• Tidak ada hasil yang ditemukan

28

Adaptasi Koloni Wereng Hijau dan Virulensi Virus Tungro dari Daerah Endemis Tungro pada Ketinggian Tempat Berbeda

Dini Yuliani dan I Nyoman Widiarta

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Email: diniyuliani2010@gmail.com

Abstrak

Kemampuan adaptasi wereng hijau dan virulensi virus tungro mempengaruhi epidemi penyakit tungro di daerah endemis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adapatasi koloni wereng hijau dan virulensi virus tungro dari daerah endemis pada ketinggian tempat berbeda. Penelitian dilaksanakan di dataran sedang diwakili oleh Kab. Purwakarta dan dataran tinggi diwakili oleh Kab. Garut, Jawa Barat. Adaptasi koloni wereng hijau dilakukan denganmenginokulasi wereng hijaupada varietas padi differensial tahan wereng hijau. Sedangkan pengujian virulensi virus tungro dilakukan denganpenularan sumber inokulum virus pada varietas differensial tahan virus tungro. Hasil pengujian menunjukkan bahwa wereng hijau asalPurwakarta mampu mematahkan ketahanan golongan varietas T0-T3 yaitu Lusi, IR26, Ciliwung, dan IR64. Namun wereng hijau asal Purwakarta tidak dapat mematahkan ketahanan golongan varietas T4 yaitu Barumun. Wereng hijau asal Garut tidak dapat mematahkan ketahanan golongan varietas T0, T2, dan T3 yaitu Lusi, Ciliwung, dan IR64, serta golongan varietas T1 dan T4 yaitu IR26 dan Barumun. Hasil pengujian terhadap varietas differensial tahan tungro diperoleh varian virus tungro asal Garut adalah varian 071, sedangkan asal Purwakarta adalah varian 011. Untuk menekan penyebaran penyakit tungro di Kab. Garut dapat ditanam varietas Tukad Petanu, sedangkan di Kab. Purwakarta dapat ditanam semua varietas tahan virus tungro selain Tukad Balian.

Kata kunci: Wereng Hijau, Virus Tungro, Ketinggian Tempat.

Pendahuluan

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang menyebabkan tidak tercapainya produksi padi berdasarkan potensi hasil. Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus bentuk batang rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan virus bentuk bulat rice tungro spherical virus (RTSV) yang ditularkan oleh wereng hijau secara semi persisten (Hibino and Cabunagan, 1986). Serangan penyakit tungro semakin meluas sebagai akibat penggunaan satu varietas secara terus-menerus, tanpa pergiliran varietas yang mengakibatkan terjadinya

29 proses adaptasi vektor, atau mutasi virus sehingga wilayah-wilayah tertentu menjadi daerah endemik baru penyakit tungro.

Wereng hijau memegang peranan penting dalam epidemi penyakit tungro. Tingkat infeksi awal penyakit tungro ditentukan oleh populasi vektor infektif yang migrasi ke pertanaman, sedangkan perkembangan serangan selanjutnya ditentukan oleh presentase infeksi awal dan kepadatan generasi pertama (Raga et al. 2004). Menurut Hasanuddin (2009), dalam penyebaran penyakit tungro, ketersediaan sumber inokulum di lapangan memberikan peran yang lebih besar dibanding dengan vektornya. Penyakit tungro perlu ditangani dengan baik, karena dapat menimbulkan penularan ulang dan penyebaran ke lokasi lain dengan bantuan wereng hijau. Hal ini berkaitan potensi kerugian yang ditimbulkan. Penelitian ini untuk mengetahui adaptasi koloni wereng hijau dan virulensi virus tungro dari daerah endemis pada ketinggian tempat berbeda sebagai dasar strategi pengendalian.

Bahan dan Metode

Serangga wereng hijau dan sampel tanaman sakit bergejala khas tungro diambil dari dataran sedang yang diwakili oleh Kab. Purwakarta dan dari dataran tinggi diwakili oleh Kab. Garut pada musim kemarau 2012.

Adaptasi Wereng Hijau

Wereng hijau yang diperoleh dari lapangan dipelihara sampai 3 generasi sampai populasinya cukup untuk pengujian di rumah kaca. Serangga dipelihara dalam kurungan mika berukuran 35 cm x 30 cm x 37 cm, diberi makan bibit padi IR64 umur 7-14 hari setelah semai (HSS). Imago umur 3 hari setelah ganti kulit digunakan untuk uji kemampuan penularan virus. Koloni wereng hijau dimasukkan ke dalam kurungan serangga yang berisi tanaman sakit yang terinfeksi tungro untuk melakukan makan akuisisi selama 24 jam. Kemudian 2 ekor imago wereng hijau dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi varietas differensial tahan wereng hijau yang berbeda latar belakang ketahanan tetuanya yaitu: Lusi (T0: tidak ada gen ketahanan), IR26 (T1: gen tahan Glh 1), Ciliwung (T2: gen tahan Glh 6), IR64 (T3: gen tahan Glh 5), dan Barumun (T4: gen tahan glh 4). Pengamatan keparahan penyakit tungro dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang bergejala tungrodengan skoring pada 2 minggu setelah inokulasi (MSI).

Identifikasi Virulensi Virus Tungro

Tanaman yang bergejala tungro diambil dari daerah yang akan diuji keganasan virusnya dan ditanam kembali pada ember plastik dengan media tanah sawah. Tanaman sakit dimasukkan ke dalam kurungan serangga ukuran 100 cm x 70 cm x 46 cm, kemudian diinfestasi dengan imago wereng hijau (proses akuisisi virus) selama 24 jam. Imago wereng hijau yang mengandung virus diinfestasikan ke bibit padivarietas tahan virus tungro dan varietas TN1 umur 7HSS dalam tabung sebanyak 2 ekor/batang/tabung dan dibiarkan makan inokulasi selama 24 jam. Varietas tahan

30

tungro yang digunakan sebagai varietas differensial untuk menguji virus tungro adalah Tukad Petanu, Bondoyudo, Kalimas, Tukad balian, dan Tukad Unda. Setelah inokulasi, varietas differensial tahan virus tungro dan TN1 (pembanding rentan) ditanam sebanyak 10 batang per bak plastik ukuran 69 cm x 26 cm x 9 cm. Masing-masing varietas uji digunakan 3 bak plastiksebagai ulangan. Pengamatan kejadian dan keparahan penyakit tungro dilakukan terhadap semua rumpun tanaman dengan skoring pada 2 MSI.

Pengamatan Keparahan Penyakit

Pengamatan keberadaan penyakit dilakukan terhadap semua rumpun tanaman, sedangkan keparahan penyakit dievaluasi dengan menggunakan Standard Evaluation System for rice (IRRI 2002).

Tabel 1 Skala keparahan penyakit tungro berdasar SES (IRRI, 2002) Nilai Berkurangnya tinggi

tanaman (%) Warna daun

1 0 Tidak ada perubahan warna (hijau)

3 1 – 10 Tidak ada perubahan warna (hijau)

5 11 – 30 Tidak ada perubahan warna (hijau)

7 31 – 50 Daun muda berwarna kuning atau oranye

9 >50 Daun muda berwarna kuning atau oranye

Keterangan: Kriteria keparahan penyakit digolongkan berdasarkan indeks penyakit tungro (IPT)= [n(1) + n(3) = n(5) + n(7) + n(9)] / tn. Dimana n= jumlah tanaman yang terserang tungro dengan skala gejala tertentu, tn= total rumpun tanaman yang diamati. Berdasarkan IPT ketahanan tanaman dapat dikategorikan sebagai berikut; tahan (T: 0-3), agak tahan (AT: 4-6), dan rentan (R: 7-9)

Penamaan Varian Virulensi Virus

Nomenklatur virulensi virus tungro dilakukan dengan modifikasi metode yang dilakukan Mogi et al. (1992) untuk mengidentifikasi ras patogen blas menggunakan angka 3 digit dengan menjumlahkan nilai dari varietas penguji yang bereaksi rentan. Varietas penguji digunakan 5 varietas tahan tungro yang telah dilepas ditambah 1 kontrol varietas rentan. Nilai kode 100 diberikan pada inokulum yang mampu mematahkan varietas paling tahan dan nilai terendah 1 pada varietas kontrol rentan. Semakin besar nilai kode virulensi maka semakin infektif inokulum tersebut. Kode nilai ketahanan varietas Tukad Petanu, Bondoyudo, Kalimas, Tukad Balian, Tukad Unda, dan TN1 berturut-turut: 100, 040, 020, 010, 002, dan 001.

Hasil dan Pembahasan

Kabupaten Garut dan Purwakarta memiliki ketersediaan air yang cukup baik, sehingga petani menanam padi dengan pola tanam tidak serempak. Ini menyebabkan ketersediaan makanan secara terus menerus untuk wereng hijau, sehingga penyakit

31 tungro diprediksi akan berkembang terus di wilayah tersebut. Pemupukan hanya dengan nitrogen, namun rendahnya pemberian pupuk KCl dan SP36 menyebabkan kondisi fisiologi tanaman ideal untuk makanan wereng hijau sehingga dapat berkembang baik, maupun replikasi virus dalam tanaman juga berkembang sempurna. Serangan tungro dapat ditemukan pada ratoon atau singgang padi yang dapat menjadi sumber inokulum pada musim tanam selanjutnya. Hal inidiperparah apabila populasi wereng hijau cukup tinggi.

Kemampuan penularan populasi wereng hijau asal Purwakarta pada varietas tahan wereng hijau dari golongan T0, T1, T2, T3, dan T4 bervariasi dengan rata-rata penularan berturut-turut 100, 97, 100, 97, dan 27% (Tabel 2). Skala keparahan yang ditimbulkan oleh wereng hijau asal Purawakarta pada golongan T0, T1, T2, T3, dan T4 bervariasi dengan rata-rata skala berturut-turut 7, 8, 7, 7, dan 3. Golongan varietas T0-T3 berturut-turut Lusi, IR26, Ciliwung, dan IR64 bereaksi rentan terhadap wereng hijau asal Purwakarta. Namun golongan varietas T4 yaitu Barumun bereaksi tahan terhadap wereng hijau. Untuk mengendalikan wereng hijau sebagai vektor virus tungro petani sebaiknya menanam varietas Barumun khususnya Kab. Purwakarta.

Tabel 2 Adaptasi koloni wereng hijau Purwakarta pada varietas differensial tahan wereng hijau

Varietas I II III Rata-rata

% S K % S K % S K % S K T-0 Lusi 100 7 R 100 R R 100 8 R 100 7 R T-1 IR-26 90 7 R 100 R R 100 8 R 97 8 R T-2 Ciliwung 100 8 R 100 R R 100 7 R 100 7 R T-3 IR-64 90 7 R 100 R R 100 8 R 97 7 R T-4 Barumun 30 3 T 30 T T 20 2 T 27 3 T

Keterangan: S= skor, K= keparahan, R= rentan, T= tahan

Daya tahan varietas differensial menurun terhadap koloni wereng hijau Purwakarta disebabkan oleh daya adaptasi wereng hijau yang cukup tinggi terhadap varietas tersebut. Penanaman varietas tertentu secara terus menerus selama 3-4 tahun oleh petani memungkinkan wereng hijau dapat beradaptasi dan menyebabkan suatu varietas yang tahan menjadi agak rentan terhadap tungro. Keadaan umur tanaman yang bervariasi dan dominasi satu jenis varietas menyebabkan intensitas tungro ditemukan pada semua areal pertanaman. Umur tanaman yang berbeda menyebabkan ketersediaan makanan bagi vektor tungro (N. virencens) sehingga ditemukan populasi vektor yang tergolong tinggi, baik nimpa maupun dewasa, demikian pula tanaman terinfeksi yang dapat menjadi sumber inokulum tersedia terus sepanjang musim tanam.

Golongan varietas T0, T2, dan T3 berturut-turut Lusi, Ciliwung, dan IR64 bereaksi agak tahan terhadap wereng hijau asal Garut. Golongan varietas T1 (IR26) dan T4 (Barumun) bereaksi tahan terhadap koloni wereng hijau Garut (Tabel 3). Untuk mengendalikan wereng hijau sebagai vektor virus tungro petani Garut dapat

32

menanam semua varietas differensial tahan wereng hijau terutama varietas IR26 dan Barumun. Untuk daerah endemis tungro disarankan untuk menanam varietas terutama Barumun. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Widiarta et al. (2011), bahwa varietas Barumun dari golongan T4 agak tahan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Informasi adaptasi koloni berguna sebagai rekomendasi pengendalian wereng hijau sebagai vektor penyakit tungro.

Tabel 3 Adaptasi koloni wereng hijau Garut pada varietas differensial tahan wereng hijau

Varietas I II III Rata-rata

% S K % S K % S K % S K T-0 Lusi 60 5 AT 50 4 AT 50 5 AT 53 5 AT T-1 IR-26 10 2 T 10 2 T 30 3 T 17 2 T T-2 Ciliwung 70 6 AT 40 4 AT 40 4 AT 50 5 AT T-3 IR-64 20 2 T 100 8 R 70 6 AT 63 5 AT T-4 Barumun 0 1 T 20 2 T 70 6 AT 30 3 T

Keterangan: S= skor, K= keparahan, R= rentan, AT= agak tahan, T= tahan

Kemampuan penularan virus tungro asal inokulum Garut pada varietas differensial tahan virus tungro bervariasi dengan rata-rata penularan berturut-turut 23, 87, 93, 97, 53, dan 100% (Tabel 4). Rata-rata keparahan gejala berturut-turut 4, 7, 7, 7, 4, dan 8. Berdasarkan keparahan gejala varietas Tukad Petanu dan Tukad Unda menunjukkan reaksi agak tahan terhadap virus tungro asal Garut. Sedangkan varietas Bondoyudo, Kalimas, Tukad Balian, dan TN1 (varietas pembanding) bereaksi rentan terhadap virus tungro asal Garut. Hasil pengujian diperoleh varian virus tungro asal Garut adalah 071. Varian virus tungro 071 mampu mematahkan ketahanan varietas tahan tungro kecuali Tukad Petanu dan Tukad Unda. Untuk menekan penyakit tungro di Kab. Garut sebaiknya menanam varietas Tukad Petanu.

Tabel 4 Virulensi virus tungro asal Garut pada varietas differensial tahan tungro

Varietas Ulangan Rata-rata Varian Virulensi 1 2 3 % S K % S K % S K % S K Tukad Petanu 30 2 T 30 5 AT 10 4 AT 23 4 AT 0 Bondoyudo 90 7 R 70 6 AT 100 7 R 87 7 R 40 Kalimas 90 7 R 100 8 R 90 6 AT 93 7 R 20 Tukad Balian 100 7 R 100 7 R 90 7 R 97 7 R 10 Tukad Unda 60 5 AT 50 4 AT 50 4 AT 53 4 AT 0 TN1 100 8 R 100 8 R 100 9 R 100 8 R 1 071

33 Kemampuan penularan virus tungro asal inokulum Purwakarta pada varietas differensial tahan virus tungro bervariasi dengan rata-rata penularan berturut-turut 3, 70, 87, 93, 40, dan 100% (Tabel 5). Rata-rata keparahan gejala berturut-turut 1, 6, 6, 7, 4, dan 7. Berdasarkan keparahan gejala varietas Tukad Petanu menunjukkan reaksi tahan terhadap virus tungro asal Purwakarta. Sedangkan varietas Bondoyudo, Kalimas, dan Tukad Unda bereaksi agak tahan terhadap virus tungro asal Purwakarta. Varietas Tukad Balian dan TN1 (varietas pembanding) teridentifikasi rentan terhadap virus tungro asal Purwakarta. Hasil pengujian diperoleh varian virus tungro asal Purwakarta adalah 011. Untuk menekan penyakit tungro di Kab. Purwakarta dapat ditanam semua varietas tahan virus tungro selain dari Tukad Balian.

Tabel 5 Virulensi virus tungro asal Purwakarta pada varietas differensial tahan tungro

Varietas Ulangan Rata-rata Varian Virulensi 1 2 3 % S K % S K % S K % S K Tukad Petanu 10 2 T 10 2 T 0 1 T 3 1 T 0 Bondoyudo 70 6 T 70 6 T 80 6 AT 70 6 AT 0 Kalimas 90 6 AT 90 6 AT 90 6 AT 87 6 AT 0 Tukad Balian 100 7 AT 100 7 AT 100 7 R 93 7 R 10 Tukad Unda 40 4 AT 40 4 AT 60 5 AT 40 4 AT 0 TN1 100 7 R 100 7 R 100 7 R 100 7 R 1 011

Keterangan: S= Skor, K= Keparahan, T= Tahan, AT= Agak Tahan, R= rentan

Hasil pengujian menunjukkan varian virus tungro asal Garut memiliki virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan asal Purwakarta. Namun kemampuan penularan virus oleh koloni wereng hijau asal Garut lebih rendah dibandingkan koloni wereng hijau asal Purwakarta. Perkembangan dinamika sebaran penyakit tungro dipengaruhi oleh keseragaman genetik varietas pada suatu hamparan yang sangat luas dengan kondisi lingkungan yang sama. Keberadaan varietas dengan gen ketahanan yang sama akan mempercepat tekanan seleksi wereng hijau dan terjadinya mutasi virus tungro sehingga apbila terjadi serangan maka dengan cepat akan terserang semuanya.

Keragaman virulensi virus tungro dan tekanan seleksi koloni wereng hijau merupakan kompleksitas penyebab terjadinya epidemik penyakit tungro. Ketahanan suatu varietas sangat berperan dalam perkembangan epidemik penyakit tungro. Epidemik akan terjadi apabila penanaman suatu varietas secara terus menerus dan menyebabkan pertanaman menjadi puso atau terjadi peningkatan wilayah sebaran penyakit tungro, sebagai akibat kurangnya penggunaan varietas secara bergilir atau penggunaan satu varietas secara terus menerus di wilayah sentra produksi padi. Menurut Hasanuddin (2002), bahwa pergiliran varietas akan mengurangi tekanan seleksi sehingga penyakit tungro tidak dapat berkembang baik.

34

Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah memutus siklus hidup wereng hijau, sehingga populasi menjadi rendah dan tanaman inang tidak tersedia. Hal ini dapat dilakukan melalui penanaman yang serempak pada hamparan sawah 30 hingga 50 ha per wilayah tertentu. Introduksi beberapa varietas-varietas yang lebih tahan diperlukan supaya petani mempunyai pilihan dalam menentukan varietas yang akan ditanam. Beragamnya jenis varietas yang ditanam memperlambat proses adaptasi vektor sehingga dapat menekan intensitas serangan tungro di lapangan. Selain itu, penting juga untuk melakukan pengaturan waktu tanam yang tepat dengan menghindari puncak keberadaan populasi vektorwereng hijau, pergiliran varietas tahan dan manajemen pencegahan pada fase persemaian.

Kesimpulan

Golongan varietas T0-T3 berturut-turut Lusi, IR26, Ciliwung, dan IR64 bereaksi rentan, sedangkan golongan varietas T4 yaitu Barumun bereaksi tahan terhadap wereng hijau koloni Purwakarta. Golongan varietas T0, T2, dan T3 berturut-turut Lusi, Ciliwung, dan IR64 bereaksi agak tahan, sedangkan Golongan varietas T1 dan T4 yaitu IR26 dan Barumun bereaksi tahan terhadap koloni wereng hijau Garut. Hasil pengujian terhadap varietas differensial tahan tungro diperoleh varian virus tungro asal Garut adalah 071, sedangkan asal Purwakarta yaitu 011. Untuk menekan penyebaran penyakit tungro di Kab. Garut dapat ditanam varietas Tukad Petanu, sedangkan di Kab. Purwakarta dapat ditanam semua varietas tahan virus tungro selain Tukad Balian.

Daftar Pustaka

Hasanuddin A. 2002. Pengendalian Penyakit Tungro Terpadu: Strategi dan Implementasi. Orasi pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.

Hasanuddin A. 2009. Status tungro di Indonesia Penelitian dan Strategi Pengelolaan ke Depan. Disampaikan pada orasi purnabakti Puslitbangtan, Bogor 31 Maret 2009.

Hibino H, Cabunagan RC. 1986. Rice tungro associated viruses and their relation to host plants and vector leafhopper. Trop. Agric. Res. Ser. 19:173-182.

IRRI. 2002. Standart Evaluation System for Rice. IRTP. IRRI. 4 ed. Los Banos, Philippines. 54p.

Mogi S, Sugandhi Z, Baskoro SW, Edwina R, Irawan C. 1992. Establishment of the

differential variety series for pathogenic race identification of rice blas fungus and the distribution of race based on the new differential in Indonesia. Hal 80-100 dalam Anonymous. Penyakit Padi. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman.

35 Raga INW, Murdiata MPL, Tri SW, Edy, Suherman O. 2004. Sistem surveilance antisipasi ledakan penyakit tungro di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal 49-59.

Widiarta IN, Bastian A, Pakki S. 2011. Pewilayahan varietas padi tahan tungro di daerah endemis tungro. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hal 519-535.

36

Biologi

Panacra elegantulus

Herrich-Schaffe

(Lepidoptera: Sphingidae) pada Tanaman Hias

Aglaonema

Rizky Marcheria Ardiyanti dan Nina Maryana

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Email: r.ardiyanmacher@gmail.com

Abstrak

Aglaonema merupakan tanaman hias dari famili Araceae. Banyak orang yang menyukai dan membudidayakan tanaman ini karena keindahannya. Salah sa-tu hama dalam budidaya Aglaonema adalah Panacra elegantulus (Lepidoptera: Sphingidae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek biologi hama ini pada tanaman Aglaonema. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biosis-tematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Januari hingga April 2014. Telur dan larva diperoleh dari lapangan dan dipelihara di laboratorium. Aspek biologi hama yang diamati meliputi jumlah instar larva, stadium larva dan pupa, lama hidup imago, dan reproduksi betina. Diamati pula musuh alami hama ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa P. elegantulus terdiri dari empat instar. Rata-rata produksi telur imago betina 23.67 butir. Telur diletakkan di bawah atau di atas permukaan daun. Rata-rata stadium telur, larva, dan pupa masing- masing adalah 4.25, 23.18, dan 13.12 hari. Pupa muda berwarna hijau dan berubah menjadi coklat. Lama hidup imago jantan dan betina adalah 4.18 dan 6.09 hari. Musuh alami hama ini terdiri dari dua famili dari ordo Hymenoptera (Eulophidae dan Braconidae) dan satu famili dari ordo Diptera (Tachinidae), ketiga parasitoid tersebut adalah parasitoid larva.

Kata kunci: Aglaonema, Araceae, Biologi, Panacra elegantulus, Sphingidae.

Pendahuluan

Aglaonema atau dalam bahasa Indonesia sering disebut “sri rejeki” tergo-long tanaman hias daun, merupakan salah satu genus dalam famili Araceae yang banyak dijumpai di daerah tropis hingga tropis basah. Aglaonema berasal dari daratan Asia, menyebar dari wilayah China bagian selatan, Thailand, Myanmar, Indonesia hingga Filipina. Habitat asli tanaman ini adalah tempat-tempat terlindungi seperti di bawah tajuk rindang hutan dengan intensitas cahaya yang rendah (Balithi 2008). Menurut Sulianta dan Yonathan (2009), beberapa tanaman hias da-ri famili Araceae dapat

37 bermanfaat sebagai antipolutan di dalam rumah atau per-kantoran. Salah satu contohnya adalah tanaman Aglaonema yang mampu men-dekomposisi formaldehida dan benzena hingga 48% dalam waktu 24 jam.

Produksi Aglonema di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 1 553 429 pohon, pada tahun 2012 produksinya sebesar 1 618 047 pohon, dan pada tahun 2013 pro-duksi Aglaonema sebesar 1 598 159 pohon (Balithi 2014). Budidaya tanaman hias daun sangat menguntungkan, karena harga jualnya yang tinggi. Namun, dalam bu-didaya tanaman hias daun terdapat kendala produksi di antaranya adalah masalah hama dan penyakit. Hama yang menyerang Aglaonema adalah tungau, kutu putih,

kutu daun, kutu perisai, dan ulat (Courtier 1993). Berbagai tanaman Aglaonema di

wilayah Bogor terserang oleh hama Panacra elegantulus (Lepidoptera: Sphingi-dae). Inang P. elegantulus adalah tanaman dari famili Araceae, di antaranya me-liputi Dieffenbachia, Syngonium, dan Monstera deliciosa (Lok et al. 2012). Habi-tat hama ini meliputi tepi hutan, kebun, dan taman dengan kumpulan tanaman Araceae. Persebaran hama ini meliputi negara India Utara, Myanmar, Nepal, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan China selatan (Lok et al. 2012). Penelitian mengenai hama ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek biologi P. elegantulus pada tanaman Aglaonema. Informasi yang diperoleh dari penelitian diharapakan dapat menjadi referensi dan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Bahan dan Metode

Pengambilan Sampel Serangga dan Pemeliharaan Serangga

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva P. elegantulus yang diambil dari tanaman Aglaonema di Kebun Raya Bogor, perumahan kawasan Bogor Raya Permai, dan sekitar Kampus IPB Dramaga, Bogor. Serangga yang diambil dari lapangan adalah serangga pada fase telur dan larva. Pengamatan in-tensif dilakukan

terhadap beberapa tanaman Aglaonema untuk mengetahui telur yang baru

diletakkan. Larva yang diambil adalah larva instar I yang baru keluar dari telur maupun larva instar lanjut. Tanaman Aglaonema di lapangan diamati satu kali seminggu. Telur dan larva yang ditemukan di lapangan diambil dan dijadikan sebagai sampel. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan dengan cara menggunting daun yang mengandung telur maupun larva, kemudian sampel dimasukkan ke dalam wadah plastik dan dibawa ke laboratorium.

Daun yang mengandung telur ditempatkan di dalam cawan petri yang dialasi kertas. Larva yang baru keluar dari telur, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik berkasa. Larva instar I hingga instar IV masing-masing dipelihara di dalam wadah plastik berkasa dengan bagian dasar telah dialasi dengan kertas dan diberi daun Aglaonema sebagai pakan. Masing-masing wadah hanya diisi satu individu larva. Setiap hari daun pakan dan kertas alas diganti agar tetap bersih dan segar. Setelah larva membentuk pupa, pupa dipindahkan ke dalam wadah plastik. Pada wadah hanya

38

diletakkan satu pupa. Bagian bawah wadah sebelumnya telah diberi tanah agak lembap dan pupa diamati hingga menjadi imago.

Pengamatan Telur, Larva, dan Pupa

Pengamatan stadium telur dilakukan secara langsung dari pertanaman Aglaonema di lapangan. Pengamatan dilakukan secara intensif setiap hari, bila pada permukaan daun ditemukan telur, maka daun tersebut diambil dan dibawa ke laboratorium. Daun yang mengandung telur digunting kemudian diletakkan di dalam cawan petri dan diamati setiap hari. Telur yang dijadikan sampel adalah telur yang diperoleh dari lapangan maupun dari pembedahan abdomen imago betina. Ulangan yang digunakan pada pengamatan telur adalah 30 individu telur.

Pengamatan larva instar I hingga instar IV dan pupa dilakukan secara individu di dalam wadah plastik berkasa. Larva instar I hingga instar IV dipelihara di dalam wadah plastik berkasa. Bagian dasar wadah plastik dialasi kertas dan diberi daun Aglaonema sebagai pakan. Setelah larva memasuki instar IV selain diberi pakan daun Aglaonema, bagian dasar wadah plastik pemeliharaan diberi tanah agak lembap, kemudian diletakkan kertas di atasnya. Pengamatan larva meliputi panjang, lebar, dan stadium masing-masing instar larva. Pengukuran larva dila-kukan sehari setelah

Dokumen terkait