BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
D. Bioakumulasi
Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada
biota, misalnya ikan. Proses akumulasi dari senyawa pada berbagai organisme
melalui fase akuatik umumnya diklasifikasikan menjadi 2 tipe: bioconcentration
dan biomagnification. Bioconcentration adalah akumulasi dari senyawa yang
terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh
secara langsung. Bioconcentration factor (BCF) didefinisikan sebagai rasio
konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi
setimbang (steady-state). Pengukuran BCF dilakukan dengan konsentrasi rata-rata
dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran
pencernaan ikan. Kadang BCF diperkirakan terhadap kadar lemak ikan. (Krieger,
2010).
E. Analisis Kelumit (Trace Analysis)
Analisis kelumit (trace analysis) adalah istilah yang digunakan untuk
keadaan dimana jumlah analit sangat kecil. Analisis kelumit umumnya dilakukan
pada kisaran di bawah bagian per juta (part per million / ppm) misalnya 1 ppm =
1µg/g = 0,0001% atau 1 mg/L untuk cairan. Analis lain medefinisikan secara lebih
umum bahwa analisis kelumit adalah analisis dimana konsentrasi analit cukup kecil
yang menyebabkan kesulitan dalam memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Selain
disebabkan karena rendahnya konsentrasi analit dalam matriks, ada beberapa faktor
yang mungkin dapat mempengaruhi kesulitan yang dirasakan oleh analis pada
konsentrasi rendah, seperti kehilangan analit, kontaminasi, atau interferensi
(Prichard, MacKay, Points, 1996).
Tabel III. Klasifikasi teknik dan metode analisis berdasarkan konsentrasi analit dalam sampel menurut Namiesnik (2002)
Beberapa masalah yang sering terjadi dalam analisis kelumit adalah:
a. Konsentrasi analit yang akan ditentukan jauh lebih rendah dibandingkan
b. Adanya kontaminasi dari reagen, alat, atau lingkungan laboratorium yang dapat
menghasilkan false results
c. Hilangnya analit akibat adsorpsi, degradasi, atau selama proses analisis
d. Konstituen matriks dapat mengganggu sistem deteksi yang digunakan,
menyebabkan nilai palsu menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan pemurnian
yang lebih baik dan atau detektor yang lebih selektif.
e. Hasil yang diperoleh dengan teknik instrumen yang umum digunakan kurang
tepat dibandingkan dengan menggunakan prosedur klasik
f. Secara umum, sulit untuk memastikan keandalan metode karena material
referensi yang tersedia untuk berbagai aplikasi analisis kelumit cukup sedikit
(Prichard, MacKay, Points, 1996).
F. Ekstraksi
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau
clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen
matriks yang mungkin mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di
samping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada
dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan
untuk deteksi atau kuantifikasinya (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dalam bentuk paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan
pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-
cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat
Meskipun demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non
polar ke dalam air) juga mungkin terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah
molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang
bersifat non polar atau agak polar. Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan
senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang
menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan
terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak
campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase
disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan dirumuskan
sebagai berikut:
KD = [�]� �
[�]�
Keterangan:
KD = koefisien partisi
[S]org = konsentrasi analit dalam fase organik
[S]aq = konsentrasi analit dalam fase air
Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang
berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau
polimerasi karenanya ekspreksi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau
rasio partisi (D). Persamaannya adalah sebagai berikut:
D = � � �
Keterangan:
D = rasio partisi
(Cs)org = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik
(Cs)aq = konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase air
Analit yang mempunyai rasio distribusi besar (104 atau lebih) akan mudah
terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berarti
100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi (Gandjar dan Rohman,
2007).
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah
dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektivitas ekstraksi analit dengan
rasio distribusi yang kecil (< 1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan
pelarut baru pada larutan sampel secara terus menerus (Gandjar dan Rohman,
2007).
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang
mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (< 10%), dapat menguap sehingga
memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan
mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi
sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi
pelarut yaitu: Terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada partikulat, analit
terserap oleh partikulat yang mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang
mempunyai berat molekul tinggi, dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama
Oleh karena itu, jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang
diperoleh kurang baik. Emulsi dapat dipecah dengan cara:
i. Penambahan garam ke dalam fase air
ii. Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan
iii. Penyaringan melalui glass-wool
iv. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
v. Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
vi. Sentrifugasi (Gandjar dan Rohman, 2007).
G. Kromatografi Gas 1. Pengertian
Kromatografi gas merupakan metode dinamis untuk pemisahan dan
deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.
Kromatografi gas diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950 dan saat ini
merupakan alat utama yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan analisis.
Perkembangan teknologi yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan
kolom telah menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta identifikasi
senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik analisis dengan resolusi yang
meningkat (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi gas merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam
bidang-bidang: industri, lingkungan, farmasi, kimia, klinik, forensik, makanan, dan
lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi gas dapat diotomasisasi untuk analisis sampel-sampel padat,
sehingga dapat diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi gas, demikian juga
sampel gas dapat langsung diambil dengan syringe yang kedap terhadap gas
(Gandjar dan Rohman, 2007).
2. Prinsip Gas kromatografi
Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut
yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik
didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam.
Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa
dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase
diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu
menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada
kisaran 50 – 350 ºC) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Terdapat 2 jenis kromatografi gas:
a. Kromatografi gas-cair (KGC).Pada KGC, fase diam yang digunakan adalah
cairan yang dilarutkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut
dalam fase diam. Mekanisme sorpsi nya adalah partisi.
b. Kromatografi gas-padat (KGP). Pada KGP, digunakan fase diam padatan.
Mekanisme sorpsi nya adalah adsorpsi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Diagram skematik peralatan kromatografi gas ditunjukkan oleh Gambar 5.
dengan komponen adalah kontrol dan penyedia gas pembawa, ruang suntik sampel,
kolom yang diletakkan di dalam oven yang dikontrol secara termostatik, sistem
deteksi dan pencatat, serta komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah
data (Dean, 2003).
Gambar 5. Diagram skematik kromatografi gas (Dean, 2003)
a. Gas pembawa. Fase gerak dalam kromatografi gas disebut gas
pembawa dan harus murni dan inert secara kimia. Gas pembawa yang umumnya
digunakan adalah helium, nitrogen, argon, dan hidrogen (Skoog, West, Holler,
and Crouch, 2004).
Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan spesifik dan jenis
detektor yang digunakan. Untuk setiap pemisahan dengan kromatografi gas
terdapat kecepatan optimum gas pembawa yang tergantung pada diameter kolom.
Kolom kapiler menggunakan kecepatan alir gas yang rendah, yakni antara 0,2 – 2 mL/menit. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler sangat rendah,
maka pada kebanyakan detektor ditambah gas tambahan yang ditambahkan ke
dalam efluen setelah keluar dari kolom tetapi belum mencapai detektor. Gas
tambahan umumnya sama dengan gas pembawa, meskipun kadangkala digunakan
helium. Gas pembawa bekerja paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas
nitrogen akan efisien jika digunakan dengan kecepatan alir ± 10 mL/menit,
sementara helium akan efisien pada kecepatan alir 40 mL/menit (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Gambar 6. Gas yang digunakan dalam kromatografi gas (Grob, 2004)
b. Ruang suntik sampel. Ruang suntik atau inlet berfungsi untuk
menghantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Sampel yang akan
dikromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui gerbang suntik yang
biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah karet. Ruang
suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan umumnya 10 – 15 ºC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel akan menguap
Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai
0,01 µL, karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1 – 100 µL sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang
disuntikkan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk
mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan (split injection). Dengan
menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang banyaknya diketahui,
disuntikkan ke dalam aliran gas pembawa dan sebelum masuk ke kolom, gas
pembawa ini dibagi menjadi 2 aliran. Satu aliran masuk ke dalam kolom dan
satunya lagi akan dibuang. Aliran relatif dalam kedua aliran ini dikendalikan
dengan sejenis penghambat seperti katup jarum pada aliran yang dibuang. Laju alir
di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan nisbah (rasio) pemecahannya. Jika 1
µL sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang mempunyai nisbah
pemecahan 1:100, maka sebanyak 0,01 µL sampel masuk ke dalam kolom dan
sisanya akan dibuang (Gandjar dan Rohman, 2007).
c. Kolom. Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan
karena di dalamnya terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan
komponen sentral pada kromatografi gas. Terdapat 2 jenis tipe kolom yang
digunakan dalam gas kromatografi, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler atau
sering disebut open tubular columns. Pada masa lalu, lebih banyak digunakan
kolom kemas untuk melakukan analisis menggunakan gas kromatografi. Untuk
aplikasi masa kini, kolom kemas digantikan dengan kolom kapiler karena lebih
efisien dan lebih cepat (Skoog, West, Holler, and Crouch, 2004).
Semakin sempit diameter kolom, maka efisiensi pemisahan kolom
semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada
umumnya, seorang analis akan memilih kolom dengan diameter 0,2 mm atau yang
lebih kecil ketika menganalisis sampel dengan konsentrasi sekelumit atau ketika
seorang analis akan memisahkan komponen yang sangat kompleks (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Kolom kapiler terbuat dari silica (SiO2) dan dilapisi dengan polymide
(plastik yang mampu menahan suhu 350 ºC). Pada bagian dalam terdapat rongga
yang menyerupai pipa, oleh karena itu kolom kapiler juga disebut Open Tubular
Columns. Fase diam melekat mengelilingi dinding dalam kolom. Terdapat 4 macam
jenis lapisan pada kolom kapiler ini, yaitu: WCOT (Wall Coated Open Tubular
Column), SCOT (Support Coated Open Tubular Column), PLOT (Porous Layer
Open Tubular Column), dan FSOT (Fused Silica Open Tubular Column). WCOT
(Wall Coated Open Tubular Column) memiliki 0,1 – 5 µm lapisan tipis fase diam cair yang terdapat pada dinding bagian dalam kolom. SCOT (Support Coated Open
Tubular Column) memiliki partikel solid yang dilapisi dengan fase diam cair yang
terdapat pada bagian dalam dinding. Pada PLOT (Porous Layer Open Tubular
Column) partikel padat sebagai fase diam aktif. Dengan besarnya luas area yang
dimiliki, SCOT dapat menampung sampel lebih besar daripada WCOT. Performa
SCOT berada diantara WCOT dan kolom kemas. Diameter dalam kolom kapiler
memiliki ukuran 0,10 – 0,53 mm dengan panjang 15 sampai 100 m, umumnya adalah 30 m (Harris, 2010).
Menurut Moffat, Osselton, and Widdop (2011) kolom kapiler
menghasilkan resolusi, sensitivitas, daya tahan yang lebih baik daripada kolom
kemas.
Gambar 8. Tipe kolom kapiler kromatografi gas (Harris, 2010)
Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih disukai oleh para
ilmuwan. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan kolom kapiler memberikan
harga jumlah plat teori yang sangat besar (> 300.000 pelat). Fase diam yang dipakai
polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; SE-
30; CPSIL-5) dan fenil 5% - metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL-
8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50% - metilpolisiloksan 50% (HP-17;
DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti polietilen
glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase diam akan
menentukan urutan elusi komponen-komponen dalam campuran. Seorang analis
harus memilih fase diam yang mampu memisahkan komponen-komponen dalam
sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kolom kemas mengandung partikel padat berukuran halus yang dilapisi
dengan fase diam cair yang dapat menguap. Dibandingkan dengan kolom kapiler,
kolom kemas memiliki kapasistas sampel yang lebih besar tetapi menghasilkan
puncak lebih lebar, waktu retensi lebih lama, dan resolusi yang lebih buruk. Kolom
kemas umumya dibuat dari logam tahan karat atau gelas dengan diameter dalam 3
– 6 mm dan panjang 1 – 5 m (Harris, 2010). Efisiensi kolom akan meningkat dengan semakin bertambah halusnya partikel fase diam ini. Semakin kecil diameter partikel
fase diam, maka efisiensinya akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya
berkisar antara 60 – 80 mesh (250 – 170 µm) (Gandjar dan Rohman, 2007).
d. Pemilihan temperatur kolom. Pemilihan temperatur pada
kromatografi gas tergantung pada beberapa faktor. Temperatur injeksi harus relatif
tinggi yang memberikan kecepetan penguapan yang paling tinggi sehingga
memberikan resolusi yang baik. Temperatur injeksi terlalu tinggi dapat
menyebabkan karet septum menjadi rusak dan menyebabkan tempat injeksi
resolusi. Pada temperatur kolom yang tinggi, komponen sampel lebih banyak
berada pada fase gas sehingga akan cepat terleusi tetapi resolusi nya menjadi buruk.
Pada temperatur rendah, komponen sampel akan memiliki lebih banyak waktu
untuk berada pada fase diam dan terelusi secara perlahan, resolusi menjadi
meningkat tetapi sensitivitas menurun karena puncak yang dihasilkan akan
melebar. Temperatur detektor harus cukup tinggi untuk mencegah kondensasi
sampel (Christian, 2004).
Kromatografi gas didasarkan pada 2 sifat senyawa yang dipisahkan yakni
kelarutan senyawa dalam cairan tertentu dan tekanan uapnya. Karena tekanan uap
berbanding langsung dengan suhu, maka temperatur merupakan faktor yang utama
pada kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pemisahan pada kromatografi gas dapat dilakukan pada suhu tetap yang
biasanya disebut dengan pemisahan isotermal dan dapat dilakukan dengan
menggunakan suhu yang berubah secara terkendali yang disebut dengan suhu
terprogram. Pemisahan isotermal paling baik digunakan pada analisis rutin atau jika
kita mengetahui sifat sampel yang akan dipisahkan dengan baik. Pemisahan dengan
temperatur terprogram mempunyai keuntungan yakni mampu meningkatkan
resolusi komponen-komponen dalam suatu campuran yang mempunyai titik didih
pada kisaran yang luas. Selain itu, juga mampu mempercepat waktu analisis karena
senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi akan terelusi dengan cepat.
Pemrograman suhu dilakukan dengan menaikkan suhu dari suhu tertentu ke suhu
tertentu yang lain dengan laju yang diketahui dan terkendali dalam waktu tertentu
Gambar 9. Jenis pemrograman suhu (Grob, 2004)
e. Detektor penangkap electron (Electron capture detector/ECD).
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar
fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor
pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal
gas pembawa gan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Jenis detektor Jenis sampel Batas deteksi
Hantar panas Senyawa umum 5 - 100 ng, 10 ppm - 100%
Ionisasi nyala Semua senyawa organik, baik untuk hidrokarbon
10 - 100 pg, 100 ppb - 99 % Fotometrin
nyala
Senyawa sulfur (393 nm), senyawa fosfor (526 nm)
10 pg (sulfur), 1 pg (fosfor) Nitrogen -
fosfor
Senyawa nitrogen organik dan fosfat organik
0,1 - 10 pg, 100 ppt - 0,1 %
Ionisasi argon (sinar β)
Semua senyawa organik, dengan gas pembawa He ultrapure, juga untuk anorganik dan gas permanen
0,1 - 100 ng, 0,1 - 100 ppm
Penangkap elektron
Semua senyawa yang mempunyai kemampuan menangkap elektron,
halogen organik, pestisida
0,05 - 1 pg, 50 ppt - 1 ppm Spektroskopi
masa
semua senyawa. Tergantung pada
metode ionisasi Baik
Detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector/ECD)
menggunakan sumber radioaktif yaitu tritium (3H) atau nikel (63Ni) yang
ditempatkan diantara dua elektroda. Tegangan listrik yang dipasang antara katoda
dan anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt. Dasar kerja detektor ini adalah:
penangkapan elektron oleh senyawa yang memiliki afinitas terhadap elektron
bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar β akan mengionisasi molekul N2 menjadi ion dan menghasilkan elektron bebas yang
akan bergerak ke anoda dengan lambat. Dengan demikian, di dalam ruangan
detektor terdapat semacam awan elektron bebas yang dengan lambat menuju anoda.
Elektron-elektron yang terkumpul pada anoda akan menghasilkan arus garis dasar
(baseline current) yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila
komponen sampel (senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk
ke dalam ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka senyawa ini akan
menangkap elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini
akan dibawa oleh fase gerak (carrier gas). Akibatnya setiap partikel negatif dibawa
keluar detektor, berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem sehingga arus
listrik yang steady akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder
Gambar 11. Diagram skematik detektor penangkap elekron (Harvey, 2000)
4. Analisis kualitatif dan kuantitatif
Analisis Kualitatif GC-ECD berupa pengamatan waktu retensi (tR)
senyawa baku dan senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara
kromatografi secara berurutan dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan
pengoperasian antar keduanya sekecil mungkin (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analisis Kuantitatif GC-ECD dapat dilakukan dengan mengukur tinggi
puncak atau luas puncak. Tinggi puncak diukur sebagai jarak dari garis dasar ke
puncak maksimum. Sedangkan luas puncak diukur sebagai hasil kali tinggi puncak
dan lebar pada setengah tinggi (W1/2) (Gandjar dan Rohman, 2007).