• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Biogarafi Buya Hamka

Buya HAMKA memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah. Beliau lahir pada tanggal 13 Muharram 1362 H bertepatan dengan Februari 1908 M di daerah Tanah Sirah, nagari Sungai Batang di tepi Danau Maninjau Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim Amrullah atau yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul merupakan seorang ulama yang terkenal dimasanya74. Ibunya bernama Siti

Safiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934).75

Buya Hamka merupakan anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Beliau memulai pendidikannnya dari sang ayah.76 Dalam usia 6 tahun (1994) ia dibawa

ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya, anak laki- laki di Minangkabau, sewaktu ia berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-Quran dengan ayahnya sendiri sehingga khatam dan tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki- laki Minang memang tak punya tempat di rumah.77 Di surau ia belajar

7474 Yunan Yusuf, Alam Pik iran Islam Pemik iran Kalam; Dari Khawarij Ke Buya Hamk a Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), ed. 1, hlm. 236

75

Deliar Noer, Gerak an Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI, 1985), cet. 3, hlm. 46

76

Labib Mz, Kisah Perjalanan Hidup Tok oh Sufi Terk emuk a, ,(Surabaya: Tiga Putra, 2006), hlm. 42

77

49

mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, yaitu kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional Minangkabau.78

Dari tahun 1916 sampai tahun 1923, ia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan Sumatera Tawalib” di Padang Panjang dan Parabek. Guru-gurunya waktu itu ialah Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay. Padang Panjang pada waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.79

Awalnya Sumatera Tawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid- murid atau pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi.80 Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih

bersifat tradisional dengan menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumetera Tawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur dan papan tulis. Materi pendidikan masih beriontasi pada pengahian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, mantiq, bayan, fiqih dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan. Pada waktu itu, sistem hafalan merupakan cara yang paling efektif bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca kitab-kitab arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran sekolah

78

Nunu Burhanuddin, Jurnal Educative: Journal of Educational Studies, Vo. 1, No.1, Januari-Juni 2016

79

Hamka, Tasawuf Modern, op. cit,. hlm. iii

80

Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tok oh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), cet. 2, hlm. 53

50

agama rendah di Mesir. 81 Namun, dalam perkembangannya, Sumatera

Tawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah berkelas.82

Suasana belajar di Tawalib School tidaklah menarik perhatian Hamka. Ia malah lebih banyak sibuk membaca secara autodidak di perpustakaan Zainaro. Perhatiannya tertuju pada buku-buku cerita dan sejarah.83 Akan

tetapi dia seorang otodidak yang ulet sehingga menjadi seorang ulama besar di kemudian harinya dan banyak memberi kontribusi bagi agama dan negara melalui karangan dan ceramah-ceramahnya.84

Pada tahun 1924, ia meninggalkan Minangkabau menuju Jawa, Yogyakarta. Ia tinggal bersama adik ayahnya, Ja‟far Amrullah. Di sini ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia,85 diantaranya

dengan Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Suryopranoto, H. Fachruddin, HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir, dan AR. ST. Mansur.86

Penamaan “Hamka” sebenarnya baru dialamatkan kepadanya setelah selesai menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1927 M.

81 Samsul Nizar, Memperbincangk an Dinamik a Intelek tual dan Pemik iran Hamk a Tentang Pendidik an Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Ed. 1, Cet. 1, hlm. 21-22

82 Badiatul Roziqin, op. cit,. hlm. 53

83

Yunan Yusuf, log. cit., hlm. 236

84

Abdul Nashir, Buya Hamk a dan Mohammad Natsir tentang Pendidik an Islam, At-Ta‟dib Vol.3 No.1 Sahfar 1428

85

Hamka, Dari Hati Ke Hati, (Jakarta: Gema Insani, 2016), cet.1, hlm. 257

86

M. Dawam Rahardjo, Intelek tual Intelegensi dan Perilak u Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 201-202

51

Sebelumnya panggilannya ialah Malik. Namun, setelah mendapatkan gelar haji berulah masyarakat mengenalnya dengan nama panggilan Buya Hamka. Sedangkan untuk gelar adat, Buya Hamka diberi Datuk Indomo.87 Gelar ini

merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang di dapatnya dari kakek dari garis keturunan ibunya, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung. kemudian sebagai ulama Minang, beliau digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Chaniago.88 Dan sebagai pejuang, beliau memperoleh gelar kehormatan “Panggeran Wiroguno” dari pemerintah Republik Indonesia.

pada tahun 1959, sebagai intelektual Islam, beliau memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhriyyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar , Mesir, pada Maret 1950. dan mendapat anugerah gelar Doctor HC dari Universitas Al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. dalam sejarah beliau adalah tokoh keempat yang mendapat penghargaan gelar Doctor HC dari universitas tertua di dunia itu. sebelumnya gelar HC dberikan kepada Abdul Karim Abdullah Ahmas dari padang. sedangkan tokoh ketiga adalah Rahmah El-Yunusiah dari Diniyah Putri Padang Panjang pada tahun 1957. dengan demikian, dalam sejarah Al-Azhar di Kairo, ayah dan anak mendapat gelar Doktor HC barulah di Indonesia, yaitu Hamka dan ayahnya. pada tahun 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. pada

87

Hamka, “Kenang-k enang Hidup”, jilid. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. 3 hlm, 7

88

52

upacara wisuda di gedung Parlemen Malaysia. pada upacara wisuda di gedung Parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaaan Malaysia yang waktu itu menjabat sebagai perdana Menteri mentebutnya dengan “Promevendus Professor Doctor HAMKA”. Kemudian gelar Proser juga diperolehnya dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.89

kesemuanya ini diperoleh berkat ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa memperdalam ilmu pengetahuan.90 Bukan hanya dalam

hal ilmu keagamaan, beliau juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, yang menarik semua ilmu tersebut beliau pelajari secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus.91

pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasehat pimpinan Pusat Muhammadiyah. tahun 1951-1961, Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun belakangan, Ia memilih untuk mengundurka n diri karena pada waktu itu Presiden Soekarno memitanya memili antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dunia politik.

Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang. kariernya semakin menanjak, setelah ia

89

Nunu Burhanuddin, Jurnal Educative: Journal of Educational Studies, Vo. 1, No.1, Januari-Juni 2016

90

Hamka, Tasawuf Modern, op. cit,. hlm. xix

91

53

terpilih sebagai rektor pada perguruan Tiggi Islam, Jakarta, kemudian di kukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas, dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. di samping itu, beliau juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.

Tahun 1964, Hamka pernah mendekam di penjara selama dua tahun karena di tuduh pro-Malaysia. selama dua tahun tersebut Hamka mahakarya, yaitu Tafsir al-Azhar. hingga hari ini Tafsir al-Azhar adalah satu-satunya tafsir Al-Quran yang di tulis oleh ulama Melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna. dia antara ratusan judul nuku mengenai agama. sastra, filsafat, tasawuf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir al- Azhar adalah karya Hamka yang paling fenomenal.92

Adapun yang memotivasi Hamka dalam menulis tafsir Al- Azhar adalah:

1. Ia melihat bahwa mufasir- mufasir klasik sangat gigih atau ta‟assub (fanatik) terhadap mazhab yang mereka anut, bahkan ada di antara mereka yang sekalipun redaksi suatu ayat nyta- nyat lebih dekat pada satu mazhab tertentu, akan tetapi ia tetap menggiring pe mahaman ayat tersebut kepada mazhab yang dianut.

92

54

2. Adanya suasana baru di negara (Indonesia) yang penduduknya mayoritas muslim, dan mereka haus akan bimbingan agama serta haus untuk mengetahui rahasia Al-Quran.

3. Ingin meninggalkan sebuah pusaka yang semoga me mpunyai harga untuk ditinggalkan bagi bangsa dan umat Muslim Indonesia.

4. Hendak memenuhi sebaik-baiknya Husn al-Dzan (Baik sangka) Al- Azhar dan hutang budi yang mendalam padanya, yang telah memberinya penghargaan yang begitu tinggi (Gelar Doktor Honoris Causa).93

Buya Hamka wafat pada hari Jum‟at, tanggal 24 Juli 1981 M atau bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 1407 H pukul 10.41 WIB di Jakarta. Pada saat itu usia beliau 73 ½ tahun dan di makamkan di Tanah Kusir Jakarta.94

Dokumen terkait