• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi dan Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid

METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian

A. Deskripsi Data

1. Biografi dan Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid selanjutnya dipanggil Caknur, lahir di Mojoanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 17 Maret 1939, anak dari Abdurrahman Madjid seorang tokoh masyarakat dan ulama di Majoanyar, Jombang”. Hal ini terbukti dengan sebutan terhadap Abdurrahman Madjid yang dipanggil “Kiai Haji” sebagai ungkapan penghormatan bagi ketinggian ilmu-ilmu keislamannya dan yang paling berperan dalam membesarkan dan mengawasi Madrasah Wathaniyah di wilayah tempat tinggalnya. Ia adalah murid Hasyim Asy’ary seorang Tokoh NU dan menamatkannya di Sekolah Rakyat.1

Bersama keluarganya, Nurcholish menjalani dan menikmati masa anak-anaknya di Jombang. Masa muda Nurcholish banyak dihabiskan di pesantren tempat dia menuntut dan menimba ilmu. Dia menikahi Omi Komariah dan dikaruniai dua orang anak. Nadia Madjid dan Ahmad Mikail. Tinggal di jakarta, kelurga ini hidup berbahagia, rukun dan harmonis menjalani kehidupan rumah

Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2005), ed-1, h.322

tangganya. Nurcholish mempunyai menantu bernama David bychon (suami nadia).2

“Pendidikanya dimulai dari Sekolah Rakyat di Majoanyar pada pagi hari,

sedangkan sore hari ia bersekolah di Madrasah Ibtidai’yah di Majoanyar. Setelah

itu ia dimasukan ayahnya ke pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang”. Namun, hanya bertahan dua tahun karena alasan politik. Ayahnya tetap di Masyumi, meskipun pada NU menyatakan keluar. Maka ia pun memindahkan Nurcholish Madjid dari basis tradisional ke pesantren Modern terkenal Darussalam Gontor Ponorogo. Menurut Nurcholish Madjid sendiri, di sinilah masa yang paling menentukan pembentukan sikap keagamaan.3

Selama belajar di Pondok Modern Gontor, yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang diorientasiakan pada sikap mandiri, dan kemampuan menguasai asing (bahasa arab dan Inggris), Nurcholish Madjid merasa enjoy dan kerasan. Disana ia pun mendapatkan pengalaman baru dalam pengalaman keagamaan. Di Pondok Modern Gontor boleh dibilang tidak dikenal kultur mempertentangkan faham-faham keagamaan seperti soal-soal khilafiah yang sering menimbulkan eskalasi emosi dan pertikaian dikalangan masyarakat awam, seperti antara NU dan Muhammadyiah. “Di Gontor anak-anak NU dan Muhammdiyah tidak ada yang ngotot mempertahankan fahamnya masing-masing.Mereka adalah santri Gontor. Mereka beribadah menurut cara Gontor. Misalnya waktu shalat jumat, apakah adzan satu kali atau dua kali, shalat taraweh 11 rakaat atau 23 rakaat, tergantung kesepakatan yang sudah lazim di Gontor”.4

“Kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan program studinya ke Fakultas Adab/Sastra dan Budaya UIN (Universitas Islam Negeri; dulu: IAIN/ Institut

2

Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,(Jakarta: Lasswell, 2010), h. 18

3

Ahmad Amir Aziz,Neo-Modernisme Islam Di Indonesia (Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurahman wahib),(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), Cet. Ke-1, h.22-23

4

Marwan Surijdo,Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab.(Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet.Ke-1, h.5-6

Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tamat tahun 1965 (B,A) dan 1968 (Doktorandus)”.5

Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholish Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972-1976. Setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia ditugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI).6

“Basis, bobot, dan peralatan intelektual Nurcholish menjadi jauh lebih terasa lebih tajam ketika ia melanjutkan studinya ke program doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Nurcholish menyelesaikan program doktornya di Universitas Chicago pada tahun 1984”. Dia mengambil spesialisasi di bidang filsafat atau pemikiran islam. Dia menulis disertasi yang berjudul Ibn Taimiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam di bawah bimbingan Profesor Fazlur Rahman , seorang sarjana muslim Pakistan. Profesor Fazlur Rahman terkenal sebagai sarjana yang sangat mendalami bidang studi pemikiran islam yang mengajar di Universitas Chicago pada saat itu.7

Nurcholish sebagai aktivis mahasiswa, tidak hanya serius menekuni studinya di fakultasnya, akan tetapi juga terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan diskusi diluar kampus dan berkecimpung pula dalam berbagai kancah aktivitas ekstra kurikuler.

Nurcholish pernah menjadi ketua umum PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1967-1969 dan 1969-1971). Antara tahun 1967-1969, dia mendapat amanat untuk menjabat sebagai Presiden persatuan Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara (PERMIAT). Salah satu wakilnya adalah Anwar Ibrahim (yang kemudian pernah menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia).8

5

Ismail,Op.cit,h. 20 6

Abuddin Nata,Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2005), ed-1, h.323

7

Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,(Jakarta: Lasswell, 2010), h. 20-21

8

Nurcholish Madjid pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (Leknas LIPI, 1978-1984), peneliti senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1984-2005), kemudian menjadi anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) selama dua periode/ sepuluh tahun (1987-1992 dan (1987-1992-1997) di masa pemerintahan Orde Baru. Dia tercatat pula sebagai pakar dan anggota Dewan Riset Nasional dan dikenal sebagai penggagas pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KKIP). Karena jasa-jasanya kepada negara dan bangsa, dia pada tahun 1998 dianugrahi Bintang Mahaputra oleh Pemerintah Republik Indonesia.9

“Kiprah, karya, dan kepedulian Nurcholish Madjid juga merambah ke masalah-masalah peka kemanusiaan dimana ia terlibat secara aktif sebagai anggota Komnas HAM ( Hak- Hak Asasi Manusia, 1993-2005). Kerja-kerja mulai kemanusiaan seperti itu sangat erat bersentuhan dengan minatnya sehingga mengangkat dan menobatkan dirinya sebagai sosok intelektual humanis, penggagas toleransi, dan aktivis penggalang keharmonisan antar umat beragama di negeri ini. “Dia adalah penyeru ulung kerukunan antar umat beragama, baik dalam ide maupun dalam praktik. Pluralisme , inklusivisme, harmoni, dan toleransi antar umat beragama sudah menjadi bentangan benang merah visi humanitasnya dan menjadi bagian penting yang mencuat dalam tema-tema besar pemukiran Nurcholish, disamping tema Neo-Modernisme Islam”.10

Nurcholish Madjid adalah sosok intelektual yang dikenal luas, terutama dikalangan sarjana dan ilmuwan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun 1991, Nurcholish menjadi dosen tamu di Institute of Islamics Studies, Universitas McGill. Montreal, Kanada. Pengalaman akademis ini semakin mengkukuhkan dirinya sebagai akademiskus yang bertaraf internasional. Sebagai profesor tamu di Universitas McGill, dia menempatkan diri sejajar dengan para profesor yang telah mempunyai nama terkenal dan reputasi tingkat Internasional.

9

Faisal Ismail,Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid,(Jakarta: Lasswell, 2010), h. 21

10

Di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, dia memberi kuliah tentang Ibnu Taimiyah dalam bahasa Arab klasik yang pelik.11

Didalam berbagai tulisan dan bukunya, Nurcholish Madjid banyak melontarkan gagasan dan pemikirannya yang mengundang kontroversi dikalangan ilmuan. Diantara gagasan dan pemikiran yang mengandung kontriversi adalah

tentang partai politik : “Islam Yes, Partai Islam No,” ide sekulerisasi tentang masalah-masalah keduniaan, tentang teologi dan masih banyak lagi. Pemikiran-pemikirannya ini telah banyak memengaruhi kalangan intelektual muda yang bergabung dalam Yayasan Wakaf Paramadina. Muhamad Kamal Hasan, seorang guru besar di Malaysia, pernah melakukan penelitian terhadap ide-ide pembaharuan atau modernisasi Indonesia dengan menempatkan pemikiran Nurcholish Madjid sebagai acuannya.

Selanjutnya sejak tahun 1986 bersama dengan beberapa kawanya di Jakarta Nurcholish Madjid mendirikan dan memimpin Yayasan wakaf Paramadina dengan kegiatan yang mengarah pada gerakan intelektual Islam Indonesia. “Sejak 1991 hingga sekarang ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), anggota Komisi Nasional hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan tercatat pula sebagai salah seorang anggota Majelis Permusyawaratan rakyat Replublik Indonesia”.12

Seluruh rekam jejak pencapaian karier dan reputasi ilmiah yang baik diatas membuktikan dengan jelas bahwa Nurcholish Madjid, sebagai sosok intelektual, yang sangat diperhitungkan kehadirannya dan sangat diharapkan bentangan kontribusi ide-ide bernasnya oleh masyarakat ilmuan internasional. Oleh karena itu, ia seringkali diundang untuk berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional itu. Reputasi cemerlang Nurcholish Madjid sebagai intelektual terkenal dan ilmuan berbobot tidak ada yang meragukan. Nurcholish dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tahun 1998, dan pada

11

Ibid,h. 22 12

tahun 1999 dia dikukuhkan pula sebagai ahli peneliti utama (APU) LIPI. Dengan demikian predikat akademisi dan peneliti melekat pada sosok dirinya.13

Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil “Cak Nur” telah meninggal dunia pada hari senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05 WIB di RS Pondok Indah Jakarta.

Dokumen terkait