• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam Bahasa dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pakpak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ragam Bahasa dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pakpak"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

RAGAM BAHASA DALAM UPACARA ADAT

PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK

TESIS

Oleh

ESTO TUMANGGOR

NIM : 097009005/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada

Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ESTO TUMANGGOR

NIM : 097009005/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK Nama Mahasiswa : Esto Tumanggor

NIM : 097009005

Program Studi : Linguistik

Menyetujui : Komisi Pembimbing,

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D) (

Ketua Anggota

Dr. Dwi Widayati, M.Hum)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah Diuji pada

Tanggal 22 November 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D

Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum

(5)

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak dan perbedaan ragam bahasa Pakpak yang digunakan pihak kula-kula, berru dan pihak sinina. Kajian ini berkenaan dengan ragam bahasa Pakpak yang mencakupi pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata sapaan pada acara adat perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat, Kecamatan Salak, Desa Salak I dan Desa Salak II. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan meliputi : Observasi, pencatatan, perekaman,dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra wicara. Temuan penelitian disimpulkan bahwa ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak merupakan ciri khusus corak pembeda dalam kebahasaan. Corak ungkapan yang berbeda tersebut terlihat pada pemakaian bahasa yang ada dalam media komunikasi sehari-hari dan dalam kegiatan adat. Dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak, pemunculan ragam bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada masing-masing kelompok. Ragam bahasa yang merupakan corak penggunaan bahasa yang sangat khusus melahirkan perbedaan pada kata, frasa, ungkapan, pantun, dan kata sapaan. Perbedaan ini menjadikan penggunaan bahasa lebih sakral pada upacara adat daripada bahasa sehari-hari. Ragam bahasa Pakpak dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak adalah variasi penggunaan bahasa yang melahirkan adanya corak pembedaan dalam ungkapan-ungkapan kebahasaan.

Kata kunci : Ragam bahasa, adat perkawinan, masyarakat Pakpak, kula-kula, berru, sinina.

(6)

The purpose of this study was to describe the varieties of Pakpak language which has been used in traditional wedding ceremony in Pakpak community by the kula-kula, berru, and sinina. The varieties of Pakpak language include choice of words, phrases, use of expression (idiom) and units of aesthetic language such as umpama (parable),

pantun, and kata sapaan (word of greetings) in a traditional wedding ceremony. This study used qualitative descriptive methode was conducted in Salak I and Salak II Villages of Salak Subdistrict, West Pakpak District. The data for this study were obtained through observation, note taking, recording, and literature study. The data obtained were analyzed through pragmatic equivalent method with speaking partner as the determinant that this study finding was concluded as follows. The varieties of language in traditional wedding ceremony of Pakpak community is a special characteristic of distinguishing feature in language. The different feature of expression is seen through the use of language existing in daily media of communication and adat (cultural tradition) activities. In Pakpak traditional wedding ceremony, the existence of varieties of language has a much closed relationship with the status of adat role existing in respective group. The varieties of language which becomes a special feature of language use brings a difference in words, phrases, expressions, pantun, and words of greeting. This difference has made the use of language become more sacral in traditional/adat ceremony than in daily use. The varieties of Pakpak language in the traditional/adat wedding ceremony is the variation of language use which brings about a distinguishing feature in expressions of language.

Keywords: Varieties of language, traditional marriage, Pakpak community, kula-kula, berru, sinina.

(7)

RAGAM BAHASA DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil

karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara

jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini

bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya

bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan

sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 22 November 2011

Esto Tumanggor

(8)

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat dan

kasih-Nya, penulis dan keluarga dalam keadaan sehat walafiat sehingga penulis

berhasil menyelesaikan tesis ini.

Tesis yang berjudul ”Ragam Bahasa dalam Upacara Adat

Perkawinan Masyrakat Pakpak” ini adalah merupakan hasil penelitian

menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang penulis laksanakan melalui studi

kasus di Kabupaten Pakpak Bharat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain dalam

rangka menambah bahan rujukan sekaligus memperkaya khasanah kepustakaan

linguistik khususnya menyangkut upacara adat perkawinan etnis Pakpak.

Penulis telah mengupayakan penyelesaian tesis ini semaksimal mungkin

dengan bantuan berbagai pihak, namun kemungkinan hasilnya masih belum

sempurna, untuk itu penulis sangat berterima kasih menerima masukan atau saran

konstruktif dari pembaca demi perbaikan tesis ini.

Medan, 22 November 2011 Penulis,

Esto Tumanggor NIM : 097009005

(9)

Pertama sekali penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha

Esa karena berkat rahmat dan kasihNya, penulis dan keluarga dalam keadaan sehat

walafiat sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis ini.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis mendapat berbagai bantuan baik

dalam bentuk materil maupun moril dari barbagai pihak. Untuk itu, penulis sangat

berterima kasih dengan tulus ikhlas dan menyampaikan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp. Ak, Rektor

Universitas Sumaetra Utara,

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara,

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, Ketua Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai dosen penguji seminar

hasil serta dosen penguji sidang tesis penulis ini; yang telah banyak memberikan

masukan berharga sehingga tesis ini selesai dengan baik,

4. Dr. Nurlela, M.Hum, Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara,

5. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D, pembimbing I; yang telah banyak meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis

sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini,

(10)

waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis

sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini,

7. Dr. Eddy Setia, M.Ed.TESP dosen program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai dosen penguji seminar

hasil serta dosen penguji sidang tesis penulis ini; yang telah banyak memberikan

masukan berharga sehingga tesis ini selesai dengan baik,

8. semua dosen Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara; yang telah banyak membekali penulis selama perkuliahan

sehingga penulis memiliki bekal ilmu untuk menulis tesis ini,

9. semua pegawai Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara; yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi

akademik sampai dengan administrasi penyelesaian tesis ini,

10.rekan-rekan satu angkatan mahasiswa peserta Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; yang telah banyak memberikan

dorongan serta semangat sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan,

11.Ir. Zulkifli Lubis, M.I.Komp., Direktur Politeknik Negeri Medan, Drs. Bambang

Sugiyanto, M.P., Pembantu Direktur I, Syahruddin, S.T. M.T., Pembantu Direktur

II, Cipta Dharma, S.E. M.Si., Pembantu Direktur III, Drs. Ir. Salamat Sibarani,

M.T., Pembantu Direktur IV, dan Ir. Abdul Basir, M.T., Ketua Jurusan Teknik

Mesin Politeknik Negeri Medan; yang telah memberi izin kuliah dan telah banyak

memberi semangat serta memfasilitasi penulis dalam mengikuti perkuliahan

(11)

yang telah banyak memberi dukungan, inspirasi, dan semangat kepada penulis

untuk menyelesaikan tesis ini,

13.anak-anak tersayang : Gerald Alberto Sibarani, Evie Theresia Nurlolo Sibarani,

Nellie Sere Christina Sibarani, dan Juwita Permata Sari Sibarani; yang menjadi

sumber inspirasi dan semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini, dan

14.seluruh keluarga lainnya maupun pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis

sebutkan namanya satu persatu.

Semoga Tuhan yang Maha Esa menyertai dan memberi berkat yang terbaik

bagi semua pihak.

Medan, 22 November 2011 Penulis,

Esto Tumanggor NIM : 097009005

(12)

Nama : Esto Tumanggor

Tempat / Tgl. Lahir : Singgabur (Pakpak Bharat) / 14 Desember 1960

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Dosen Politeknik Negeri Medan

Status Perkawinan : Kawin

Warga Negara : Indonesia

Alamat : Komp. Politeknik USU No. 39, Jalan Pintu Air IV,

Medan 20142

Email

No. Tel / HP : (061) 836 1331 / 081 397 020 155

Pendidikan Formal : 1. SD Negeri 2 Sidikalang Lulus 1972

2. SMP Negeri 2 Sidikalang Lulus 1975

3. SMA HKBP Nomensen P. Siantar Lulus 1979

4. S1 Bhs Indonesia IKIP Negeri Medan Lulus 1984

(13)

Halaman

ABSTRAK ………..…... i

ABSTRACT ... ii

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ………..…... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DATA PRIBADI ………..………….. viii

DAFTAR ISI ……….………... ix

DAFTAR TABEL ………..……… xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...………...……….... xiv

DAFTAR SINGKATAN ...………...……….. xv

BAB I PENDAHULUAN ……….….………...………... 1

1.1 Latar Belakang ... ..……...……....………... 1

1.2 Sejarah Singkat Kabupaten Pakpak Bharat ... 8

1.3 Masalah ...………….……….………... 10

1.4 Batasan Masalah ... 10

1.5 Tujuan Penelitian ………..………... 11

1.6 Manfaat Penelitian ………..………... 11

1.7 Definisi Istilah ... 12

(14)

2.1 Sosiolinguistik ...…... 15

2.2 Ragam Bahasa ... 19

2.3 Upacara Adat ... 25

2.4 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan ...….. 27

BAB III METODE PENELITIAN ………...………..……….... 31

3.1 Desain Penelitian ... ……...……… 31

3.2 Lokasi Penelitian ...………...………. 32

3.3 Data dan Sumber Data ..…………..………... 37

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.5. Analisis Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...……..……... 40

4.1 Hasil Penelitian ..………..……….….. 40

4.1.1 Mengririt ... 40

4.1.2 Mersiberren Tanda Burju ... 41

4.1.3 Mengkata Utang ... 42

4.1.4 Merbayo ... 50

4.1.5 Balik Ulbas ... 57

4.2 Pembahasan ...………..…………. 59

4.2.1 Ragam Bahasa Pakpak yang Digunakan ... 59

4.2.1.1 Ragam Penggunaan Kata ... 61

4.2.1.2 Ragam Penggunaan Frasa ... 64

(15)

4.2.1.5 Ragam Penggunaan Sapaan ... 71

4.2.2 Perbedaan Ragam Bahasa Pakpak ... 75

4.2.2.1 Peran dalam Upacara Adat Perkawinan ... 75

a. Peran Berru kepada Kula-kula ... 75

b. Peran Kula-kula kepada Berru ... 75

c. Peran Sinina ... 76

4.2.2.2 Hubungan Peran Penutur ... 76

a. Ragam Penggunaan Kata ... 76

b. Ragam Penggunaan Frasa ... 79

c. Ragam Penggunaan Pantun ... 81

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………....…………..……..……... 85

5.1. Simpulan ………...………..…………... 85

5.2. Saran ………..…………. 87

DAFTAR PUSTAKA ………..……….. 89

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………..…….. 92

(16)

Halaman

Tabel 4.1 Ragam Penggunaan Kata ... 63

Tabel 4.2 Ragam Penggunaan Frasa ... 65

Tabel 4.3 Ragam Penggunaan Ungkapan ...……..…………. 68

Tabel 4.4 Tingkat Tatakrama Kata Sapaan ...………. 73

Tabel 4.5 Kata Sapaan dan Tingkat Kesantunan ... 74

Tabel 4.6 Penggunaan Kata Sapaan dan Tingkat Kesantunan ... 74

Tabel 4.7 Kata yang Digunakan Kula-kula dan Berru ... 79

Tabel 4.8 Kata yang Digunakan Pihak Kula-kula ... 79

Tabel 4.9 Kata yang Digunakan Pihak Berru ... 79

Tabel 4.10 Frasa yang Digunakan Kula-kula dan Berru ...……… 80

Tabel 4.11 Frasa yang Digunakan Berru ...………. 80

Tabel 4.12 Frasa yang Digunakan Kula-kula ……….……..………….. 81

Tabel 4.13 Umpama yang Digunakan Kula-kula dan Berru ...……… 82

Tabel 4.14 Umpama yang Digunakan Kula-kula ..………..…………..……….. 83

Tabel 4.15 Umpama yang Digunakan Berru ………..… 84

Tabel 4.16 Ciri Penggunaan Umpama .……….. 84

(17)

Halaman

Gambar 2.1 Variasi Bahasa ... 20

Gambar 3.1 Peta Kabupaten Pakpak Bharat ... 34

Gambar 3.2 Peta Kecamatan Salak ... 35

(18)

Halaman

Lampiran 1. Data Informan ... ... 92

Lampiran 2. Data Mengkata Utang (Membicarakan Mas Kawin) ... 93

Lampiran 3. Data Merbayo (Pesta Perkawinan) ... 95

Lampiran 4. Data Balik Ulbas ... 97

(19)

BP : Bahasa Pakpak

MP : Masyarakat Pakpak

PP : Pihak Perempuan

PL : Pihak Laki-laki

(20)

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak dan perbedaan ragam bahasa Pakpak yang digunakan pihak kula-kula, berru dan pihak sinina. Kajian ini berkenaan dengan ragam bahasa Pakpak yang mencakupi pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata sapaan pada acara adat perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat, Kecamatan Salak, Desa Salak I dan Desa Salak II. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan meliputi : Observasi, pencatatan, perekaman,dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra wicara. Temuan penelitian disimpulkan bahwa ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak merupakan ciri khusus corak pembeda dalam kebahasaan. Corak ungkapan yang berbeda tersebut terlihat pada pemakaian bahasa yang ada dalam media komunikasi sehari-hari dan dalam kegiatan adat. Dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak, pemunculan ragam bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada masing-masing kelompok. Ragam bahasa yang merupakan corak penggunaan bahasa yang sangat khusus melahirkan perbedaan pada kata, frasa, ungkapan, pantun, dan kata sapaan. Perbedaan ini menjadikan penggunaan bahasa lebih sakral pada upacara adat daripada bahasa sehari-hari. Ragam bahasa Pakpak dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak adalah variasi penggunaan bahasa yang melahirkan adanya corak pembedaan dalam ungkapan-ungkapan kebahasaan.

Kata kunci : Ragam bahasa, adat perkawinan, masyarakat Pakpak, kula-kula, berru, sinina.

(21)

The purpose of this study was to describe the varieties of Pakpak language which has been used in traditional wedding ceremony in Pakpak community by the kula-kula, berru, and sinina. The varieties of Pakpak language include choice of words, phrases, use of expression (idiom) and units of aesthetic language such as umpama (parable),

pantun, and kata sapaan (word of greetings) in a traditional wedding ceremony. This study used qualitative descriptive methode was conducted in Salak I and Salak II Villages of Salak Subdistrict, West Pakpak District. The data for this study were obtained through observation, note taking, recording, and literature study. The data obtained were analyzed through pragmatic equivalent method with speaking partner as the determinant that this study finding was concluded as follows. The varieties of language in traditional wedding ceremony of Pakpak community is a special characteristic of distinguishing feature in language. The different feature of expression is seen through the use of language existing in daily media of communication and adat (cultural tradition) activities. In Pakpak traditional wedding ceremony, the existence of varieties of language has a much closed relationship with the status of adat role existing in respective group. The varieties of language which becomes a special feature of language use brings a difference in words, phrases, expressions, pantun, and words of greeting. This difference has made the use of language become more sacral in traditional/adat ceremony than in daily use. The varieties of Pakpak language in the traditional/adat wedding ceremony is the variation of language use which brings about a distinguishing feature in expressions of language.

Keywords: Varieties of language, traditional marriage, Pakpak community, kula-kula, berru, sinina.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sosial masyarakat, bahasa merupakan alat komunikasi

utama yang digunakan oleh manusia. Dengan bahasa manusia berinteraksi

dengan sesamanya dan dengan bahasa itu pula menjadikan manusia berbeda

dengan semua mahluk lainnya. Oleh karena itu, sesuatu yang faktual bahwa

bahasa yang digunakan manusia bervariasi disebabkan keragaman masyarakat

pemakainya.

Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Bahasa dipergunakan untuk mengutarakan dan menerima pikiran dan perasaan

manusia. Sebahagian besar kegiatan manusia modern melibatkan penggunaan

bahasa. Wajarlah kiranya apabila manusia berusaha memahami hakikat itu.

Bahasa adalah satu simbol vokal yang arbitrer yang dipakai dalam komunikasi

manusia (Wardhaugh 1972 : 3 dalam Alwasilah 1993 : 3).

Bahasa yang digunakan manusia meskipun bervariasi merupakan

perwujudan dari adanya bentuk kerjasama (joint action) antara penutur dengan penutur (dalam bahasa lisan) atau penulis dengan pembaca (dalam bahasa

(23)

yang bermakna sehingga tidak terjadi kesalahpahaman baik bagi yang

memberikan pesan maupun yang menerima (Clark and Clark, 1996: 3).

Variasi Bahasa disebabkan oleh kegiatan interaksi sosial yang dilakukan

oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para

penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua

pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial

penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu

terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi

bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai

alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua

pandangan ini dapat saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi bahasa itu

dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan

di dalam masyarakat sosial.

Bahasa merupakan bagian dalam kebudayaan. Bahasa terdiri atas bahasa

lisan dan tulisan. Sebagai bagian dari kebudayaan di mana manusia memegang

peranan penting, bahasa juga turut ambil bagian dalam peran manusia itu karena

fungsinya sebagai alat komunikasi yang terus berkembang sesuai dengan

perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Karena bagian dari budaya dan

peranannya terhadap manusia inilah bahasa perlu dilestarikan, terutama yang

berkenaan dengan pemakaian bahasa daerah karena merupakan lambang

identitas suatu daerah, masyarakat, keluarga dan lingkungan. Pemakaian bahasa

(24)

daerah cenderung diasosiasikan dengan perasaan, kehangatan, keakraban, dan

spontanitas (Alwasilah, 1993 : 8).

Di Indonesia ini sangat banyak dijumpai bahasa daerah dan sampai

sekarang masih dipertahankan oleh etnis pemakainya. Satu di antara bahasa

daerah tersebut adalah bahasa Pakpak yang merupakan bahasa sehari-hari di

daerah tempat kelahiran peneliti/penulis.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak tidak hanya

berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah serta

alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi

sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai bahasa pengantar di sekolah, di

pedesaan, pada tingkat permulaan serta sebagai alat pengembangan dan

pendukung kebudayaan daerah.

Dengan fungsinya yang demikian, perlu dipikirkan usaha pembinaan

bahasa Pakpak yang didahului oleh suatu perencanaan sehingga pembinaan dan

pengembangan bahasa Pakpak merupakan suatu keharusan di samping

pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia (UUD 1945, Bab XV : Pasal

36). Usaha pengembangannya harus mencakup pembinaan di bidang struktur

bahasa, bidang pemakai dan pemakaian, agar strukturnya terpelihara dan sesuai

dengan keperluan sosial budaya masa kini. Tujuan pembinaan di bidang

pemakai ialah agar kedwibahasaan penuturnya tetap stabil artinya pemakai

menguasai bahasa Pakpak dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional secara

(25)

bahasa Pakpak tetap memakai bahasa itu sesuai dengan fungsinya dalam

keseimbangan dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

Solin (1998: 122) mengamati bahwa penutur bahasa Pakpak bilingualis

yaitu bahasa Pakpak dan bahasa Toba, di samping bahasa Indonesia.

Menurutnya, bahasa Batak Toba banyak dipakai/digunakan oleh penutur bahasa

Pakpak terutama yang beragama Kristen, yang merupakan agama mayoritas

penduduk suku Pakpak. Dalam perantauan, bahasa Pakpak sangat jarang

digunakan apalagi bila bertemu dengan suku Toba.

Bahasa yang jarang digunakan lambat laun dapat menjadi bahasa mati.

Demikian juga bahasa Pakpak ini, kalau semakin jarang digunakan karena

dominannya bahasa Toba, bukan mustahil akan hilang dari ”peredaran”. Akan

tetapi peneliti berharap hal ini tidak akan terjadi, karena berarti menghilangkan

salah satu identitas bangsa.

Teori evolusi tentang seleksi alam yang menimpa makhluk hidup, kini

mungkin terjadi pula pada bahasa. Terlepas dari kontroversi teori yang

dikemukakan Charles Darwin (12 Februari 1809-19 April 1882) itu, sejumlah

bahasa di dunia terancam punah. Kekhawatiran itu sudah menyeruak dengan

mulai berkurang bahkan hilangnya penutur beberapa bahasa ibu atau bahasa

daerah.

Dr. Gufran Ali Ibrahim, pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun

Ternate, dalam makalahnya pada Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi

Karsa Jakarta, 28 Oktober-1 November 2008 lalu menulis bahwa dalam buku

(26)

bahasa di dunia. Dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur 1 juta orang atau

lebih. Jumlah penutur yang besar ini berbanding terbalik dengan kira-kira 450

bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur sangat sedikit, telah berusia tua,

dan cenderung bergerak menuju kepunahan. Pada saat yang sama, rata-rata

jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanya berkisar 6.000 orang atau lebih,

hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebih penutur, dan hanya

separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang.

Menurut Gufran, secara garis besar ada dua faktor yang dapat dianggap

sebagai penyebab utama kepunahan bahasa daerah. Pertama, para orang tua

tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi

menggunakannya di rumah. Kedua, ini merupakan pilihan sebagian masyarakat

untuk tidak menggunakan bahasa ibu dalam ranah komunikasi sehari-hari.

Kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang

dan miskin. Beberapa negara di antaranya memiliki populasi etnik tak lebih dari

5.000 orang, meskipun beberapa di antaranya memiliki jumlah populasi etnik

yang cukup besar, seperti bahasa Lenca (36.858 orang) dan bahasa Pipil

(196.576 orang) di El Salvador. Namun demikian, penutur aktif kedua bahasa

ini hanya sekitar 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah terancam

punah di antara populasi totalnya yang relatif banyak. Sebagian besar dari

bahasa-bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnik minoritas

terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki begitu

beragam bahasa dan budaya (http : //pustakabahasa.wordpress.com/2009

(27)

Kabupaten Pakpak Bharat dengan jumlah penduduk 36.972 jiwa, hampir

90 % terdiri dari etnis Pakpak (Katalog BPS : Pakpak Bharat dalam Angka

2008). Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa di daerah Pakpak Bharat yang

merupakan pusat berdomisilinya etnis Pakpak, mayoritas penduduknya masih

menggunakan Bahasa Pakpak sebagai ranah komunikasi sehari-hari. Hal ini

memberi harapan bahwa bahasa Pakpak tidak akan punah jika para orang tua

mau mengajarkan bahasa Pakpak kepada anak-anak mereka

Dalam penelitian ini kajian diutamakan pada ragam bahasa Pakpak (yang

selanjutnya disingkat BP) dalam upacara adat perkawinan pada masyarakat

Pakpak (yang selanjutnya disingkat dengan MP). Ragam bahasa yang diteliti

mencakup pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan

estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata sapaan pada acara adat perkawinan.

Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang

dipantulkan oleh kata-kata itu istilah ini bukan saja dipergunakan untuk

menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu

gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan

sebagainya. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap bahwa

persoalan pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak

perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi secara wajar pada setiap

manusi. Dalam kehidupan sehari-hari kita berjumpa dengan orang-orang yang

sulit mengungkapkan maksudnya dan sangat miskin variasi bahasanya. Tetapi

(28)

mengobralkan perbendarahaan katanya, namun tidak ada isi yang tersirat

dibaliknya. Untuk tidak sampai terseret ke dalam kedua ekstrim itu, tiap

anggota masyarakat harus mengetahui bagaimana pentingnya peranan kata-kata

dalam komunikasi sehari-hari (Keraf, 1981:18).

Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat

nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan

kemampuan untuk menentukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa

yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan

sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau

pembendaharaan kata bahasa itu.

Ragam bahasa yang muncul dalam upacara adat perkawinan masyarakat

Pakpak (MP) dominan dari masing-masing kedudukan baik itu dalam statusnya

sebagai Kula-kula (pihak dari calon pengantin wanita) maupun Berru (pihak dari calon pengantin laki-laki) dan Sinina (teman satu marga) baik dari pihak calon pengantin wanita maupun laki-laki. Ragam bahasa muncul saat tutur

komunikasi berlangsung antara masing-masing pihak dan kedudukan.

Berutu dan Tandak (2002:13) menyatakan bahwa ada indikasi mengarah

kurang dipakainya adat tersebut oleh orang Pakpak sendiri. Fakta di lapangan

menunjukkan adanya kecenderungan untuk meninggalkan adat tersebut,

terutama di daerah perantauan dan keluarga-keluarga yang kawin campur

(29)

lain yang dikawini atau mengawini. Dengan sendirinya bahasa Pakpak praktis

tidak digunakan dalam upacara adat tersebut.

Pentingnya fungsi bahasa daerah maka perlu dilakukan penelitian yang

mendasar secara sungguh-sungguh terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

Bahasa Pakpak adalah salah satu bahasa daerah di Sumatera Utara yang masih

hidup yang digunakan masyarakat etnis Pakpak yang berdomisili di Kabupaten

Pakpak Bharat. Dengan demikian, bahasa yang diteliti dalam tesis ini adalah

bahasa Pakpak yang berkaitan dengan variasi bahasa yaitu ragam bahasa yang

digunakan dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak .

Sehubungan dengan uraian di atas peneliti sebagai penutur asli bahasa

Pakpak ingin “menguak” sebagian kecil dari fenomena yang terdapat dalam

bahasa Pakpak, yaitu Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan

Masyarakat Pakpak.

1.2 Sejarah Singkat Kabupaten Pakpak Bharat

Dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan penduduk lain di

sekitarnya, yang didasari timbulnya aspirasi, keinginan dan tekad bulat dari

masyarakat Pakpak Bharat untuk meningkatkan status daerahnya menjadi suatu

kabupaten dalam kerangka NKRI, dengan tujuan agar masyarakat Papak Bharat

dapat memperjuangkan dan mengatur pembangunan masyarakat dan daerah,

sesuai dengan aspirasinya untuk meningkatkan taraf hidup menuju masyarakat

yang adil, makmur dan sejahtera merupakan dasar dari usul dibentuknya

(30)

Pakpak Bharat sebenarnya bukan wilayah baru. Kabupaten yang

mengambil tiga kecamatan dari Dairi ini mengambil nama sub-wilayah suku

Pakpak. Sebelum Belanda masuk ke Pakpak / Dairi, suku yang penduduknya

tersebar di Kabupaten Pakpak Bharat, Aceh Selatan, dan Pakpak Bharat ini

sudah mempunyai struktur pemerintahan sendiri.

Raja Ekuten atau Takal Aur bertindak sebagai pemimpin satu suak. Suku Pakpak terdiri atas lima suak, yaitu Suak Simsim, Keppas, Pegagan, Boang, dan Kelasen. Di bawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh pertaki.

Pada umumnya pertaki juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya. Di setiap kuta ada Sulang Silima, sebagai pembantu pertaki yang terdiri dari perisang-isang, perekur-ekur, pertulan tengah, perpunca ndiadep, dan perbetekken. Meski struktur pemerintahan ini sudah tidak dipakai tetap dipertahankan sebagai hukum adat budaya Pakpak.

Hampir 90 persen penduduk di Pakpak Bharat beretnis Pakpak. Berbeda

dengan kabupaten induknya dihuni bermacam-macam suku, suku Pakpak,

Batak Toba, Mandailing, Nias, Karo, Melayu, Angkola, dan Simalungun serta

suku lainnya. Agaknya, hal inilah yang menjadi pendorong wilayah Pakpak

untuk memekarkan diri. Selain alasan pentingnya adalah untuk

mengoptimalkan penggarapan potensi, percepatan pembangunan fisik, dan

pertumbuhan ekonomi wilayah terutama pembangunan sumber daya manusia.

Aspirasi masyarakat Pakpak Bharat disampaikan secara resmi melalui

Komite Pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat yang diketahui oleh St. Dj. Field

(31)

menyampaikan usul pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat ke DPRD Kabupaten

Dairi.

Selanjutnya pada Tahun 2007, kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat

berkembang sehingga menjadi 8 yakni ; Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe,

Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Tinada, Kecamatan Pagindar, Kecamatan

Pergetteng-getteng Sengkut, Kecamatan Salak, Kecamatan Siempat Rube, dan

Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu.

1.3 Masalah

Penelitian ini menyajikan kajian ragam bahasa dalam upacara adat

perkawinan masyarakat Pakpak. Secara rinci masalah yang akan diteliti adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ragam BP yang digunakan dalam upacara adat perkawinan

masyarakat Pakpak?

2. Bagaimanakah perbedaan ragam BP yang digunakan pihak kula-kula, berru

dan pihak sinina?

1.4 Batasan Masalah

Mengingat luasnya kajian mengenai variasi bahasa maka penelitian ini

dibatasi pada variasi dari segi pemakaian yaitu ragam bahasa dalam upacara

adat perkawinan masyarakat Pakpak yang mencakup penggunaan kata, frasa,

(32)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan ragam bahasa dalam

upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak. Adapun ragam bahasa yang dikaji

dalam pelaksanaan Upacara adat perkawinan tersebut adalah pemilihan kata

yang mencakup kata, frasa, ungkapan (idiom), penggunaan pantun serta kata

sapaan. Ragam bahasa ini akan diklasifikasikan melalui kelompok pelakunya

apakah kula-kula, berru, atau sinina baik dari pihak kula-kula maupun berru. Berdasarkan kajian yang dilakukan, tujuan penelitian adalah:

1. Mendeskripsikan ragam BP yang digunakan dalam upacara adat perkawinan

masyarakat Pakpak

2. Mendeskripsikan dan menganalisis perbedaan ragam BP direalisasikan

dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak oleh berbagai pihak

yang terkait yaitu kula-kula, berru dan sinina.

1.6 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan

ilmu kebahasan (linguistik) pada umumnya, dan bagi penambahan khasanah

kajian sosiolinguistik pada khususnya. Hasil dari penelitian ini akan

memberikan masukan pada perkembangan kajian bahasa khususnya bahasa

(33)

2. Manfaat Praktis

Selain itu, secara praktis temuan penelitian ini diharapkan memotivasi

masyarakat etnis Pakpak unutuk mencintai dan bangga terhadap bahasa dan

adat-istiadatnya agar dapat terwujud pelestarian bahasa Pakpak sehingga

bahasa Pakpak terhindar dari kepunahan. Selanjutnya, diharapkan juga

sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan tentang ragam bahasa

dalam adat perkawinan etnis lainnya.

1.7 Definisi Istilah

Ragam bahasa : Variasi bahasa menurut pemakaian

Persona : Orang atau benda yang berperanan dalam pembicaraan

Medium : Perantara, alat untuk mengalihkan atau mencapai sesuatu

Situasi tutur : Keadaan ucapan, kata, lisan

Ego : Seorang individu yang dijadikan sebagai pusat orientasi

atau perhatian dalam melihat istilah kekerabatan

Amalgamasi : Kawin campur

Kula-kula : Kelompok kekerabatan dari pihak pemberi gadis atau istri

Berru : Kelompok kekerabatan dari pihak penerima gadis

Sinina : Kelompok kekerabatan berdasarkan garis keturunan yang

paralel baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu

Persinabul : Juru bicara adat, baik dari pihak kula-kula maupun dari

pihak berru

(34)

Sukut : Sebutan kelompok pelaksana dalam suatu upacara adat

Pakpak

Sukut Mbellen : Sebutan pelaksana utama dalam suatu upacara adat Pakpak

Bayo : Istilah kekerabatan yang bermakna tabu (pantang)

Puhun : Sapaan menantu laki-laki untuk mertua laki-laki

Nampuhun : Sapaan menantu laki-laki untuk mertua perempuan

Mamberru : Sapaan menantu perempuan untuk mertua laki-laki

Namberru : Sapaan menantu perempuan untuk mertua perempuan

Silih : Sebutan untuk adik laki-laki dari istri

Purmen : Menantu perempuan

Kela : Menantu laki-laki

Patua : Sapaan untuk abang tertua laki-laki dari ayah

Tonga : Sapaan untuk adik laki-laki dari ayah

Pago - pago : Uang saksi dalam suatu transaksi

Gedo – gedo : Permintaan khusus ibu pengantin perempuan

Merbayo : Upacara perkawinan yang dianggap ideal oleh orang pakpak

Oles : Kain atau sarung

Nditak : Makanan yang terbuat dari tepung beras

Kaing : Mas kawin

Dengan sibeltek : Teman semarga

Penantum : Penampung

Suak : Daerah

(35)

Aur : Negeri

Pertaki : Raja

Sulang silima : Struktur kekerabatan yang terdiri atas lima bagian

Perekur-ekur : Bungsu

Pertulan tengah : Anak tengah

Betekken : Bagian atas kaki depan dari seekor hewan sembelihan

(36)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sosiolinguistik

Analisis kaum struktural semata-mata berorientasi pada bentuk, tanpa

mempertimbangkan bahwa satuan-satuan bahasa di samping bersifat lingual

juga memiliki sifat ekstralingual. Konsep masyarakat homogen yang menjadi

pegangan kaum strukturalis membawa konsekuensi tidak turut

dipertimbangkannya berbagai variasi bahasa. Bagi sosiolonguis masyarakat

bahasa selalu bersifat heterogen, dan bahasa yang digunakan selalu

menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar

belakang sosial budaya penuturnya (Wardaugh, 1986 : 13).

Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori sosiolinguistik mengenai

variasi bahasa dari segi penggunaannya yang dikenal dengan sebutan ragam

bahasa. Dengan mengutip pendapat Fishman (1972 : 4), Kridalaksana

mengatakan bahwa sosiolinguistik sebagai cabang linguistik berusaha

menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi

bahasa dengan ciri-ciri sosial dengan kemasyarakatan. Oleh karena itu,

sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi

bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam satu

masyarakat bahasa. Sedangkan menurut (Nababan 1991 : 2), Sosiolinguistik

(37)

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dikaji dari struktur

internal seperti morfologi, sintaksis maupun fonologi yang tercakup dalam

wahana linguistik, tetapi sebagai sarana komunikasi di dalam masyarakat

manusia. Untuk itu bahasa dapat juga didekati melalui kajian eksternal yang

menitikberatkan pada pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan yang

dikenal dengan sebutan sosiolinguistik (Nababan, 1991 : 2).

De Saussure (dalam Chaer dan Leonie, 2004: 2-3) mengisyaratkan bahwa

ternyata dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada

bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa. Ragam-ragam

bahasa ini bukan hanya dapat menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam

masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa, dan

mencerminkan tujuan, topik, kaidah, dan modus-modus penggunaan bahasa.

Dengan demikian dimensi kemasyarakatan yang melahirkan ragam bahasa

dikarenakan penutur yang heterogen akan dapat dipahami bila kajian internal

struktur linguistik menjadi penopang kajian eksternal struktur bahasa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemakaian bahasa dalam tindak

komunikasi bukan hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, melainkan

juga oleh faktor-faktor nonlinguistik (Suwito, 1983 : 23). Faktor-faktor

nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa boleh jadi

dikarenakan adanya perbedaan status sosial, tingkat pendidikan, usia dan

(38)

menjadikan faktor nonlinguistik mengambil peranan dalam penggunaan bahasa.

Singkatnya, siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana,

dan mengenai masalah apa merupakan persoalan sosingulistik.

Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi atau

alat untuk menyampaikan pikiran. Karena, yang menjadi sorotan dalam soiolingistik

adalah siapa yang berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan apa

tujuannya.

Pandangan sosiolingistik terhadap bahasa dapat dilihat dari fungsi-fungsi

bahasa melalui sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat

pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal atau pribadi

atau emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang

dituturkannya. Dilihat dari segi pendengar, bahasa berfungsi direktif, yaitu

mengatur tingkah laku pendengar. Finnochiaro (1974) dan Halliday (1973)

menyebutnya fungsi instrumental, sementar

fungsi retorikal. Dalam hal ini, bahasa tidak hanya membuat si pendengar

melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimau

si pembicara. Contohnya “Dilarang merokok di ruangan ber-AC”

Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan pendengar, bahasa

berfungsi fatik. Jakobson (1960) dan Finnochiaro (1974) menyebutnya

interpersonal, sedangkan Halliday (1973) menyebutnya interactional. Maksud

dari fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan

(39)

berfungsi fatik ini mempunyai ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan

biasanya disertai dengan gerak paralinguistik seperti senyuman, anggukan

kepala, geleng-geleng kepala, dan kedipan mata. Tujuannya tidak hanya

memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial dengan para partisipan

dalam pertuturan itu

5 Desember 2011).

Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini berfungsi referensial.

Finnocchiaro (1974) dan Halliday (1973) menyebutnya representational,

sedangkan Jakobson (1960) menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang

menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Fungsi referensial inilah

yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan

pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai dunia di

sekelilingnya. Contohnya “UPI adalah IKIP tertua di Indonesia”

Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang digunakan adalah berfungsi

metalingual atau metalinguistik (Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)),

artinya bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi

bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat (pesan yang akan disampaikan),

di mana bahasa berfungsi imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro (1974)

menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic speech ini berupa karya

seni seperti puisi, cerita, dongeng, lelucon, dan sebagainya

(40)

Kalau kita simpulkan, peranan sosiolingistik terhadap bahasa ini pada

intinya menilai bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau

menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih kompleks dari itu.

Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada

satu ukuran, tetapi harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa

itu, dalam hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui sosiolingguistik, kita dapat

memahami bahasa tidak dengan sudut pandang yang kaku.

Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa menghakimi bahasa

dengan sesuka hati. Kita juga tidak bisa menilai atau menetapkan suatu bahasa

itu kasar atau tidak, berestetik atau tidak, dan sebagainya. Dengan

sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap bahasa.

2.2 Ragam Bahasa

Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh terjadinya interaksi sosial yang dilakukan menurut hubungan pembicara, kawan bicara,

dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan atau ragam

bahasa adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda menurut topik

yang dibicaraka

indonesia/ diakses tanggal 28 April 2011).

Perbedaan-perbedaan bahasa dari penutur yang beragam menghasilkan

ragam-ragam bahasa. Dengan keadaan yang seperti itu bahasa menumbuhkan

(41)

Kridalaksana (1996 : 2) mengemukakan bahwa varian menurut pemakai

disebut dengan dialek dan varian menurut pemakaian disebut dengan ragam

bahasa. Variasi bahasa berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas dialek

regional, dialek sosial, dialek temporal dan idiolek. Sedangkan variasi bahasa

berdasarkan pemakaian bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa menurut

pokok pembicaraan, medium pembicaraan (lisan atau tulisan ) dan sistem tutur

sapa dengan unsur-unsur persona. Untuk lebih lanjut jelasnya dapat dilihat pada

diagram di bawah ini:

dengan daerah atau lokasi geografis disebut dialek; ragam bahasa yang Variasi

Menurut pemakai bahasa

(42)

berhubungan dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam bahasa yang

berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat formalitas disebut

fungsiolek; dan ragam bahasa yang mana perbedaan itu masih dapat dianggap

perbedaan ragam dalam suatu bahasa secara analog disebut kronolog.

Variasi bahasa berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni

variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada

pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu, sementara bila dikhususkan pada

variasi perorangan disebut dengan idiolek. Variasi bahasa kronoleg atau dialek

temporal yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa

tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan,

variasi yang digunakan tahun limapuluhan, dan variasi yang digunakan pada

masa kini. Variasi bahasa berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek

sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas

sosial para penuturnya. (Chaer dan Leonie, 2004: 63-64).

Variasi dari segi pemakaian atau ragam menyangkut bahasa itu digunakan

untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang adat, bidang sastra,

pendidikan dan kegiatan keilmuan. Variasi berdasarkan bidang kegiatan ini

biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak

digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang

kegiatan tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis (Chaer, 2004 : 68).

Kridalaksana (1993 : 224) mendefinisikan variasi bahasa sebagai satuan

yang sekurang-kurangnya mempunyai dua variasi yang dipilih oleh penutur

(43)

situasi. Variasi dianggap sistematis karena merupakan interaksi antara faktor

sosial dan faktor bahasa. Secara singkat dapat diformulasikan bahwa variasi

bahasa ada karena perpaduan antara bahasa itu sendiri dan faktor yang ada di

luar bahasa.

Nababan (1991 : 25) menempatkan pembagian variasi pada dua bagian

yang saling terkait, yaitu variasi dari segi penutur yang mencakup dialek,

idiolek, sosiolek dan dari segi pemakaian yang dikenal dengan ragam dan

fungsiolek yang berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat

formalitasnya.

Kajian variasi bahasa dari segi penggunaannya akan sangat jelas terlihat

dari keberadaan kosa kata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain,

contohnya, dalam kegiatan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa

Pakpak dapat ditemukan pada kosa kata kepeng ’uang’ dan riar ’uang’; baka

’sumpit’ dan kembal ’sumpit’; belagen ’tikar’ dan peramaken ’tikar’. Contohnya :

1. Kula- kula terhadap berru: Enggo ku jalo kami riar tokor berru nami. ‘Sudah kami terima uang mahar anak kami’.

Riar ’uang’ digunakan dalam konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari – hari disebut kepeng.

2. Kula–kula terhadap berru: Baing ke mo berras i kembal i, embahen berrunta ‘Masukkanlah beras dalam sumpit untuk dibawa berrunta.’

(44)

3. Berru terhadap kula – kula: Kundul mo kene i peramaken i. ‘Duduklah kalian di tikar itu’

Peramaken ’ tikar’ digunakan konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari– hari disebut belagen.

Ragam bahasa itu dapat juga ditemukan pada tingkat frasa, penggunaan

ungkapan (idiom) dan bahasa estetis dengan menggunakan umpama ’pantun’ dari kedudukan yang berbeda dari penuturnya seperti kula-kula ’rombongan pihak perempuan’ dan berru ’rombongan pihak laki-laki’ dan sinina rombongan yang semarga baik dari pihak perempuan maupun laki-laki’.

Contoh :

1. Ragam diksi penggunaan kata

ipesoh ‘diberikan’ (konteks adat) ibere ‘diberikan’ (bahasa sehari-hari) 2. Ragam diksi frasa

Merorohken pedasna ‘makanan ala kadarnya’ (konteks adat) Mangan silotna ‘makanan ala kadarnya’ (bahasa sehari-hari) 3. Ragam diksi mengenai pantun

Ketak-ketik mbelgah palu-paluna, bagen pe siboi ipe tupa kami mbelgah mo pinasuna. (artinya sederhanapun makanan yang dihidangkan pihak si gadis tetapi besarlah berkat yang ditimbulkannya)

4. Ragam diksi ungkapan

(45)

5. Ragam diksi kata sapaan

Tingkat tata krama kata sapaan

a. Sebutan kehormatan (tingkat tata krama)

Contoh: kula-kula nami (kata sapaan) b. Kekerabatan (tingkat tata krama)

Contoh: puhun’paman’, silih ‘ipar laki-laki’(kata sapaan)

Ragam bahasa terjadi akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu

dan keragaman fungsi bahasa itu. Andaikan penutur bahasa itu adalah kelompok

yang homogen, baik etnis, status sosial maka variasi atau ragam bahasa itu

dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan

di dalam masyarakat sosial (Chaer, 1985: 81).

Ragam bahasa

Penelitian ragam bahasa dari segi penggunaan tidak dapat terlepas dari

segi penuturnya. Hartman dan Stork dalam Chaer dan Leoni (2004:62)

menyatakan bahwa variasi dapat dibedakan berdasarkan kriteria latar belakang

geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan. adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda

menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara,

dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan.

Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa sosial penutur dalam

penelitian ini adalah masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa Pakpak

dengan medium lisan serta pokok pembicaraan adalah : upacara adat

(46)

2.3 Upacara Adat

Dalam KBBI upacara adat diartikan sebagai 1) Tanda-tanda kebesaran;

peralatan (menurut adat istiadat); 2) Rangkaian tindakan atau perbuatan yang

terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama 3) perbuatan atau perayaan

yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (2001 :

1250).

Adat dalam KBBI diartikan, 1) Aturan (perbuatan dan sebagainya) yang

lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) Cara (kelakuan dan

sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; 3) Wujud gagasan kebudayaan

yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,dan aturan yang satu dan

lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001 : 1250) .

2.3.1

Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak

Pada masyarakat Pakpak, istilah “Upacara” disebut Kerja. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk upacara (kerja) . Pertama disebut Kerja Baik, yaitu upacara yang ada hubungannya dengan sukacita. Kedua adalah Kerja Njahat. Pengertian kata Njahat di sini tidak sama dengan pengertian jahat dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi suatu perasaan sedih;

duka cita; atau keadaan jiwa yang gundah akibat mengalami suatu keadaan

yang sedih, pilu dan lain-lain. Dengan kata lain Kerja Njahat adalah suatu upacara yang dilakukan yang ada hubungannya denga perasaan duka cita

(Berutu dan Nurbani, 1998 : 8).

(47)

1. Merre nakan merasa (Nakan Raja) ’ Makanan raja’ 2. Mangan balbal ‘Makan putik nangka’

3. Mengkelimbisi ‘Mensyarati bayi’

4. Upacara menggonting ‘Memotong Rambut’ 5. Mertakil ‘Sunat’

6. Merbekaskom ‘Upacara Perkawinan’

Dalam hal ini kerja njahat tidak diuraikan karena yang diteliti adalah upacara perkawinan merbekaskom) yang merupakan bagian dari upacara sukacita.

Merbekaskom berasal dari dari kata bekkas dan kom. Bekkas artinya tempat, kebiasaan, keberadaan, sedangkan kom artinya berhenti atau stop. Maksudnya bila seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan,

tanggung jawab, atau masih bebas dari berbagai hak dan tanggung jawab

terutama yang menyangkut adat istiadat. Setelah kawin, hal tersebut berubah

dan si ego diberi peranan yang lebih kompleks dan besar dalam keluarga

maupun dalam masyarakat.

2.3.2 Perkawinan Pakpak

Masa peralihan hidup (life cicle) yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup

berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat, 1981: 90). Hampir semua

kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan

kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Demikian juga halnya

(48)

sangat penting. Dikatakan penting sebab dari beberapa jenis lingkaran hidup

yang terdapat dalam suku Pakpak, perkawinan ini mempunyai tempat

tersendiri baik dari segi dana dan waktu harus benar-benar dipersiapkan.

Selain itu perkawinan itu sendiri mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam

masyarakat Pakpak.

Selain itu dalam pelaksanaannya melibatkan bukan saja antara

sipemuda dan sipemudi sebagai calon pengantin namun juga melibatkan

anggota kerabat ke dua belah pihak. Semua orang tua mempunyai harapan

agar anaknya setelah besar cepat-cepat menikah untuk dapat meneruskan

generasi. Ini dapat diketahui dari falsafah Pakpak: ” Mbelgah anak iperunjukken mbelgah berru ipejaheken ”. ( jika anak sudah besar seharusnya dikawinkan).

2.4

Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai variasi bahasa sudah pernah dilakukan. Clifford

(1976 : 168) dalam hasil penelitian membagi dua bagian pokok, krama dan

ngoko. Pada tingkatan variasi ini tampak adanya perbedaan kedudukan sosial

yang dicontohkan dalam bentuk pertanyaan. Kalau si penanya mempunyai

status sosial yang lebih rendah dari si penjawab, biasanya digunakan krama,

sedangkan si penjawab menggunakan bentuk ngoko. Kalau si penanya

mempunyai status lebih tinggi dari si penjawab, dia menggunakan bentuk

(49)

penanya dan penjawab sederajat dan kalau sipenanya menggunakan bentuk

krama, si penjawab juga menggunakan bentuk krama; dan kalau digunakan

bentuk ngoko, jawabannya juga bentuk ngoko.

Misalnya:

Krama : Sampeyan ajeng teng pundi ? ‘Anda mau kemana’ (Status sosial lebih rendah dari si penjawab)

Ngoko : Arep mulih ‘Mau pulang’

(Status sosial lebih tinggi dari si penanya)

Ngoko : Kowe arep menyang endi ?

(Status sosial lebih tinggi dari si penjawab)

Krama : Ajeng wangsul ‘Mau pulang’

(Status sosial lebih rendah dari si penanya)

Krama : Sampean ajeng teng pundi ?

(Status sosial lebih tinggi dari si penjawab)

Dalam MP menggunakan BP juga ditemukan variasi penggunaan bahasa

atau ragam, tetapi tidak merujuk pada status sosial yang lebih rendah atau lebih

tinggi, variasi atau ragam bahasa itu hanya sebatas penggunaan sopan tidaknya

atau layak tidaknya ragam itu digunakan.

Contohnya dalam bentuk kalimat di bawah ini:

Sinina dengan sinina : I sen mo ko kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’

Berru terhadap kula-kula : I sen mo ke kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’

(50)

Sedangkan untuk ‘ke’ bila yang dipersilakan memiliki status dalam adat lebih dihormati dibanding orang yang mempersilakan.

Meliala (2002), meneliti kata sapaan dalam bahasa Karo yang

mendeskripsikan kata sapaan dan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Karo.

Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemakaian kata sapaan tersebut

disesuaikan dengan parameter, yaitu: umur, status sosial, status urutan

kelahiran, status dalam adat, dikenal atau tidak, jenis kelamin, situasi, dan

keakraban.

Girsang (2005), meneliti ragam bahasa dalam adat perkawinan

Simalungun. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemunculan ragam bahasa

pada upacara adat perkawinan masyarakat Simalungun (MS) memiliki

hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada

masing-masing kelompok. Pemunculan ragam bahasa berkait dengan peran yang

dilakukan oleh tondong, boru, dan sanina.

Ginting (2010), meneliti sistem dan struktur percakapan dalam bahasa

Karo. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa dalam konteks situasi

perkawinan,pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan tidak

dapat berbicara langsung, percakapan dilakukan dengan mediator, anak berru

dari kedua belah pihak yang mengakibatkan terbentuknya struktur yang

kompleks dan tidak lazim.

Temuan penelitian terdahulu itu sangat relevan dengan penelitian ini

dalam hal perbandingan bagi peneliti karena ragam bahasa dalam upacara adat

(51)

kedudukan status adat. Dalam melakukan dialog antara pihak kula-kula dan

berru tidak dapat berbicara langsung, dialog dilakukan dengan mediator yang disebut persinabul dan juga dalam penggunaan kata sapaan disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan status dalam adat.

Penelitian mengenai variasi bahasa baik dari sudut penutur maupun

penggunaannya sudah banyak dilakukan meskipun tidak dijabarkan satu persatu

dalam tulisan ini. Berdasarkan survei pustaka, penelitian ragam bahasa

mengenai perkawinan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa

Pakpak belum pernah dilakukan. Hasil penelitian ini mendeskripsikan tentang

ciri, perbedaan, dan makna ragam bahasa Pakpak sehingga diharapkan dapat

menjadi sarana pengenalan bahasa Pakpak kepada pembacanya, sekaligus juga

mempunyai dampak penting bagi penutur asli bahasa Pakpak agar mau

memakai bahasa dan budaya sendiri serta melestarikannya. Oleh karena itu

penelitian ini berjudul “Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang

dikumpulkan bukan angka-angka, melainkan berupa kata atau gambaran

sesuatu (Djadjasudarma, 1993:15). Metode ini adalah penyelidikan yang

dipusatkan tidak semata pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi

meliputi analisis dan interpretasi tentang data tersebut.

Metode deskriptif menurut Surakhmad (1980:139) yaitu peneliti

mencoba mendeskripsikan dan menganalisis data mulai dari tahap

pengumpulan, penyusunan data dibarengi dengan analisis dan interpretasi

terhadap data tersebut.

Penelitian ini tidak menganalisis data melalui populasi dan sampel. Hal

ini dimungkinkan karena objek penelitian hanya tertuju pada suatu gejala

tertentu yakni ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan MP. Dengan

demikian penelitian ini lebih dikenal dengan sebutan penelitian kasus karena

objek penelitian yang dilakukan hanya terinci dalam suatu gejala tertentu saja

(Arikunto, 1991: 115).

Ragam bahasa yang menjadi objek penelitian ini mencakup penggunaan

(53)

perkawinan MP berlangsung. Di samping mengidentifikasi ragam bahasa,

keterkaitan pemeran juga dikaji dalam penelitian ini.

Keterkaitan pemeran dalam arti kula-kula, berru, dan sinina juga memberi sesuatu terhadap pemunculan ragam bahasa dalam upacara adat

perkawinan MP. Masing-masing pemeran memiliki peranannya sendiri dalam

menentukan diksi atau pilihan kata yang digunakan.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat, Kecamatan Salak,

Desa Salak I dan Desa Salak II dimana pelaksanaan upacara adat perkawinan

Masyarakat Pakpak di daerah tersebut masih dilaksanakan sepenuhnya dengan

menggunakan bahasa Pakpak.

Kabupaten Pakpak Bharat sebagai pemekaran dari Kabupaten Dairi,

terletak pada garis 2º 15’00”- 3º32’00” lintang Utara dan dan 90º 00’ – 98º 31’

Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Dairi, sebelah Timur

dengan Kabupaten Samosir dan kabupaten Humbang Hasundutan, sebelah

Selatan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, dan sebelah Barat dengan Propinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Luas keseluruhan Kabupaten Pakpak Bharat adalah 1.218,30 km², yang

terdiri dari 8 kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan,

Kecamatan Sitellu Tari Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat

Rube, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, Kecamatan Pergetteng Getteng

(54)

Luas wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya dan

seluruh wilayah di luar kawasan ujung untuk pemanfaatan adalah seluas

77.893,39 ha. Sedangkan kawasan hutan terhitung seluas 43. 936,61 ha.

Untuk lebih jelasnya perhatikan Peta Kabupaten Pakpak Bharat dan Peta

(55)

Gambar 3.1 Peta Kabupaten Pakpak Bharat

(Sumber : Peta Citra Satelit Kabupaten Pakpak Bharat 2007)

Kec. Tinada Kec. Sitellu Tali

Urang Jehe

Kec. Kerajaan

Kec. Siempat Rube Kec. Pergetteng-getteng Sengkut

Kec. Sitellu Tali Urang Julu

(56)

Gambar 3.2 Peta Kecamatan Salak

(57)

Keterangan Gambar 3.2 :

(58)

3.3 Data dan Sumber Data

Menurut Chaer (2007: 39) dalam penelitian kualitatif, “jumlah data yang

dikumpulkan tidak tergantung pada jumlah tertentu, melainkan tergantung pada

taraf di mana dirasakan telah memadai”.

Data dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yaitu:

1. Sumber data dokumen, yaitu :

a. Perumpamaan Tradisional Pakpak (2006) oleh Lister Berutu

b. Pertuturan Pakpak (2006) oleh Lister Berutu

c. Mengenal upacara adat pada masyarakat Pakpak (2006) oleh Lister

Berutu

2. Sumber data lisan

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari penutur asli bahasa

Pakpak dengan informan penelitian ini diambil berdasarkan lokasi dan umur

penutur. Usia Informan 55 sampai dengan 75 tahun dengan alasan bahwa

pada usia tersebut biasanya sudah aktif mengikuti kegiatan adat. Kemudian

informan tersebut adalah orang yang sering dilibatkan dalam pembicaraan

upacara adat perkawinan sebagai persinabul ‘juru bicara’.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menurut Sudaryanto (1993:132-135) ada dua

macam, yaitu metode simak dan metode cakap yang mana kedua metode ini

(59)

digunakan untuk data tulis sedangkan metode cakap untuk data-data lisan.

Kedua metode ini dapat dijabarkan ke dalam teknik dasar dan teknik lanjutan.

Untuk menyempurnakan penelitian ini penulis melakukan beberapa

langkah yaitu:

1. Observasi

Penulis turut terlibat langsung mengamati acara pelaksanaan upacara

adat perkawinan berlangsung. Dengan kata lain penulis melakukan teknik

observasi atau pengamatan langsung dalam mengumpulkan data.

2. Pencatatan

Dalam operasionalnya digunakan teknik sadap sebagai teknik dasar

yaitu dengan menyadap (mencatat) dengan memilah-milah mana yang

termasuk ragam bahasa adat perkawinan. Dalam hal ini penulis sebagai

instrumen kunci yang melakukan pengamatan langsung dan mencatat data

yang sudah disimak.

3. Perekaman

Dalam hal ini sumber data tersebut direkam dengan handycam yang hasilnya dalam bentuk CD. Selanjutnya diseleksi dan ditulis kembali untuk

melengkapi data yang ada.

4. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yang berkaitan dengan upacara adat perkawinan

(60)

3.5 Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan penulis pada upacara adat perkawinan MP

lebih dikhususkan pada ragam bahasa dan keterikatan peran penutur dalam

kegiatan adat tersebut. Ragam bahasa yang dianalisis adalah penggunaan kata,

frasa, ungkapan, pantun dan kata sapaan.

Menurut Sudaryanto (1993: 13) metode yang dapat digunakan dalam

upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data ada dua yaitu metode padan

dan metode agih . Metode padan, alat penentunya di luar terlepas, dan tidak

menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan. Berbeda dengan

metode agih alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu

sendiri. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode padan pragmatis

dengan alat penentu mitra wicara. Langkah–langkah yang dilakukan adalah :

1. Data berbentuk dialog/percakapan dari hasil observasi, pencatatan,

perekaman maupun yang bersumber dari data tertulis diidentifikasi ragam

bahasa berdasarkan dialog melalui mediator ”persinabul” pihak kula-kula

dengan ”persinabul” pihak ”berru”.

2. Mendeskripsikan perbedaan ragam bahasa yang digunakan pihak kula-kula, pihak berru, dan sinina dengan mediator dari masing–masing pihak yaitu

persinabul berdasarkan tahapan pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Pakpak.

3. Mengklasifikasikan ragam bahasa yang digunakan dalam upacara adat

(61)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada bab ini dipaparkan data yang diperoleh dari sumber data lisan

maupun dari sumber data tertulis berupa dialog/percakapan persinabul pihak mempelai perempuan yang disebut kula-kula dengan persinabul pihak mempelai laki-laki sebagai berru.

Upacara adat perkawinan yang ideal bagi orang Pakpak disebut sitari-tari atau merbayo. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum upacara

merbayo dilaksanakan, yaitu:

1. Mengririt/mengindangi (meminang), 2. Mersiberen tanda burju (tukar cincin),

3. Mengkata Utang/mengelolo (menentukan mas kawin), 4. Merbayo (pesta peresmian), dan

5. Balik Ulbas (kembali menapak jejak). 4.1.1 Mengririt/mengindangi (meminang)

Mengririt (meminang) berasal dari kata ririt artinya seorang pemuda dan kerabatnya terlebih dahulu meneliti seorang gadis yang akan dinikahi.

Gambar

Gambar 3.1 Peta Kabupaten Pakpak Bharat
Gambar 3.2  Peta Kecamatan Salak (Sumber : Peta Citra Satelit Kabupaten Pakpak Bharat 2007)
Tabel 4.1 Ragam Penggunaan Kata
Tabel 4.3 Ragam Penggunaan Ungkapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ciri ragam (variasi) pemakaian kata sapaan (tutur sapa) dalam BMB terdapat dua ciri, yakni (1) ciri keformalan (formal) yang mengarah pada

Penelitian ini mendapatkan kesimpulan bahwa Pelleng merupakan makanan tradisional masyarakat Pakpak yang memiliki simbol ekspresi,simbol kultural,dan simbol identitas bagi

Kesimpulan dari penelitian ini sampai pada Pelleng memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat yang dapat menyatukan kehidupan masyarakat Pakpak dan juga menjadi identitas

Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat merupakan ibukota Kabupaten dan terdiri dari 6 (enam) desa yaitu : desa Boangmanalu, desa Kuta Tinggi, desa Penanggalan Binanga Boang,

Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya Pakpak bekerjasama dengan PT.Grasindo Monoratama Medan 2013.. Wahyudi,Dina Lumbantobing,dan

 Gaya bahasa masih menarik dari segi keindahan bahasa dan penggunaan ungkapan seperti peribahasa, pantun, cogan kata atau frasa..  Pengolahan menarik dan berkesan

Gaya bahasa masih menarik dari segi keindahan bahasa dan penggunaan ungkapan seperti peribahasa, pantun, cogan kata atau frasa... Ejaan dan tanda baca

Bentuk humor sama dengan bentuk kebahasaan yang berupa kata, frasa dan juga ungkapan. Bentuk bahasa yang termasuk humor adalah bentuk kata, frasa, atau ungkapan