• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam Dialek Bahasa Sigulai Masyarakat Simeulue” (Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ragam Dialek Bahasa Sigulai Masyarakat Simeulue” (Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau Di Kota Medan)"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI MASYARAKAT SIMEULUE ( Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

Oleh:

Sarli Mardi 090905003

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI

Nama : Sarli Mardi Nim : 090905003

Departemen :Antropologi Sosial

Judul :“ RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI MASYARAKAT SIMEULUE” (Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan)

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

Dr. Asmyta Surbakti , M.Si Dr. Fikarwin Zuska

NIP. NIP.19621220 198903 1 005

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh : Nama : Sarli Mardi

NIM : 090905003

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : “RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI MASYARAKAT SIMEULUE” (Studi Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan)

Pada ujian komprehensif yang dilaksanakan :

Hari :

Tanggal : Pukul :

Tempat : Ruang Sidang Meja Hijau FISIP USU Tim Penguji

1. Ketua Penguji ( ) NIP.

2. Anggota I ( )

NIP.

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PERNYATAAN ORIGINALITAS

“RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI MASYARAKAT SIMEULUE” (Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menaggalkan gelar kesarjanaan saya..

Medan, Januari 2015 Penulis

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Ragam Dialek Bahasa Sigulai Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan, disusun oleh Sarli Mardi, NIM 090905003 , berjumlah .100 halaman dengan 1 gambar dan 37 tabel.

Penelitian ini bertujuan menggambarkan penggunaan ragam dialek Bahasa Sigulai pada masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan. Bahasa Sigulai sebagai bahasa yang berakar pada kehidupan masyarakat Simeulue memiliki beberapa dialek yang didasarkan pada wilayah tempat tinggal di Pulau Simeulue, adapun wilayah ragam dialek Sigulai adalah : Kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam dan Kecamatan Alafan. Keragaman dialek bahasa Sigulai oleh penutur masyarakat Simeulue di Kota Medan adalah fokus utama dalam penelitian ini.

Proses penelitian yang dilakukan menggunakan metode etnografi yang bertujuan menggambarkan secara jelas dan menyeluruh mengenai ragam dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di Kota Medan, dengan menggunakan pendekatan observasi partisipasi dan wawancara terhadap masyarakat Simeulue yang berbahasa Sigulai dengan ragam dialeknya. Dalam proses pengumpulan data lapangan, peneliti menemui beberapa informan yang mengetahui mengenai ragam dialek bahasa Sigulai dan bertempat tinggal di Simeulue dan Kota Medan.

Penelitian ini mendapatkan keterangan bahwa penggunaan ragam dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan merupakan bagian dari ekspresi, strategi dan adaptasi identitas di tengah kehidupan masyarakat Kota Medan yang terdiri dari beragam latar belakang etnis, bahasa dan tingkah laku, selain itu penguasaan ragam dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di Kota Medan merupakan bagian dari proses keberlangsungan bahasa Sigulai oleh penutur masyarakat Simeulue. Kesimpulan dari penelitian ini sampai pada bahasa merupakan bagian dari identitas, strategi dan adaptasi masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan. Keragaman dialek bahasa Sigulai adalah bagian dari kekayaan kebudayaan di Indonesia secara linguistik dan simbol perekat di antara masyarakat Simeulue di perantauan dan juga sebagai pengingat akan asal usul kebudayaan masyarakat Simeulue.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat karunia dan kasih sayang-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai manusia biasa tentunya tidak terlepas dari banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga penulisan skripsi ini masih belum bisa dikatakan sempurna, baik dalam penuturan kata ilmiah yang lazim maupun dalam penyajian data. Penulisan skripsi ini adalah sebagai tugas akhir dari seorang mahasiswa Departemen Antropologi dalam mencapai gelar sarjana. Penelitian ini berjudul RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI MASYARAKAT SIMEULUE (Studi Kasus Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan).

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis meyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tempat penulis menempah diri menuju pribadi yang semakin mapan. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial. Kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti M.Si., selaku Dosen Pembimbing dan Ketua Penguji yang bersedia memberi waktu dan pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan dan proses bimbingan. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen wali yang bersedia memberikan nasihat kepada penulis sepanjang masa perkuliahan. Kepada Ibu Nuriza Dora, M. Hum. dan Drs. Agustrisno, MSP., selaku penguji yang telah memberikan masukan yang positif terhadap skripsi ini.

(7)

Penghargaan sebesar-besarnya penulis berikan kepada orang tua (Aswarli dan Cut Waini) terimakasih banyak atas sayang, ketulusan, dukungan dan materi sejak lahir hingga saat ini. Maaf anakmu belum bisa membalas semua pengorbanan dan kerja keras kalian. Kedua abang dan kakak penulis (Liswandi,Yesli Kardi, Muga Wani serta adik penulis Ciprawandi ) terimakasih untuk tawa dan setiap keikhlasan, mari sama-sama kita banggakan orang tua kita.

Untuk teman teman seperjalanan, teman teman Antro 09, terima kasih telah menjadi tempat penulis berbagi suka duka dalam penelitian, Creyssant, Irfan, Adit, Abdul, Kiko,Ima, Frans, Damen, Kindi, Samuel, Asrul, dan teman seangkatan lainnya terimakasih untuk waktunya. Kemudian untuk anak-anak KODIM (Kelompok Diskusi Mahasiswa Antropologi), Kak Eta Antro 08, Kamal antro 10, Desi Antro 10, Zulham Antro 10 dan teman teman KODIM lainnya terimakasih. Buat komunitas Laboratorium Antropologi, Bang Edi Suhartono, Bang Saruhum Rambe, dan semua tamu yang pernah datang untuk mengisi materi pada diskusi di laboratorium Antropologi, terima kasih.

Terima kasih yang spesial penulis berikan kepada saudari ANITA Seorang yang mampu membawa perubahan besar dalam diri penulis tentang memahami dan memotivasi diri penulis mengerjakan skripsi ini. Bahkan, dia tidak segan-segan memarahi penulis bila ada kelalaian dalam penyelesaian skripsi ini serta membantu penulis mengetik dan memberikan kasih sayangnya dan dukungan dalam mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

(8)

Bang Ijal, Bang Tino, Bang Tata, Kak Zizah, Kak Anis, Bang Agif, Bang Ozi, Bang Fauzi, Kak Marta sekali lagi terimakasih.

Dalam penulisan skripsi ini penulis sadar tidak luput dari kekurangan, namun segala hal masukan dan saran-saran dari segenap pihak yang dapat membantu akan penulis perhatikan. Demikian yang bisa penulis sampaikan dan semoga skripsi ini kelak bisa berguna untuk berbagai pihak, terimakasih

Medan, Januari 2015 Penulis

(9)

Riwayat Hidup

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penulisan dan penyusunan penelitian ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial pada bidang antropologi dari departemen antropologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Ragam Dialek Bahasa Sigulai Masyarakat Simeulue.

Dalam skripsi ini dilakukan pembahasan secara holistik mengenai ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue perantau di Kota Medan. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V. Adapun penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah :

Penelitian yang dilakukan ini merupakan deskripsi mengenai ragam dialek bahasa Sigulai pada masyarakat Simeulue perantauan di Kota Medan, adapun ragam dialek bahasa Sigulai terbagi atas beberapa bagian wilayah dialek, yaitu dialek wilayah Kecamatan Simeuleue Barat, dialek wilayah Kecamatan Salang, dialek wilayah Kecamatan Teluk Dalam dan dialek wilayah Kecamatan Alafan.

Uraian secara khusus mengenai ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue perantauan di Kota Medan meliputi sejarah dan perkembangan bahasa Sigulai, bentuk dialek bahasa Sigulai dan persinggungan antar dialek bahasa Sigulai dalam kehidupan sehari-hari secara internal di kampung halaman maupun secara eksternal di kehidupan perantauan Kota Medan.

(11)

Sigulai, peranan bahasa Sigulai di perantauan, representasi ragam dialek dan bahasa identitas.Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dalam menulis kepustakaan dan materi penulisan. Namun, berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan ketabahan, kesabaran dan kekuatan sehingga kesulitan tersebut dapat dihadapi.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Januari 2015 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kondisi Umum Kota Medan ... 26

BAB III BENTUK DAN RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI 3.1 Deskripsi Sejarah Bahasa Sigulai ... 38

(13)

3.2.1 Dialek di Kecamatan Simeulue Barat ... 41

3.2.2 Dialek di Kecamatan Salang ... 49

3.2.3 Dialek di Kecamatan Teluk Dalam ... 55

3.2.4 Dialek di Kecamatan Alafan ... 64

3.3 Persinggungan Ragam Dialek Bahasa Sigulai ... 70

BAB IV FUNGSI DIALEK BAHASA SIGULAI DI KOTA MEDAN 4.1 Makna Penggunaan Bahasa Sigulai ... 73

4.2 Fungsi dan Peranan Dialek Bahasa Sigulai Bagi Masyarakat Simeulue di Kota Medan ... 75

4.3 Representasi Ragam Dialek Bahasa Sigulai Dalam Kehidupan Masyarakat Simeulue di Kota Medan ... 77

4.4 Bahasa dan Identitas; Bahasa Sigulai Dibandingkan dengan Bahasa Batak Sebagai Bahasa Pergaulan di Kota Medan ... 79

4.5 Kecanggungan Dalam Memulai Interaksi ... 83

4.6 Panggung-panggung Penutur Bahasa ... 85

4.7 Enkulturasi Bahasa ... 86

4.7,1 Identitas dan Ekspresi diri ... 88

4.7.2 Adaptasi Bahasa ... 88

4.7.3 Integrasi Bahasa ... 92

4.7.4 Penguatan Tradisi ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 95

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(14)

No Tabel Judul Tabel Halaman

3.1 Bentuk Kata Ganti Dialek Simeulue Barat ... 42

3.2 Bentuk Kalimat Bertanya Dialek Simeulue Barat ... 43

3.3 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orang Tua ... 43

3.4 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu ... 44

3.5 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah ... 45

3.6 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Individu Setara dengan Orangtua ... 45

3.7 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Teman Sebaya ... 47

3.8 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Seseorang yang Lebih Muda ... 48

3.9 Bentuk Bilangan ... 48

3.10 Bentuk Kata Ganti Dialek Salang ... 50

3.11 Bentuk Kalimat Bertanya Dialek Salang ... 50

3.12 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orangtua ... 51

3.13 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu ... 51

3.14 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah ... 52

3.15 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Individu Setara dengan Orang tua.. 52

3.16 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Teman Sebaya ... 53

3.17 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Seseorang yang Lebih Muda ... 53

3.18 Bentuk Bilangan ... 54

3.19 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orang tua ... 56

3.20 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu ... 56

3.21 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah ... 57

3.22 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Individu Setara dengan Orang tua... 58

3.23 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Teman Sebaya ... 59

3.24 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Seseorang yang Lebih Muda ... 60

3.25 Bentuk Bilangan ... 61

3.26 Bentuk Kata Ganti Dialek Teluk Dalam ... 62

3.27 Bentuk Kalimat Bertanya Dialek Teluk Dalam ... 63

3.28 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orang tua... 63

3.29 Bentuk Kata Ganti Dialek Kecamatan Alafan ... 64

3.30 Bentuk Kalimat Bertanya Dialek Kecamatan Alafan ... 64

3.31 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orang tua ... 65

3.32 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu ... 65

3.33 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah ... 66

3.34 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Individu Setara dengan Orang tua.. 66

3.35 Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Teman Sebaya ... 67

(15)
(16)

No Tabel Judul Tabel Halaman 2.1 Peta Persebaran Etnik Simeulue di Kota Medan ... 34

(17)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Ragam Dialek Bahasa Sigulai Pada Masyarakat Simeulue Perantau di Kota Medan, disusun oleh Sarli Mardi, NIM 090905003 , berjumlah .100 halaman dengan 1 gambar dan 37 tabel.

Penelitian ini bertujuan menggambarkan penggunaan ragam dialek Bahasa Sigulai pada masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan. Bahasa Sigulai sebagai bahasa yang berakar pada kehidupan masyarakat Simeulue memiliki beberapa dialek yang didasarkan pada wilayah tempat tinggal di Pulau Simeulue, adapun wilayah ragam dialek Sigulai adalah : Kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam dan Kecamatan Alafan. Keragaman dialek bahasa Sigulai oleh penutur masyarakat Simeulue di Kota Medan adalah fokus utama dalam penelitian ini.

Proses penelitian yang dilakukan menggunakan metode etnografi yang bertujuan menggambarkan secara jelas dan menyeluruh mengenai ragam dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di Kota Medan, dengan menggunakan pendekatan observasi partisipasi dan wawancara terhadap masyarakat Simeulue yang berbahasa Sigulai dengan ragam dialeknya. Dalam proses pengumpulan data lapangan, peneliti menemui beberapa informan yang mengetahui mengenai ragam dialek bahasa Sigulai dan bertempat tinggal di Simeulue dan Kota Medan.

Penelitian ini mendapatkan keterangan bahwa penggunaan ragam dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan merupakan bagian dari ekspresi, strategi dan adaptasi identitas di tengah kehidupan masyarakat Kota Medan yang terdiri dari beragam latar belakang etnis, bahasa dan tingkah laku, selain itu penguasaan ragam dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di Kota Medan merupakan bagian dari proses keberlangsungan bahasa Sigulai oleh penutur masyarakat Simeulue. Kesimpulan dari penelitian ini sampai pada bahasa merupakan bagian dari identitas, strategi dan adaptasi masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan. Keragaman dialek bahasa Sigulai adalah bagian dari kekayaan kebudayaan di Indonesia secara linguistik dan simbol perekat di antara masyarakat Simeulue di perantauan dan juga sebagai pengingat akan asal usul kebudayaan masyarakat Simeulue.

(18)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk budaya di mana ruang kebudayaan merupakan rumah untuk mengembangkan sikap kemanusiaannya. Kebudayaan merajut dan memberi struktur dunia, memberinya sistem nilai yang berharga untuk hidup dan memberi apa yang bermakna bagi pilihan-pilihan hidup dan hidup itu sendiri.

Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa menjadi kunci penentu proses perubahan. Namun demikian, hal itu terkadang kurang begitu dipahami oleh penuturnya sehingga tidak terasa sebuah peradaban, termasuk bahasa di dalamnya, ternyata mengalami pergeseran.

Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman etnik paling banyak di dunia tentu menyimpan berbagai macam keunikan dan keragaman dari aspek kulturalnya dan termasuk bahasanya. Bahasa merupakan suatu alat penyampai segala macam bentuk pengetahuan. Pentingnya bahasa bahkan melahirkan berbagai macam aliran kajian mengenai bahasa termasuk antropologi yang di dalamnya terdapat antropologi linguistik.

(19)

lain. Hal ini juga disebabkan terjadinya migrasi antara masyarakat suatu budaya ke daerah lain.

Menurut Romaine (Arifin Dkk, 1985:72) terdapat faktor-faktor berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa. Pada kenyataannya, penguasaan bahasa memang sedikit demi sedikit mengalami pergeseran dan hal ini disebabkan oleh beberapa hal: seperti kawin campur, mobilisasi penduduk, menguatnya kesadaran akan penggunaan bahasa Indonesia, dan kurangnya pembinaan bahasa.

(20)

yang manfaatnya juga untuk kita semua. Oleh karena itu, penelitian ragam dialek bahasa Sigulai di Simeulue perlu dilakukan.

Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa nusantara, semua aspek kebahasaan yang tidak dimilikinya perlu dilengkapi dengan aspek kebahasaan yang mungkin dimiliki oleh bahasa-bahasa daerah, termasuk kesusastraannya. Penelitian ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue ini diharapkan dapat memperkaya bahasa Indonesia termasuk pengajarannya. Penemuan baru tentang data kebahasaan banyak diperoleh melalui penelitian bahasa-bahasa nusantara. Penelitian ragam dialek bahasa Sigulai di Simeulue ini dapat dimanfaatkan bagi pengembangan dalam teori antropologi linguistik dalam ragam dialek yang ada di masyarakat. Sebab jika kita melihat pada masa yang sekarang ini banyak orang-orang yang sudah tidak bisa menggunakan bahasa daerahnya, bahkan terkadang merasa malu karena selalu diidentikkan dengan masyarakat yang tradisional. Paparan dari bahasa asing juga bahkan menjadi cambuk tersendiri untuk kita bersama agar sadar bahwa bahasa daerah itu penting, apalagi dalam berbagai penelitian banyak menemukan bahwa kearifan tradisional suatu masyarakat terkadang tersimpan dalam setiap warisan lisannya baik berupa artefak gulungan-gulungan, tulisan atau naskah lama yang kesemuanya itu penting untuk merangkai jejak masa lalu.

(21)

Ketertarikan ini bermula ketika peneliti hidup dan tinggal di komunitas masyarakat Simeulue. Sebagian besar mereka merupakan masyarakat Simeulue yang menggunakan bahasa Sigulai.

Adanya perbedaan dalam kata-kata dan makna membuat aktifitas berbicara antar masyarakat Simeulue menjadi sangat menarik untuk dikaji. Bahwa terkadang terjadi multitafsir ketika pembicaraan berlangsung antara beberapa orang Simelue juga menjadi poin penting dalam merangkai tulisan ini.

Ketertarikan juga bermula dari empat kecamatan yang menjadi letak ragam bahasa Sigulai yang berbeda. Keempat kecamatan itu adalah Simeulue Barat, Salang, Alafan, dan Teluk Dalam. Adanya perbedaan asal kecamatan dari Kabupaten Simeulue bahkan menjadi suatu hal khusus juga yang terkadang mempengaruhi masyarakat Simelue yang ada di Kota Medan dalam berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini semakin menarik ketika melihat ragam bahasa ini di Kota Medan, di mana banyak perantau dari keempat lokasi ragam bahasa tersebut hidup dan bekerja di Kota Medan.

Penelitian ini memiliki fokus untuk membahas ragam dialek bahasa Sigulai Masyarakat Simeulue. Ragam tersebut misalnya, masyarakat Simeulue Barat menggunakan kata untuk menyapa dengan bahasa Sigulai “ageu mei, ageu fului, ageu ma’a“ yang artinya, “mau kemana, darimana, kamu di mana“ sedangkan di daerah Salang menggunakan bahasa Sigulai menghilangkan huruf “U“ dari cara pengucapan masyarakat Simeulue barat. Misalnya, “age mei, age fului, ageo’e ma’a“ yang artinya,

(22)

terdapat dari kata-kata yang diucapkannya. Hal ini dirasakan masing-masing oleh masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan sebagai suatu ciri khas etnik mereka.

Penelitian ini mengkaji tentang ragam dialek bahasa Sigulai masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan. Pemilihan tema ini berdasarkan ketertarikan peneliti dengan berbagai aspek-aspek budaya bahasa Sigulai. Seperti cara berkomunikasi antara sesama pemakai bahasa Sigulai. Ketertarikan ini bermula ketika peneliti hidup dan mersakan langsung bagaimana bahasa Sigulai itu digunakan masyarakat Simeulue.

Perbedaan pengucapan dalam bahasa Sigulai menunjukkan ragam dalam bahasa tersebut. Ragam ini mengindikasikan adanya sebuah perbedaan antara satu dialek dengan dialek yang lain, meskipun bahasa yang digunakan masih satu yakni bahasa Sigulai. Ragam ini terlihat dari daerah asal bahasa Sigulai tersebut yang dipakai oleh orang Sigulai yang tersebar di empat kecamatan, yakni Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Alafan, dan Kecamatan Simeulue Barat.

Penelitian ini semakin menarik ketika membahasnya dalam ranah kultural yang berbeda. Hal ini misalnya terlihat ketika bahasa Sigulai dipakai atau diaplikasikan di daerah perantauan seperti Kota Medan. Penelitian ini akan semakin menarik di mana arahnya tidak hanya membahas ragam bahasa yang tercipta dari bahasa Sigulai namun juga adaptasi dan perubahan yang mungkin terjadi dalam proses interaksi orang Simeulue di Kota Medan.

(23)

Menurut Koentjaraningrat (dalam Arifin Dkk, 1985) proses enkulturasi adalah proses belajar dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap adat istiadat, sistem norma, dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang.

Enkulturasi dalam istilah bahasa Indonesia diartikan sebagai “pembudayaan”. Dalam bahasa Inggris istilah enkulturasi disebut “institutionalization”. Enkulturasiatau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

Pada proses enkulturasi ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.

Secara harfiah, enkulturasi sebagaimana didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1996:233) adalah suatu proses pembudayaan. Enkulturasi sebagai suatu bentuk pemikiran mengacu pada proses di mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, walaupun terdapat juga pemikiran mengenai kebudayaan sebagai suatu hal yang diperoleh melalui proses pembelajaran.

(24)

Enkulturasi dalam lingkup penelitian ini merupakan suatu proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap seorang individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang ada dalam kehidupannya. Proses ini berlangsung secara terus menerus dari usia kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat), dalam proses enkulturasi, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan.

Hal ini sejalan dengan pandangan Sapir-Whorf (Siregar dalam Fasya, 2006:54), yang mengatakan bahwa, bahasa dan kebudayaan mengkaji hubungan antara bahasa sebagai unsur budaya dan kebudayaan yang umum realitivitas kebahasaan. Dijelaskan bahwa, tanggapan dan tindakan seseorang banyak bergantung atas struktur kosa kata yang dikuasainya. Semuanya ini adalah alat-alat yang dipergunakan untuk berpikir dan kemudian menanggapi sesuatu sehingga mempengaruhi tindak lakunya.

Mengutip apa yang disampaikan oleh Sutrisno (2014: 136) bahwa makna atau

meaning merupakan arti asli atau awal ketika teks itu dituliskan atau diucapkan oleh pengarangnya. Ketika perbincangan makna lalu dituliskan oleh komunitas bahasa, maka pencarian atau penafsiran makna tempatnya ada di teks tertulis itu dan teks-teks yang sejaman (perhitungan waktu) serta yang se-asal lokasi.

(25)

orang tua mendorong anaknya supaya berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan menghukum mereka bila berperilaku menyimpang.

Setelah anak tumbuh dewasa maka kemudian sang anak akan pergi menuju ruang sosialisasi selanjutnya yakni dengan teman bermain, atau pun sekolah. Dari pandangan Dreben dalam Sunarto (2004: 26) kita dapat melihat bahwa sekolah atau pun lembaga sosial yang sejenis seperti kampus merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru yang diperlukan oleh anggota masyarakatnya, dan aturan baru tersebut sering berbeda bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung di rumah.

Seringkali berbagai norma dipelajari seseorang hanya sebagian-sebagian dengan mendengar dari orang lain dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda pula. Sebetulnya, norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat, tetapi di ajarkan di sekolah-sekolah formal.

Perkembangan itu menambahkan pandangan bahwa, dalam pemikiran ilnu kebudayaan, barangkali yang paling berpengaruh dari para teoritikus tentang consensus gentium, beberapa segi dari kebudayaan mengambil bentuk-bentuk khususnya semata-mata sebagai suatu akibat dari kebetulan-kebetulan historis; segi-segi lainnya disesuaikan oleh kekuatan-kekuatan yang selayaknya dapat dicirikan sebagai universal.

(26)

mengemukakan kenyataan-kenyataan itu. Analisis, merupakan pencocokan unsur-unsur universal yang diandaikan dengan keniscayaan-keniscayaan dasar yang didalilkan.

Berbicara tentang bahasa, telah banyak penelitian yang pernah menyinggung ataupun menuliskan tentang bahasa maupun ragam dialek. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Yully (2008) yang membahas ragam bahasa Langgam Empat di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Sumatera Barat dibakukan dan tidak bersifat tetap.

Yul ly (2008) mengungkapkan representasi Kato Nan Langgam Ampek dapat dibakukan dan tidak bersifat tetap. Selalu saja ada pemaknaan baru yang membuat terjadinya representasi dan munculnya makna-makna yang dikandung dalam Kato Nan Langgam Ampek. Dengan Kato Nan Langgam Ampek, makna-makna yang terkandung di dalam setiap pemakaiannya pada suatu peristiwa interaksi dan komunikasi tidak selalu bersifat tetap. Tentu dari penelitiannya kita dapat mengambil suatu kesimpulan kecil yang dapat kita masukan dalam menganalisis masalah dialek bahasa Sigulai pada masyarakat Simeulue yang akan disajikan.

Kato Nan Langgam Ampek memang merupakan norma yang menuntut keteraturan dalam berbahasa dan berbicara, tetapi tidak bisa dipungkiri juga selalu saja ada perubahan dan pergeseran makna yang disesuaikan dengan perkembangan nilai-nilai yang baru masuk ke dalam masyarakat. Adanya perubahan dan pergeseran makna dari Kato Nan Langgam Ampek pada kehidupan masyarakat Nagari Salayo dapat dijumpai pada berbagai peristiwa dialog. Pada suatu saat bisa saja ditemui pemakaian

(27)

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian Yully adalah terletak pada sisi lokasi dan persebaran dialek. Hal ini dikarenakan adanya perpindahan penduduk atau persebaran penduduk ke daerah lain yang menciptakan perbedaan dalam proses pelafalan bahasa. Ragam dialek juga akan menjadi pembeda yang jelas antara dua judul tersebut, di mana dialek Sigulai berbeda-beda tipenya bahkan jika harus dipisahkan berdasarkan kecamatan dalam satu kabupaten.

Persamaannya dari penelitian ini adalah adanya perubahan-perubahan kata dari masyarakat itu sendiri dan terdapat pergeseran makna dalam berkomunikasi dari masyarakat antar sesama etnis yang menggunakan bahasa Sigulai yang ada di Kecamatan Simeulue Barat, Alafan, Teluk Dalam dan Kecamatan Salang.

Menurut pandangan Sibarani (dalam Fasya, 2006:22) bahasa secara internal memperlihatkan latar belakang etnik suatu masyarakat. Intensitas suara yang tinggi penggunaan /e/ keras, misalnya, menunjukan bahwa penutur bahasa itu adalah orang Batak, penggunaan /t/ yang mengarah pada palatal, bukan dental atau alveolar, menunjukan bahwa penutur bahasa itu adalah orang Aceh.

(28)

Komunikasi dan interaksi sosial yang ada dalam suatu masyarakat hanya dapat sampaikan melalui bahasa. Suatu kelompok atau masyarakat menggunakan bahasa dalam setiap aspek kegiatan hidupnya. Sebagaimana diketahui, budaya berfungsi sebagai suatu sistem yang mengatur segala interaksi antar individu dalam suatu masyarakat, maka bahasa berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu (Sibarani, 2006:58).

Hal ini didukung juga oleh (Hanafiah, 1986:27) yang mengatakan bahwa, komunikasi adalah proses di mana pesan pesan dioperasikan dari sumber kepada penerima. Dengan kata lain komunikasi adalah pemindahan ide-ide dari sumber dengan harapan akan merubah tingkah laku maupun ide penerima. Saluran komunikasi adalah alat dengan pesan pesan dari sumber dapat sampai kepada penerima.

Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang kalau digabungkan menurut aturan-aturan tertentu menimbulkan arti, yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Meskipun manusia pertama-tama bersandar pada bahasa untuk saling berkomunikasi satu sama lain, tetapi bahasa bukanlah satu-satunya sarana komunikasi. Sarana-sarana lain ialah para bahasa (para language), yaitu suatu sistem bunyi yang menyertai bahasa, dan kinesika (kinesich), yaitu sistem gerakan tubuh yang digunakan untuk menyampaikan pesan (message).

(29)

Dalam kehidupan antar kelompok manusia, bahasa lisan ini mengalami diversitas, yaitu adanya beragam jenis bahasa lisan tersebut yang dapat diidentifikasi melalui bunyi, intonasi, sampai kepada makna yang ditujukan melalui bahasa tersebut. Pada kelompok-kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut juga memiliki makna subtansif sebagai sesuatu yang mereka maknai secara kolektif dalam kesatuan pola ide dan gagasan mereka sendiri, atau dapat juga disebut sebagai pemaknaan dari sistem kebudayaan mereka.

Sebagai bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan mereka sendiri, lazimnya bahasa yang dipergunakan di dalam suatu kelompok manusia diatur sedemikian rupa dan memiliki tatanan yang jelas, atau dapat juga disebut sebagai seperangkat aturan-aturan yang menyertai penggunaan bahasa tersebut. Aturan-aturan-aturan dalam bahasa tersebut dapat dilihat sebagai serangkaian pola-pola yang berkesinambungan dan saling berhubungan.

(30)

Budaya adalah pengetahuan, di mana kebudayaan adalah serangkaian pengetahuan yang diperoleh manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan serta mendorong untuk menghasilkan tingkah laku (Spradley, 1980). Budaya sebagai pengetahuan merupakan sistem kognitif yang tersusun di dalam benak setiap orang. Dalam kebudayaan terkandung unsur-unsur yang secara universal dapat dibagi atas tujuh unsur yaitu, bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup, mata pencaharian, religi, dan kesenian.

Bahasa digolongkan sebagai unsur kebudayaan yang ada hakekatnya bahasa mengikuti hakekat dari kebudayaan itu sendiri, sebagaimana bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang universal (Koentjaraningrat, 1997).

Bahasa itu sendiri merupakan sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia (Koentjaraningrat, dkk: 2003).

Bahasa secara umum dapat dibagi atas dua macam, yaitu bahasa lisan (verbal language) dan bahasa tulisan (written language). Bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan, secara implisit istilah ini berarti adanya pendengar. Istilah ini bersifat tautologis karena menurut definisi bahasa adalah bahasa lisan, namun dipakai untuk membedakannya dari bahasa tulisan. Bahasa tulisan merupakan sistem perlambangan yang menggunakan tanda-tanda tulisan, sebagai pengganti bunyi maupun ucapan manusia dengan tujuan untuk dibaca (Koentjaraningrat, dkk: 2003).

(31)

atau mengucapkan bahasa tersebut. Bahasa mempunyai latar (Sapir 1921, dalam Koentjaraningrat 1997), maksudnya masyarakat penutur bahasa tertentu merupakan milik suatu atau beberapa kelompok masyarakat yang dibedakan oleh ciri-ciri fisik dari kelompok masyarakat lain. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki kecendrungan untuk selalu membedakan bahasanya dengan kelompok masyarakat lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan dan mengkhususkan jati dirinya.

Bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisasiannya. Pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, cara berpakaian, dan unsur-unsur kebudayaan lainya hanya bisa disampaikan melalui bahasa (Sibarani, 2004:58). Oleh karena itu, bahasa dapat disebut sebagai persyaratan kebudayaan (Strauss 1972, dalam Sibarani 2004:89).

Tata cara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan (Sibarani, 2004:168). Menurut Sibarani (2004:169), ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya kesantunan dalam berbahasa yaitu, pertama, kesopan-santunan seseorang pada umumnya dinilai dari bahasanya yang santun. Kedua, bahasa yang santun akan memperlancar penyampaian pesan dalam berkomunikasi. Ketiga, bahasa yang kurang santun sering menyakitkan perasaan orang lain sehingga tak jarang menjadi sumber konflik. Keempat, masyarakat Indonesia secara historis dianggap sebagai orang yang sopan santun dan baik budi bahasanya sehingga hal itu penting dipertahankan.

(32)

dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibanya. Intinya, kesantunan itu adalah bagian dari ujaran, bukan ujaran itu sendiri, dan pendapat sipendengarlah yang menentukan ujaran tersebut santun atau tidak.

Brown dan Levinson mempunyai pandangan berbeda tentang kesantunan. Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) dalam Sibarani, 2004:179) berkisar atas nosi muka. Semua orang yang rasional mempunyai (dalam arti kiasan) dan muka itu perlu dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya.

Muka negatif itu mengacu kecitra diri seseorang (yang rasional) yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya dari keharusan mengerjakan sesuatu.

Muka positif sebaliknya, mengacu kepada citra diri seseorang (yang rasional), yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang ia lakukan atau dimiliknya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai.

(33)

Bahasa Sigulai adalah bahasa daerah Kabupaten Simeulue yang berfungsi sebagai bahasa pengantar yang dipakai oleh penuturnya untuk penghubung dalam berinteraksi antar sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Sigulai memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Simeulue karena bahasa ini menjadi jati diri dalam konteks bilingual maupun multilingual yang membedakan antara suku bangsa Simeulue dengan suku bangsa lainnya.

Sibarani (dalam Fasya, 2006:24-25) mengatakan bahwa konsep antropologi yang berkaitan dengan bahasa merupakan kebudayaan non-material sehingga lebih mengarah pada norma dan nilai. Itulah sebabnya secara internal tidak ada bahasa di dunia yang tidak memiliki norma dan nilai. Secara eksternal pun memahami dari bahasa sudah pasti memahami norma dan nilai yang dapat diungkap oleh bahasa itu.

Bahasa Sigulai sebagai bagian dari bahasa Simeulue merupakan satu bentuk dari pemaknaan bahasa Simeulue yang mengandung nilai-nilai tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas hidup masyarakat Simeulue. Bahasa Sigulai ini mengandung nilai-nilai tersirat dari setiap penggunaan ujaran-ujaran tertentu. Nilai-nilai inilah yang selanjutnya menjadi pedoman dan pengatur bagi masyarakat Simeulue dalam bersikap dan bertingkah laku.

(34)

Berdasarkan latar belakang di atas, studi bahasa yang diangkat dalam penelitian ini akan dipermudah dengan perumusan masalah yang bertujuan untuk mendapatkan fokus objek kajian dan sekaligus sebagai pembatas bagi permasalahan yang diangkat agar tidak meluas. Permasalahan yang utama dalam penelitian ini yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ragam dialek masyarakat Simeulue di Kota Medan dalam berkomunikasi?

2. Bagaimana ragam dialek masyarakat Simeulue di Kota Medan berdasarkan dari tuturannya?

3. Bagaimana peranan dan fungsi ragam dialek dalam kehidupan keseharian masyarakat Simeulue perantau yang ada di Kota Medan ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian.

Sebagai penelitian yang berbentuk etnografi, secara sederhana penulisan diharapkan memenuhi tujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan keanekaragaman dalam bahasa Sigulai masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan.

(35)

3. Mendeskripsikan fungsi dan peranan bahasa Sigulai masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan.

1.4.2. Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah, secara akademis penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat bahasa suatu daerah yang memiliki ragam dan dialek yang berbeda di dalamnya. Dan juga untuk sebuah gambaran tambahan budaya bahasa khususnya di dalam ilmu Antropologi linguistik yang berkembang di lingkungan masyarakat.

1.5 Metode Penelitian

(36)

1.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pencarian data-data dan fakta-fakta yang ada di lapangan maka maka peneliti mencoba menggolongkan data penelitian yang ada menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.

1.6.1 Data primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu:

1. Teknik Observasi partisipasi

Observasi partisipasi, yaitu pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian. Sebagai bentuk penelitian yang berkarakteristik etnografi, perekaman secara langsung oleh peneliti dengan masyarakat yang dikaji adalah salah satu aspek terpenting. Fungsi dari observasi partisipasi ini adalah untuk merekam secara langsung segala hal yang terjadi di lapangan, meliputi keadaan, peristiwa, suasana, cita rasa, dan berbagai hal lain.

Bogdan (dalam Moleong, 1989:128) mendefenisikan secara tepat pengamatan berperan serta atau observasi partisipasi sebagai penelitian yang catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan.

(37)

2. Teknik Wawancara mendalam

Maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 1989:148), antara lain : mengkonstruksi mengenai orang orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain, kebulatan; merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; lalu memproyeksikannya.

Teknik wawancara mendalam merupakan proses tanya-jawab secara langsung yang ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian. Penggunaan metode ini adalah untuk mendapatkan data sesuai dengan masalah-masalah yang menjadi tujuan dari penelitian. Selanjutnya penggunaan metode ini akan disertai dengan alat bantu berupa alat perekam dan pedoman wawancara mendalam.

Wawancara yang ditujukan terhadap informan kunci dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang bentuk, makna, penggunaan dan peranan dari bahasa Sigulai masyarakat Simeulue perantau yang ada di Kota Medan dalam tiap aspek kehidupan masyarakat simeulue.

(38)

1.6.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, tetapi memiliki fungsi sebagai salah satu aspek pendukung keabsahan penelitian. Data ini berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil infomasi dari buku-buku referensi, dokumen, majalah, jurnal, dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti, dalam hal ini mengenai keberadaan, peranan, fungsi, makna, dan aplikasi bahasa sigulai masyarakat Simeulue perantau yang ada di kota Medan.

Dalam penelitian bersifat deskriptif ini, untuk mendukung pengumpulan data, maka langkah-langkah di atas ditambah dengan dua bentuk metode analisa bahasa sebagai berikut:

1. Metode Simak

Metode ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak langsung dalam penggunaan bahasa seseorang yang berkomunikasi langsung secara bertatap muka maupun tidak bertatap muka misalnya berkomunikasi lewat telpon sehingga dapat mudah disimak bahasa yang disampaikannya (Mahsun M.S, 2005:90).

2. Metode Intropeksi

(39)

bahasa tanpa menghilangkan peran kepenelitian itu. Metode ini dimaksudkan sebagai upaya menguak identitas sosok pembentukan bahasa yang dapat memungkinkan orang menentukan secara seksama satuan lingual tertentu yang status kesatuan-lingualnya belum jelas, seperti wacana Sudaryanto (Mahsun M.S, 2005:90).

1.7 Analisis Data

Penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, pengamatan dan wawancara mendalam, yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.

Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada di dalam fokus penelitian. Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif.

(40)

berpendapat sama tentang tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya “dari segi pandangan mereka”.

1.8 Teknik Pelaporan

Teknik pelaporan ada dua yaitu: induktif dan deduktif. 1. Teknik induktif

Pendekatan induktif adalah di mana menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum (going from specific to the general).

2. Teknik deduktif

(41)

1.9 Pengalaman Lapangan

Peneliti mendatangi masyarakat Simeulue khususnya yang menggunakan bahasa Sigulai yang ada di Kota Medan. Dalam hal ini mendatangi tempat tinggal atau kos-kosan masyarakat Simeulue, untuk mewawancarai mereka tentang bahasa Sigulai. Untuk mendapatkan data dan menjumpai masyarakat Simeulue mengikuti kegiatan-kegiatan masyarakat Simeulue yaitu menghadiri perkumpulan yang diadakan dua kali seminggu di sekretariat organisasi IPPEIMAS ( Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Aceh Simeulue ) yang di Jln. Gaharu. Selain itu juga menghadiri kegiatan organisasi IKASBARFAN ( Ikatan Pemuda Salang Simeulue Barat Alafan ) yang juga diadakan dua kali satu bulan di Jln Garu 2.

Selain mendapatkan data tentang bahasa Sigulai , peneliti juga mendapatkan banyak manfaat dan merasakan kebahagiaan ketika bertemu dengan teman-teman yang ada di Kota Medan sehingga peneliti merasa lebih akrab dan merasa terbantu. Selain itu juga peneliti mendapatkan data peneliti mendatangi masyarakat Simeulue yang sudah menetap di Kota Medan di Kampung Lalang , Karang Sari , Jalan Halat , Simpang Limun , Ampalas , dan Brayan. Peneliti menggunakan bahasa Sigulai untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat Simeulue khususnya masyarakat Simeulue yang peneliti jumpai di tempat tinggalnya atau di tempat perkumpulan masyarakat Simeulue di sekretariat organisasi di Jln Gaharu dan di Garu 2.

(42)
(43)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Kondisi Umum Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Provinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain.

Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 (http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/Januari/2013) diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional dan nasional.

(44)

merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Salah satu tempat persebaran masyarakat Simeulue, didorong adanya penghasilan dan peluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Simeulue dibanding di tempat-tempat lain, Kabupaten Deli Serdang yang merupakan salah satu daerah kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

2.2. Sejarah Kota Medan

Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “Medan” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Hari lahir kota Medan adalah 1 Juli 15901

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak lepas dari historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan berkembang semenjak Guru Patimpus membangun kampung tersebut, Guru Patimpus , sampai saat ini usia Kota Medan telah mencapai 424 Tahun.

(45)

adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang puteri Datuk Pulo Brayan.

Dalam bahasa Karo kata Guru berarti “Tabib“ atau “Orang Pintar“, kemudian kata “Pa“ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata “Timpus” berarti bundelan., bungkus atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya (http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/Januari/2013).

Kota Medan berubah namanya menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis menuju Medan tahun 1887, sebelum akhirnya status diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.

Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisiskannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Batubara, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, yang telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai pusat perdagangan sejak masa lalu.

(46)

cikal-tembakau telah memindahkan pusat peragangan cikal-tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal sebagai Kawasan Gaharu.

Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan perkembangan Kota Medan seperti saat sekarang ini, sedangkan dijadikannya Medan menjadi ibu kota dari Deli juga telah mendorong Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini selain merupakan suatu wilayah kota juga sekaligus Ibukota Sumatera Utara.

Gambaran Kota Medan merupakan sekilas penjelasan mengenai keberadaan Kota Medan sebagai kawasan yang menjadi fokus lokasi penelitian ini, sebagai pusat pemerintahan kota Medan yang memiliki 21 daerah kecamatan dan 151 daerah kelurahan (http://id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 25/Januari/2013). Dari 21 kecamatan tersebut, hanya beberapa kecamatan saja yang diambil sebagai lokasi penelitian, karena dianggap lokasi tersebut mewakili keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan.

2.2.1. Medan Sebagai Kota Multikultural

Sebagai sebuah kota, Medan telah memiliki segalanya untuk disebut sebagai kota metropolitan. Lokasi daerah yang strategis, sehingga menjadi daya tarik penduduk di luar Kota Medan untuk mencari peruntungan, mencari pekerjaan atau sekedar memberikan decak kagum akan akan kemegahan kota ini.

(47)

dengan multikulturalisme-nya adalah karena tidak ada satu suku yang lebih mendominasi suku-suku lainnya di banyak bidang. Misalnya : suku Jawa dari segi kuantitas jauh lebih banyak dibandingkan dengan etnis Tionghoa, namun etnis Tionghoa lebih mendominasi suku-suku lainnya di Kota Medan dalam bidang ekonomi.

Sehingga kita dapat melihat bahwa Kota Medan benar-benar menjadi panggung bagi setiap suku bangsa yang ada di dalamnya untuk mempertunjukan ekspresi budayanya. Di Kota Medan tidak ada satu pun suku bangsa yang merasa ketakutan untuk menjalankan kegiatan agama, berbahasa ataupun melakukan kegiatan yang bernuansa etnis.

Kemegahan ini pernah diungkapkan oleh Geertz (2000) yakni, melihat kota-kota yang menyimpan rentetan sejarah yang belum terungkap, seperti melihat sebuah sekelumit tabir yang meminta segera harus dituntaskan tentang jati diri, tentang sejarah yang mengaitkannya dengan realitas kini dan masa lampau. Medan memiliki kemegahan itu dengan rentetan sejarah yang menaunginya dan penduduk yang menjadi saksi perkembangan kota ini.

Penduduk Kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.

(48)

Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosal ekonominya, di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk, istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan di mana tingkat kelahiran dan kematian rendah.

Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat.

Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

(49)

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

2.3 Etnis Simeulue di Kota Medan

Etnis Simeulue merupakan etnis yang berasal dari kepulauan Simeulue yang tercatat secara adminisitratif berada di bawah naungan pemerintah daerah Naggroe Aceh Darussalam. Keberadaan etnis Simeulue menambah keberagaman etnis di daerah Aceh secara khusus dan keberagaman etnis di Indonesia secara umum.

Persebaran etnis Simeulue tidak hanya sebatas pada wilayah Aceh melainkan menyebar secara luas pada wilayah lainnya, seperti Kota Medan. Keberadaan etnis Simeulue di Kota Medan secara umum didominasi oleh para generasi muda yang menuntut ilmu di Kota Medan, baik pada tingkatan sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi.

Sejarah etnis Simeulue di Kota medan ini bermula adanya suatu kesadaran untuk membenahi perekonomian masyarakat yang keinginananya untuk merubah ekonomi

dalam kehidupannya. Hal ini Kota Medan yang menjadi tujuan sebagian besar masyarakat Simeulue untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Etnis Simeulue ini

(50)

2.3.1. Daerah asal

Etnik Simeulue yang bermukim di Kota Medan merupakan perpaduan individu dengan latar belakang daerah yang sama yaitu Pulau Simeulue dan terbagi atas daerah asal berupa wilayah ataupun kecamatan di mana individu tersebut berasal.

Dalam lingkup penelitian ini daerah asal masyarakat Simeulue yang tinggal atau merantau di Kota Medan terbagi atas :

1. Wilayah Kecamatan Simeulue Barat, 2. Wilayah Kecamatan Salang,

3. Wilayah Kecamatan Alafan, dan 4. Wilayah Kecamatan Teluk Dalam.

Keempat wilayah tersebut mewakili empat varian bahasa Sigulai yang menjadi perhatian dalam penelitian ini, yaitu dialek bahasa Sigulai oleh masyarakat Simeulue di perantauan Kota Medan.

(51)

Gambar 2.1

(52)

2.3.2 Latar Belakang Masyarakat Simeulue di Perantauan

Masyarakat Simeulue yang menetap di Kota Medan didominasi oleh mahasiswa yang menuntut ilmu di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta, masyarakat Simeulue yang sudah berumah tangga, dan yang sudah bekerja yang terdapat di Kota Medan.

Hal ini dikarenakan masyarakat Simeulue beranggapan bahwa Kota Medan adalah salah satu pusat kota yang memiliki akses informasi dan teknologi serta pendidikan yang baik sehingga mendukung usaha pencapaian terhadap pendidikan yang layak serta baik kepada individu masyarakat Simeulue yang melanjutkan studi pada tingkat perguruan tinggi.

Selain didominasi oleh mahasiswa yang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi di Kota Medan, masyarakat Simeulue lainnya yang menetap di Kota Medan memiliki latar belakang sebagai pengusaha, pekerja sektor swasta, guru, dan lain sebagainya.

Masyarakat Simeulue yang berada di Kota Medan juga terkadang tinggal di satu tempat. Misalnya : mahasiswa USU yang berasal dari Simeulue yang berkumpul di satu lingkungan kos-kosan di daerah Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Mereka berkumpul karena adanya kesadaran akan satu daerah dan senasib di daerah perantauan.

(53)

Masyarakat Simeulue sendiri selalu menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi kepada sesama masyarakat Simeulue yang ada di Kota Medan.

2.4. Kelompok Masyarakat Simeulue di Kota Medan

Keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan turut memberi arti dalam lingkup persebaran etnik dan komposisi masyarakat Kota Medan secara umum, hal ini mendukung anggapan dari beragam pihak yang mengatakan bahwasanya Kota Medan merupakan kota multi etnis.

Menurut Kamanto Sunarto (2004: 125) kelompok sosial merupakan suatu gejala yang penting dalam kehidupan manusia, karena sebagaian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya.

Untuk menyatakan keberadaan masyarakat Simeulue di Kota Medan maka diperlukan adanya lembaga atau institusi yang dapat mewadahi keberadaan masyarakat Simuelue di Kota Medan, hingga saat ini terdapat dua kelompok besar yang mewadahi kegiatan masyarakat Simeulue diperantauan Kota Medan, yaitu :

1. IPPELMAS (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Aceh Simeulue), merupakan lembaga yang menaungi pelajar dan mahasiswa asal Simeulue yang menetap di Kota Medan, dan

(54)

disebutkan (Salang, Simeulue Barat dan Alafan) melainkan juga membuka peluang kepada masyarakat Simeulue lainnya yang berada di Kota Medan namun memiliki asal daerah atau wilayah di luar wilayah Salang, Simeulue Barat dan Alafan.

Melihat perkembangan kelompok sosial ini maka kita dapat mengidentifikasikan wacana pembentukan kelompok ini dari kriteria milik kelompok milik Bierstedt seorang ahli sosial. Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan (c) kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok: kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok kemasayarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational group).

(55)

BAB III

BENTUK DAN RAGAM DIALEK BAHASA SIGULAI

3.1. Deskripsi Sejarah Bahasa Sigulai

Masyarakat Simeulue merupakan masyarakat yang heterogen dengan banyak suku dari berbagai daerah. Pulau Simeulue ini memiliki dua bahasa, yaitu bahasa Devayan dan bahasa Sigulai yang dipergunakan sebagian masyarakat. Khusus di sekitar Kota Sinabang menggunakan bahasa (Aneuk Jamee) pesisir Sumatera. Akibat percampuran budaya menyebabkan masyarakat Simeulue memiliki beberapa bentuk kebudayaan yang diadopsi dari beragam suku lainnya, seperti Aceh, Nias, Batak dan Sulawesi (Bugis).

Asal mula masyarakat Simeulue adalah pada tahun 1836 di mana sekelompok orang dari Makassar yang bersuku Bugis berlayar menggunakan perahu besar tanpa mesin dengan alat bantu berupa arah angin yang dipasangi layar atau luyu, di perjalanan mereka menemukan sebuah pulau dan singgah di pulau tersebut yaitu pulau yang disebut sebagai Pulau Banyak dan sebagian rombongan lebih memilih tinggal untuk berkebun kelapa, kemudian sebagian rombongan tersebut melanjutkan perjalanan ke Pulau Simeulue.

(56)

Nama nenek moyang yang berasal dari individu yang melakukan pelayaran tersebut di antaranya adalah : Nyak Tunggang, To Tunggang. Setelah beberapa minggu di tempat bersandarnya kapal tersebut mereka lebih memilih tinggal untuk bertani yaitu menanam padi dan kelapa.

Di antara rombongan ada beberapa yang menggunakan bahasa yang berbeda yaitu memiliki kemiripan dengan bahasa Pulau Nias, rombongan yang berbeda bahasa itu memilih untuk berjalan ke sebuah lokasi atau perkampungan, Sesampainya di perkampungan tersebut mereka mendirikan tempat tinggal untuk bertani yaitu kelapa dan sawah untuk memenuhi kebutuhannya.

Lama-kelamaan mereka memiliki keturunan di perkampungan tersebut, perkampungan tersebut adalah Desa Sigulai yang kini termasuk dalam Kecamatan Simeulue Barat, hal ini kemudian diyakini sebagai asal bahasa disebarkan dan dinamakan bahasa Sigulai.

Setelah itu ada sebuah rombongan yang datang dari wilayah Padang, Sumatera Barat yang menggunakan kapal yang sama bentuk yaitu perahu besar atau yang sering disebut biluk, mereka singgah di sebuah perkampungan yang sekarang perkampungan tersebut dinamakan Kota Padang yang berada di Kecamatan Salang, tujuan rombongan tersebut adalah untuk menyebarkan agama yaitu agama Islam di wilayah tersebut.

(57)

1. Wilayah Pulau Simeulue yang diyakini memiliki hubungan dengan suku Bugis, 2. Wilayah Pulau Simeulue yang diyakini memiliki hubungan dengan suku Nias, 3. Wilayah Pulau Simeulue yang diyakini memiliki hubungan dengan suku

Minangkabau, dan

4. Wilayah Pulau Simeulue yang diyakini memiliki hubungan dengan suku Aceh. Mengutip Lewis (2014) dalam bukunya yang berjudul “Ethnologue: Languages of the World, Seventeenth edition.” maupun dalam versi situs elektroniknya (http://www.ethnologue.com/languange/skh diakses pada 16/Oktober/2014) mengatakan bahwa bahasa Sigulai merupakan ragam bahasa yang terdapat di wilayah Indonesia dan memiliki jumlah populasi penutur sekitar 20.000 jiwa serta diyakini memiliki keterkaitan secara linguistik dengan bahasa Nias, hal ini dimungkinkan karena wilayah Simeulue di mana bahasa Sigulai dipergunakan merupakan daerah kepulauan yang memiliki hubungan dagang dan bahkan sosio-kultural dengan wilayah atau masyarakat Nias.

(58)

3.2. Bahasa Sigulai dan Ragam Dialek

Berbicara tentang ragam dialek dari bahasa Sigulai, terdapat perbedaan dalam dialek yang secara umum dapat dibagi atas wilayah persebaran dialek tersebut, yaitu : dialek Sigulai di Kecamatan Simeulue Barat, dialek Sigulai di Kecamatan Salang, dialek Sigulai di Kecamatan Teluk Dalam dan dialek Sigulai di Kecamatan Alafan.

Keempat wilayah tersebut menggunakan bahasa Sigulai dalam kehidupan sehari-hari dan masing-masing wilayah memiliki dialek tersendiri yang berbeda dengan dialek wilayah lain yang mempergunakan bahasa Sigulai.

Perbedaan atau ragam dialek bahasa Sigulai tersebut dipengaruhi oleh aspek budaya lain yang turut serta dalam perkembangan Pulau Simeulue dan bahasa Sigulai, di antaranya adalah : budaya Bugis, budaya Minangkabau, budaya Nias dan budaya Aceh.

Pengaruh aspek budaya lain dalam ragam dialek bahasa Sigulai juga didorong oleh wilayah Simeulue yang merupakan sebentuk pulau, sehingga memunculkan adanya persinggungan dengan aspek budaya lain yang dibawa oleh pedagang, nelayan dan memunculkan ragam dialek bahasa Sigulai.

3.2.1 Dialek di Kecamatan Simeulue Barat

Dialek bahasa Sigulai di Kecamatan Simeulue Barat sebagai salah satu varian bahasa Sigulai memiliki ciri tersendiri yang menggambarkan masyarakat Simeulue yang menetap di wilayah Kecamatan Simeulue Barat.

(59)

dan /u/ dalam beberapa bentuk kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut beberapa contoh kata dalam bahasa Sigulai dengan dialek Simeulue Barat :

Tab el 3.1

Bentuk Kata Ganti Dialek Simeulue Barat

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat Aku

Kau Kamu Mereka Dia

(60)

Tab el 3.2

Bentuk Kalimat Bertanya Dialek Simeulue Barat

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Mau Kemana ? Tinggal Dimana ? Ini Bagaimana ? Berapa Jumlahnya ? Apa Kabar ?

Ageu Mei ? Ageu Banuamo ? Ataya Eye ?

Agolofe Mahalekni ? Atedei Kabar ?

Tab el 3.3

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orang tua

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Mau Kemana Ayah ? Mau Kemana Ibu ?

(61)

Tab el 3.4

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Apa Kabar Atedei Kabar Mamak Uwo ?

Atedei Kabar Mamak Enga ? Atedei Kabar Mamak Andung ? Atedei Kabar Mamak Ibok ? Atedei Kabar Mamak Isu ? Atedei Kabar Mamak Angkek ?

(62)

Tab el 3.5

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Mau Kemana Paman ?

Mau Kemana Bibi ?

Ageu Mei Tuo ? (untuk laki-laki)

Ageu Mei Ine'i ? (untuk perempuan)

Tab el 3.6

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Individu Setara Dengan Orang tua

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Mau kemana Bapak ? Ageu Mei Paetek ? (untuk laki-laki)

(63)

Mau Kemana Ibu ?

(untuk laki-laki)

Ageu Mei Abang ? (untuk laki-laki)

Ageu Mei Upik ? (untuk perempuan)

Ageu Mei Etek ? (untuk perempuan)

(64)

Tab el 3.7

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Teman Sebaya

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

(65)

Tab el 3.8

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Seseorang yang Usia Lebih Muda

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Mau Kemana, Adik ? Ageu Mei Totok ?

(berlaku untuk laki-laki dan perempuan)

Tab el 3.9 Bentuk Bilangan

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Simeulue Barat

Nol Satu Dua Tiga Empat Lima

(66)

Tujuh

3.2.2 Dialek di Kecamatan Salang

Penelitian yang dilakukan terhadap bahasa Sigulai berdasarkan dialek yang terdapat di Kecamatan Salang pada umumnya mempergunakan huruf /o/ dalam beberapa bentuk kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan bahasa Sigulai dialek Simeulue Barat yang dipengaruhi oleh dialek Minangkabau, dialek Sigulai di Kecamatan Salang dipengaruhi oleh unsur dialek bahasa Nias yang tampak pada penggunaan huruf /f/ dan /e/.

(67)

Tab el 3.10

Bentuk Kata Ganti Dialek Salang

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

Aku

Bentuk Kalimat Bertanya Dialek Salang

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

(68)

Tab el 3.12

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orang tua

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

Mau Kemana Ayah ? Mau Kemana Ibu ?

Ao Mei Bapak ? Ao Mei Umak ?

Tab el 3.13

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

(69)

Tab el 3.14

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

Mau Kemana Paman ?

Mau Kemana Bibi ?

Ao Mei Papa ? (untuk laki-laki)

Ao Mei Sao ? (untuk perempuan)

Tab el 3.15

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Individu Setara Dengan Orangtua

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

Mau Kemana Bapak ?

Mau Kemana Ibu ?

Ao Mei Papa ? (untuk laki-laki)

(70)

Tab el 3.16

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Teman Sebaya

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

Mau Kemana ? Ao Mei Kale ? (berlaku untuk laki-laki dan perempuan)

Tab el 3.17

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Seseorang yang Usia Lebih Muda

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

Mau Kemana Adik ? Ao Mei Oe ?

(71)

Tab el 3.18 Bentuk Bilangan

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Salang

(72)

Berbeda dengan pengucapan bilangan dalam dialek Sigulai Kecamatan Simeulue Barat, pengucapan bilangan pada dialek Sigulai Kecamatan Salang dibubuhi oleh kata “anget” pada setiap akhir penyebutan kata bilangan (dimulai dari bilangan dua). Hal ini menjadi aspek pembeda yang kentara dalam kehidupan masyarakat Simeulue dalam konteks dialek penggunaan ragam bahasa Sigulai.

3.2.3 Dialek di Kecamatan Teluk Dalam

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (lihat tabel 3.19) dialek yang terdapat di Kecamatan Teluk Dalam pada umumnya mempergunakan pasangan huruf /i/ dan /o/ dalam beberapa bentuk kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Sembilan Belas Dua Puluh

(73)

Tab el 3.19

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Orangtua

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Teluk Dalam

Mau Kemana Ayah ? Mau Kemana Ibu ?

Mai’o Ayah ? Mai’o Umak ?

Tab el 3.20

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ibu

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Teluk Dalam

Apa Kabar Taya’o Mamak Uwo ?

(74)

Dalam bentuk kata sapaan terhadap saudara laki-laki dan perempuan dari pihak ibu dalam bahasa Sigulai dialek Teluk Dalam terdapat ciri khas yaitu penyebutan dengan turut menyertakan tingkatan saudara (laki-laki dan perempuan) dari yang tertua hingga termuda dalam silsilah keluarga.

Tab el 3.21

Bentuk Kalimat Sapaan Kepada Saudara Laki-laki dan Perempuan dari Pihak Ayah

Bahasa Indonesia Bahasa Sigulai Dialek Teluk Dalam

Mau Kemana Paman ?

Mau Kemana Bibi ?

Mai’o Tuo ? (untuk laki-laki)

Gambar

Gambar 2.1
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini berkenaan dengan ragam bahasa Pakpak yang mencakupi pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata

Tindak tutur melarang dalam bahasa Jawa dialek standar merupakan ungkapan dengan tujuan untuk melarang penutur kepada mitra tuturnya untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang

Beliau memberi batasan bahwa geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam- ragam bahasa dengan bertumpu pada satuan ruang

Karena ketertarikan penulis terhadap ragam hormat dan dialek, serta kemudahan akses dalam menggali informasi mengenai dialek Kansai dibandingkan dengan dialek

Bahasa Bali merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bali untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dengan sesama. Dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap secara deskriptif penggunaan ragam dialek Sunda Majalengka dalam interaksi komunikasi pada mahasiswa PBSI FKIP UNMA dan

seperti Interferensi fonologi yang terjadi pada masyarakat Minangkabau perantau di Medan karena pengaruhnya penggunaan bahasa daerah pada mereka maka terjadilah

Sehingga penutur bahasa Ternate telah menjadi penutur multi bahasa dengan tingkat penggunaan bahasa Ternatenya yang sangat rendah (language attrition) seiring