• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL NUGROHO NOTOSUSANTO

A. Biografi Nugroho Notosusanto

Nugroho Notosusanto dilahirkan di Rembang 15 Juli 1930. Ia terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar dimuat juga dalam majalah yang

dipimpinnya, Kompas. Tidak merasa mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia lalu

mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.

Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel titular, kemudian brigadir jendral. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran

yang mengemukakan prasaran tentang cerita pendek1.

Ketika Nugroho sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, ia berkenalan dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik). Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960 di Hotel Indonesia. Istri Nugroho adalah keponakan istri Prof. Dr. B.J. Habibie. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita tamatan FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama. Nugroho meninggal dunia hari Senin, 3 Juni 1985, pukul 12.30, di rumah kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat

1

tekanan darah tinggi. Ia adalah menteri keempat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada masa Orde Baru yang meninggal dunia dalam masa tugasnya. Ia meninggal dunia pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadan, dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Lingkungan dan pendidikannya yang pertama ini agaknya memberi pengaruh

yang besar sekali pada sikap dan pandangan hidupnya.2 Pendidikan yang pernah

diperoleh Nugroho adalah Europese Legere School (ELS) yang tamat 1944, kemudian menyelesaikan SMP di Pati, Tahun 1951 tamat SMA di Yogyakarta. Setamat SMA, ia masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, dan tamat tahun 1960. Tahun 1962 ia memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda, ia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira atau menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejaknya. Setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul, yaitu Nugroho dikukuhkan sebagai guru besar FSUI. Namun, ayahnya tidak dapat menyaksikan karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Selain itu, ia juga berkarier di militer. Pada tahun 1977 ia

memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis The Peta

Army During the Japanese Occupation in Indonesion, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Nugroho mendapat pendidikan di kota besar, seperti, Malang, Jakarta, dan Yogyakarta.

Pengalaman Nugroho Notosusanto di bidang kemiliteran, adalah sebagai angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak Nugroho menjadi anggota redaksi harian Kami, ia semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya

2

mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Nugroho mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya di AD.

Sejak tahun 1964, ia menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam herbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Buku itu menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan, banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.

Di bidang pendidikan Nugroho memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI dan menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971--1985 Nugroho menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembinaa Pahlawan Pusat. Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.

Pada tanggal 15 Januari 1982 Nugroho dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV. Ia dikenal sebagai orang yang kaya ide. Semasa menjadi menteri, ia mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan pendidikan humaniora. Di samping itu, ia banyak jasanya dalam dunia pendidikan karena ia yang mengubah kurikulum dengan menghapus jurusan di SMA, dan mencetuskan sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu UT sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah.

Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan tentang Tata Laksana Upacara Resmi dan Tata Busana Perguruan Tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha, Dharma Naraya, dan

Satyalencana Penegak.3

Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia. Dia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia.

Selain sebagai seorang sastrawan, nugroho juga seorang sejarawan. Namun sayangnya, berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.Ketika diangkat sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer.

3

Artikel diakses pada 26 Februari 2014 dari

Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal 30 September hingga tahun 1997.

Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol adalah ketika dia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno. Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai

hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.4

B. Karya Nugroho Notosusanto

Dokumen terkait