• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL NUGROHO NOTOSUSANTO

B. Karya Nugroho Notosusanto

Sebagai penulis cerita pendek ia menonjol dengan kisah-kisah yang berlatarbelakangkan revolusi seperti yang dialami oleh para pelajar yang terjun membela tanah airnya dari penjajahan kembali Belanda. Cerita-ceritanya memperlihatkan ketangkasan dan kecermatan, dengan latar belakang kemanusiaan yang lebih luas, sehingga membuat penulisnya menjadi salah

seorang pengarang cerita pendek penting pada masa itu.5

Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika ia masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bertema perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita yang ditulis Nugroho

4

Artikel Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahrohdiakses pada 26 Februari 2014 dari http://profil.merdeka.com/indonesia/n/nugroho-notosusanto/

5

Ajip rosidi, “Nugroho Notosusanto dan Sastera Indonesia” , Majalah Basis, Jakarta, 12 Desember 1993, h. 465

waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.

Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menulis sajak dan sebagian

besar karyanya itu dimuat di harian Kompas. Karena tidak pernah mendapat

kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen, dan esai. Karyanya pernah dimuat

di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiswa,

Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Karena Nugroho cukup lama bertugas dalam militer, ia dapat membeberkan peristiwa militer, perang, dan suka duka kehidupan, seperti dalam cerpennya yang berjudul Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, Karanggeneng, Nini, dan Mbah Dukun.

Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang

semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku itu memberi gambaran berbagai segi pengalaman manusia yang terjadi dalam peperangan.

Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang

ditulis tahun 1953-1954. Judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di

tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Menilik nada dan suasananya,

walaupun kumpulan ini terbit tahun 1959, sedangkan Hujan Kepagian terbit

tahun 1958, tetapi kedua kumpulan ini tampaknya ditulis dalam waktu yang sangat berdekatan. Sehingga nada dasar kedua kumpulan ini juga hampir

bersamaan. Hanya saja, Tiga Kota lebih banyak mereflesikan latar tempat,

memahami benar-benar persoalan setting,ceritanya dapat mereflesikan setting

(tempat dan waktu) secara sinkronis6.

Kumpulan cerita pendek Hijau Tanahku Hijau Bajuku diterbitkan oleh

Balai Pustaka dalam rangka “Seri sastra Modern di 16 halaman, terbit tahun

1963 dengan dua cerita pendek, Panser dan Kepindahan. Keduanya tampak

tidak beda dengan cerpen-cerpen dalam Hujan Kepagian, yaitu menampilkan

suasana medan tempur dengan tentara yang masih muda belia. Kisah panser

melukiskan pengalaman seorang prajurit yang bertugas di garis depan dan ternyata istri yang ditinggalkannya di kota, sakit kemudian meninggal dunia.

Sedangkan cerpen Kepindahan menceritakan kepindahan letnan Sukanda dari

daerah pedalaman, yang mana letnan itu ternyata dicintai istri bupati. Letnan Sukanda merasa kepindahannya itu merupakan jalan terbaik baginya untuk memutuskan hubungan batin itu. Ternyata dalam perjalanannya yang sendiri,

Letnan Sukanda dihadang musuh, dan ia tewas.7

Rasa Sayange merupakan kumpulan cerita pendek yang terbit tahun

1961. Di dalamnya terhimpun sepuluh cerpen, Ular, Jembatan, Nini, Piyama,

Doa Selamat tinggal, Latah, Raden Satiman, Karanggeneng, Persalinan, dan Sungai.

Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan

Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang. Dalam cerpen tersebut penulis mengalami peristiwa yang

dituturkannya. Sehingga cerpen tersebut kelihatan hidup.

2) Karya Terjemahan

Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu. Buku terjemahannya yang diterbitkan berjumlah

6

Korrie Layun Rampan, “Nugroho Notosusanto sebagai Sastrawan, Cerpen-Cerpennya Menanamkan

Jiwa Nasionalisme”, Harian Suara Karya, 18 November 1983, h. 4 7

dua puluh satu judul. Buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Karena wawasannya yang mendalam mengenai sejarah perjuangan ABRI, dia mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G.30S/PKI.

Nugroho menghasilkan karya terjemahan, yaitu Kisah Perang Salib di

Eropa (1968) dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method, dan terjemahan tentang bahasa dan

sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa (1971) (Mario Pei, The Story of

Language) dan Mengerti Sejarah.

3) Esai dan Kritik

Nugroho digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 66, sedangkan oleh Ajip Rosidi digolongkan sebagai sastrawan angkatan baru (periode 50-an). Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisannya antara lain berisi pembelaan para sastrawan muda. Ketika terdengar suara tentang krisis kesusastraan, Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroho memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953, yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.

Nugroho banyak menulis esai dan kritik di antaranya dimuat dalam

majalah Kompas, Gelanggang/Siasat, ruangan “Persada”/Kisah atau lainnya.

Esai-esainya memperlihatkan wawasan yang segar dan luas jangkauannya, kelihatan tegar di tengah-tengah para sastrawan lain sebayanya yang kebanyakan hanya produktif mencipta sajak dan cerita pendek saja. Karangan

yang berjudul Situasi 1954 yang termuat dalam kompas berturut-turut empat

nomor itu, dimulai dengan membahas polemik dalam harian Nieuwsieger

(yang berbahasa Belanda) sekitar pertengahan 1954, di antara Tjalie Robinson, Sutan Muhammad Sjah, Sitor Situmorang, Samuel Intama, Mas

Soed dan kemudian juga Savitri (=Mochtar Lubis) dalam surat kabarnya Indonesia Raya.8

4) Karya Tulis

Dalam bidang keredaksian ia pernah memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi menjadi redaksi majalah Pelajar. Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 Nugroho menghadiri pertemuan ilmiah internasional sebanyak empat kali.

Nugroho membuat beberapa karya tulis diantaranya, Pemberontakan Peta Blitar Melawan Jepang 14 Februari (1944), The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia (bersama Ismail Saleh, 1968), The Dual Function of the Indonesian Armed Forces Especially since 1966. Selain itu Nugroho berperan dalam membuat naskah proklamasi yang otentik dan rumusan pancasila yang otentik, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Editor),

Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara.9

Dokumen terkait