

dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan

budaya Indonesia’, tentulah arah keputusan bangsa ini adalah mempertahankan

ke-multibahasaan masyarakat Indonesia.

Informasi yang dipublikasikan oleh ethnologue tentang profil

bahasa-bahasa ibu di Indonesia dapat dilihat pada diagram 1.1.

Diagram 1.1: Profil Bahasa-Bahasa Ibu di Indonesia 2

Diagram tersebut menunjukkan profil bahasa-bahasa ibu menurut status

perkembangan bahasanya. Garis horizontal melambangkan tingkat vitalitas bahasa

sebagaimana yang di ukur menggunakan skala EGIDS, yang dilambangkan

dengan warna dapat dilihat pada gambar 1.3 di bawah. Tinggi batang dalam

grafik mengindikasikan jumlah bahasa-bahasa yang diestimasikan berada pada

2

(3)

level yang telah di tentukan dalam grafik. Kesimpulan sebagian besar

bahasa-bahasa lokal di Indonesia berada pada level vitalitas 6a dan 6b.

 Ungu = Institutional (EGIDS 0-4) — The language has been developed to the point that it is used and sustained by institutions beyond the home and community.

 Biru = Developing (EGIDS 5) — The language is in vigorous use, with literature in a standardized form being used by some though this is not yet widespread or sustainable.

 Hujai = Vigorous (EGIDS 6a) — The language is unstandardized and in vigorous use among all generations.

 Kuning = In trouble (EGIDS 6b-7) — Intergenerational transmission is in the process of being broken, but the child-bearing generation can still use the language so it is possible that revitalization efforts could restore transmission of the language in the home.

 Merah = Dying (EGIDS 8a-9) — The only fluent users (if any) are older than child-bearing age, so it is too late to restore natural

intergenerational transmission through the home; a mechanism outside the home would need to be developed.

 Hitam = Extinct (EGIDS 10) — The language has fallen completely out of use and no one retains a sense of ethnic identity associated with the language.

Gambar 1.3: Kode Warna Grafik (Adaptasi dari EGIDS 2013)

Berdasarkan informasi di atas peneliti melakukan penelitian terhadap

salah satu bahasa di bagian Barat Indonesia, tepatnya di propinsi Aceh.

Penelitian bahasa minoritas lebih banyak dilakukan di Indonesia bagian Timur

karena informasi dari SIL Ethnologue banyak bahasa minoritas yang cenderung

menuju kepunahan berada di wilayah Indonesia bagian Timur. Penelitian ini

dilakukan di pulau Simeulue dengan bahasa tutur bahasa Devayan.

Pemilihan bahasa Devayan sebagai kajian utama peneliti dilakukan

dengan beberapa alasan. Pertama bahwa bahasa Devayan sedang “berjuang”

untuk eksis, sejak Simeulue menjadi semakin terbuka bagi para pendatang dari

Aceh daratan yang datang dari Sigli, Banda Aceh, dan Aceh Utara Aceh Barat

yang berbahasa Aceh, serta dari Singkil dan Aceh Selatan yang berbahasa Aneuk

(4)

bertugas karena sebuah jabatan pemerintah atau TNI/Polri, dan yang sangat

berpengaruh penyebabnya adalah ketika konflik berkecamuk di Aceh daratan,

banyak pendatang dari berbagai pelosok Aceh daratan yang menyeberang ke

pulau Simeulue, yang saat itu keamanannya paling kondusif di propinsi Aceh,

dibandingkan kabupaten yang lainnya.

Alasan kedua bahwa bahasa Devayan merupakan salah satu bahasa yang

dikhawatirkan sudah berada dalam kategori bahasa yang terancam (endangered

language), walaupun sejauh ini belum ada penelitian mendalam pada

bahasa-bahasa daerah Aceh mana sajakah yang termasuk ke dalam bahasa-bahasa denagn

kategori terancam. Namun dilihat dari jumlah penutur bahasa Devayan yang

cenderung menurun jumlahnya setiap tahun, dan diguanakan hanya di Pulau

Simeulue, itupun tidak semua wilayah, serta jika sebagian besar masyarakat Aceh

khususnya ditanya tentang bahasa Devayan mereka cenderung akan menjawab

tidak mengenal bahasa ini, karena penuturnya terisolir di pulau Simeulue,

sedangkan masyarakat yang sudah merantau ke daratan propinsi Aceh karena

bersekolah dan bahkan menetap karena bekerja, di daerah perantauan tersebut

sudah banyak yang menggunakan bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.

Ketiga adalah bahwa bahasa Devayan menjadi bahasa yang mulai terkenal

di dunia sejak terjadi tsunami pada tahun 2004 yang menghantam sebagain besar

wilayah Aceh, dengan pusat gempa di perairan samudera Indonesia tepatnya di

seputaran pulau Simeulue. Bahasa Devayan telah mempunyai kosa kata untuk

kata tsunami yaitu smong, sementara bahasa daerah lainnya di Aceh tidak

mengenal kosa kata tentangn tsunami. Kata smong ini dipakai pada hikayat atau

(5)

syair tersebut merupakan nasehat nenek moyangyang diwariskan kepada anak

cucunya tentang tsunami. Sebagai tambahan, bupati Simeulue menerima

penghargaan di Korea karena jumlah korban tsunami yang sangat sedikit

dibandingkan daerah lainnya, walaupun termasuk dalam pusat gempa, karena

masyarakatnya telah mengenal tanda-tanda tsunami yang diwariskan dalam

bentuk budaya, sehingga masyarakat Simeulue segera berlari ke daratan tinggi

ketika melihat tanda-tanda tsunami akan datang, yaitu dengan surutnya air laut

setelah gempa. Jadi penelitian pada bahasa ini akan menambah khasanah

pendokumentasian bahasa Devayan, yang pada akhirnya mampu mendukung

eksistensi bahasa tersebut. Selain itu diharapkan melalui bahasa terwaris karakter

yang bisa membentuk bangsa, seperti konsep yang diutarakan oleh Saragih

(2002:7) yang mengatakan bahwa karakter diintepretasikan sebagai realisasi

operasional jatidiri dan identitas seseorang atau suatu bangsa jika seseorang atu

suatu bangsa itu dihadapkan pada persoalan yang harus diselesaikan atau diatasi

untuk mencapai kesejahteraannya.

Namun dalam kenyataannya ada kecemasan bahwa bahasa Devayan di

pulau Simeulue ini cenderung tidak populer lagi khususnya dikalangan generasi

muda di masyarakat tutur daerah tersebut, disebabkan berbagai faktor diantaranya:

(1) perkawinan campur dengan suku mayoritas sehingga mereka cenderung

memakai bahasa mayoritas yaitu bahasa Aceh, (2) semakin banyak generasi muda

yang keluar Pulau Simeulue untuk bekerja dan melanjutkan pendidikan yang lebih

tinggi, kebanyakan mereka pergi ke Banda Aceh, dan ketika berada di komunitas

luar mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh. (3)

(6)

komunikasi ke dalam dan keluar pulau ditingkatkan tidak hanya jalur air tetapi

juga udara sehingga memudahkan kontak dalam bentuk dagang maupun wisata.

Sehingga bahasa Devayan yang tidak populer semakin terdesak oleh bahasa

pendatang di daerahnya sendiri, khususnya ketika konflik di Aceh daratan

berkecamuk hebat, banyak yang bermigrasi ke pulau Simeulue yang sangat

kondusif karena Gerakan Aceh Merdeka tidak sampai ke pulau tersebut.

Kondisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan biasanya menjangkiti

mereka yang dikategorikan sebagai golongan remaja atau kaum muda. Masa

krusial pada aspek daur hidup manusia adalah masa remaja. Usia remaja sangat

rentan oleh pengaruh dari dunia luar karena pada usia itu terjadi proses pencarian

jati diri. Pada sisi bahasa, remaja menjadi komunitas yang memiliki

kecenderungan untuk berubah. Perubahan tersebut seperti tercerabut dari akar

bahasanya sendiri. Tidak jarang di perkotaan terjadi fenomena bahwa kaum

remaja tidak menguasai lagi bahasa daerahnya, apalagi dengan maraknya apa

yang kita kenal dengan bahasa gaul. Sebenarnya bahasa yang sehat adalah bahasa

yang produktif, bisa berkembang menyesuaikan dengan perkembangan jaman..

Akan tetapi, alangkah bijaknya apabila dasar fondasi bahasa daerah atau bahasa

pertama diperkuat terlebih dahulu.

Menurut (Bernard 1996:142) kurang lebih 97% dari penduduk dunia

hanya berbicara menggunakan 4% dari seluruh jumlah bahasa-bahasa yang ada di

seluruh dunia, dan sebaliknya, kurang lebih 96% dari bahasa-bahasa di dunia

hanya dipakai oleh kurang lebih 3% penduduk dunia. Bahkan bahasa-bahasa

dengan penutur yang berjumlah ribuan tidak lagi menjadi bahasa pertama yang

(7)

berjudul Language Vitality and Endangerment (2003:2) meramalkan, kurang

lebih 90% dari bahasa-bahasa yang ada mungkin akan digantikan oleh bahasa

dominan pada akhir abad 21.3

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kepunahan bahasa kemungkinan dapat

disebabkan oleh faktor-faktor ekternal seperti, tekanan militer/politik, ekonomi,

agama, kebudayaan atau pendidikan, namun juga bisa disebabkan oleh

factor-faktor internal seperti, sikap negative masyarakat tutur bahasa tersebut terhadap

bhaasanya sendiri. Pada keadaan tertentu tekanan faktor internal kadang

bersumber dari factor eksternal, khususnya pada pewarisan bahasa antar generasi

(intergenerational transmission of linguistic) dan juga tradisi budaya. Banyak

penutur bahasa ibu beranggapan bahwa kedudukan sosial mereka terrendahkan

oleh budaya tradisional mereka, sehingga mereka meyakini bahwa bahasa mereka

tidak dapat menjamin kehidupannya. Sehingga sebagian besar dari mereka

cenderung meninggalkan bahasa dan budaya mereka dengan harapan dapat lepas

dari perlakuan diskriminasi, dan dapat lebih mendapatkan kesempatan dalam

beberapa aspek kehidupan seperti kemudahan mobilitas sosial, atau bahkan

menyesuaikan diri dengan perkembangan globalisasi, jika bisa berkomunikasi

menggunakan bahasa dominan atau bahasa internasional.

Menghadapi fenomena di atas, Unesco, dengan konstitusinya menjamin

pemertahanan bahasa-bahasa di dunia sebagai landasan kebijakannya, yang

berbunyi:

(8)

rights and fundamental freedoms which are affirmed for the peoples of the world without distinction of race, sex, language, religion, by the Charter of the United Nations (UNESCO Constitution Article 1).

Berdasarkan sila tersebut, Unesco telah mengembangkan beberapa program

yang bertujuan mempromosikan bahasa-bahasa sebagai alat penghela

pendidikan dan kebudayaan, dan juga sebagai alat yang penting dalam

berkomunikasi dalam kehidupan nasional. (Aikawa, 2001:13)

Salah satu program Unesco adalah proyek The Red Book of

Languages in Danger of Disappearing. Adapun tujuan dari proyek ini

adalah : (1) mengumpulkan seluruh informasi tentang bahasa-bahasa yang

terancam (termasuk status bahasa tersebut dan juga tingkat keurgenannya

untuk segera dilakukan penelitian); (2) melaksanankan penelitian-penelitian

dan pendokumentasian materi-materi yang ada hubungannya dengan bahasa

yang terancam yang hanya sedikit atau belum pernah ada

penelitian-penelitian yang berkaitan dengan penguatan bahasa tersebut, termasuk,

bahasa yang terisolasi, penelitian tipologi bahasa dan juga penelitian LHK,

atau bahasa yang benar-penar terancam punah; (3) melaksanakan

kegiatan-kegiatan yang bertujuan utnuk membentuk komite proyek tingkat

internasional dan membentuk juga sebuah jaringan yang menghubungkan

beberapa pusat regional; (4) meningkatkan publikasi segala materi

berkenaan dengan hasil-hasil penelitian pada bahasa-bahasa yang terancam.

Berdasarkan amanat Unesco tersebut di atas, peneliti berkeinginan

untuk ikut andil dalam memberikan sumbangsih penelitian terhadap salah

satu bahasa minoritas di nusantara, yaitu bahasa Devayan di pulau Simeulue.

(9)

bahasa Devayan menurut skala yang di publikasikan oleh Unesco ada 9 faktor

utama untuk menentukan vitalitas sebuah bahasa. Sembilan faktor tersebut

adalah; (1) Intergenerational language transmission; (2) Absolute numbers of

speakers; (3) Proportion of speakers within the total population; (4) Loss of

existing language domains; (5) Response to new domains and media; (6)

Material for language education and literacy; (7) Governmental and

institutional language attitudes and policies, including official language

status and use; (8) Community members’ attitudes towards their own

language; (9) Amount and quality of documentation.

Penelitian ini mencakupi data yang dikumpulkan di 7 kecamatan dari

10 kecamatan yang ada di pulau Simeulue, dimana 7 kecamatan tersebut

merupakan masyarakat tutur bahasa Devayan. Faktor-faktor independent

seperti kelompok generasi, gender dan jarak ke pusat ibukota kabupaten

digunakan dalam penelitian ini. Kelompok generasi terbagi menjadi 4 range,

yaitu G1 meliputi umur 7-12 tahun, G2: 13-20 tahun, G3: 21-50 tahun, dan

G4: 51 tahun ke atas. Jenis kelamin juga diteliti untuk menginvestigasi

korelasi antara umur dengan level vitalitas bahasa. Kemudian jarak lokasi

dengan ibukota kabupaten juga dianggap sebagai penentu terhadap terhadap

vitalitas bahasa.

Skala Extended Graded Intergenerational Disruption Scale (EGIDS)

(Lewis & Simons:2010) digunakan guna mendapatkan karakteristik dari

Vitalitas Bahasa (Language Vitality). Menurut skala EGIDS, yang menyebut

bahasa Devayan sebagai bahasa Simeulue, bahasa ini termasuk dalam rumpun

(10)

masih dituturkan sekitar 30.000 orang. Status bahasa termasuk kategori “6a

Vigorous” digambarkan dengan titik hijau (gambar 1.4), dengan kriteria “The

language is unstandardized and in vigorous use among all generations”. Dari

pengklasifikasian tersebut menurut Ethnologue, bahasa Devayan masih

termasuk kuat namun tidak adanya standardisasi bahasa. Berikut adalah

gambar awan versi Ethnologue yang disebut sebagai bahasa Simeulue, namun

yang dimaksudkan adalah bahasa Devayan.

Gambar 1.4: Bahasa Simeulue menurut Ethnologue4

Yang menjadi pertanyaan, benarkah pernyataan dari Ethnologue tersebut

bahwa bahasa Devayan masih kuat dan dituturkan di segala generasi, sedangkan

kecenderungan yang terjadi pada masyarakat tutur bahasa Devayan adalah

terjadinya penurunan jumlah penutur, setidaknya menurut pengakuan sejumlah

penutur bahasa Devayan, dan juga para pemerhati bahasa ibu. Untuk itu,

penelitian ini dilakukan untuk memetakan hal tersebut lebih aktual dan lebih rinci

berdasarkan variabel lokasi, gender, dan usia.

1.2 Masalah Penelitian

Masalah utama dalam penelitian ini adalah, “Bagaimanakah tingkat

Vitalitas Bahasa Devayan serta sikap dan kemampuan penuturnya terhadap

bahasanya sendiri?” Secara lebih mendalam, masalah penelitian tersebut

4

(11)

dikembangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penggunaan bahasa Devayan pada ranah keluarga,

ketetanggaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, adat, dan keagamaan?

2. Bagaimanakah sikap penutur bahasa Devayan terhadap bahasanya dan

penuturnya serta bagaimanakah kemampuan lingualnya dihubungkan

dengan gender, generasi, dan lokasi?

3. Bagaimanakah tingkat vitalitas bahasa Devayan dihubungkan dengan

gender, generasi, dan lokasi menggunakan :

a. Kriteria pengukuran berdasarkan Indeks sosial?

b. Kriteria pengukuran skala EGIDS?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas bertujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan penggunaan bahasa masyarakat tutur bahasa Devayan

pada ranak keluarga, ketetanggaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi,

adat, dan keagamaan

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan sikap penutur bahasa Devayan terhadap bahasa dan penuturnya serta mendeskripsikan kemampuan

lingualnya.

3. Mendeskripsikan dan menganalisa tingkat vitalitas dihubungkan dengan

gender, generasi, dan lokasi menggunakan pengukuran indeks sosial dan

skala EGIDS

(12)

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian tentang Vitalitas bahasa Devayan ini mampu mengungkap

fakta-fakta empirik terkait dengan masalah penelitian ini selanjutnya

diharapkan bermanfaat baik secara toeritis maupun secara praktis.

Manfaat-manfaat tersebut dipaparkan sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menguji coba beberapa model pengukuran

vitalitas bahasa terutama yang dikembangkan oleh EGIDS dengan

penyesuaian penerapannya dengan situasi dan kondisi kebahasaan bahasa

yang diteliti.

2. Hasil penelitian ini dapat meneguhkan teori-teori sosiolinguistik,

khususnya dalam teori kedwibahasaan, teori vitalitas bahasa, teori sikap

bahasa, dan juga teori pendekatan dalam metodologi penelitian

sosiolinguistik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Selain memperoleh manfaat teoritis, penelitian ini juga memberikan

manfaat praktis, antara lain:

1. Temuan pada penelitian ini dapat menjadi sumbangan informasi faktual

yang dapat digunakan untuk meng-update skala vitalitas bahasa Devayan

(13)

2. Temuan pada penelitian ini dapat menjadi sumbangan informasi

mengenai pemetaan bahasa ibu yang selama ini banyak menjadi perhatian

peneliti asing.

3. Temuan pada penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemangku

jabatan strategis berkenaan dengan usaha-usaha penguatan vitalitas

bahasa-bahasa daerah minoritas.

1.5Susunan Disertasi

Penelitian ini terdiri dari 9 bab. Bab 1 memuat pendahuluan yang

membahas ihwal latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan

sistematika penelitian, dan keadaan terkini kabupaten Simeulue. Bab 2 memuat

teori-teori dan berbagai kajian terdahulu yang relevan tentang kajian vitalitas

bahasa. Kemudian Bab III memaparkan Metodologi Penelitian yang memuat

metode dan pendekatan, cara pengumpulan data, dan pengolahan data. Bab IV

mendeskripsikan Bahasa-bahasa di pulau Simeulue. Selanjutnya Bab V untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang pertama yaitu Penggunaan Bahasa pada

masyarakat Tutur bahasa Devayan, pemaparan dimulai dari suku-suku di wilayah

tutur, bahasa ibu dan pemerolehannya, serta pola penggunaan bahasa Devayan

pada beberapa domain. Bab VI menunjukkan pemaparan hasil penelitian sikap

bahasa dan kemampuan bahasa untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ke-2.

Bab VII membahas tentang tingkat vitalitas bahasa Devayan yang diukur

menggunakan indeks sosial dan skala EGIDS. Selanjutnya yang terakhir adalah

(14)

1.6 Keadaan Terkini Kabupaten Simeulue.

Deskripsi mengenai Kabupaten Simeulue akan dipaparkan dalam

sub-bab ini untuk lebih bisa memberikan informasi holistic faktor-faktor

demografi, ekonomi, dan social di pulau Simeulue.

1.6.1 Geografis Kabupaten Simeulue

Kabupaten Simeulue ini berupa sebuah pulau besar yang juga

bernama Simeulue, yang letaknya kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat

daratan Aceh, dan beribukota Sinabang dan beberapa pulau kecil di

sekitarnya. Dahulu pulau Simeulue termasuk wilayah Aceh Barat, jadi tidak

mengherankan jika di wilayah tersebut juga dituturkan bahasa Aceh dan

Bahasa Jamee yang dibawa pendatang dari Aceh daratan, yaitu kabupaten

Aceh Barat. Pada tahun 1999, wilayah ini memisahkan diri dari Aceh Barat

dan berdiri sendiri dengan nama kabupaten Simeulue. Gambar 1.5 adalah

gambar peta lokasi pulau Simeulue di propinsi Aceh. Pulau Simeulue yang

berwarna merah (gelap), dan kepulauan kecil di sebelah timurnya merupakan

kepulauan yang termasuk wilayah kabupaten Singkil yang salah satu

diantaranya bernama pulau Banyak, yang juga mempunyai masyarakat

berbahasa Devayan dengan variasi dialek yang berbeda. Berikut adalah lokasi

(15)

Gambar 1.5 : Lokasi kabupaten Simeulue di Propinsi Aceh

Kabupaten Simeulue merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari

147 pulau besar dan kecil. Luas keseluruhan pulau 1.838,09 km2 atau 183.809

Ha. Pulau terbesar adalah pulau Simeulue. Selain pulau Simeulue terdapat

pulau-pulau lainnya diantaranya yaitu: pulau Siumat, pulau Panjang, pulau

Batu, pulau Teupah, pulau Mincau, pulau Simeulue Cut, pulau Pinang, pulau

Dara, pulau Langeni, pulau Linggan, pulau Leukon, pulauSilaut Besar, pulau

Silaut Kecil (pulau terluar), pulauTepi, pulau Ina, pulau Alafulu, pulau Penyu,

pulau Tinggi, pulau Kecil, pulau Khalak-khalak, pulauAsu, pulau Babi, pulau

Lasia, dan pulau-pulau kecil lainnya yang tidak berpenghuni. Gambar 1.6

adalah gambar pulau Simeulue yang terletak pada kordinat 2015’ - 2055’

(16)

Gambar 1.6 Pulau Simeulue

Dalam bidang Pemerintahan, kabupaten Simeulue terbagi ke dalam 10

kecamatan, berikut adalah table 1.1 mendeskripsikan nama

kecamatan-kecamatan di wilayah kabupaten Simeulue beserta ibukota dan jarak ke

ibukota kabupaten. Sedangkan Tabel 1.2 memberikan informasi tentang

banyaknya desa di tiap kecamatan. Serta table 1.3 menggambarkan Desa

(17)

Tabel 1.1

Nama Ibukota Kecamatan, Jarak Ibukota Kecamatan dengan Ibukota Kabupaten pada masing masing kecamatan Tahun 2014

Kecamatan Ibukota Jarak Ibukota Kecamatan

Ke Ibukota Kabupaten (Km)

(1) (2) (3)

Teupah Selatan Labuhan Bajau 46,00

Simeulue Timur Sinabang 0,00

Teupah Barat Salur 24,00

Teupah Tengah Lasikin 11,00

Simeulue Tengah Kampung Ai 64,00

Teluk Dalam Selare-e 57,00

Simeulue Cut Kuta Padang 68,00

dari pusat ibukota kabupaten, dikarenakan ibukota kabupaten berada di ujung

timur dan ketiga kecanmatan tersebut berada di ujung barat pulau Simeulue. Dan

pada table 1.2 adalah informasi tentang jumlah desa di kabupaten Simeulue.

Nampak bahwa kecamatan Teupah Selatan mempunyai desa terbanyak dengan 19

desa, serta kecamatan Simeulue Cut dan Alafan denagn jumlah desa terendah

yaitu 8 desa.

5

(18)

Tabel 1.2

Sumber : Badan Pemberdayaan Masyarakat Kab. Simeulue

Pada table 1.3 kita dapat melihat data penduduk per kecamatan. Penduduk

terbesar adalah Simeulu Timur dan diikuti Simeulue Barat. Sementara kecamatan

Teupah Selatan dengan jumlah desa terbanyak, jumlah penduduk kurang lebih

hanya sekitar 10 persen dari total pendduduk kabupaten. Jumlah penduduk paling

(19)

Tabel 1.3

Jumlah Desa, Rumah Tangga Dan Penduduk Menurut Kecamatan Di Kabupaten Simeulue

Sumber : BPS Kabupaten Simeulue

Selanjutnya jika komposisi penduduk digambarkan pada grafik pie akan

menggambarkan keadaan jumlah penduduk dengan lebih jelas, seperti terlihat

(20)

Diagram 1.2

Penduduk Simeulue Menurut Wilayah

Diagram di atas menunjukkan bahwa penduduk di kecamatan Simeulue Timur

menunjukkan prosentase yang paling besar kemudian disusul dengan kecamatan

Simeulue Barat, dan selanjutnya Teupah Selatan sebagai 3 besar dengan jumlah

penduduk terbanyak. Pada urutan selanjutnya adalah kecamatan Salang, Teupah

Barat, Simeulue Tengah, Teupah Tengah, Teluk Dalam, dan yang terkecil jumlah

penduduknya adalah kecamatan Simeulue Cut.

Dan pada ada gambar Diagram 1.3 dibawah ini dipaparkan dengan

lebih jelas piramida kependudukan di kabupaten Simeulue dengan penjelasan

(21)

Diagram 1.3

Penduduk Simeulue Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Keseluruhan jumlah penduduk dalam 5 tahun terakhir, dari sensus tahun 2012,

adalah sebagai berikut:

Tabel 1.4

Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Simeulue Tahun 2010-2014

(22)

Mata pencaharian sebagian besar penduduk Simeulue adalah bertani,

keadaan ini dijumpai di hampir semua kecamatan, kecuali kecamatan Simeulue

Timur yang di dominasi dengan kegiatan berniaga/wiraswasta. Pada kecamatan

tersebut terletak kota Sinabang sebagai ibulota kecamatan dan ditemukan banyak

pendatang yang berniaga pada kota ini. Berikut tabel 1.5 merincikan dengan jelas

jenis mata pencaharian penduduk Simeulue.

Tabel 1.5

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan dan Kecamatan dalam Kabupaten Simeulue Tahun 2014

7. Belum/ Tidak Bekerja, Pelajar/ Mahasiswa, Lapangan Usaha lainnya

(23)

Mayoritas penduduk Simeulue adalah beragama Islam, namun pada hanpir

semua kecamatan ada juga penduduk yang beragama lain, kecuali Simeulue Cut.

Berikut tabel 1.6 mendeskripsikan komposisi penduduk berdasar agamanya:

Tabel 1.6

Banyaknya Penduduk Menurut Agama dan Kecamatan di Kabupaten Simeulue Akhir Tahun 2014

Kecamatan/

Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Simeulue

Kabupaten Simeulue tidak hanya terdiri 1 pulau saja, namun juga terdiri

dari berbagai pulau kecil yang masuk ke dalam wilayah kabupaten ini. Sebagian

besar pulau-pulau kecil tersebut tidak berpenghuni kecuali pulau Teupah dan

pulau Siumat. Pulau-pulau tersebut banyak dijadikan sebagai tempat perkebunan

(24)

1.7 Sejarah, Budaya dan Seni Simeulue

Nama pulau Simeulue, berdasarkan sejarah lisan yang diperoleh dari

beberapa nara sumber dan responde, bearasal dari nama seorang putri yang

berasal dari pulau Simeulue yang dibawa ke Aceh dan di beri nama si Melur.

Kemudain Sultan Aceh menikahkan Putri Melur dengan Tgk.Halilullah, seorang

ulama dari Minang yang sedang medalami agama Islam di Aceh sebelum

melanjutkan pergi ibadah haji ke tanah Arab. Namun setelah menikah, ulama

tersebut ditugaskan oleh Sultan untuk menyebarkan agama Islam ke pulau

Simeulue, yang waktu itu belum bernama. Sewaktu jaman Belanda ada yang

meyebutnya pulau Hook (Ujung) dan masyarakat menyebut U (kelapa). Maka

ketika ulama dan istrinya tiba di pulau, mereka memberi nama pulau Simeulue,

diambil dari nama Si Melur. Dari sinilah bermula sejarah penduduk penghuni

pulau Simeulue hingga sekarang. Berikut adalah sejarah pemerintahan pulau

Simeulue:

1.7.1 Simeulue Sebelum Masuk Agama Islam.

Sebelum agama Islam masuk kepulau Simeulue, penduduk yang mendiami

pulau ini hidup dalam bentuk persekutuan-persekutuan yang dipimpin oleh Kepala

Suku. Daerah yang didiami oleh penduduk disebut " BANO" yaitu Bano Teupah,

Bano Simulul, Bano Alang, Bano Sigulai dan Bano Leurkon. Masing-masing

Kepala Suku mempunyai otonomi sendiri dan tidak mempunyai hubungan dalam

(25)

1.7.2 Simeulue Sesudah Masuk Agama Islam

Setelah Islam rnasuk ke Pulau Simeulue pemerintah yang bersifat

kesukuan berubah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Tuepah,

Kerajaan Simulul, Kerajaan Sigulai, Kerajaan Alang, dan Kerajaan Leukon yang

masing-masing dipimpin oleh seorang raja yang disebut. "BANGULU", dan

tunduk dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh di Kuta Raja. Pada masa ini

musyawarah sudah mulai dilaksanakan, dimana raja-raja bersama kaum adat,

kaum agama, dan orang-orang tua kampung. Namun pemerintahan ini lenyap

setelah masuk Kolonial Belanda ditanah Aceh.

1.7.3 Masa Kolonial Belanda

Perang Aceh melawan Pemerintah Kolonial Belanda berlangsung antara

tahun 1893-1904. Pada saat itu sebagian provinsi Aceh dikuasai pemerintah

Belanda, dan Kerajaan Aceh/Kesultanan Aceh diganti dengan nama Belanda

yaitu "Afdeeling Witskust Van Aceh" yang dipimpin seorang Guverneur. Pada

tahun 1901 Belanda memasuki pulau Simeulue dan membentuk Pemerintahan

yang disebut "Onder Afdeeling Simeulue" yang dipimpin oleh seorang

“Controleur”. Onder Afdeeling Simeulue dibagi menjadi 5 lanschap, yaitu:

1. Landschap Tapah ibu negerinya Sinabang.

2. Landschap Simeulul ibu negerinya Kampung Aie.

3. Landschap Salang ibu negerinya Nasreuhe.

4. Landschap Sigulai ibu negerinya Lamamek.

(26)

1.7.4 Masa Penjajahan Jepang

Kekalahan Belanda dalam Perang Asia Timur Raya secara resmi tanggal 8

Maret 1942 menyerah tanpa syarat kepada Jepang, maka Pulau Simeulue sebagai

salah satu wilayah nusantara yang juga dikuasai Belanda juga harus ditinggalkan.

Melalui negeri Tapak Tuan balatentara Jepang menyeberang ke Pulau Simeulue

dipimpin Letnan Hego. Status pemerintahan pada masa Jepang tidak mengalami

perubahan yang signifikan dengan pemerintahan masa kolonial Belanda, hanya

terjadi perubahan pada narna wilayah pemerintahan diganti dengan bahasa Jepang

yaitu "Onder Afdeeling Simeulue," diganti menjadi " Simeulue Gu", "Landschap"

diganti " Son" adapun masing-masing Son.

1.7.5 Masa Kemerdekaan

Berita Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 baru ketahui pada

tanggal 25 September 1945 (± 39 hari) lewat sebuah teks proklamasi dikirm oleh

Letnan Nasir dari Tapak Tuan melalui sebuah perahu bernama "LENGGANG

MANGAT— Teks proklamasi tersebut dibacakan oteh R. Sumarto dam Abd.

Wahab bertempat di Busi Hai Koyo (Kantin Pernerintah Jepang) di Suka Damai,

Sinabang.

Status Pemerintahan Simeulue dari Simeulue Gun menjadi Kewedanaan

Simeulue dengan Ibu Kotanya Sinabang, dipimpin oteh Wedana T. Raja Mahmud.

Pembagian dari 5 (lima) Son menjadi 3 (tiga) Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Simeulue Timur Ibu Kotanya Sinabang.

(27)

3. Kecamatan Simeulue Barat dengan Ibu Kotanya Lamamek,

Selanjutnya pada tahun 1966 dimekarkan lagi 2 (dua) Kecamatan sesuai dengan

SK Gubernur Aceh No. 175/1966 tanggal 2 September 1966 yaitu:

1. Kecamatan Teupah Selatan dengan Ibu Kotanya Labuhan Bajau.

2. Kecamatan Salang dengan Ibu Kotanya Nasreuhe.

Akhirnya, pada tanggal 27 September 1996 Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Bapak Yogi S. Mernet atas nama Presiden Republik Indonesia

Bapak Suharto meresrnikan Kabupaten Simeulue sekaligus melantik Bupati

Perdana Kabupaten Simeulue Drs. Muhammad Amin.

1.7.6 Budaya

Sosial budaya masyarakat Simeulue menganut system Patrinial, artinya

keturunan dari garis keturunan ayah, jika ibu meninggal maka yang bertanggung

jawab terhadap anak adalah ayah, tetapi jika ayah meninggal, maka yang

bertanggung jawab adalah wali pihak ayah, yaitu saudara kandung laki-laki yang

disebut Amarehet. Namun saudara laki-laki pihak ibu disebut Laulu juga

mempunyai peran tersendiri terhadap anak, terutama pada saatnya sianak akan

berumah tangga.

Dalam kehidupan kemasyarakatan baik perkawinan, pertanian dan

kehidupan sosial lainnya peran adat sangat menentukan antara lain :

1. Peminangan.

2. Pernikahan

3. Peresmian Perkawinan

4. Sarah Papar

5. Sunat Rasul

(28)

7. Turun Sawah

8. Kenduri Blang

9. Mendoa Padi

10. Kenduri Laot.

1.7.7 Kesenian

Kesenian di Kabupaten Simeulue yan sangat mendasar yaitu Nandong dan

Rafai Debus. Kedua kesenian ini dimiliki seluruh wilayah Kabupaten dan hampr

rata-rata setiap para pemuda berupaya mempelajarinya. Penampilan Nandong dan

Rafai Debus harnpr semua perhelatan / Kenduri / Pesta bahkan menyambut tarnu

tetap ditampilkan. Kesenian Nandong dengan pantunnya yang sangat unik

menggambarkan uraian perantauan, kasih, untung, nasehat dan sebagainya.

Pantun Nandong pada mulanya digubah dalam bahasa jamu, misalnya:

Ala Pandam palito kape Ambikan minyak panyalonyo Ala jauh di lauik lape

Buikan surek panjapuiknyo

Selain itu juga berkembang pantun bahasa Simeulue dan Sigulai, misalnya:

Teen bilah — bilah mawi Lametik asal mulone Teen nitarein mawi

Man sekesih asal mulonyo

Bentuk kesenian lain adalah Debus yang membutuhkan matera-mantera

atau doa-doa. Selain Rafai sebagai alat bunyi-bunyiannya, Debus juga

menggunakan senjata tajam yaitu: Rencong, pisau, parang, rantai, bambo bahkan

mesin chainsaw yang ditikamkan atau dipukulkan ke tubuh/badan. Kesenian ini

rnerupakan kebanggaan masyarakat Simeulue dalam setiap perhelatan seperti

(29)

Selain itu ada kesenian lain sesuai dengan penduduk Simeulue yang

berasal dari berbagai daerah yang sekaligus kesenian turut terbawa dan

berkembang di Simeulue yaitu:

1. Tari Andalas

2. Tari Kuala Deli/Tanjung Katung

3. Gelombang

Gambar

grafik mengindikasikan jumlah bahasa-bahasa yang diestimasikan berada pada
Gambar 1.4: Bahasa Simeulue menurut Ethnologue4
Gambar 1.5 : Lokasi kabupaten Simeulue di Propinsi Aceh
Gambar 1.6 Pulau Simeulue
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kehidupan masyarakat Simeuleu dengan penggunaan bahasa Sigulai pada dasarnya adalah pertemuan antara sesama penutur bahasa Sigulai dengan corak ragam dialek (Alafan, Teluk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (i) penutur bahasa Jawa di Pedukuhan Kemiri kurang menaati sistem tingkat tutur berbahasa ketika berkomunikasi, (ii) terjadi

Bentuk ujaran tersebut mengandung kesinambungan penutur menggunakan bahasa slang yang relevan serta peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan.. dengan topik yang

Hal ini terjadi akibat adanya kontak bahasa dalam masyarakat tutur yang multilingual, yakni pemakaian satu bahasa dalam bahasa sasaran pada seorang penutur

Pergeseran bahasa yang menyangkut penggunaan bahasa oleh seorang penutur akibat pepindahan dari masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain juga terjadi pada masyarakat di

Kaitannya dengan penggunaan bahasa kasual guyub tutur di wilayah Perumahan BTN Kefamenanu, terdapat sejumlah kata yang dipadankan dalam bahasa Indonesia, namun terjadi

Menurut Chaer dan Agustin (2004: 50), tindak tutur merupakan gejala individu yang bersifat psikologis dan berlangsungnya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur

Keistimewaan penelitian ini mendeskripsikan hasil materi dalam bentuk lisan Ragam bahasa segi penutur Data 1 Konteks : Percakapan terjadi antara penutur, dan mitra tutur yang berada