RAGAM BAHASA DALAM UPACARA ADAT
PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK
TESIS
Oleh
ESTO TUMANGGOR
NIM : 097009005/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada
Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ESTO TUMANGGOR
NIM : 097009005/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK Nama Mahasiswa : Esto Tumanggor
NIM : 097009005
Program Studi : Linguistik
Menyetujui : Komisi Pembimbing,
(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D) (
Ketua Anggota
Dr. Dwi Widayati, M.Hum)
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah Diuji pada
Tanggal 22 November 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D
Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak dan perbedaan ragam bahasa Pakpak yang digunakan pihak kula-kula, berru dan pihak sinina. Kajian ini berkenaan dengan ragam bahasa Pakpak yang mencakupi pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata sapaan pada acara adat perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat, Kecamatan Salak, Desa Salak I dan Desa Salak II. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan meliputi : Observasi, pencatatan, perekaman,dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra wicara. Temuan penelitian disimpulkan bahwa ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak merupakan ciri khusus corak pembeda dalam kebahasaan. Corak ungkapan yang berbeda tersebut terlihat pada pemakaian bahasa yang ada dalam media komunikasi sehari-hari dan dalam kegiatan adat. Dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak, pemunculan ragam bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada masing-masing kelompok. Ragam bahasa yang merupakan corak penggunaan bahasa yang sangat khusus melahirkan perbedaan pada kata, frasa, ungkapan, pantun, dan kata sapaan. Perbedaan ini menjadikan penggunaan bahasa lebih sakral pada upacara adat daripada bahasa sehari-hari. Ragam bahasa Pakpak dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak adalah variasi penggunaan bahasa yang melahirkan adanya corak pembedaan dalam ungkapan-ungkapan kebahasaan.
Kata kunci : Ragam bahasa, adat perkawinan, masyarakat Pakpak, kula-kula, berru, sinina.
The purpose of this study was to describe the varieties of Pakpak language which has been used in traditional wedding ceremony in Pakpak community by the kula-kula, berru, and sinina. The varieties of Pakpak language include choice of words, phrases, use of expression (idiom) and units of aesthetic language such as umpama (parable),
pantun, and kata sapaan (word of greetings) in a traditional wedding ceremony. This study used qualitative descriptive methode was conducted in Salak I and Salak II Villages of Salak Subdistrict, West Pakpak District. The data for this study were obtained through observation, note taking, recording, and literature study. The data obtained were analyzed through pragmatic equivalent method with speaking partner as the determinant that this study finding was concluded as follows. The varieties of language in traditional wedding ceremony of Pakpak community is a special characteristic of distinguishing feature in language. The different feature of expression is seen through the use of language existing in daily media of communication and adat (cultural tradition) activities. In Pakpak traditional wedding ceremony, the existence of varieties of language has a much closed relationship with the status of adat role existing in respective group. The varieties of language which becomes a special feature of language use brings a difference in words, phrases, expressions, pantun, and words of greeting. This difference has made the use of language become more sacral in traditional/adat ceremony than in daily use. The varieties of Pakpak language in the traditional/adat wedding ceremony is the variation of language use which brings about a distinguishing feature in expressions of language.
Keywords: Varieties of language, traditional marriage, Pakpak community, kula-kula, berru, sinina.
RAGAM BAHASA DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT PAKPAK
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil
karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara
jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini
bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 22 November 2011
Esto Tumanggor
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
kasih-Nya, penulis dan keluarga dalam keadaan sehat walafiat sehingga penulis
berhasil menyelesaikan tesis ini.
Tesis yang berjudul ”Ragam Bahasa dalam Upacara Adat
Perkawinan Masyrakat Pakpak” ini adalah merupakan hasil penelitian
menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang penulis laksanakan melalui studi
kasus di Kabupaten Pakpak Bharat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain dalam
rangka menambah bahan rujukan sekaligus memperkaya khasanah kepustakaan
linguistik khususnya menyangkut upacara adat perkawinan etnis Pakpak.
Penulis telah mengupayakan penyelesaian tesis ini semaksimal mungkin
dengan bantuan berbagai pihak, namun kemungkinan hasilnya masih belum
sempurna, untuk itu penulis sangat berterima kasih menerima masukan atau saran
konstruktif dari pembaca demi perbaikan tesis ini.
Medan, 22 November 2011 Penulis,
Esto Tumanggor NIM : 097009005
Pertama sekali penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha
Esa karena berkat rahmat dan kasihNya, penulis dan keluarga dalam keadaan sehat
walafiat sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis ini.
Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis mendapat berbagai bantuan baik
dalam bentuk materil maupun moril dari barbagai pihak. Untuk itu, penulis sangat
berterima kasih dengan tulus ikhlas dan menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp. Ak, Rektor
Universitas Sumaetra Utara,
2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara,
3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, Ketua Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai dosen penguji seminar
hasil serta dosen penguji sidang tesis penulis ini; yang telah banyak memberikan
masukan berharga sehingga tesis ini selesai dengan baik,
4. Dr. Nurlela, M.Hum, Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara,
5. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D, pembimbing I; yang telah banyak meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini,
waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan arahan kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini,
7. Dr. Eddy Setia, M.Ed.TESP dosen program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai dosen penguji seminar
hasil serta dosen penguji sidang tesis penulis ini; yang telah banyak memberikan
masukan berharga sehingga tesis ini selesai dengan baik,
8. semua dosen Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara; yang telah banyak membekali penulis selama perkuliahan
sehingga penulis memiliki bekal ilmu untuk menulis tesis ini,
9. semua pegawai Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara; yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi
akademik sampai dengan administrasi penyelesaian tesis ini,
10.rekan-rekan satu angkatan mahasiswa peserta Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; yang telah banyak memberikan
dorongan serta semangat sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan,
11.Ir. Zulkifli Lubis, M.I.Komp., Direktur Politeknik Negeri Medan, Drs. Bambang
Sugiyanto, M.P., Pembantu Direktur I, Syahruddin, S.T. M.T., Pembantu Direktur
II, Cipta Dharma, S.E. M.Si., Pembantu Direktur III, Drs. Ir. Salamat Sibarani,
M.T., Pembantu Direktur IV, dan Ir. Abdul Basir, M.T., Ketua Jurusan Teknik
Mesin Politeknik Negeri Medan; yang telah memberi izin kuliah dan telah banyak
memberi semangat serta memfasilitasi penulis dalam mengikuti perkuliahan
yang telah banyak memberi dukungan, inspirasi, dan semangat kepada penulis
untuk menyelesaikan tesis ini,
13.anak-anak tersayang : Gerald Alberto Sibarani, Evie Theresia Nurlolo Sibarani,
Nellie Sere Christina Sibarani, dan Juwita Permata Sari Sibarani; yang menjadi
sumber inspirasi dan semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini, dan
14.seluruh keluarga lainnya maupun pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis
sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa menyertai dan memberi berkat yang terbaik
bagi semua pihak.
Medan, 22 November 2011 Penulis,
Esto Tumanggor NIM : 097009005
Nama : Esto Tumanggor
Tempat / Tgl. Lahir : Singgabur (Pakpak Bharat) / 14 Desember 1960
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Dosen Politeknik Negeri Medan
Status Perkawinan : Kawin
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Komp. Politeknik USU No. 39, Jalan Pintu Air IV,
Medan 20142
No. Tel / HP : (061) 836 1331 / 081 397 020 155
Pendidikan Formal : 1. SD Negeri 2 Sidikalang Lulus 1972
2. SMP Negeri 2 Sidikalang Lulus 1975
3. SMA HKBP Nomensen P. Siantar Lulus 1979
4. S1 Bhs Indonesia IKIP Negeri Medan Lulus 1984
Halaman
ABSTRAK ………..…... i
ABSTRACT ... ii
PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ………..…... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DATA PRIBADI ………..………….. viii
DAFTAR ISI ……….………... ix
DAFTAR TABEL ………..……… xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...………...……….... xiv
DAFTAR SINGKATAN ...………...……….. xv
BAB I PENDAHULUAN ……….….………...………... 1
1.1 Latar Belakang ... ..……...……....………... 1
1.2 Sejarah Singkat Kabupaten Pakpak Bharat ... 8
1.3 Masalah ...………….……….………... 10
1.4 Batasan Masalah ... 10
1.5 Tujuan Penelitian ………..………... 11
1.6 Manfaat Penelitian ………..………... 11
1.7 Definisi Istilah ... 12
2.1 Sosiolinguistik ...…... 15
2.2 Ragam Bahasa ... 19
2.3 Upacara Adat ... 25
2.4 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan ...….. 27
BAB III METODE PENELITIAN ………...………..……….... 31
3.1 Desain Penelitian ... ……...……… 31
3.2 Lokasi Penelitian ...………...………. 32
3.3 Data dan Sumber Data ..…………..………... 37
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 37
3.5. Analisis Data ... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...……..……... 40
4.1 Hasil Penelitian ..………..……….….. 40
4.1.1 Mengririt ... 40
4.1.2 Mersiberren Tanda Burju ... 41
4.1.3 Mengkata Utang ... 42
4.1.4 Merbayo ... 50
4.1.5 Balik Ulbas ... 57
4.2 Pembahasan ...………..…………. 59
4.2.1 Ragam Bahasa Pakpak yang Digunakan ... 59
4.2.1.1 Ragam Penggunaan Kata ... 61
4.2.1.2 Ragam Penggunaan Frasa ... 64
4.2.1.5 Ragam Penggunaan Sapaan ... 71
4.2.2 Perbedaan Ragam Bahasa Pakpak ... 75
4.2.2.1 Peran dalam Upacara Adat Perkawinan ... 75
a. Peran Berru kepada Kula-kula ... 75
b. Peran Kula-kula kepada Berru ... 75
c. Peran Sinina ... 76
4.2.2.2 Hubungan Peran Penutur ... 76
a. Ragam Penggunaan Kata ... 76
b. Ragam Penggunaan Frasa ... 79
c. Ragam Penggunaan Pantun ... 81
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ………....…………..……..……... 85
5.1. Simpulan ………...………..…………... 85
5.2. Saran ………..…………. 87
DAFTAR PUSTAKA ………..……….. 89
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………..…….. 92
Halaman
Tabel 4.1 Ragam Penggunaan Kata ... 63
Tabel 4.2 Ragam Penggunaan Frasa ... 65
Tabel 4.3 Ragam Penggunaan Ungkapan ...……..…………. 68
Tabel 4.4 Tingkat Tatakrama Kata Sapaan ...………. 73
Tabel 4.5 Kata Sapaan dan Tingkat Kesantunan ... 74
Tabel 4.6 Penggunaan Kata Sapaan dan Tingkat Kesantunan ... 74
Tabel 4.7 Kata yang Digunakan Kula-kula dan Berru ... 79
Tabel 4.8 Kata yang Digunakan Pihak Kula-kula ... 79
Tabel 4.9 Kata yang Digunakan Pihak Berru ... 79
Tabel 4.10 Frasa yang Digunakan Kula-kula dan Berru ...……… 80
Tabel 4.11 Frasa yang Digunakan Berru ...………. 80
Tabel 4.12 Frasa yang Digunakan Kula-kula ……….……..………….. 81
Tabel 4.13 Umpama yang Digunakan Kula-kula dan Berru ...……… 82
Tabel 4.14 Umpama yang Digunakan Kula-kula ..………..…………..……….. 83
Tabel 4.15 Umpama yang Digunakan Berru ………..… 84
Tabel 4.16 Ciri Penggunaan Umpama .……….. 84
Halaman
Gambar 2.1 Variasi Bahasa ... 20
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Pakpak Bharat ... 34
Gambar 3.2 Peta Kecamatan Salak ... 35
Halaman
Lampiran 1. Data Informan ... ... 92
Lampiran 2. Data Mengkata Utang (Membicarakan Mas Kawin) ... 93
Lampiran 3. Data Merbayo (Pesta Perkawinan) ... 95
Lampiran 4. Data Balik Ulbas ... 97
BP : Bahasa Pakpak
MP : Masyarakat Pakpak
PP : Pihak Perempuan
PL : Pihak Laki-laki
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak dan perbedaan ragam bahasa Pakpak yang digunakan pihak kula-kula, berru dan pihak sinina. Kajian ini berkenaan dengan ragam bahasa Pakpak yang mencakupi pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata sapaan pada acara adat perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat, Kecamatan Salak, Desa Salak I dan Desa Salak II. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan meliputi : Observasi, pencatatan, perekaman,dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode padan pragmatis dengan alat penentu mitra wicara. Temuan penelitian disimpulkan bahwa ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak merupakan ciri khusus corak pembeda dalam kebahasaan. Corak ungkapan yang berbeda tersebut terlihat pada pemakaian bahasa yang ada dalam media komunikasi sehari-hari dan dalam kegiatan adat. Dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak, pemunculan ragam bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada masing-masing kelompok. Ragam bahasa yang merupakan corak penggunaan bahasa yang sangat khusus melahirkan perbedaan pada kata, frasa, ungkapan, pantun, dan kata sapaan. Perbedaan ini menjadikan penggunaan bahasa lebih sakral pada upacara adat daripada bahasa sehari-hari. Ragam bahasa Pakpak dalam upacara adat perkawinan Masyarakat Pakpak adalah variasi penggunaan bahasa yang melahirkan adanya corak pembedaan dalam ungkapan-ungkapan kebahasaan.
Kata kunci : Ragam bahasa, adat perkawinan, masyarakat Pakpak, kula-kula, berru, sinina.
The purpose of this study was to describe the varieties of Pakpak language which has been used in traditional wedding ceremony in Pakpak community by the kula-kula, berru, and sinina. The varieties of Pakpak language include choice of words, phrases, use of expression (idiom) and units of aesthetic language such as umpama (parable),
pantun, and kata sapaan (word of greetings) in a traditional wedding ceremony. This study used qualitative descriptive methode was conducted in Salak I and Salak II Villages of Salak Subdistrict, West Pakpak District. The data for this study were obtained through observation, note taking, recording, and literature study. The data obtained were analyzed through pragmatic equivalent method with speaking partner as the determinant that this study finding was concluded as follows. The varieties of language in traditional wedding ceremony of Pakpak community is a special characteristic of distinguishing feature in language. The different feature of expression is seen through the use of language existing in daily media of communication and adat (cultural tradition) activities. In Pakpak traditional wedding ceremony, the existence of varieties of language has a much closed relationship with the status of adat role existing in respective group. The varieties of language which becomes a special feature of language use brings a difference in words, phrases, expressions, pantun, and words of greeting. This difference has made the use of language become more sacral in traditional/adat ceremony than in daily use. The varieties of Pakpak language in the traditional/adat wedding ceremony is the variation of language use which brings about a distinguishing feature in expressions of language.
Keywords: Varieties of language, traditional marriage, Pakpak community, kula-kula, berru, sinina.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial masyarakat, bahasa merupakan alat komunikasi
utama yang digunakan oleh manusia. Dengan bahasa manusia berinteraksi
dengan sesamanya dan dengan bahasa itu pula menjadikan manusia berbeda
dengan semua mahluk lainnya. Oleh karena itu, sesuatu yang faktual bahwa
bahasa yang digunakan manusia bervariasi disebabkan keragaman masyarakat
pemakainya.
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Bahasa dipergunakan untuk mengutarakan dan menerima pikiran dan perasaan
manusia. Sebahagian besar kegiatan manusia modern melibatkan penggunaan
bahasa. Wajarlah kiranya apabila manusia berusaha memahami hakikat itu.
Bahasa adalah satu simbol vokal yang arbitrer yang dipakai dalam komunikasi
manusia (Wardhaugh 1972 : 3 dalam Alwasilah 1993 : 3).
Bahasa yang digunakan manusia meskipun bervariasi merupakan
perwujudan dari adanya bentuk kerjasama (joint action) antara penutur dengan penutur (dalam bahasa lisan) atau penulis dengan pembaca (dalam bahasa
yang bermakna sehingga tidak terjadi kesalahpahaman baik bagi yang
memberikan pesan maupun yang menerima (Clark and Clark, 1996: 3).
Variasi Bahasa disebabkan oleh kegiatan interaksi sosial yang dilakukan
oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para
penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua
pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial
penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi, variasi bahasa itu
terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi
bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai
alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua
pandangan ini dapat saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi bahasa itu
dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan
di dalam masyarakat sosial.
Bahasa merupakan bagian dalam kebudayaan. Bahasa terdiri atas bahasa
lisan dan tulisan. Sebagai bagian dari kebudayaan di mana manusia memegang
peranan penting, bahasa juga turut ambil bagian dalam peran manusia itu karena
fungsinya sebagai alat komunikasi yang terus berkembang sesuai dengan
perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Karena bagian dari budaya dan
peranannya terhadap manusia inilah bahasa perlu dilestarikan, terutama yang
berkenaan dengan pemakaian bahasa daerah karena merupakan lambang
identitas suatu daerah, masyarakat, keluarga dan lingkungan. Pemakaian bahasa
daerah cenderung diasosiasikan dengan perasaan, kehangatan, keakraban, dan
spontanitas (Alwasilah, 1993 : 8).
Di Indonesia ini sangat banyak dijumpai bahasa daerah dan sampai
sekarang masih dipertahankan oleh etnis pemakainya. Satu di antara bahasa
daerah tersebut adalah bahasa Pakpak yang merupakan bahasa sehari-hari di
daerah tempat kelahiran peneliti/penulis.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Pakpak tidak hanya
berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah serta
alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi
sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai bahasa pengantar di sekolah, di
pedesaan, pada tingkat permulaan serta sebagai alat pengembangan dan
pendukung kebudayaan daerah.
Dengan fungsinya yang demikian, perlu dipikirkan usaha pembinaan
bahasa Pakpak yang didahului oleh suatu perencanaan sehingga pembinaan dan
pengembangan bahasa Pakpak merupakan suatu keharusan di samping
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia (UUD 1945, Bab XV : Pasal
36). Usaha pengembangannya harus mencakup pembinaan di bidang struktur
bahasa, bidang pemakai dan pemakaian, agar strukturnya terpelihara dan sesuai
dengan keperluan sosial budaya masa kini. Tujuan pembinaan di bidang
pemakai ialah agar kedwibahasaan penuturnya tetap stabil artinya pemakai
menguasai bahasa Pakpak dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional secara
bahasa Pakpak tetap memakai bahasa itu sesuai dengan fungsinya dalam
keseimbangan dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Solin (1998: 122) mengamati bahwa penutur bahasa Pakpak bilingualis
yaitu bahasa Pakpak dan bahasa Toba, di samping bahasa Indonesia.
Menurutnya, bahasa Batak Toba banyak dipakai/digunakan oleh penutur bahasa
Pakpak terutama yang beragama Kristen, yang merupakan agama mayoritas
penduduk suku Pakpak. Dalam perantauan, bahasa Pakpak sangat jarang
digunakan apalagi bila bertemu dengan suku Toba.
Bahasa yang jarang digunakan lambat laun dapat menjadi bahasa mati.
Demikian juga bahasa Pakpak ini, kalau semakin jarang digunakan karena
dominannya bahasa Toba, bukan mustahil akan hilang dari ”peredaran”. Akan
tetapi peneliti berharap hal ini tidak akan terjadi, karena berarti menghilangkan
salah satu identitas bangsa.
Teori evolusi tentang seleksi alam yang menimpa makhluk hidup, kini
mungkin terjadi pula pada bahasa. Terlepas dari kontroversi teori yang
dikemukakan Charles Darwin (12 Februari 1809-19 April 1882) itu, sejumlah
bahasa di dunia terancam punah. Kekhawatiran itu sudah menyeruak dengan
mulai berkurang bahkan hilangnya penutur beberapa bahasa ibu atau bahasa
daerah.
Dr. Gufran Ali Ibrahim, pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun
Ternate, dalam makalahnya pada Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi
Karsa Jakarta, 28 Oktober-1 November 2008 lalu menulis bahwa dalam buku
bahasa di dunia. Dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur 1 juta orang atau
lebih. Jumlah penutur yang besar ini berbanding terbalik dengan kira-kira 450
bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur sangat sedikit, telah berusia tua,
dan cenderung bergerak menuju kepunahan. Pada saat yang sama, rata-rata
jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanya berkisar 6.000 orang atau lebih,
hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebih penutur, dan hanya
separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang.
Menurut Gufran, secara garis besar ada dua faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab utama kepunahan bahasa daerah. Pertama, para orang tua
tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi
menggunakannya di rumah. Kedua, ini merupakan pilihan sebagian masyarakat
untuk tidak menggunakan bahasa ibu dalam ranah komunikasi sehari-hari.
Kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang
dan miskin. Beberapa negara di antaranya memiliki populasi etnik tak lebih dari
5.000 orang, meskipun beberapa di antaranya memiliki jumlah populasi etnik
yang cukup besar, seperti bahasa Lenca (36.858 orang) dan bahasa Pipil
(196.576 orang) di El Salvador. Namun demikian, penutur aktif kedua bahasa
ini hanya sekitar 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah terancam
punah di antara populasi totalnya yang relatif banyak. Sebagian besar dari
bahasa-bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnik minoritas
terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki begitu
beragam bahasa dan budaya (http : //pustakabahasa.wordpress.com/2009
Kabupaten Pakpak Bharat dengan jumlah penduduk 36.972 jiwa, hampir
90 % terdiri dari etnis Pakpak (Katalog BPS : Pakpak Bharat dalam Angka
2008). Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa di daerah Pakpak Bharat yang
merupakan pusat berdomisilinya etnis Pakpak, mayoritas penduduknya masih
menggunakan Bahasa Pakpak sebagai ranah komunikasi sehari-hari. Hal ini
memberi harapan bahwa bahasa Pakpak tidak akan punah jika para orang tua
mau mengajarkan bahasa Pakpak kepada anak-anak mereka
Dalam penelitian ini kajian diutamakan pada ragam bahasa Pakpak (yang
selanjutnya disingkat BP) dalam upacara adat perkawinan pada masyarakat
Pakpak (yang selanjutnya disingkat dengan MP). Ragam bahasa yang diteliti
mencakup pemilihan kata, frasa, penggunaan ungkapan (idiom) dan satuan
estetis bahasa berupa umpama ‘pantun’ dan kata sapaan pada acara adat perkawinan.
Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang
dipantulkan oleh kata-kata itu istilah ini bukan saja dipergunakan untuk
menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu
gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan
sebagainya. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap bahwa
persoalan pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak
perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi secara wajar pada setiap
manusi. Dalam kehidupan sehari-hari kita berjumpa dengan orang-orang yang
sulit mengungkapkan maksudnya dan sangat miskin variasi bahasanya. Tetapi
mengobralkan perbendarahaan katanya, namun tidak ada isi yang tersirat
dibaliknya. Untuk tidak sampai terseret ke dalam kedua ekstrim itu, tiap
anggota masyarakat harus mengetahui bagaimana pentingnya peranan kata-kata
dalam komunikasi sehari-hari (Keraf, 1981:18).
Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat
nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan
kemampuan untuk menentukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa
yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan
sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau
pembendaharaan kata bahasa itu.
Ragam bahasa yang muncul dalam upacara adat perkawinan masyarakat
Pakpak (MP) dominan dari masing-masing kedudukan baik itu dalam statusnya
sebagai Kula-kula (pihak dari calon pengantin wanita) maupun Berru (pihak dari calon pengantin laki-laki) dan Sinina (teman satu marga) baik dari pihak calon pengantin wanita maupun laki-laki. Ragam bahasa muncul saat tutur
komunikasi berlangsung antara masing-masing pihak dan kedudukan.
Berutu dan Tandak (2002:13) menyatakan bahwa ada indikasi mengarah
kurang dipakainya adat tersebut oleh orang Pakpak sendiri. Fakta di lapangan
menunjukkan adanya kecenderungan untuk meninggalkan adat tersebut,
terutama di daerah perantauan dan keluarga-keluarga yang kawin campur
lain yang dikawini atau mengawini. Dengan sendirinya bahasa Pakpak praktis
tidak digunakan dalam upacara adat tersebut.
Pentingnya fungsi bahasa daerah maka perlu dilakukan penelitian yang
mendasar secara sungguh-sungguh terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Bahasa Pakpak adalah salah satu bahasa daerah di Sumatera Utara yang masih
hidup yang digunakan masyarakat etnis Pakpak yang berdomisili di Kabupaten
Pakpak Bharat. Dengan demikian, bahasa yang diteliti dalam tesis ini adalah
bahasa Pakpak yang berkaitan dengan variasi bahasa yaitu ragam bahasa yang
digunakan dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak .
Sehubungan dengan uraian di atas peneliti sebagai penutur asli bahasa
Pakpak ingin “menguak” sebagian kecil dari fenomena yang terdapat dalam
bahasa Pakpak, yaitu Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan
Masyarakat Pakpak.
1.2 Sejarah Singkat Kabupaten Pakpak Bharat
Dalam rangka mengejar ketertinggalannya dengan penduduk lain di
sekitarnya, yang didasari timbulnya aspirasi, keinginan dan tekad bulat dari
masyarakat Pakpak Bharat untuk meningkatkan status daerahnya menjadi suatu
kabupaten dalam kerangka NKRI, dengan tujuan agar masyarakat Papak Bharat
dapat memperjuangkan dan mengatur pembangunan masyarakat dan daerah,
sesuai dengan aspirasinya untuk meningkatkan taraf hidup menuju masyarakat
yang adil, makmur dan sejahtera merupakan dasar dari usul dibentuknya
Pakpak Bharat sebenarnya bukan wilayah baru. Kabupaten yang
mengambil tiga kecamatan dari Dairi ini mengambil nama sub-wilayah suku
Pakpak. Sebelum Belanda masuk ke Pakpak / Dairi, suku yang penduduknya
tersebar di Kabupaten Pakpak Bharat, Aceh Selatan, dan Pakpak Bharat ini
sudah mempunyai struktur pemerintahan sendiri.
Raja Ekuten atau Takal Aur bertindak sebagai pemimpin satu suak. Suku Pakpak terdiri atas lima suak, yaitu Suak Simsim, Keppas, Pegagan, Boang, dan Kelasen. Di bawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh pertaki.
Pada umumnya pertaki juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya. Di setiap kuta ada Sulang Silima, sebagai pembantu pertaki yang terdiri dari perisang-isang, perekur-ekur, pertulan tengah, perpunca ndiadep, dan perbetekken. Meski struktur pemerintahan ini sudah tidak dipakai tetap dipertahankan sebagai hukum adat budaya Pakpak.
Hampir 90 persen penduduk di Pakpak Bharat beretnis Pakpak. Berbeda
dengan kabupaten induknya dihuni bermacam-macam suku, suku Pakpak,
Batak Toba, Mandailing, Nias, Karo, Melayu, Angkola, dan Simalungun serta
suku lainnya. Agaknya, hal inilah yang menjadi pendorong wilayah Pakpak
untuk memekarkan diri. Selain alasan pentingnya adalah untuk
mengoptimalkan penggarapan potensi, percepatan pembangunan fisik, dan
pertumbuhan ekonomi wilayah terutama pembangunan sumber daya manusia.
Aspirasi masyarakat Pakpak Bharat disampaikan secara resmi melalui
Komite Pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat yang diketahui oleh St. Dj. Field
menyampaikan usul pemekaran Kabupaten Pakpak Bharat ke DPRD Kabupaten
Dairi.
Selanjutnya pada Tahun 2007, kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat
berkembang sehingga menjadi 8 yakni ; Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe,
Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Tinada, Kecamatan Pagindar, Kecamatan
Pergetteng-getteng Sengkut, Kecamatan Salak, Kecamatan Siempat Rube, dan
Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu.
1.3 Masalah
Penelitian ini menyajikan kajian ragam bahasa dalam upacara adat
perkawinan masyarakat Pakpak. Secara rinci masalah yang akan diteliti adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah ragam BP yang digunakan dalam upacara adat perkawinan
masyarakat Pakpak?
2. Bagaimanakah perbedaan ragam BP yang digunakan pihak kula-kula, berru
dan pihak sinina?
1.4 Batasan Masalah
Mengingat luasnya kajian mengenai variasi bahasa maka penelitian ini
dibatasi pada variasi dari segi pemakaian yaitu ragam bahasa dalam upacara
adat perkawinan masyarakat Pakpak yang mencakup penggunaan kata, frasa,
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan ragam bahasa dalam
upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak. Adapun ragam bahasa yang dikaji
dalam pelaksanaan Upacara adat perkawinan tersebut adalah pemilihan kata
yang mencakup kata, frasa, ungkapan (idiom), penggunaan pantun serta kata
sapaan. Ragam bahasa ini akan diklasifikasikan melalui kelompok pelakunya
apakah kula-kula, berru, atau sinina baik dari pihak kula-kula maupun berru. Berdasarkan kajian yang dilakukan, tujuan penelitian adalah:
1. Mendeskripsikan ragam BP yang digunakan dalam upacara adat perkawinan
masyarakat Pakpak
2. Mendeskripsikan dan menganalisis perbedaan ragam BP direalisasikan
dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pakpak oleh berbagai pihak
yang terkait yaitu kula-kula, berru dan sinina.
1.6 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan
ilmu kebahasan (linguistik) pada umumnya, dan bagi penambahan khasanah
kajian sosiolinguistik pada khususnya. Hasil dari penelitian ini akan
memberikan masukan pada perkembangan kajian bahasa khususnya bahasa
2. Manfaat Praktis
Selain itu, secara praktis temuan penelitian ini diharapkan memotivasi
masyarakat etnis Pakpak unutuk mencintai dan bangga terhadap bahasa dan
adat-istiadatnya agar dapat terwujud pelestarian bahasa Pakpak sehingga
bahasa Pakpak terhindar dari kepunahan. Selanjutnya, diharapkan juga
sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan tentang ragam bahasa
dalam adat perkawinan etnis lainnya.
1.7 Definisi Istilah
Ragam bahasa : Variasi bahasa menurut pemakaian
Persona : Orang atau benda yang berperanan dalam pembicaraan
Medium : Perantara, alat untuk mengalihkan atau mencapai sesuatu
Situasi tutur : Keadaan ucapan, kata, lisan
Ego : Seorang individu yang dijadikan sebagai pusat orientasi
atau perhatian dalam melihat istilah kekerabatan
Amalgamasi : Kawin campur
Kula-kula : Kelompok kekerabatan dari pihak pemberi gadis atau istri
Berru : Kelompok kekerabatan dari pihak penerima gadis
Sinina : Kelompok kekerabatan berdasarkan garis keturunan yang
paralel baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu
Persinabul : Juru bicara adat, baik dari pihak kula-kula maupun dari
pihak berru
Sukut : Sebutan kelompok pelaksana dalam suatu upacara adat
Pakpak
Sukut Mbellen : Sebutan pelaksana utama dalam suatu upacara adat Pakpak
Bayo : Istilah kekerabatan yang bermakna tabu (pantang)
Puhun : Sapaan menantu laki-laki untuk mertua laki-laki
Nampuhun : Sapaan menantu laki-laki untuk mertua perempuan
Mamberru : Sapaan menantu perempuan untuk mertua laki-laki
Namberru : Sapaan menantu perempuan untuk mertua perempuan
Silih : Sebutan untuk adik laki-laki dari istri
Purmen : Menantu perempuan
Kela : Menantu laki-laki
Patua : Sapaan untuk abang tertua laki-laki dari ayah
Tonga : Sapaan untuk adik laki-laki dari ayah
Pago - pago : Uang saksi dalam suatu transaksi
Gedo – gedo : Permintaan khusus ibu pengantin perempuan
Merbayo : Upacara perkawinan yang dianggap ideal oleh orang pakpak
Oles : Kain atau sarung
Nditak : Makanan yang terbuat dari tepung beras
Kaing : Mas kawin
Dengan sibeltek : Teman semarga
Penantum : Penampung
Suak : Daerah
Aur : Negeri
Pertaki : Raja
Sulang silima : Struktur kekerabatan yang terdiri atas lima bagian
Perekur-ekur : Bungsu
Pertulan tengah : Anak tengah
Betekken : Bagian atas kaki depan dari seekor hewan sembelihan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosiolinguistik
Analisis kaum struktural semata-mata berorientasi pada bentuk, tanpa
mempertimbangkan bahwa satuan-satuan bahasa di samping bersifat lingual
juga memiliki sifat ekstralingual. Konsep masyarakat homogen yang menjadi
pegangan kaum strukturalis membawa konsekuensi tidak turut
dipertimbangkannya berbagai variasi bahasa. Bagi sosiolonguis masyarakat
bahasa selalu bersifat heterogen, dan bahasa yang digunakan selalu
menunjukkan berbagai variasi internal sebagai akibat keberagaman latar
belakang sosial budaya penuturnya (Wardaugh, 1986 : 13).
Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori sosiolinguistik mengenai
variasi bahasa dari segi penggunaannya yang dikenal dengan sebutan ragam
bahasa. Dengan mengutip pendapat Fishman (1972 : 4), Kridalaksana
mengatakan bahwa sosiolinguistik sebagai cabang linguistik berusaha
menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi
bahasa dengan ciri-ciri sosial dengan kemasyarakatan. Oleh karena itu,
sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi
bahasa, serta hubungan di antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam satu
masyarakat bahasa. Sedangkan menurut (Nababan 1991 : 2), Sosiolinguistik
Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dikaji dari struktur
internal seperti morfologi, sintaksis maupun fonologi yang tercakup dalam
wahana linguistik, tetapi sebagai sarana komunikasi di dalam masyarakat
manusia. Untuk itu bahasa dapat juga didekati melalui kajian eksternal yang
menitikberatkan pada pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan yang
dikenal dengan sebutan sosiolinguistik (Nababan, 1991 : 2).
De Saussure (dalam Chaer dan Leonie, 2004: 2-3) mengisyaratkan bahwa
ternyata dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi “makna” kepada
bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa. Ragam-ragam
bahasa ini bukan hanya dapat menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam
masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa, dan
mencerminkan tujuan, topik, kaidah, dan modus-modus penggunaan bahasa.
Dengan demikian dimensi kemasyarakatan yang melahirkan ragam bahasa
dikarenakan penutur yang heterogen akan dapat dipahami bila kajian internal
struktur linguistik menjadi penopang kajian eksternal struktur bahasa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemakaian bahasa dalam tindak
komunikasi bukan hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, melainkan
juga oleh faktor-faktor nonlinguistik (Suwito, 1983 : 23). Faktor-faktor
nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa boleh jadi
dikarenakan adanya perbedaan status sosial, tingkat pendidikan, usia dan
menjadikan faktor nonlinguistik mengambil peranan dalam penggunaan bahasa.
Singkatnya, siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana,
dan mengenai masalah apa merupakan persoalan sosingulistik.
Sosiolinguistik memandang bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi atau
alat untuk menyampaikan pikiran. Karena, yang menjadi sorotan dalam soiolingistik
adalah siapa yang berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan apa
tujuannya.
Pandangan sosiolingistik terhadap bahasa dapat dilihat dari fungsi-fungsi
bahasa melalui sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan. Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal atau pribadi
atau emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya. Dilihat dari segi pendengar, bahasa berfungsi direktif, yaitu
mengatur tingkah laku pendengar. Finnochiaro (1974) dan Halliday (1973)
menyebutnya fungsi instrumental, sementar
fungsi retorikal. Dalam hal ini, bahasa tidak hanya membuat si pendengar
melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimau
si pembicara. Contohnya “Dilarang merokok di ruangan ber-AC”
Dilihat dari segi kontak antara penutur dengan pendengar, bahasa
berfungsi fatik. Jakobson (1960) dan Finnochiaro (1974) menyebutnya
interpersonal, sedangkan Halliday (1973) menyebutnya interactional. Maksud
dari fungsi ini adalah menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan
berfungsi fatik ini mempunyai ungkapan-ungkapan yang sudah berpola dan
biasanya disertai dengan gerak paralinguistik seperti senyuman, anggukan
kepala, geleng-geleng kepala, dan kedipan mata. Tujuannya tidak hanya
memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial dengan para partisipan
dalam pertuturan itu
5 Desember 2011).
Fungsi bahasa dilihat dari segi topik ujaran ini berfungsi referensial.
Finnocchiaro (1974) dan Halliday (1973) menyebutnya representational,
sedangkan Jakobson (1960) menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang
menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Fungsi referensial inilah
yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu alat untuk menyatakan
pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur mengenai dunia di
sekelilingnya. Contohnya “UPI adalah IKIP tertua di Indonesia”
Fungsi bahasa apabila dilihat dari kode yang digunakan adalah berfungsi
metalingual atau metalinguistik (Jakobson (1960) dan Finnocchiaro (1974)),
artinya bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi
bahasa lainnya dapat kita lihat dari segi amanat (pesan yang akan disampaikan),
di mana bahasa berfungsi imajinatif, Halliday (1973) dan Finnocchiaro (1974)
menyebutnya fungsi poetic speech. Wujud dari poetic speech ini berupa karya
seni seperti puisi, cerita, dongeng, lelucon, dan sebagainya
Kalau kita simpulkan, peranan sosiolingistik terhadap bahasa ini pada
intinya menilai bahasa tidak sekadar alat untuk berkomunikasi atau
menyampaikan gagasan, tetapi lebih jauh dan lebih kompleks dari itu.
Sosiolingistik membuat kita tahu bahwa bahasa itu dinamis, tidak terpaku pada
satu ukuran, tetapi harus melihat hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasa
itu, dalam hal ini adalah sisi sosialnya. Melalui sosiolingguistik, kita dapat
memahami bahasa tidak dengan sudut pandang yang kaku.
Dengan adanya sosiolinguistik, kita tidak bisa menghakimi bahasa
dengan sesuka hati. Kita juga tidak bisa menilai atau menetapkan suatu bahasa
itu kasar atau tidak, berestetik atau tidak, dan sebagainya. Dengan
sosiolinguistik, kita menjadi menghargai keunikan tiap bahasa.
2.2 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh terjadinya interaksi sosial yang dilakukan menurut hubungan pembicara, kawan bicara,
dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan atau ragam
bahasa adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda menurut topik
yang dibicaraka
indonesia/ diakses tanggal 28 April 2011).
Perbedaan-perbedaan bahasa dari penutur yang beragam menghasilkan
ragam-ragam bahasa. Dengan keadaan yang seperti itu bahasa menumbuhkan
Kridalaksana (1996 : 2) mengemukakan bahwa varian menurut pemakai
disebut dengan dialek dan varian menurut pemakaian disebut dengan ragam
bahasa. Variasi bahasa berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas dialek
regional, dialek sosial, dialek temporal dan idiolek. Sedangkan variasi bahasa
berdasarkan pemakaian bahasa dapat dibedakan atas ragam bahasa menurut
pokok pembicaraan, medium pembicaraan (lisan atau tulisan ) dan sistem tutur
sapa dengan unsur-unsur persona. Untuk lebih lanjut jelasnya dapat dilihat pada
diagram di bawah ini:
dengan daerah atau lokasi geografis disebut dialek; ragam bahasa yang Variasi
Menurut pemakai bahasa
berhubungan dengan kelompok sosial disebut sosiolek; ragam bahasa yang
berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat formalitas disebut
fungsiolek; dan ragam bahasa yang mana perbedaan itu masih dapat dianggap
perbedaan ragam dalam suatu bahasa secara analog disebut kronolog.
Variasi bahasa berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada
pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu, sementara bila dikhususkan pada
variasi perorangan disebut dengan idiolek. Variasi bahasa kronoleg atau dialek
temporal yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa
tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan,
variasi yang digunakan tahun limapuluhan, dan variasi yang digunakan pada
masa kini. Variasi bahasa berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek
sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas
sosial para penuturnya. (Chaer dan Leonie, 2004: 63-64).
Variasi dari segi pemakaian atau ragam menyangkut bahasa itu digunakan
untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang adat, bidang sastra,
pendidikan dan kegiatan keilmuan. Variasi berdasarkan bidang kegiatan ini
biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak
digunakan dalam bidang lain. Namun demikian, variasi berdasarkan bidang
kegiatan tampak pula dalam tataran morfologi dan sintaksis (Chaer, 2004 : 68).
Kridalaksana (1993 : 224) mendefinisikan variasi bahasa sebagai satuan
yang sekurang-kurangnya mempunyai dua variasi yang dipilih oleh penutur
situasi. Variasi dianggap sistematis karena merupakan interaksi antara faktor
sosial dan faktor bahasa. Secara singkat dapat diformulasikan bahwa variasi
bahasa ada karena perpaduan antara bahasa itu sendiri dan faktor yang ada di
luar bahasa.
Nababan (1991 : 25) menempatkan pembagian variasi pada dua bagian
yang saling terkait, yaitu variasi dari segi penutur yang mencakup dialek,
idiolek, sosiolek dan dari segi pemakaian yang dikenal dengan ragam dan
fungsiolek yang berhubungan dengan situasi berbahasa dan/atau tingkat
formalitasnya.
Kajian variasi bahasa dari segi penggunaannya akan sangat jelas terlihat
dari keberadaan kosa kata khusus yang tidak digunakan dalam bidang lain,
contohnya, dalam kegiatan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa
Pakpak dapat ditemukan pada kosa kata kepeng ’uang’ dan riar ’uang’; baka
’sumpit’ dan kembal ’sumpit’; belagen ’tikar’ dan peramaken ’tikar’. Contohnya :
1. Kula- kula terhadap berru: Enggo ku jalo kami riar tokor berru nami. ‘Sudah kami terima uang mahar anak kami’.
Riar ’uang’ digunakan dalam konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari – hari disebut kepeng.
2. Kula–kula terhadap berru: Baing ke mo berras i kembal i, embahen berrunta ‘Masukkanlah beras dalam sumpit untuk dibawa berrunta.’
3. Berru terhadap kula – kula: Kundul mo kene i peramaken i. ‘Duduklah kalian di tikar itu’
Peramaken ’ tikar’ digunakan konteks adat sedangkan dalam bahasa sehari– hari disebut belagen.
Ragam bahasa itu dapat juga ditemukan pada tingkat frasa, penggunaan
ungkapan (idiom) dan bahasa estetis dengan menggunakan umpama ’pantun’ dari kedudukan yang berbeda dari penuturnya seperti kula-kula ’rombongan pihak perempuan’ dan berru ’rombongan pihak laki-laki’ dan sinina ’rombongan yang semarga baik dari pihak perempuan maupun laki-laki’.
Contoh :
1. Ragam diksi penggunaan kata
ipesoh ‘diberikan’ (konteks adat) ibere ‘diberikan’ (bahasa sehari-hari) 2. Ragam diksi frasa
Merorohken pedasna ‘makanan ala kadarnya’ (konteks adat) Mangan silotna ‘makanan ala kadarnya’ (bahasa sehari-hari) 3. Ragam diksi mengenai pantun
Ketak-ketik mbelgah palu-paluna, bagen pe siboi ipe tupa kami mbelgah mo pinasuna. (artinya sederhanapun makanan yang dihidangkan pihak si gadis tetapi besarlah berkat yang ditimbulkannya)
4. Ragam diksi ungkapan
5. Ragam diksi kata sapaan
Tingkat tata krama kata sapaan
a. Sebutan kehormatan (tingkat tata krama)
Contoh: kula-kula nami (kata sapaan) b. Kekerabatan (tingkat tata krama)
Contoh: puhun’paman’, silih ‘ipar laki-laki’(kata sapaan)
Ragam bahasa terjadi akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu
dan keragaman fungsi bahasa itu. Andaikan penutur bahasa itu adalah kelompok
yang homogen, baik etnis, status sosial maka variasi atau ragam bahasa itu
dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan
di dalam masyarakat sosial (Chaer, 1985: 81).
Ragam bahasa
Penelitian ragam bahasa dari segi penggunaan tidak dapat terlepas dari
segi penuturnya. Hartman dan Stork dalam Chaer dan Leoni (2004:62)
menyatakan bahwa variasi dapat dibedakan berdasarkan kriteria latar belakang
geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan. adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara,
dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan.
Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa sosial penutur dalam
penelitian ini adalah masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa Pakpak
dengan medium lisan serta pokok pembicaraan adalah : upacara adat
2.3 Upacara Adat
Dalam KBBI upacara adat diartikan sebagai 1) Tanda-tanda kebesaran;
peralatan (menurut adat istiadat); 2) Rangkaian tindakan atau perbuatan yang
terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama 3) perbuatan atau perayaan
yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (2001 :
1250).
Adat dalam KBBI diartikan, 1) Aturan (perbuatan dan sebagainya) yang
lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) Cara (kelakuan dan
sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan; 3) Wujud gagasan kebudayaan
yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum,dan aturan yang satu dan
lainnya berkaitan dengan suatu sistem (2001 : 1250) .
2.3.1
Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak
Pada masyarakat Pakpak, istilah “Upacara” disebut Kerja. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk upacara (kerja) . Pertama disebut Kerja Baik, yaitu upacara yang ada hubungannya dengan sukacita. Kedua adalah Kerja Njahat. Pengertian kata Njahat di sini tidak sama dengan pengertian jahat dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi suatu perasaan sedih;
duka cita; atau keadaan jiwa yang gundah akibat mengalami suatu keadaan
yang sedih, pilu dan lain-lain. Dengan kata lain Kerja Njahat adalah suatu upacara yang dilakukan yang ada hubungannya denga perasaan duka cita
(Berutu dan Nurbani, 1998 : 8).
1. Merre nakan merasa (Nakan Raja) ’ Makanan raja’ 2. Mangan balbal ‘Makan putik nangka’
3. Mengkelimbisi ‘Mensyarati bayi’
4. Upacara menggonting ‘Memotong Rambut’ 5. Mertakil ‘Sunat’
6. Merbekaskom ‘Upacara Perkawinan’
Dalam hal ini kerja njahat tidak diuraikan karena yang diteliti adalah upacara perkawinan merbekaskom) yang merupakan bagian dari upacara sukacita.
Merbekaskom berasal dari dari kata bekkas dan kom. Bekkas artinya tempat, kebiasaan, keberadaan, sedangkan kom artinya berhenti atau stop. Maksudnya bila seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan,
tanggung jawab, atau masih bebas dari berbagai hak dan tanggung jawab
terutama yang menyangkut adat istiadat. Setelah kawin, hal tersebut berubah
dan si ego diberi peranan yang lebih kompleks dan besar dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
2.3.2 Perkawinan Pakpak
Masa peralihan hidup (life cicle) yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup
berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat, 1981: 90). Hampir semua
kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan
kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Demikian juga halnya
sangat penting. Dikatakan penting sebab dari beberapa jenis lingkaran hidup
yang terdapat dalam suku Pakpak, perkawinan ini mempunyai tempat
tersendiri baik dari segi dana dan waktu harus benar-benar dipersiapkan.
Selain itu perkawinan itu sendiri mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam
masyarakat Pakpak.
Selain itu dalam pelaksanaannya melibatkan bukan saja antara
sipemuda dan sipemudi sebagai calon pengantin namun juga melibatkan
anggota kerabat ke dua belah pihak. Semua orang tua mempunyai harapan
agar anaknya setelah besar cepat-cepat menikah untuk dapat meneruskan
generasi. Ini dapat diketahui dari falsafah Pakpak: ” Mbelgah anak iperunjukken mbelgah berru ipejaheken ”. ( jika anak sudah besar seharusnya dikawinkan).
2.4
Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai variasi bahasa sudah pernah dilakukan. Clifford
(1976 : 168) dalam hasil penelitian membagi dua bagian pokok, krama dan
ngoko. Pada tingkatan variasi ini tampak adanya perbedaan kedudukan sosial
yang dicontohkan dalam bentuk pertanyaan. Kalau si penanya mempunyai
status sosial yang lebih rendah dari si penjawab, biasanya digunakan krama,
sedangkan si penjawab menggunakan bentuk ngoko. Kalau si penanya
mempunyai status lebih tinggi dari si penjawab, dia menggunakan bentuk
penanya dan penjawab sederajat dan kalau sipenanya menggunakan bentuk
krama, si penjawab juga menggunakan bentuk krama; dan kalau digunakan
bentuk ngoko, jawabannya juga bentuk ngoko.
Misalnya:
Krama : Sampeyan ajeng teng pundi ? ‘Anda mau kemana’ (Status sosial lebih rendah dari si penjawab)
Ngoko : Arep mulih ‘Mau pulang’
(Status sosial lebih tinggi dari si penanya)
Ngoko : Kowe arep menyang endi ?
(Status sosial lebih tinggi dari si penjawab)
Krama : Ajeng wangsul ‘Mau pulang’
(Status sosial lebih rendah dari si penanya)
Krama : Sampean ajeng teng pundi ?
(Status sosial lebih tinggi dari si penjawab)
Dalam MP menggunakan BP juga ditemukan variasi penggunaan bahasa
atau ragam, tetapi tidak merujuk pada status sosial yang lebih rendah atau lebih
tinggi, variasi atau ragam bahasa itu hanya sebatas penggunaan sopan tidaknya
atau layak tidaknya ragam itu digunakan.
Contohnya dalam bentuk kalimat di bawah ini:
Sinina dengan sinina : I sen mo ko kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’
Berru terhadap kula-kula : I sen mo ke kundul. ‘Di sinilah kamu duduk.’
Sedangkan untuk ‘ke’ bila yang dipersilakan memiliki status dalam adat lebih dihormati dibanding orang yang mempersilakan.
Meliala (2002), meneliti kata sapaan dalam bahasa Karo yang
mendeskripsikan kata sapaan dan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Karo.
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemakaian kata sapaan tersebut
disesuaikan dengan parameter, yaitu: umur, status sosial, status urutan
kelahiran, status dalam adat, dikenal atau tidak, jenis kelamin, situasi, dan
keakraban.
Girsang (2005), meneliti ragam bahasa dalam adat perkawinan
Simalungun. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemunculan ragam bahasa
pada upacara adat perkawinan masyarakat Simalungun (MS) memiliki
hubungan yang sangat erat dengan status peran adat yang ada pada
masing-masing kelompok. Pemunculan ragam bahasa berkait dengan peran yang
dilakukan oleh tondong, boru, dan sanina.
Ginting (2010), meneliti sistem dan struktur percakapan dalam bahasa
Karo. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa dalam konteks situasi
perkawinan,pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan tidak
dapat berbicara langsung, percakapan dilakukan dengan mediator, anak berru
dari kedua belah pihak yang mengakibatkan terbentuknya struktur yang
kompleks dan tidak lazim.
Temuan penelitian terdahulu itu sangat relevan dengan penelitian ini
dalam hal perbandingan bagi peneliti karena ragam bahasa dalam upacara adat
kedudukan status adat. Dalam melakukan dialog antara pihak kula-kula dan
berru tidak dapat berbicara langsung, dialog dilakukan dengan mediator yang disebut persinabul dan juga dalam penggunaan kata sapaan disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan status dalam adat.
Penelitian mengenai variasi bahasa baik dari sudut penutur maupun
penggunaannya sudah banyak dilakukan meskipun tidak dijabarkan satu persatu
dalam tulisan ini. Berdasarkan survei pustaka, penelitian ragam bahasa
mengenai perkawinan adat masyarakat Pakpak yang menggunakan bahasa
Pakpak belum pernah dilakukan. Hasil penelitian ini mendeskripsikan tentang
ciri, perbedaan, dan makna ragam bahasa Pakpak sehingga diharapkan dapat
menjadi sarana pengenalan bahasa Pakpak kepada pembacanya, sekaligus juga
mempunyai dampak penting bagi penutur asli bahasa Pakpak agar mau
memakai bahasa dan budaya sendiri serta melestarikannya. Oleh karena itu
penelitian ini berjudul “Ragam Bahasa Dalam Upacara Adat Perkawinan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang
dikumpulkan bukan angka-angka, melainkan berupa kata atau gambaran
sesuatu (Djadjasudarma, 1993:15). Metode ini adalah penyelidikan yang
dipusatkan tidak semata pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi
meliputi analisis dan interpretasi tentang data tersebut.
Metode deskriptif menurut Surakhmad (1980:139) yaitu peneliti
mencoba mendeskripsikan dan menganalisis data mulai dari tahap
pengumpulan, penyusunan data dibarengi dengan analisis dan interpretasi
terhadap data tersebut.
Penelitian ini tidak menganalisis data melalui populasi dan sampel. Hal
ini dimungkinkan karena objek penelitian hanya tertuju pada suatu gejala
tertentu yakni ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan MP. Dengan
demikian penelitian ini lebih dikenal dengan sebutan penelitian kasus karena
objek penelitian yang dilakukan hanya terinci dalam suatu gejala tertentu saja
(Arikunto, 1991: 115).
Ragam bahasa yang menjadi objek penelitian ini mencakup penggunaan
perkawinan MP berlangsung. Di samping mengidentifikasi ragam bahasa,
keterkaitan pemeran juga dikaji dalam penelitian ini.
Keterkaitan pemeran dalam arti kula-kula, berru, dan sinina juga memberi sesuatu terhadap pemunculan ragam bahasa dalam upacara adat
perkawinan MP. Masing-masing pemeran memiliki peranannya sendiri dalam
menentukan diksi atau pilihan kata yang digunakan.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pakpak Bharat, Kecamatan Salak,
Desa Salak I dan Desa Salak II dimana pelaksanaan upacara adat perkawinan
Masyarakat Pakpak di daerah tersebut masih dilaksanakan sepenuhnya dengan
menggunakan bahasa Pakpak.
Kabupaten Pakpak Bharat sebagai pemekaran dari Kabupaten Dairi,
terletak pada garis 2º 15’00”- 3º32’00” lintang Utara dan dan 90º 00’ – 98º 31’
Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Dairi, sebelah Timur
dengan Kabupaten Samosir dan kabupaten Humbang Hasundutan, sebelah
Selatan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, dan sebelah Barat dengan Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Luas keseluruhan Kabupaten Pakpak Bharat adalah 1.218,30 km², yang
terdiri dari 8 kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan,
Kecamatan Sitellu Tari Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat
Rube, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, Kecamatan Pergetteng Getteng
Luas wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya dan
seluruh wilayah di luar kawasan ujung untuk pemanfaatan adalah seluas
77.893,39 ha. Sedangkan kawasan hutan terhitung seluas 43. 936,61 ha.
Untuk lebih jelasnya perhatikan Peta Kabupaten Pakpak Bharat dan Peta
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Pakpak Bharat
(Sumber : Peta Citra Satelit Kabupaten Pakpak Bharat 2007)
Kec. Tinada Kec. Sitellu Tali
Urang Jehe
Kec. Kerajaan
Kec. Siempat Rube Kec. Pergetteng-getteng Sengkut
Kec. Sitellu Tali Urang Julu
Gambar 3.2 Peta Kecamatan Salak
Keterangan Gambar 3.2 :
3.3 Data dan Sumber Data
Menurut Chaer (2007: 39) dalam penelitian kualitatif, “jumlah data yang
dikumpulkan tidak tergantung pada jumlah tertentu, melainkan tergantung pada
taraf di mana dirasakan telah memadai”.
Data dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yaitu:
1. Sumber data dokumen, yaitu :
a. Perumpamaan Tradisional Pakpak (2006) oleh Lister Berutu
b. Pertuturan Pakpak (2006) oleh Lister Berutu
c. Mengenal upacara adat pada masyarakat Pakpak (2006) oleh Lister
Berutu
2. Sumber data lisan
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari penutur asli bahasa
Pakpak dengan informan penelitian ini diambil berdasarkan lokasi dan umur
penutur. Usia Informan 55 sampai dengan 75 tahun dengan alasan bahwa
pada usia tersebut biasanya sudah aktif mengikuti kegiatan adat. Kemudian
informan tersebut adalah orang yang sering dilibatkan dalam pembicaraan
upacara adat perkawinan sebagai persinabul ‘juru bicara’.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menurut Sudaryanto (1993:132-135) ada dua
macam, yaitu metode simak dan metode cakap yang mana kedua metode ini
digunakan untuk data tulis sedangkan metode cakap untuk data-data lisan.
Kedua metode ini dapat dijabarkan ke dalam teknik dasar dan teknik lanjutan.
Untuk menyempurnakan penelitian ini penulis melakukan beberapa
langkah yaitu:
1. Observasi
Penulis turut terlibat langsung mengamati acara pelaksanaan upacara
adat perkawinan berlangsung. Dengan kata lain penulis melakukan teknik
observasi atau pengamatan langsung dalam mengumpulkan data.
2. Pencatatan
Dalam operasionalnya digunakan teknik sadap sebagai teknik dasar
yaitu dengan menyadap (mencatat) dengan memilah-milah mana yang
termasuk ragam bahasa adat perkawinan. Dalam hal ini penulis sebagai
instrumen kunci yang melakukan pengamatan langsung dan mencatat data
yang sudah disimak.
3. Perekaman
Dalam hal ini sumber data tersebut direkam dengan handycam yang hasilnya dalam bentuk CD. Selanjutnya diseleksi dan ditulis kembali untuk
melengkapi data yang ada.
4. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yang berkaitan dengan upacara adat perkawinan
3.5 Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan penulis pada upacara adat perkawinan MP
lebih dikhususkan pada ragam bahasa dan keterikatan peran penutur dalam
kegiatan adat tersebut. Ragam bahasa yang dianalisis adalah penggunaan kata,
frasa, ungkapan, pantun dan kata sapaan.
Menurut Sudaryanto (1993: 13) metode yang dapat digunakan dalam
upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data ada dua yaitu metode padan
dan metode agih . Metode padan, alat penentunya di luar terlepas, dan tidak
menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan. Berbeda dengan
metode agih alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu
sendiri. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode padan pragmatis
dengan alat penentu mitra wicara. Langkah–langkah yang dilakukan adalah :
1. Data berbentuk dialog/percakapan dari hasil observasi, pencatatan,
perekaman maupun yang bersumber dari data tertulis diidentifikasi ragam
bahasa berdasarkan dialog melalui mediator ”persinabul” pihak kula-kula
dengan ”persinabul” pihak ”berru”.
2. Mendeskripsikan perbedaan ragam bahasa yang digunakan pihak kula-kula, pihak berru, dan sinina dengan mediator dari masing–masing pihak yaitu
persinabul berdasarkan tahapan pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Pakpak.
3. Mengklasifikasikan ragam bahasa yang digunakan dalam upacara adat
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pada bab ini dipaparkan data yang diperoleh dari sumber data lisan
maupun dari sumber data tertulis berupa dialog/percakapan persinabul pihak mempelai perempuan yang disebut kula-kula dengan persinabul pihak mempelai laki-laki sebagai berru.
Upacara adat perkawinan yang ideal bagi orang Pakpak disebut sitari-tari atau merbayo. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum upacara
merbayo dilaksanakan, yaitu:
1. Mengririt/mengindangi (meminang), 2. Mersiberen tanda burju (tukar cincin),
3. Mengkata Utang/mengelolo (menentukan mas kawin), 4. Merbayo (pesta peresmian), dan
5. Balik Ulbas (kembali menapak jejak). 4.1.1 Mengririt/mengindangi (meminang)
Mengririt (meminang) berasal dari kata ririt artinya seorang pemuda dan kerabatnya terlebih dahulu meneliti seorang gadis yang akan dinikahi.