• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI SINGKAT IBNU MASKAWAIH

A. Sejarah Hidup Dan Kepribadian Ibnu Miskawaih

Salah seorang tokoh filsafat dalam dunia Islam adalah Ibnu Maskawaih yang pusat perhatiannya pada etika Islam, meskipun sebenarnya ia seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan.“…pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India disamping filsafat yunani, sangat luas”.85

Nama lengkap Ibnu Maskawaih adalah Abu Ali al Kasim Ahmad Bin Yakub bin Maskawaih, sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Mengenai nama Maskawaih itu sendiri berbeda-beda pendapat ada yang mengatakan bahwa Maskawaih merupakan nama kakeknya ada juga mengatakan nama dirinya yang diambil dari nama kakeknya.86 Dan konon dia dan keluarganya semula beragama majusi kemudian masuk Islam,87 tapi untuk kakeknya mungkin, sedangkan untuk Ibnu Maskawaih kayaknya jauh kemungkinan sebagaimana diungkapkan Yakut dalam karyanya Muzam.88

Gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum syiah dipandang sebagai yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika

85Abulraihan, “Ibnu Maskawaih Orang Yang Menegaskan Teori Evolusi” Artikel di akses pada 2 april 2009 dari http://www. Abulraihan. wordpress.com..

86Ibid.,

87Republika, Edisi Rabu 27 Mei 2009, Kholem Khajanah.

88Asyeh Kamil Muhammad Muhammad Arodiyah, Ibnu Maskawaih Madahibul Akhlaq, (Bairut-Libanon: Darul Kitab al Alamiah 1999), h.11.

Ibnu Maskawaih dipandang sebagi penganut aliran Syiah.89 Ia juga dimasukan dalam daftar ulama dan filosof Syi’ah karena beberapa pandangannya antara lain menegaskan keharusannya kemaksuman pada imam, sebagaimana dilontarkannya dalam al Fauz al Asghor, al-Khunsyari dan beberapa penulis biografi ulama Syiah juga memastikan sebagai penganut ulama syiah.90 Gelar yang juga sering disebutkan adalah al-Khazim yang berarti bendaharawan atau sang penyimpan, disebabkan karena ia menyimpan buku khalifah al-Malik Adhuddaulah bin Buwaih yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H.91

Umur Ibnu Maskawaih terbilang lama, dari segi tahun kelahirannya Ibnu Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran Sekarang), mengenai tahun kelahirannya para penulis menuliskan berbeda-beda, Abudin Nata dalam buku pemikiran para tokoh pendidik Islam menyebutkan tahun 320H/932 M,92 begitupun MM Syarif menyebutkan tahun yang sama. Morgoliot menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H, sedangkan wafatnya para tokoh sepakat yaitu pada 9 Shafar 421 H / 16 Februari 1030 M.”93

Dilihat dari tahun kelahiran dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan bani Abbasiyah yang berada di bawah pengaruh bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi. Bani Buwaihi yang mulai berpengaruh sejak Khalifah al Mustakhfi dari bani Abbasiyah yang mengangkat Ahmad bin Buwaihi sebagai perdana mentri dengan gelar Mu’izz al-Daulah pada 945 M. dan pada tahun 945 M itu juga, Ahmad Bin Buwaih menaklukan Bagdad

89Abulraihan. ibid.,

90Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum Dan Sesudah Mula Shadra, (Jakarta: Al-Huda 2005), cet. ke-1, h. 111.

91Muhammada Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, (Bandung: Pustaka Hidayah), cet. ke-1, h.85.

92Abuddinata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2001), cet. ke-2, h. 5.

93M.M Syarif, Para Pilosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), cet ke-VII, h. 84.  

di saat bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki, dengan demikian pengaruh Turki terhadap bani Abbasiyah digantikan oleh bani Buwaih yang dengan leluasa melakukan penurunan dan pengangkatan khalifah-khalifah bani Abbasiyah.94

Buwaih adalah suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan, dari dataran tinggi di Jilan sebelah selatan laut Kaspia, suku Dailami merupakan orang-orang yang kuat yang terkenal karena kekerasan mereka yang luar biasa.95

“Pendiri dinasti ini adalah tiga bersaudara yang berasal dari pegunungan Dailam, tiga bersaudara yang meletakan dasar bagi dinasti buwaihiyah tersebut adalah Ali, Hasan dan Ahmad putra-putra buwaiyah. Mereka kemudian mendapat gelar dari khalifah al-Mustakhfi, Ali sebagai Imad al-Daulah (pondasi negara) Hasan sebagai rukun al-Daulah (penyanggah negara) dan Ahmad sebagai muiz ad-Daulah ( penegak negara), mereka berasal dari suku Dailami yaitu suku bangsa pegunungan yang garang dari daerah sebelah barat daya laut kapisa yang pada awal abad ke sepuluh menyaingi bangsa turki sebagai pemasuk tentara bayaran bagi dunia Islam.”96

Puncak prestasi bani Buwaihi adalah pada masa Adhud al Daulah (tahun 367 H-372 H) perhatiannya amat besar terhadap ilmu pengetahuan dan kesusastraan, dan pada inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi

bendaharawan ‘Adhud Al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuan dan pujangga. Tapi di samping itu ada hal yang tidak menyenagkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih tertarik untuk menitik beratkan perhatianya pada bidang etika Islam.97

94Abulraihan. Ibid.,

95Azhar Saleh, Islam Pada Masa Abbasiyah Telaah Historis Kehidupan Kultural dan Politik Pada Masa Buwaihiyah 945-1055, (Tesis: Universitas Islam Negri Jakarta 2003), h. 23. 96Ibid., h. 25.

97Abulraihan. ibid.,  

Mengenai riwayat pendidikan Ibnu Maskawaih tidak banyak yang diketahui dengan pasti, dugaan kuat ialah bahwa Ibnu Maskawaih tidak berbeda dengan anak-anak sezamannya pada saat mudanya yaitu belajar di surau-surau tentang membaca menulis, serta mempelajari al-Quran, dasar-dasar tata bahasa Arab, dan membuat syair. Kemudian ilmu-ilmu fiqih hadits sejarah, dan matematika. Namun perkembangan ilmu Maskawaih banyak diperoleh dengan jalan membaca, terutama dalam bidang sejarah filsafat dan sastra, dan hingga saat ini Maskawaih lebih banyak dikenal sebagai seorang sejarahwan dan filosof.98

Adapun mengenai guru-gurunya, Ibnu Maskawaih berguru pada sejumlah ulama antara lain, Ia belajar sejarah terutama tarikh kepada al Thabari Abu Ahamad bin Kamil al-Qodi (350H/960M), al Hasan bin Siwar seorang ulama yang menguasai filsafat, kedokteran, logika sampai-sampai digelari Socrates kedua.99 Ibnu al Kahamar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles adalah gurunya dalam bidang filsafat. Adapun mengenai bidang kimia Maskawaih mengkaji kimia bersama Abu al-Tahyib al-Razi, seorang ahli kimia.100

Ibnu Maskawaih dikenal juga sebagai sejarahwan, dalam membahas mengenai bidang sejarah Ibnu Maskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis Ilmiah dan Filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang diri para raja. Tetapi harus mencerminkan suatu struktur politik, ekonomi dan sosial pada masa-masa tertentu juga harus merekam nilai turunnya peradaban Bangsa dan Negara. Ahli sejarah harus menjauhi kecenderungan untuk mencampur adukan kenyataan dengan rekaan atau kepalsuan, Ia bukan hanya harus tekun mencari fakta meliankan juga harus kritis dalam mengumplkan data.

98Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT: Rineka Cipta, 2004), cet. ke-2 h. 88.

99Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mula Sadra, h. 110.

100Syarif, Para Pilosof Muslim, h. 83.  

Selain itu, Ia juga jangan sekedar menyajikan data tetapi juga harus memberikan tinjauan filosofis, yakni menafsirkannya dalam kaitan dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan sebab dominan bagi munculnya peristiwa-peristiwa sejarah.101

Ibnu Maskawaih juga dianggap sebagai orang yang menegaskan teori Evolusi, yang dikenalkan oleh Charles Darwin, sebab dalam kajiannya mengenai peradaban manusia menurut Ibnu Maskawaih, kecerdikan manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang dimiliki oleh monyet. Tetapi manusia menjadi lebih cerdik kerana pengalaman yang mereka peroleh dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi Ibn Maskawaih, manusia itu ialah sebuah dunia yang kecil dan padanya terdapat gambaran mengenai segala yang ada di dunia ini Setiap manusia mempunyai peranan tersendiri sama ada sebagai individu ataupun anggota masyarakat. Pendapat Ibnu Maskawaih ini menepati "Teori Fungsi" yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis yang bernama Auguste Comte. Sekiranya setiap anggota masyarakat melaksanakan peranan dan fungsinya maka masyarakat itu akan berada dalam keadaan yang stabil dan bersatu padu serta membolehkannya berkembang dengan teratur.102

Adapun mengenai keperibadian Ibnu Maskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga seorang penyair, Ia banyak memberikan andil bagi perdebatan teoritis pada masa itu, meskipun banyak orang sezamannya meremehkan karya-karyanya, belum lagi orangnya. Ia adalah seorang pemikir menarik yang banyak memperlihatkan ragam masanya. Maskawaih menulis topik yang luas, seperti dilakukan banyak orang sezamannya, meskipun muncul

101Dewan Editor Taufik Abdullah, dkk.Ensiklopedi Islam Jilid IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 197.

102Http: Ibnu Maskawaih.com  

pertannyan mengapa karyanya kurang terkenal dibandingkan dengan karya-karya Ibnu Sina, apa yang kita ketahui sekarang tentangnya ini memberi bukti sejumlah pikirannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.103 Tauhidi mencela Maskawaih karena kekikiran dan kemunafikannya. Ia tertarik pada kimia bukan demi ilmu, tetapi demi emas dan harta, dan ia sangat mengabdi kepada guru-gurunya. Tetapi Yaqut menyebutkan bahwa pada tahun-tahun berikutnya dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk moral. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional merupakan poko-poko petunjuk ini, dia sendiri berbicara tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq yang menunjukan bahwa ia melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang etika.104

B. Karya-Karya Ibnu Maskawaih

Para penulis menyebutkan bahwa Ibnu Maskawaih mempunyai berbagai buku karangan di bidang akhlak, sejarah, kedokteran, sastra hikmah, perumpamaan dan syiroh (biografi). Menurut Ahmad Amin yang dikutip Abudinnata semua karya Ibnu Maskawaih tidak luput dari kepentingan filsafat dan Akhlaq”105 ...adapun karya karyanya yaitu:106

1. Al-fauz al-Akbar (Kemenangan besar) 2. Al fauz al-Asgor (Kemenangan kecil)

103Seyyed Hossein Nasr dan Oliver leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Mizan, (Bandung:mizan 2003), cet. ke-1 h.312.

104Syarif, Para Pilosof Muslim. h.85.

105Abudinnata, Para tokoh Pemikir Pendidk Muslim, h. 7

106Syarif, Para Pilosof Muslim. h.  

3. Tajarib al-Umam, “mengupas masa dinasti abasiyah sejak tahun 295 H (masa

khalifah al Muqtadir) hingga 369 H termasuk kondisi sosial, politik konflik-konflik dan komflik abasiyah denagan wilayah-wilayah sekitarnya seperti Byzantium, selain itu juga mengupas sejarah dinasti buwaihi dan dinilai sebagai sumber orisinil mengenai sejarah Islam di masa kritis tersebut terutama yang berkaitan dengan sejarah sistem administrasi, moneter, dan

kemiliteran”.107

4. Uns al farid (Kumpulan anekdot, syair, peribahasa dari kata-kata mutiara) 5. Tartib al-Sa’adah (Tentang akhlak dan politik)

6. Al Musthafa (Syair-syair pilihan)

7. Jawidan khirad (Kumpulan ungkapan bijak) 8. Al-Jami’

9. Al-Siyar (Tentang aturan hidup)

10. Tentang Pengobatan sederhana (mengenai kedokteran) 11. Tentang Komposisi bajat (mengenai seni memasak) 12. Kitab al Asyiribah (mengenai minuman)

13. Tahdzibul al Akhlaq, dinamakan juga Tathir al Araq (kesucian karakter), yang mengandung pemikiran dan ajaran dan merupakan argumentasi praktis logis atas keyakinan Maskawaih bahwa mungkinnya terjadi perubahan moral dan budi pekerti dalam diri seseorang.108

107Yusri Abdul Ghani Abdullah, Histiogarafi Islam Dari Klasik Hingga Moderen. Penerjemah: Budi Sudrajat (Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada), cet. ke-1 h. 155.

108Jainul Kamal Dalam Sambutan Buku Terjemahan Tahdzibul Akhlaq karya Ibnu Maskawaih, Bahasa Indonesia, Menuju Kesempurnaan Akhla, (Bandung: Mizan, 1997) cet ke-3 h. 14.

14. Risalah fi al-ladzdzat wal alam fi jauhar al nafs (naskah di Istanbul, raghib majmuah No. 1463, lembar 57a-59a)

15. Ajwibah wa as’ilah fi al-nafs wal –aql (dalam majmu’ah tersebut diatas,

dalam ragib di Istanbul)

16. Al jawab fi al masail al-tsalat (naskah di Teheran, fihris maktabat al majlis, II, No 634 (31)

17. Risalah fi jawab fi sual Ali bin Muhammad Abu Hayan al Shufi fi Haqiqat al Aqli (Perpustaan Mashad di Iran, I, No.43(137)

18. Tharat al nafs (naskah di koprulu, Istanbul, No. 767).

Muhammad Baqir Ibnu Zain al abidin al Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa parsi (raudhat al-janah, taheran, 1287 H/1870 M, hal 70). Adapun mengenai urutan karya-karyanya hanya Maskawaih sendiri yang tahu tapi yang pasti bahwa al-Fauz al Akbar ditulis setelah al Fauz al Asqhor, dan Tahdzibul Akhlak ditulis setelah Tartib

al-Sa’adah.109

C. Pemikiran Ibnu Maskwaih Tentang Psikologi Dan Kematian

Dalam wacana psikologi, Ibnu Maskawaih bertumpu pada spritualitas tradisional Plato dan Ariestoteles dengan kecenderungan Platonis,110 terhadap kaum materalis ia membuktikan adanya ruh dengan dasar bahwa pada diri manusia terdapat sesuatu yang memberi tempat bagi perbedaan dan bahkan pertentangan bentuk dalam waktu yang bersamaan, tetepi sesuatu itu tidak dapat berupa materi, karna materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.

109Syarif, Para Filosof Muslim, h.85.

110Ibid., h.88  

Ruh bersifat hal-hal yang sederhana dan kompleks, yang ada dan yang tidak ada, yang terasakan dan yang terpkirkan tetapi apakah ia mencerap semua itu melalui satu atau banyak unsur? Ruh tidak mempunyai unsur, unsur hanya terdapat pada materi, lalu apakah ruh meskipun hanya satu dan tak dapat dibagi-bagi menyerap sesuatu yang berbeda dengan sikap yang berbeda dan cara yang berbeda pula? Dalam menjawab pertanyaan ini Maskawaih menjawab dengan dua jawaban berlainan, pertama dari Plato, yang mengatakan bahwa yang serupa menjawab yang serupa dan kedua dari Aristoteles, yang mengatakan bahwa ruh mempunyai satu unsur yang menyerap materi yang kompleks dan non materi yang sederhana, tetapi dengan cara berlainan. Dalam kaitan ini Maskawaih menyebutkan themistius dan bukunya tentang ruh.111

Berikut ini adalah beberapa pemikiran Ibnu Maskawaih yang berkaitan dengan psikologi.

1. Konsep Tentang Manusia

Manusia menurut Ibnu Maskawaih terdiri dari 3 aspek yaitu aspek natural manusia, (human nature) konsep jiwa dan hubungan jiwa dengan jasad.112 a. Natur Manusia

Mengenai fitrah manusia Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa adanya manusia bergantung pada kehendak Tuhan, tetepi baik buruknya manusia diserahkan kepada manusia sendiri dan bergantung pada kemauannya sendiri, menurut Ibnu Maskawaih keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk lain selain manusia yaitu pada daya fikir yang dapat membedakan yang benar dan yang salah dan yang baik dari yang buruk. Sedangkan yang paling sempurna

111Ibid., h 89

112Nety Hartaty dkk, Psikologi Dalam Tinjauan Tasauf, (Jakarta: UIN Press, 2004), cet. ke-1. h. 94.

kemanusiaannya adalah siapa yang paling benar aktifitas berpikirnya dan paling mulia ikhtiarnaya. Manusia yang paling utama adalah siapa yang paling mampu mewujudkan perbuatan-perbuatan yang membedakan dari binatang dan paling kuat berpegang pada syarat-syarat esensial yang dimiliki secara khas oleh manusia.113

Menurut Ibnu Maskawaih wajiblah manusia menginginkan sungguh-sungguh kebaikan yang merupakan kesempurnaan dan tujuan penciptaannya. Manusia wajib berjuang semaksimal mungkin untuk meraihnya dan menjauhi kejahatan-kejahatan, untuk mewujudkan kebaikan itu manusia perlu bekerja sama atau saling membantu karena manusia secara sendirian tidak akan mampu mewujudkannya, oleh karena itu manusia wajib saling mencintai dan menyadari bahwa kesempurnaan dirinya tergantung pada kesempurnaan diri manusia yang lain, bila tidak saling mebantu niscaya kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan itu tidak tercapai, Ibnu Maskawaih mengingingatkan bahwa yang mengabaikan kebutuhannya di dunia ini, sebenarnya bersikap tidak adil karena mereka menginginkan layanan banyak orang. Oleh karena itu wajib bagi manusia melayani yang lain, bila ia banyak melayani maka ia dapat menuntut banyak, tapi bial ia hanya sedikit melayani maka ia hanya dapat meminta sedikit.114

”Dari pandangannya tentang natur manusia Ibnu Maskawaih memiliki konsep manusia ideal (insan kamil) manusia ideal terdiri dari dua unsur utama yaitu jasad sebagai unsur material dan jiwa sebagai unsur spiritual. Unsur spiritual ini memiliki dua penafsiran, pertama unsur spiritual yang berasal dari natur materi, dalam bentuk jiwa al Bahimiyat dan al Ghadabiyat dan berpusat di perut dada. Kedua unsur spiritual yang berasal dari ruh pancaran Tuhan. Jika dilihat dari dua unsur material dan spiritual

113Ibid., h. 95.

114Dewan Editor Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve ), h. 197.

sebagaimana disebutkan di atas, manusia yang ideal adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara aspek jasad (material) dan aspek jiwa (spiritual).”115

b. Konsep Jiwa

Jiwa menurut Ibnu Maskawaih adalah bukan tubuh, buka pula bagian dari tubuh, dan bukan pula bentuk, sebab jiwa tersebut tidak bisa berganti-ganti dan tidak bisa juga berubah-ubah, ia mengetahui segala sesuatu dalam derajat yang sama, tidak pernah menyusut tidak pernah melemah dan tidak pernah berkurang.116 sebagai sesuatu yang berbeda dengan badan, karena beberapa alasan, jiwa membedakan kita dari binatang, jiwa membedakan kita dari manusia lainnya, jiwa memanfaatkan badan dan bagian-bagiannya, dan jiwa juga berusaha menjalin hubungan dengan alam-alam wujud yang lebih spiritual dan lebih tinggi. Jiwa tidak mungkin merupakan aksiden karena ia dalam dirinya sendiri mempunyai kekuatan untuk membedakan antara aksiden dan konsep esensial, dan tidak dibatasi pada kesadaran akan hal-hal yang aksidental oleh indra tetapi dapat memahami banyak ragam entitas imaterial dan abstrak.117

Adapun mengenai jiwa anak-anak dalam pandangan Ibnu Maskawaih ialah seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal, menurutnya jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiannya jiwa manusia pada anak-anak

115Hartaty, Psikologi Dalam Tinjauan Tasauf, h. 98

116Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak. h. 35.

117Ensikolopedi Tematis Filsafat Islam, Tejemahan dari History of Islamic Philosofhy, Penerjemah, Tim Penerjemah Mizan, (Bandung:Mizan, 2003) h. 312.

mengalami proses perkembangan. Sementara itu sarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiwaan dan syarat sosial.118

Menurut Ibnu Maskawaih jiwa manusia memiliki tiga daya yaitu daya rasional daya emosi dan daya syahwat, Jika ketiganya berhubungan maka ketiganya menjadi sesuatu yang tunggal. Meskipun ketiganya menjadi sesuatu yang tunggal tetapi ketiganya tetap pada daya yang berbeda sebab kadang-kadang salah satu diantaranya bergejolak sedangkan yang lain tenang Maskawaih berkata “oleh karena itu satu kelompok berpendapat bahwa jiwa

itu tunggal tetapi memiliki daya yang banyak, sedangkan kelompok lain berpendapat bahwa jiwa itu tunggal secara zat tetapi memiliki banyak simtom

dan topik” berikut ini adalah penjelasan atau tiga jiwa tersebut:

1. Jiwa rasional atau daya rasional, yaitu jiwa yang menjadi dasar berpikir, membedakan dan menalar hakikat segala sesuatu pusatnya ada diotak. 2. Daya emosi atau jiwa emosi, jiwa inilah yang menjadi dasar kemarahan,

tantangan keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keinginan berkuasa, keinginan pada ketinggian pangkat dan berbagai kesempurnaan, pusat daya ini ada di dalam hati.

3. Daya sahwat atau nafsu syahwat, atau an-nafsu al al bahimiyah (jiwa kebinatangan) jiwa ini yang menjadi dasar syahwat, usaha mencari makna, kerinduaan untuk menikmati makanan minuman dan perkawinan serta berbagai macam kenikmatan indrawi lainnya. Pusat daya jiwa ini ada di dalam hati. Daya syahwat adalah daya jiwa yang paling rendah, daya emosi yang paling tengah dan daya rasional yang paling terhormat,

118Republika, Edisi Rabu 27 Mei 2009, Kholem Khajanah.  

manusia menjadi manusia karena ketiga daya tersebut. Dengannya manusia dapat dibedakan diri degan hewan dan menyamakan diri dengan malaikat.119

Menurut Ibnu Maskawaih ketiga daya tersebut adalah merupakan komponen jiwa yang tidak saling terpisah dan berdiri sendiri, melainkan ketiganya merupakan komponen jiwa yang saling berkaitan dan berhubungan antara satu aspek dengan dengan aspek yang lainnya. Meskipun ketiga daya tersebut bersifat tunggal.120

c. Hubungan Jiwa Dengan Jasad

Menurut Ibnu Maskawaih Jiwa dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi, tubuh yang sehat dan kuat akan mempengaruhi kondisi kesehatan jiwa seseorang, begitu juga sebaliknya jiwa yang sehat akan mempengaruhi kondisi fisik seseorang, jiwa dalam melaksanakan pungsinya tidak akan sempurna kalau tidak mengunakan alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia, secara singkat dapat dikatakan bahwa Ibnu Maskawaih melihat bahwa antara unsur jasad dan ruhani yang ada pada diri manusia terdapat hubungan yang sangat erat.121

2. Tentang Kesehatan Mental

Dalam konteks mengenai masalah ini Ibnu Maskawaih berpaandangan

bahwa “sesungguhnya kedokteran jiwa sama dengan kedokteran badan

119Usman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, h. 88.

120Ibid h,. 89.

121Abudinata, Pemikiran Para Tokoh Pendidik Islam, h.7.  

kedokteran jiwa juga dibagi menjadi dua bagian, pertama menjaga kesehatan jiwa dimasa sekarang atau tindakan preventif dari penyakit jiwa jika kita mengunakan istilah modern kedua memulihkan kesehatan jiwa yang telah hilang, atau pengobatan psikis.122

Lebih lanjut Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa penyakit yang menimpa badan akan mempengaruhi jiwa dan daya-dayanya sehingga akal sering berubah dan sakit sampai sipasien mengingkari otak, fikiran pantasi dan seruruh daya jiwanya penyakit yang menimpa jiwa akan mempengaruhi badan sehingga badan menjadi guncang, resah pucat, memerah kurus dan mengalami banyak perubahan, oleh karena itu kita harus banyak memeriksa berbagai penyakit yang muncul dari jiwa kita, baik yang berasal dari jat jiwa semisal memikirkan sesuatu yang hina dan menimbang-nimbangnya (bimbang) ketakutan dari hal-hal yang akan terjadi serta gelora syahwat yang terjadi pada diri kita sendiri maupun, yang berasal dari pisik dan indra semisal lesu yang disebabkan melemahnya pada hati karena malas dan kenikmatan, atau asmara yang disebabkan pandangan kosong diri kita sendiri.123

Orang yang menjaga kesehatan jiwa tidak boleh menggerakan daya shawatnya, dan daya emosinya dengan mengingat dampak dari keduanya, sebaliknya ia harus mengunakan otak dan pikirannya agar mampu mencapai tujuan jiwa, ketika melakukannya ia tidak boleh menjadikan daya rasionalnya

Dokumen terkait