BAB IV HASIL PENELITIAN
1. Biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi
Pada hari Rabu 08 Desember 1920 di Tebet Melayu Besar, lahir seorang
bayi laki-laki dari pasangan H. Nawi bin Su‟iddan dengan „Aini binti Rudin.
Anak kesembilan dari pasangan tersebut diberi nama Abdurrahman. Dia adalah salah satu dari tiga putra H. Nawi diantara 10 bersaudara.
Tebet saat itu merupakan perkampungan masyarakat Betawi. Sebagaimana lazimnya masyarakat Betawi yang secara turun temurun fanatik memeluk Islam dan kuat menjalankan syariatnya, Abdurrahman tumbuh dalam lingkungan kampung Tebet yang juga sarat dengan nilai-nilai dan budaya keagamaan. Ada mushalla yang menjadi tempat berkumpul anak-anak untuk menjalankan shalat lima kali dalam sehari semalam. Di sana juga sering
diadakan pengajian dan perayaan hari-hari besar Islam seperti maulid, isra‟
mi‟raj dan lain-lain. Dalam masyarakat pun acara-acara perkawinan, nujuh bulan kehamilan, kelahiran anak, kematian dan ngirim arwah selalu di isi
dengan bacaan-bacaan barzanji, shalawat, tahlil, dan membaca Al-qur‟an. Di
samping itu, ada pula ceramah agama dari seorang guru atau ulama yang dihormati karena penguasaannya yang mumpuni terhadap ajaran-ajaran Islam.
H. Nawi maupun istrinya „Aini bukan seorang tokoh agama bagi masyarakatnya,juga bukan keturunan dari ulama. Mereka hanyalah seorang yang taat beragama dan senang kepada ulama. Sehari-hari mereka dikenal sebagai pedagang nasi ulam di warung pedok. Pada waktu-waktu tertentu H. Nawi selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pengajian yang diadakan oleh para ulama dan habib di kampung Melayu atau di kampung Kwitang. Di Tebet tak ada ulama besar atau habib yang mengadakan pengajian rutin dengan dihadiri oleh ratusan kaum muslimin dari berbagai kampung Jakarta dan
sekitarnya. Juga tidak ada madrasah atau sekolah Islam tingkat dasar sekalipun, yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak dan remaja. Tempat belajar yang
lazim bagi anak-anak dan remaja kampung saat itu adalah ta‟lim atau pengajian
intensif tentang ilmu agama dan bahasa Arab dengan memakai kitab-kitab
tertentu yang diselenggarakan di rumah guru (mu‟allim). Besar kecilnya ta‟lim
diukur dari materi dan kitab yang diajarkan, yang biasanya sesuai dengan ke‟aliman (penguasaan) guru terhadap ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
H. Nawi yang pedagang itu mendidik putranya Abdurrahman untuk rajin shalat dan mengaji sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. Mula-mula Abdurrahman belajar mengaji dengan guru yang ada di Tebet, yaitu Mu‟allim Ghazali dan Mu‟allim Syarbini. Di sini ia belajar membaca Al-qur‟an serta dasar-dasar akidah dan praktek ibadah. Ketekunan Abdurrahman untuk mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan anak-anak yang lain. Maka H. Nawi terus mendorongnya untuk belajar dan mengaji serta memperingatkannya untuk tidak main-main. Dengan dorongan orang tua dan didikan para gurunya, lama-kelamaan Abdurrahman merasakan nikmatnya
belajar dan hausnya mencari ilmu. Dalam hatinya tumbuh himmah dan ghirah
yang kuat untuk belajar agar mampu menguasai ilmu-ilmu keislaman yang
begitu luas. Gurunya yang lain, KH. Muh. Zain bin Sa‟id, pernah suatu saat
memberinya wejangan, bahwa manusia itu akan dipandang karena 3 hal: jagoan, kekayaan dan ilmu. Ketika ia ditanya: “kamu mau jadi apa?”, maka jawabnya spontan “mau menjadi orang yang berilmu”. Lantas sarannya, untuk itu tak ada jalan lain kecuali kamu harus rajin belajar.
Jadilah Abdurrahman sebagai remaja yang pekerjaannya setiap saat hanya mengaji dan belajar. Di Tebet saat itu belum ada sekolah. Di Bali
Matraman, beberapa kilometer dari Tebet, ada madrasah Asy-Syafi‟iyyah tapi
hanya tingkat Ibtidaiyyah. Ada madrasah tingkat Tsanawiyyah Jam‟iyyatul
Khaer di Tanah Abang, namun cukup jauh untuk pulang pergi bagi Abdurrahman menurut ukuran saat itu.
Hal demikian tetap tidak menjadi penghalang bagi Abdurrahman untuk mewujudkan cita-citanya, menguasai ilmu-ilmu agama, bahasa Arab maupun
pengetahuan umum. Dari pergaulannya sesama teman yang suka mengaji dan petunjuk guru serta orang tua, dia tidak kehabisan guru di sekitar Tebet yang di rumahnya membuka pengajian mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
Di Bukit Duri ia belajar mengaji kepada KH. Muhammad Yunus, KH. Basri Hamdani, KH. Muhammad Ramli dan Habib Abdurrahman As-Segaf. Dia juga mengaji kepada KH. Muh. Zain, Kebon Kelapa, Tebet, KH. M. Arsyad bin Musthofa, Gg Pedati, Jatinegara, KH. Mahmud, Pancoran, KH. Musannif, Menteng Atas, KH. Ahmad Djunaedi, Pedurenan, KH. Abdullah
Husein, Kebon Baru Tebet, KH. Abdullah Syafi‟I, Bali Matraman serta Habib
Husein Al-Haddad, Kampung Melayu. Agak jauh lagi dia juga mengaji kepada
KH. Hasbiyallah, Klender, KH. Mu‟allim, Cipete, KH. Khalid, Pulo Gadung,
Habib Ali Jamlullail dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang, Habib Abdullah bin Salim Al-Attas, Kebon Nanas, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad, Kramat Jati, Habib Ali bin Husein al-Attas, Kemayoran, dan Ustadz Abdullah Arifin, di Pekojan.
Meski Abdurrahman Tidak pernah belajar di sekolah maupun di pesantren, namun dia mengaku cara belajarnya tidak kalah dengan cara belajar santri di pesantren. Dalam sehari dia biasa mengikuti pengajian di tiga tempat, yang masing-masing 2 atau 3 mata pelajaran. Sistem belajar yang ia ikuti,
biasanya memakai kitab. guru membaca „ibarah dalam kitab dan
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, kemudian menerangkan
maksud dari „ibarah tersebut dengan penjelasan yang sangat luas dan
mendalam. Tidak jarang seorang guru menyuruh murid untuk membaca,
menanyakan i‟rab, terjemah dan maksudnya kepada murid. Pelajaran tentang
nahwu atau sharaf juga memakai sisem tamrin (latihan) untuk mengetahui
sejauh mana murid memahami setiap materi pelajaran. Kitab-kitab yang
disusun dalam bentuk nadzam(sya‟ir) juga disuruh dihafal oleh setiap murid.
Semangat Abdurrahman memahami dan menguasai pelajaran memang sangat tinggi. Setelah mendengarkan penjelasan-penjelasan guru, dia mencatat dengan baik apa yang perlu. Setelah pengajian usai, dia pun tidak segan-segan
bertanya dan bermusyawarah dengan teman-temannya untuk mengulang dan
mendalami pelajaran yang sudah lewat. Dan dia selalu berusaha memuthala‟ah
(mengulangi) pelajarannya sendiri di rumah bila dia belum menguasai benar suatu pelajaran. Dia tidak pernah mau ketinggalan dari teman-temannya dalam menguasai pelajaran. Jika suatu saat dia merasa ketinggalan, maka dia pun berjanji “awas, tunggu besok, saya pasti kalahkan dia”. Dan, malamnya dia pun tak mau tidur sebelum benar-benar menguasai pelajaran besok.
Guru-guru di mana Abdurrahman belajar memang mempunyai latar belakang yang beragam. Ada yang berasal dari pesantren salafiyah, ada pula yang dari madrasah dan Arab. Maka Abdurrahman selain kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren, dia juga belajar kitab-kitab baru („ashriyyah) yang
diajarkan di madrasah. Dalam ilmu nahwu dan sharaf misalnya selain dia
belajar kitab-kitab Al-jurumiyah, „Imrithy, Kawakib, Ibn „Aqil, Syudzur adz
-Dzahab, Mughnil Labib, dia juga belajar Nahwul Wadhih dan Qawa‟id al -Lughah al-„Arabiyyah, kitab baru yang dipakai di madrasah. Bahkan ia juga
belajar Balaghah, Badi‟, Ma‟ani, Manthiq serta Nushush Adabiyyah,syi‟ir dan
sastra Arab kepada para Habaib, seperti Habib Abdurrahman As-Segaf, Habib Husein bin Ali, Habib Abdullah bin Salim Al-Attas dll.
Selain Ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab sebagai ilmu alat benar-benar dia pelajari dan kuasai dengan baik, Abdurrahman yang mengaku terus belajar mengaji sampai umur 30-an telah menekuni juga pengajian dalam ilmu-ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadits bahkan juga ilmu-ilmu umum. Satu kitab tidak cukup sekali ia pelajari, tetapi bisa berkali-kali kepada beberapa orang guru.
Kitab Taqrib, Fathul Mu‟in, Fathul Wahhab, Bughyatul Mustarsyidin,
I‟anatut Thalibin, Asybah wan Nazhair, Tijanud Durar, Jawahir Kalamiyah, Sanusi, Maraqil „Ubudiyah, Nashaih ad-Diniyah, Ihya „Ulumiddin, Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Qami‟ut Tughyan, Jawahir Bukhari, Shahih Bukhari
sudah beberapa kali dia pelajari.
Meski pada umur 18 tahun dia sudah menikah, namun kegiatan belajar tidak terhenti,serta dia juga berdagang untuk mencari nafkah. Orang tuanya
yang kemudian hari berdagang emas dan ekonominya berkecukupan juga tetap membantu kebutuhan belajarnya. Ibunya membantu membelikan kitab-kitab yang diperlukan, sementara bapaknya membantu kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Dia percaya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan doa hamba-Nya, dan akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan
agama-Nya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Atas setiap orang
akan diberi pertolongan menuju keahlian/bakat yang diciptakan” (kullun
muyassarun lima khuliqa lahu).
Dengan sistem belajar tidak formal selama kurang lebih 25 tahun itu, memang dia tidak memperoleh ijazah atau syahadah. Tetapi hasil dari belajarnya tidak di ingkari telah mencapai tingkat pengajaran yang tinggi dalam sistem sekolah formal. Karenanya, dia pun akhirnya diakui telah
menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab dan syari‟ah yang mumpuni.
Suatu saat, dihadapan ulama besar Kyai Abdurrahman Tua, Kampung Melayu, Abdurrahman Nawi mengikuti semacam ujian terbuka diikuti oleh sekitar 30-an peserta dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya. Kyai memanggil satu per satu peserta, kemudian dibukakan kitab tertentu dan disuruhnya membaca. Setelah itu dibukakan lagi kitab yang lain dan disuruhnya membaca, sampai beberapa kali. Setelah selesai, Kyai Abdurrahman Tua mengumumkan, hanya ada dua peserta yang dinyatakan lulus, yaitu Abdurrahman Nawi, Tebet, dan Turmudzi, Bukit Duri. Dari sini Abdurrahman Nawi merasa memperoleh pengakuan atas penguasaan ilmu yang ia pelajari.116